Jumat, 28 Agustus 2009

DASAR HUKUM – KEWENANGAN NOTARIS UNTUK MEMBUAT AKTA KETERANGAN HAK MEWARIS




Pasal 15 UU No 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS 

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Notaris berwenang pula :
mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.  

Penjelasan :  

  Ayat (1) : Cukup jelas.  

  Ayat (2) :  

  Huruf a : Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.  

  Huruf b : Cukup jelas.  

  Huruf c : Cukup jelas.  

  Huruf d : Cukup jelas.  

  Huruf e : Cukup jelas.  

Ayat (3) : Cukup jelas.  

   

Anotasi : 
Perhatikan pasal 15 ayat 3 tersebut : 

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

2. Apa yang dimaksud dengan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ? 

Kita jumpai dalam : 

2.1. Pasal 1 angka 2 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memberikan definisi sebagai berikut : 

(2). Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.  

2.2. Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang memberikan pengertian sebagai berikut : 

(2). Badan atau Pajabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2.3. Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang memberikan definisi sebagai berikut :

  Angka 2

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum. 

2.4. Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, memberikan definisi sebagai berikut : 

(1) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 

3. Dari penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 ternyata yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” bukan hanya “undang-undang” saja, tetapi juga meliputi semua keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

4. Pasal 7 ayat 1 dan 4 UU No.10 tahun 2004 disebutkan bahwa : 

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :  
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;  
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;  
c. Peraturan Pemerintah;  
d. Peraturan Presiden;  
e. Peraturan Daerah. 

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. 

5. Pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah 

(1) Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.

6. Penjelasan Pasal 42 ayat 1 alinea 3 dari PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris.

7. Dengan demikian, maka PP No. 24 tahun 1997 dapat dianggap sebagai Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dari ketentuan Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004. 

8. Atas dasar uraian tersebut, maka Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang surat keterangan warisan dan pembuktian kewarganegaraan juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Juncto ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi :

  c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa : 
Wasiat dari pewaris, atau 
Putusan Pengadilan, atau
Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau 
bagi warga negara Indonesia penduduk asli : surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia. 
bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa : Akta keterangan hak mewaris dari Notaris.
bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya : Surat Keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan. 

Juga termasuk dalam pengertian “peraturan perundang-undangan” yang dimaksud dalam pasal 15 ayat 3 UUJN.

Berdasarkan penjelasan dan definisi mengenai pengertian “peraturan perundang-undangan” yang dimuat dalam penjelasan pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 dan ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Peundang-Undangan tersebut diatas, praktik pembuatan akta keterangan hak waris oleh Notaris bagi mereka yang tunduk pada Hukum Waris menurut KUHPerdata, masih dapat diberikan dan dilanjutkan berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat 3 UUJN juncto Surat Dirjen Agraria a.n. Mendagri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt 12/63/12/69 juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 juncto pasal 111 ayat 1 huruf c angka 3 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997 tersebut diatas.

10. UU No 30 tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang kewenangan notaris untuk membuat akta keterangan hak mewaris sebagaimana pernah ada pada ketika masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang, hal ini mungkin dengan pertimbangan karena hukum waris merupakan bagian dalam bidang hukum yang sangat rawan karena berkaitan dengan agama dan kebhinekaan adat istiadat, karena itu untuk sementara ini dibiarkan saja dan secara bertahap dikondisikan untuk secara mantap menuju cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa dengan cara melakukan unifikasi hukum.  

TATA CARA PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERPAJAKAN

Bagi Wajib Pajak yang saat ini sedang dilakukan penyidikan oleh Kejaksaan karena diduga melakukan tindak pidana perpajakan, dapat memanfaatkan ketentuan baru yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan dimana proses penyidikan dapat dihentikan jika Wajib Pajak yang bersangkutan melunasi pajak yang seharusnya dibayar ditambah sanksinya. Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Penghentian Penyidikan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan Untuk Kepentingan Penerimaan Negara, tanggal 18 Agustus 2009.




Penghentian Penyidikan oleh Jaksa Agung

1.Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
2.Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan setelah Wajib Pajak melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan. 



Pajak yang Harus Dibayar

Pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dihitung sebesar: 

1.jumlah kerugian pada pendapatan negara yang tercantum dalam berkas perkara dalam hal penghentian penyidikan dilakukan setelah berkas perkara dinyatakan lengkap oleh Penuntut Umum; atau 
2.jumlah kerugian pada pendapatan negara yang dihitung oleh penyidik atau ahli yang dituangkan dalam laporan kemajuan dalam hal penghentian penyidikan dilakukan pada saat penyidikan masih berjalan.

Tata Cara Penghentian Penyidikan

1.Untuk memperoleh penghentian penyidikan, Wajib Pajak mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri Keuangan dengan memberikan tembusan kepada Direktur Jenderal Pajak.
2.Permohonan berikut tembusannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan pernyataan yang berisi pengakuan bersalah dan kesanggupan melunasi dengan menggunakan contoh format surat sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini. 



Proses Permohonan Wajib Pajak

1.Setelah menerima permohonan dari Wajib Pajak, Menteri Keuangan meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penelitian dan memberikan pendapat sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
2.Dalam rangka menindaklanjuti permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak meminta kepada Wajib Pajak untuk menyerahkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account sebesar pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan dan ditambah dengan sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali dari pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan. 
3.Berdasarkan permintaan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak menyampaikan hasil penelitian kepada Menteri Keuangan yang paling sedikit memuat: 
1.nama Wajib Pajak; 
2.Nomor Pokok Wajib Pajak; 
3.nama tersangka; 
4.kedudukan/jabatan tersangka; 
5.Tahun Pajak; 
6.tindak pidana di bidang perpajakan yang disangkakan; 
7.tahapan perkembangan penyidikan; 
8.jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar atau yang seharusnya tidak dikembalikan ; 
9.jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account sebagaimana dimaksud pada ayat (2); dan 
10.pendapat Direktur Jenderal Pajak. 



Keputusan Menteri Keuangan atas Permohonan Penghentian Penyidikan

1.Dengan memperhatikan hasil penelitian, Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangannya dapat menyetujui atau menolak permohonan Wajib Pajak . 
2.Dalam hal Menteri Keuangan menyetujui permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan mengajukan surat permintaan kepada Jaksa Agung untuk menghentikan penyidikan. 
3.Surat permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan alasan untuk menghentikan penyidikan yang meliputi: 
■pertimbangan untuk kepentingan penerimaan negara; dan 
■kesanggupan Wajib Pajak melunasi pajak dan ditambah sanksi administrasi berupa denda sebesar 4 (empat) kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B Undang-Undang KUP dengan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account. 
4.Dalam hal Menteri Keuangan menolak permohonan Wajib Pajak, Menteri Keuangan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak. 



Keputusan Jaksa Agung atas Permohonan Penghentian Penyidikan

1.Dalam hal Jaksa Agung menyetujui permintaan Menteri Keuangan untuk menghentikan penyidikan, Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk memerintahkan Wajib Pajak agar mencairkan jaminan pelunasan dalam bentuk escrow account dengan menggunakan surat setoran pajak.
2.Setelah menerima surat setoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri Keuangan segera menyampaikan pemberitahuan mengenai pelunasan tersebut kepada Jaksa Agung sebagai syarat penghentian penyidikan. 
3.Berdasarkan pemberitahuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jaksa Agung menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan Menteri Keuangan 
4.Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Penyidik melalui Menteri Keuangan. 
5.Setelah menerima Surat Ketetapan Penghentian Penyidikan, Penyidik menghentikan kegiatan penyidikan dan memberitahukan kepada tersangka atau keluarganya, dan kepada Penuntut Umum melalui Kepolisian selaku Koordinator Pengawas Penyidik Pegawai Negeri Sipil. 

JANGKA WAKTU BERLAKUNYA SKMHT




----- Original Message ----- 
From: Herman Adriansyah 
To: Notaris_Indonesia@yahoogroups.com 
Sent: Sunday, March 15, 2009 12:04 PM
Subject: Re: Fw: jangkawaktu berlakunya SKMHT


Rekan Masdiana Simatupang,

Jawaban pertanyaan saya format seperti ini biar lebih enak dibacanya :

Tanya :
mengenai jangka waktu berlakunya SKMHT yang dibuat oleh notaris. Dari beberapa perundangan yang saya ketahui bahwa jangka waktu SKMHT adalah sampai perjanjian pokok berakhir untuk fasilitas kredit tertentu termasuk kredit di Bank Perkreditan Rakyat seperti yang saat ini sedang menjadi rekanan saya.Dan untuk beberapa kredit lainnya seperti kredit perumahan SKMHT hanya berlaku selama 3 bulan. Apakah ini benar.Hal ini membingungkan saya dalam praktek yang saat ini saya lakukan. saya kurang memahami pak dari segi hukumnya bagaimana. terutama pertanyaan saya adalah bagaimana jika ditengah perjalanan waktu kredit tsb ternyata nasabah ada masalah sehingga dipertimbangkan harus dipasang APHT. Apakah hal ini bisa langsung dibuatkan APHT berdasarkan SKMHT yang sblmnya sudah dibuat.

Jawab:
Dalam Pasal 15 ayat (2) UUHT bahwa: "Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau kerena telah habis jangka waktunya…" Pembuatan SKMHT hanya diperkenankan dalam keadaan khusus (Penjelasan Pasal 15 ayat (1)) yaitu:
a. Apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir sendiri dihadapan PPAT untuk membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT).
b. SKMHT harus dalam bentuk akta otentik yang dibuat oleh Notaris atau PPAT.

Substansi SKMHT dibatasi, yaitu hanya memuat perbauatan hokum Membebankan Hak Tanggungan tidak memuat hak untuk menggantikan penerima kuasa melalui pengalihan dan memuat nama nama serta identitas kreditur, debitur, jumlah utang, juga obyek Hak Tanggungan. 

Disamping hal tersebut di atas, untuk mencegah berlarut-larutnya pemberian kuasa dan demi tercapainya kepastian hukum SKMHT dibatasi jangka waktu berlakunya. Pasal 15 ayat (3) UUHT menentukan terhadap tanah-tanah : 
- yang sudah terdaftar, SKMHT wajib segera diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sesudah diberikan. 
- Terhadap tanah-tanah yang belum terdaftar, kewajiban tersebut harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan. 
- Apabila persyaratan tentang jangka waktu tersebut tidak dipenuhi maka SKMHT menjadi "batal demi hukum" (Pasal 15 ayat (6) UUHT.

Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku dalam hal SKMHT yang diberikan untuk menjamin kredit tertentu, seperti :
-kredit program, kredit usaha kecil dan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit yang sejenis. Penentuan batas waktu berlakunya SKMHT untuk jenis kredit tertentu tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 tahun 1996 tentang Penetapan Batas waktu berlakunya SKMHT untuk menjamin jenis-jenis kredit tertentu.
Pasal 1 ayat (20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 4 tahun 1996 tersebut di atas menentukan bahwa: "SKMHT untuk menjamin Perjanjian KPR berlaku sampai saat berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan".

Perjanjian Kredit Pemilikan rumah (KPR) adalah kredit yang diberikan oleh bank kepada debitur untuk digunakan membeli atau membayar sebuah bangunan rumah tinggal dengan tanahnya guna dimiliki atau dihuni. Dalam perjanjian ini biasanya debitur memberikan jaminan berupa rumah dan tanah yang dibeli dengan fasilitas kredit dari bank tersebut.

Tanya :

baru-baru ini saya diminta oleh rekanan saya agar pada saat penandatangan SKMHT diminta untuk dua kali nasabah tandatangan di SKMHT. Jadi ada 2 blanko SKMHT yang ditandatangani.yang satu untuk kredit saat ini yg sedang berjalan dan yg satu lagi untuk berjaga2 jika SKMHT yang satunya sdh expired. Karena dengan pertimbangan nanti akan sulit untuk meminta tandatangan nasabah lagi jika akan dipasang APHT.Apakah hal demikian diperbolehkan pak. Mohon sekiranya bapak bisa memberikan penjelasan kepada saya.Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih pak. Wassalam

Jawab : 
Mengenai penandatangan 2 blanko SKMHT yang berbeda ... waduhhh sebaiknya jangan dilakukan, melanggar ketentuan sanksinya bisa pidana, perdata dan administatif. bahkan juga sanksi sosial, lakukan saja seperti yang di atur UU. Jangan karena takut client pergi kita mau2 aja di dikte untuk melakukan hal2 diluar ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Salam
h3rm4n

--- In Notaris_Indonesia@yahoogroups.com, habib adjie wrote:

Habib Adjie,-
Jalan Darmo Permai Utara XVI/18 Surabaya.
Hp. 08121652894.
e-mail : hb_adjie@...

--- On Sat, 3/14/09, Masdiana Simatupang wrote:

From: Masdiana Simatupang
Subject: jangkawaktu berlakunya SKMHT
To: NOTARISPPATINDONESIA@googlegroups.com
Date: Saturday, March 14, 2009, 4:07 AM
assalammualikum..pak..
saya ingin bertanya mengenai jangka waktu berlakunya SKMHT yang dibuat oleh notaris. Dari beberapa perundangan yang saya ketahui bahwa jangka waktu SKMHT adalah sampai perjanjian pokok berakhir untuk fasilitas kredit tertentu termasuk kredit di Bank Perkreditan Rakyat seperti yang saat ini sedang menjadi rekanan saya.Dan untuk beberapa kredit lainnya seperti kredit perumahan SKMHT hanya berlaku selama 3 bulan. Apakah ini benar.Hal ini membingungkan saya dalam praktek yang saat ini saya lakukan. saya kurang memahami pak dari segi hukumnya bagaimana. terutama pertanyaan saya adalah bagaimana jika ditengah perjalanan waktu kredit tsb ternyata nasabah ada masalah sehingga dipertimbangkan harus dipasang APHT. Apakah hal ini bisa langsung dibuatkan APHT berdasarkan SKMHT yang sblmnya sudah dibuat. Bahkan baru-baru ini saya diminta oleh rekanan saya agar pada saat penandatangan SKMHT diminta untuk dua kali nasabah tandatangan di SKMHT. Jadi ada 2 blanko
> SKMHT yang ditandatangani.yang satu untuk kredit saat ini yg sedang berjalan dan yg satu lagi untuk berjaga2 jika SKMHT yang satunya sdh expired. Karena dengan pertimbangan nanti akan sulit untuk meminta tandatangan nasabah lagi jika akan dipasang APHT.Apakah hal demikian diperbolehkan pak. Mohon sekiranya bapak bisa memberikan penjelasan kepada saya.Atas penjelasannya saya ucapkan terimakasih pak. Wassalam

Anda menerima pesan ini karena berlangganan ke Grup "NOTARIS PPAT INDONESIA" Google Groups. 
Untuk memposting ke grup ini, kirimkan email ke NOTARISPPATINDONESIA@googlegroups.com 
Untuk keluar dari grup ini, kirim email ke NOTARISPPATINDONESIA+unsubscribe@googlegroups.com 
Untuk pilihan lain, kunjungi grup ini di http://groups.google.com/group/NOTARISPPATINDONESIA?hl=id 
~----------~----~----~----~------~----~------~--~---



HAK PENGELOLAAN ATAS TANAH

 
Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan gedung kantor atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh dari pemberian langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian milik penduduk. Status bidang tanah itu tetap sebagai aset Pemerintah disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari Pemerintah. Adapun masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur serta tertib pengawasannya.

Di zaman Pemerintaha Hindia Belanda dahulu sudah ada ketentuan yang berlaku walaupun belum menyentuh tertib penguasannnya. Pada waktu itu berlaku ketentuan yang terdapat dalam Staatsblad 1911 no 110 juncto Staatsblad 1940 no 430. Di dalam lembaran Negara ini disinggung mengenai harta benda, bangunan dan lapangan militer. Mengenai bidang tanah disebut atau dirangkum ke dalam kata is lands-onroerende goederen atau "harta benda tetap/harta benda tidak bergerak milik Negara" sedangkan tertib administrasi penguasaan oleh instansi itu dipergunakan oleh istilah in beheer atau "dalam penguasaan". Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu ada dalam penguasaan suatu instansi tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari pemerintahan untuk membiayai pemeliharaannya.

Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau dikembangkan demikian luas pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di bidang tertib hukum antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak ketiga. Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada perhatian untuk menemukan jalan keluarnya.

Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara, telah diatur bahwa openguasaan atas tanah Negara terbagi dalam dua (2) subyek :
1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain yang ada pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat berlakunya peraturan ini.
2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri.

Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh karena materi hukumnya menjadi embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.

Pasal 9 tersebut antara lain mengatur bahwa kementerian, jawatan atau daerah swatantra sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasanya diserahkan kepadanya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya sementara serta setiap waktu harus dapat dicabut kembali. Ketentuan ini terus berlaku sampai tahun 1965 walaupun undang-undang no 5 tahun 1960 tidak mengaturnya. Berdasarkan pasal peralihan yang ada, maka Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 masih tetap berlaku. Penguasaan bidang tanah oleh instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria no 9 tahun 1965.

Dalam peraturan Menteri Agraria ini diatur bahwa yang semula hanya menyebut kata "penguasaan" dibubuhi kata hak dan menjadi "hak penguasaan", juga terdapat ketentuan bahwa Hak Penguasaan ini dikonversi dan dipecah menjadi dua (2) jenis hak, ialah :
1. Sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dikonversi menjadi HAK PAKAI selama dipergunakan.
2. Tanah-tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi HAK PENGELOLAAN yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.

Diatur bahwa Hak Pengelolaan ini mengandung kewenangan kepada pemegang haknya untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan pengguanaan tanah tersebut.
b. Menggunakan tanah itu untuk kepentingan sendiri.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu enam (6) tahun.
d. Menerima uang pemasukan, ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.

Rumusan pengertian Hak Pengelolaan menadi demikian luas dan berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1973.

Dengan terbitnya Peraturan Menteri tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, diaturlah kebijakan yang lebih luas lagi. Pasal 3 mengatur bahwa Hak Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan berisikan wewenang untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

Kecuali adanya kebijakan oleh tingkat menteri mengenai Hak Pengelolaan ini, masih ada kebijakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Materi hukum hak pengelolaan hanya disisipkan dalam pasal 1 ayat 2 yang intinya mengandung pengertian adanya delegasi wewenang hak menguasai dari Negara kepada pemegang hak pengelolaan. Tidak ada penjelasan apakah delegasi kewenangan ini bersumber atau mengacu pada pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria atau kepada Peraturan-Peraturan Menteri tersebut di atas. Hak Pengelolaan yang bersumber pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria kiranya belum pernah diberikan.

Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 sampai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1974 berkembang sedemikian luasnya sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih antar kewenangan instansi, dan juga berdampak kepada aspek sosial, ekonomi dan yuridis.

Adapun permasalahan yang timbul sebagai akibat rumusan dan pengertian Hak Pengelolaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi hanya suatu kebijakan yang dilandasi oleh peraturan Menteri.
2. Instansi Pemerintah sebagai pemegang Hak Pengelolaan menjadi berfungsi ganda, ialah sebagai pengemban tugas pelayanan publik dan juga bertindak sebagai penguasa.
3. Batasan atau rumusan Hak Pengelolaan demikian luas sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar instansi. Sebagai contoh adalah kewenangan perencanaan dan pengguanaan tanah, tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan mengenai perolehan keuangan dari pihak ketiga adalah tumpang tindih dengan kewenangan Departemen Keuangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang no 20 tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4. Bidang tanah sebagai aset Pemerintah apabila difungsikan untuk tujuan mendapatkan penghasilan, juga terkait dengan kewenangan Departemen Keuangan.
5. Persyaratan yang diminta oleh pemegang Hak Pengelolaan pada umumnya memberatkan beban pihak ketiga, sehingga dapat menimbulkan konflik secara diam-diam atau terbuka.

Sebagai jalan keluar atau pemecahannya ialah bahwa Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak perlu diadakan pembahasan kembali sehingga didukung oleh sumber hukum yang benar.

Kepada instansi Pemerintah cukuplah diberikan Hak Pakai selama bidang tanahnya dipergunakan dan kembali kepada tugas pokoknya.

Apabila suatu departemen tugas operasionalnya bersinggungan dengan unsur bisnis maka diwajibkan membertuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Bidang tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha ini wajib tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundangan lainnya.

*)Oleh Drs. SoemardijonoPenulis adalah purna karyawan Badan Pertanahan Nasional

SYARAT REKOMENDASI DARI ORGANISASI NOTARIS RAWAN KKN


Ketentuan perlunya rekomendasi dari organisasi notaris sebagai syarat untuk dapat diangkat menjadi notaris dikhawatirkan menimbulkan lahan KKN baru. Penyelenggara program magister kenotariatan merekomendasikan agar ketentuan ini dihapus dari RUU Jabatan Notaris.

Demikian sebagian isi rekomendasi yang disampaikan secara resmi oleh Badan Kerjasama (BKS) Penyelenggara Program Magister Kenotariatan (MKn) Perguruan Tinggi Negeri (UI-UGM-UNPAD-UNAIR-USU-UNDIP) kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR. Rekomendasi itu disampaikan terkait dengan dimulainya pembahasan RUU JN oleh DPR dan pemerintah. 

Pihak penyelenggara program MKn menyatakan bahwa rekomendasi dari organisasi notaris tidak diperlukan karena sejumlah alasan. Pertama, rekomendasi hanya dapat diberikan oleh seseorang yang betul-betul mengenal kemampuan atau kualitas orang yang diberi rekomendasi. Hal ini, menurut mereka, tidak mungkin dilakukan oleh organisasi notaris.

Alasan yang kedua, surat keterangan magang atau bekerja di kantor notaris dinilai cukup menggantikan rekomendasi organisasi notaris. Alasan yang ketiga, rekomendasi memperpanjang birokrasi yang dikhawatirkan dapat menimbulkan lahan KKN baru.

Untuk diketahui, rekomendasi yang disampaikan pihak penyelenggara program magister kenotariatan tersebut ditandatangani oleh Ketua Program MKn UI Akhiar Salmi, Ketua Program MKn UGM S.I. Janie, Ketua Program MKn Unpad Tommy Prajogo, Ketua Program MKn Unair Machsoen Ali, Ketua Program MKn USU Syafrudin S. Hasibuan, dan Ketua Program MKn Undip R. Suharto.

Ketentuan soal rekomendasi dari organisasi notaris yang dipermasalahkan sebenarnya terdapat dalam naskah RUU JN versi pemerintah. Sebaliknya, ketentuan tersebut tidak terdapat dalam substansi RUU JN versi DPR.


Tabel: Persandingan Syarat Pengangkatan Notaris dalam Dua versi RUU JN
Versi Pemerintah 
Pasal 4

Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 adalah:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

d. berijazah Sarjana Hukum dan pendidikan Notaris;

e. telah menjalani magang purna waktu selama 2 (dua) tahun berturut-turut pada kantor Notaris;

f. setelah lulus pendidikan Notaris; dan

g. mendapat rekomendasi dari Organisasi Profesi.

Versi DPR 
Pasal 3

Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:

a. warga negara Indonesia;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berumur serendah-rendahnya 27 (dua puluh tujuh) tahun;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. berijazah Sarjana Hukum dan lulus pendidikan Kenotariatan;

f. telah menjalani magang purna waktu selama 1 (satu) tahun penuh pada kantor Notaris setelah lulus pendidikan Kenotariatan; dan

g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.


Ketua Baleg DPR Zain Badjeber (1/9) mengatakan bahwa rekomendasi dari penyelenggara program MKn akan dijadikan sebagai masukan dalam pembahasan RUU JN. Zain juga menyampaikan bahwa RUU yang dijadikan acuan dalam pembahasan adalah RUU JN yang berasal dari DPR. sedangkan, RUU JN yang berasal dari pemerintah akan dijadikan sandingan.
sumber : http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11080&cl=Berita

HANYA SATU ORGANISASI NOTARIS YANG AKAN DIAKUI UNDANG-UNDANG


RUU Jabatan Notaris (JN) mewajibkan Notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Rentan untuk di-judicial review?

Salah satu masalah yang masih diperdebatkan secara mendalam hingga akhir pembahasan RUU JN adalah masalah wadah tunggal Organisasi Notaris. Perdebatan panjang tentang wadah tunggal Organisasi Notaris sudah terjadi saat pembahasan RUU JN di tingkat Panitia Kerja yang dilangsungkan selama empat hari (6-9 September) di sebuah hotel di kawasan Slipi, Jakarta. 

Perdebatan yang belum tuntas soal wadah tunggal Organisasi Notaris kemudian berlanjut saat Rapat Kerja antara Badan Legislasi DPR dengan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang berlangsung hingga Jumat (10/09) dini hari. Adalah anggota Dewan dari Fraksi PDIP, J.E. Sahetapy, yang paling keras menentang Pasal 82 ayat (1) RUU JN mengenai wadah tunggal Organisasi Notaris.

Sahetapy menilai bahwa ketentuan soal wadah tunggal Organisasi Notaris bertentangan dengan UUD 1945 terutama tentang hak untuk berserikat. "Ini jelas bertentangan dengan UUD. Organisasi notaris yang mana itu bukan urusan kita, tapi kita tidak bisa mengatakan satu," tegas Sahetapy.

Pendapat Sahetapy didukung oleh rekannya satu fraksi, Tunggal Lumban Tobing. Menurutnya, jika pasal tentang wadah tunggal notaris dipaksakan masuk dalam RUU JN dikhawatirkan akan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi.

Sekadar tahu, Pasal 82 ayat (1) RUU JN berbunyi: "Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris". Menanggapi pendapat Sahetapy, anggota Dewan dari Fraksi Reformasi Mohammad Asikin mengatakan bahwa secara historis organisasi notaris sudah punya keinginan untuk membentuk wadah tunggal.

Dijelaskan oleh Asikin bahwa dalam kenyataan selama ini Ikatan Notaris Indonesia (INI) adalah satu-satunya organisasi notaris yang diakui oleh pemerintah. Asikin kemudian merujuk pada sebuah selembaran yang ia terima yang menyatakan bahwa INI sudah terbentuk sejak 1908.

Sahetapy menyebut bahwa pandangan yang dikemukakan oleh Asikin adalah tidak logis. "Itukan jaman kolonial. Saya pikir tuntutan logika begitu, mohon maaf saja pada sejawat saya, tidak logis itu. Kalau mau dibicarakan itu ya setelah kita merdeka. Itu bolehlah tapi kalau di tahun 1908 itukan di jaman kolonial. Hanya itu saja supaya kita jangan dibodohi dengan retorika yang tidak betul," tandasnya.

Raker yang usai lewat pukul 24.00 wib tersebut kemudian menyepakati untuk menolak perubahan terhadap rumusan Pasal 82 ayat (1) RUU JN. Sebelumnya, Sahetapy sempat menegaskan bahwa jika usulannya tidak diterima maka ia akan mengemukakan masalah tersebut pada Rapat Paripurna DPR pada 14 September.

Sumber : http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11137&cl=Berita

HANTU LIBERALISME PERTANAHAN


Menyusul kesepakatan pemerintah dan parlemen (29 Januari 2007) untuk mempertahankan UU No 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), kini pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI sedang menggodok RUU tentang Pertanahan. Inisiatif penyusunan RUU Pertanahan perlu dicermati dalam dua konteks yang paradoksal.

Pertama, sebagai upaya lebih lanjut pemerintah dalam menyiapkan dasar hukum baru bagi pelaksanaan reforma agraria, sebagaimana dijanjikan Presiden Yudhoyono mulai tahun 2007. Yang kedua, bagian dari grand design liberalisasi pertanahan lewat produk legislasi yang justru menghambat realisasi reforma agraria. Keduanya seperti air dan minyak, namun keduanya potensial.

Di koran ini, penulis pernah mengingatkan jika pemerintah konsisten ingin melaksanakan reforma agraria, memang dibutuhkan legislasi (setingkat UU) yang secara operasional mengatur apa dan bagaimana reforma agraria dijalankan (Sinar Harapan, 15/02/07). Eksistensi UUPA, terutama menyangkut pasal-pasal prinsipilnya tetap relevan dijadikan rambu-rambu dasar bagi reforma agraria (Sinar Harapan, 15/06/04).

Yang patut diwaspadai ialah substansi legislasi pertanahan jangan sampai jadi produk politik yang mengganjal reforma agraria. Harus dicegah, pertanahan jadi urusan sektoral yang lepas konteks dari keagrariaan utuh yang menyangkut semua bidang kehidupan, dan hindari pengarusutamaan kepentingan invetasi skala besar melalui liberalisasi pertanahan yang selama ini memicu massifnya konflik agraria yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Harapan akan lahirnya produk-produk legislasi pertanahan/keagrariaan yang holistik dan populistik, kini bertarung dalam arus deras neo-liberalisme. Arus ini dengan hebatnya merambah ke relung pikiran elit politik sehingga mengarahkan kebijakan publik ke arah neo-imperialisme alias penjajahan baru yang membiaskan makna kemerdekaan republik ini.

Perlu Diwaspadai
Untuk itu, sektoralisme dan liberalisme yang menghantui politik agraria nasional selama ini, dan mungkin kelak menjangkiti RUU Pertanahan perlu dicegah sedini mungkin. Ini penting, jika pemerintah serius mau reforma agraria, dengan meletakkan UU Pertanahan sebagai dasar hukum efektif bagi reforma agraria, bukan sebaliknya.

Lebih jauh, RUU Pertanahan hendaknya mengandung semangat dan substansi yang menjadikan pertanahan sebagai urusan mendasar yang menuntut perhatian dan tanggungjawab semua pihak di pemerintahan maupun publik luas. Kepentingan pemilikan, penguasaan, dan pemanfaatan tanah bagi rakyat yang termasuk golongan ekonomi lemah/miskin haruslah diprioritaskan.
Dalam pidato memperingati Hari Agraria Nasional 24 September 2007, Joyo Winoto (Kepala BPN RI) menggariskan: "Reforma agraria membutuhkan proses politik dan hukum. Jalan membangun konsensus. Jalan untuk menata politik dan hukum pertanahan dan keagrariaan kita -untuk tujuan ke depan, secara taat asas kepada Pancasila, UUD 1945, dan UUPA. Itu komitmen awal yang didapat. Itulah langkah awal yang tersepakati dengan DPR-RI. Kita berproses menyusun undang-undang pertanahan di bawah payung UUPA".

Jika disimak, tampak jelas arah penyusunan RUU Pertanahan akan konsisten dan konsekuen dengan UUPA sebagai payung politik-hukum agraria nasional. Namun pertanyaannya, ke arah mana arus utama kecenderungan ideologis elit politik dan konstalasi kekuatan politik penyusun legislasi yang kini duduk di eksekutif maupun di legislatif saat ini?

Kalau kita cermati sejumlah undang-undang baru terkait agraria yang dihasilkan eksekutif-legislatif periode 2004-2009, tampak kita tak bisa terlalu berharap akan lahirnya produk legislasi yang memenuhi dua semangat dasar sebagaimana penulis singgung di atas -anti-sektoralisme dan anti-liberalisme, sehingga lebih pro-integralisme agraria dan pro-populisme kerakyatan.

Sekadar contoh, UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal telah secara telanjang menunjukkan komitmen ideologis-politik elite di eksekutif/legislatif yang mengutamakan kepentingan modal besar tanpa membedakan asing atau domestik. Hak atas penggunaan dan pemakaian tanah untuk investor diberikan nyaris setengah abad.

Inkonsistensi UU Penanaman Modal dengan UUPA, dan bahkan UUD 1945, telah menyeret UU ini ke meja Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi-kini sedang menunggu putusan.

Konteks Politik
Belum lagi kita lihat UU Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, UU Penataan Ruang, UU Perkebunan, dan UU Sumberdaya Air juga kontroversial karena sektoralisme dan liberalismenya yang begitu ketal. Liberalisme yang membuka ruang lebar bagi berkuasanya kekuatan kapital akan menggerogoti kewibawaan dan kewenangan negara dalam mengatur urusan agraria kita.

Berbagai produk legislasi yang liberalistik ini disimpulkan bukan solusi atas akar soal agraria, melainkan akan memperumit dan mempertajam konflik kepentingan lintas tataran yang menempatkan rakyat/bangsa sebagai korban.

Mumpung masih cukup waktu, agar legislasi pertanahan melalui RUU Pertanahan terhindar dari jebakan sektoralisme dan liberalisme, disarankan beberapa langkah strategis. 
Pertama, perlu dibentuk Panitia Negara yang terdiri dari unsur pemerintah, parlemen, akademisi, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga swadaya masyarakat yang bertugas khusus; 
(a) mengkaji ulang seluruh peraturan perundang-undangan terkait agraria atau tanah dan kekayaan alam lainnya (hutan, tambang, kebun, pertanian, kelautan, dlsb), dan 
(b) Merekomendasikan grand desain rancangan pembaruan hukum agraria secara menyeluruh agar konsisten dengan semangat dan isi UUD 1945 dan UUPA 1960.

Kedua, mendesak dilakukan konsultasi publik secara luas, sehingga aspek partisipasi publik terakomodir dalam proses penyusunan RUU Pertanahan. Konsultasi bukan hanya terhadap "kalangan atas" di hotel-hotel berbintang, tapi juga dilakukan di kampus-kampus yang melibatkan cerdik cendekia, hingga kampung-kampung yang merangkul rakyat kecil yang tergantung pada tanah.

Ketiga, dari segi waktu, periode 2008-2009 tampaknya terlalu sempit untuk melahirkan produk legislasi sestrategis UU Pertanahan. Untuk itu, RUU Pertanahan yang tengah digodok pemerintah, pembahasan dan pengesahannya lebih tepat dilakukan setelah Pemilu 2009. Pemerintah dan legislatif baru produk Pemilu 2009 akan memiliki legitimasi politik lebih kuat untuk mengarahkan politik-hukum agraria nasional melalui berbagai produk legislasinya.

Agar dongkrak politik reforma agraria kian kuat, maka partai-partai politik yang akan bertarung dalam Pemilu 2009 kita dorong untuk mengadopsi agenda reforma agraria ke dalam plattform dan program politiknya. Peran partai politik dalam sistem demokrasi amat vital, sehingga memungkinkan reforma agraria dapat digiring ke jantung kekuasaan negara untuk kemudian dilaksanakan secara teguh.

Sinar Harapan, 19 Feb 2008

Oleh Usep Setiawan
Penulis adalah Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

UU JABATAN NOTARIS NO.30 TAHUN 2004

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG
JABATAN NOTARIS

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:
a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan;
b. bahwa untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu;
c. bahwa notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam pelayanan hukum kepada masyarakat, perlu mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum;
d. bahwa jasa notaris dalam proses pembangunan makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat;
e. bahwa Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) yang mengatur mengenai jabatan notaris tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.

Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 24 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan Persetujuan Bersama:
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG JABATAN NOTARIS

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
2. Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai Notaris untuk menjalankan jabatan Notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara.
3. Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai Notaris untuk menggantikan Notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai Notaris.
4. Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang diangkat sebagai Notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat penetapannya sebagai Notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya seorang Notaris, sedangkan Notaris yang bersangkutan menurut ketentuan Undang-Undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud.
5. Organisasi Notaris adalah organisasi profesi jabatan notaris yang berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum.
6. Majelis Pengawas adalah suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan terhadap Notaris.
7. Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
8. Minuta Akta adalah asli Akta Notaris.
9. Salinan Akta adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frasa "diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya".
10. Kutipan Akta adalah kutipan kata demi kata dari satu atau beberapa bagian dari akta dan pada bagian bawah kutipan akta tercantum frasa "diberikan sebagai kutipan ".
11. Grosse Akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan utang dengan kepala akta "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
12. Formasi Jabatan Notaris adalah penentuan jumlah Notaris yang dibutuhkan pada suatu wilayah jabatan Notaris.
13. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris.
14. Menteri adalah Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan.

BAB II
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN NOTARIS

Bagian Pertama
Pengangkatan

Pasal 2
Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri.

Pasal 3
Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;
f. telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan
g. tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Pasal 4
(1) Sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
"Saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Jabatan Notaris seria peraturan perundang-undangan lainnya.
bahwa saya akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri, dan tidak berpihak.
bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris.
bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya.
bahwa saya untuk dapat diangkat dalam jabatan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan nama atau dalih apa pun, tidak pernah dan tidak akan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada siapa pun."

Pasal 5
Pengucapan sumpah/janji jabatan Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan dalam waktu paling lambat 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal keputusan pengangkatan sebagai Notaris.

Pasal 6
Dalam hal pengucapan sumpah/janji tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, keputusan pengangkatan Notaris dapat dibatalkan oleh Menteri.

Pasal 7
Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengambilan sumpah/janji jabatan Notaris, yang bersangkutan wajib:
a. menjalankan jabatannya dengan nyata;
b. menyampaikan berita acara sumpah/janji jabatan Notaris kepada Menteri, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Daerah; dan
c. menyampaikan alamat kantor, contoh tanda tangan, dan paraf, serta teraan cap/stempel jabatan Notaris berwarna merah kepada Menteri dan pejabat lain yang bertanggung jawab di bidang agraria pertanahan, Organisasi Notaris, ketua pengadilan negeri, Majelis Pengawas Daerah, serta bupati atau walikota di tempat Notaris diangkat.
 
Bagian Kedua
Pemberhentian

Pasal 8
(1) Notaris berhenti atau diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena:
a. meninggal dunia;
b. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun; 
c. permintaan sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; atau
e. merangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf g.
(2) Ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur 67 (enam puluh tujuh) tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.

Pasal 9
(1) Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya karena:
a. dalam proses pailit atau penundaan kewajiban pembayaran utang;
b. berada di bawah pengampuan;
c. melakukan perbuatan tercela; atau
d. melakukan pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
(2) Sebelum pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, Notaris diberi kesempatan untuk membela diri di hadapan Majelis Pengawas secara berjenjang.
(3) Pemberhentian sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat.
(4) Pemberhentian sementara berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d berlaku paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 10
(1) Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a atau huruf b dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah dipulihkan haknya.
(2) Notaris yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c atau huruf d dapat diangkat kembali menjadi Notaris oleh Menteri setelah masa pemberhentian sementara berakhir.

Pasal 11
(1) Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara wajib mengambil cuti.
(2) Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama Notaris memangku jabatan sebagai pejabat negara.
(3) Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menunjuk Notaris Pengganti.
(4) Apabila Notaris tidak menunjuk Notaris Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Majelis Pengawas Daerah menunjuk Notaris lain. untuk menerima Protokol Notaris yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara.
(5) Notaris yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemegang sementara Protokol Notaris.
(6) Notaris yang tidak lagi menjabat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kembali jabatan Notaris dan Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diserahkan kembali kepadanya.

Pasal 12
Notaris diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Pusat apabila:
a. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. berada di bawah pengampuan secara terus-menerus lebih dari 3 (tiga) tahun;
c. melakukan perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat jabatan Notaris; atau
d. melakukan pelanggaran berat terhadap kewajiban dan larangan jabatan.
 
Pasal 13
Notaris diberhentikan dengan tidak hormat oleh Menteri karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13 diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB III
KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN

Bagian Pertama
Kewenangan

Pasal 15
(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
(2) Notaris berwenang pula:
a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
g. membuat akta risalah lelang.
(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Bagian Kedua
Kewajiban

Pasal 16
(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:
a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;
c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;
d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;
h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;
k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;
m. menerima magang calon Notaris.
(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:
a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; 
b. penawaran pembayaran tunai;
c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. akta kuasa;
e. keterangan kepemilikan; atau
f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari I (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku sebagai sate dan satu berlaku untuk semua".
(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

Bagian Ketiga
Larangan

Pasal 17
Notaris dilarang:
a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
c. merangkap sebagai pegawai negeri;
d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
e. merangkap jabatan sebagai advokat;
f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
h. menjadi Notaris Pengganti; atau
i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

BAB IV
TEMPAT KEDUDUKAN, FORMASI, DAN WILAYAH JABATAN NOTARIS

Bagian Pertama
Kedudukan

Pasal 18
(1) Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota.
(2) Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya.

Pasal 19
(1) Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya.
(2) Notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya.

Pasal 20
(1) Notaris dapat menjalankan jabatannya dalam bentuk perserikatan perdata dengan tetap memperhatikan kemandirian dan ketidakberpihakan dalam menjalankan jabatannya.
(2) Bentuk perserikatan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh para Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dalam menjalankan jabatan Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Kedua
Formasi Jabatan Notaris

Pasal 21
Menteri berwenang menentukan Formasi Jabatan Notaris pada daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dengan mempertimbangkan usul dari Organisasi Notaris.

Pasal 22
(1) Formasi Jabatan Notaris ditetapkan berdasarkan:
a. kegiatan dunia usaha;
b. jumlah penduduk; dan/atau
c. rata-rata jumlah akta yang dibuat oleh dan/atau di hadapan Notaris setiap bulan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Formasi Jabatan Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Bagian Ketiga
Pindah Wilayah Jabatan Notaris

Pasal 23
(1) Notaris dapat mengajukan permohonan pindah wilayah jabatan Notaris secara tertulis kepada Menteri.
(2) Syarat pindah wilayah jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah setelah 3 (tiga) tahun berturut-turut melaksanakan tugas jabatan pada daerah kabupaten atau kota tertentu tempat kedudukan Notaris.
(3) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan setela."i mendapat rekomendasi dari Organisasi Notaris.
(4) Waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak termasuk cuti yang telah dijalankan oleh Notaris yang bersangkutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan pindah wilayah jabatan Notaris diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 24
Dalam keadaan tertentu atas permohonan Notaris yang bersangkutan, Menteri dapat memindahkan seorang Notaris dari satu wilayah jabatan ke wilayah jabatan lain.

BAB V
CUTI NOTARIS DAN NOTARIS PENGGANTI

Bagian Pertama
Cuti Notaris

Pasal 25
(1) Notaris mempunyai hak cuti.
(2) Hak cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diambil setelah Notaris menjalankan jabatan selama 2 (dua) tahun.
(3) Selama menjalankan cuti, Notaris wajib menunjuk seorang Notaris Pengganti.
 
Pasal 26
(1) Hak cuti sebagaimana d maksud dalam Pasal 25 ayat (1) dapat diambil setiap tahun atau sekaligus untuk beberapa tahun.
(2) Setiap pengambilan cuti paling lama 5 (lima) tahun sudah termasuk perpanjangannya.
(3) Selama masa jabatan Notaris jumlah waktu cuti keseluruhan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 27
(1) Notaris mengajukan permohonan cuti secara tertulis disertai usulan penunjukan Notaris Pengganti.
(2) Permohonan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pejabat yang berwenang, yaitu:
a. Majelis Pengawas Daerah, dalam hal jangka waktu cuti tidak lebih dari 6 (enam) bulan;
b. Majelis Pengawas Wilayah, dalam hal jangka waktu cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai dengan 1 (satu) tahun; atau
c. Majelis Pengawas Pusat, dalam jangka waktu cuti lebih dari 1 (satu) tahun.
(3) Permohonan cuti dapat diterima atau ditolak oleh pejabat yang berwenang memberikan izin cuti.
(4) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat.
(5) Tembusan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c disampaikan kepada Majelis Pengawas Daerah dan Majelis Pengawas Wilayah.
 
Pasal 28
Dalam keadaan mendesak, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus dari Notaris dapat mengajukan permohonan cuti kepada Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).

Pasal 29
(1) Surat keterangan izin cuti paling sedikit memuat: 
a. nama Notaris;
b. tanggal mulai dan berakhirnya cuti; dan.
c. nama Notaris Pengganti disertai dokumen yang mendukung Notaris Pengganti tersebut sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Tembusan surat keterangan izin cuti dari Majelis Pengawas Daerah disampaikan kepada Menteri, Majelis Pengawas Pusat, dan Majelis Pengawas Wilayah.
(3) Tembusan surat keterangan izin cuti dan Majelis Pengawas Wilayah disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas Pusat.
(4) Tembusan surat keterangan izin cuti dari Menteri disampaikan kepada Majelis Pengawas Pusat, Majelis Pengawas Wilayah, dan Majelis Pengawas Daerah.

Pasal 30
(1) Menteri atau pejabat yang ditunjuk berwenang mengeluarkan sertifikat cuti.
(2) Sertifikat cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat data pengambilan cuti.
(3) Data pengambilan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicatat oleh Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).
(4) Pada setiap permohonan cuti dilampirkan sertifikat cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Menteri atau pejabat yang ditunjuk dapat mengeluarkan duplikat sertifikat cuti atas sertifikat cuti yang sudah tidak dapat digunakan atau hilang, dengan permohonan Notaris yang bersangkutan.

Pasal 31
(1) Permohonan cuti dapat ditolak oleh pejabat yang berwenang memberikan cuti.
(2) Penolakan permohonan cuti harus disertai alasan penolakan.
(3) Penolakan permohonan cuti oleh Majelis Pengawas Daerah dapat diajukan banding kepada Majelis Pengawas Wilayah.
(4) Penolakan permohonan cuti oleh Majelis Pengawas Wilayah dapat diajukan banding kepada Majelis Pengawas Pusat.

Pasal 32
(1) Notaris yang menjalankan cuti wajib menyerahkan Protokol Notaris kepada Notaris Pengganti.
(2) Notaris Pengganti menyerahkan kembali Protokol Notaris kepada Notaris setelah cuti berakhir.
(3) Serah terima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuatkan berita acara dan disampaikan kepada Majelis Pengawas Wilayah.
 
Bagian Kedua
Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris

Pasal 33
(1) Syarat untuk dapat diangkat menjadi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris adalah warga negara Indonesia yang berijazah sarjana hukum dan telah bekerja sebagai karyawan kantor Notaris paling sedikit 2 (dua) tahun berturut-turut.
(2) Ketentuan yang berlaku bagi Notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15, Pasal 16, dan Pasal 17 berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, kecuali Undang-Undang ini menentukan lain.

Pasal 34
(1) Apabila dalam satu wilayah jabatan hanya terdapat 1 (satu) Notaris, Majelis Pengawas Daerah dapat menunjuk Notaris Pengganti Khusus yang berwenang untuk membuat akta untuk kepentingan pribadi Notaris tersebut atau keluarganya.
(2) Penunjukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak disertai dengan serah terima Protokol Notaris.
(3) Notaris Pengganti Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diambil sumpah/janji jabatan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
 
Pasal 35
(1) Apabila Notaris meninggal dunia, suami/istri atau keluarga sedarah dalam garis lurus keturunan semenda dua wajib memberitahukan kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja.
(3) Apabila Notaris meninggal. dunia pada saat menjalankan cuti, tugas jabatan Notaris dijalankan oleh Notaris Pengganti sebagai Pejabat Sementara Notaris paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia.
(4) Pejabat Sementara Notaris menyerahkan Protokol Notaris dari Notaris yang meninggal dunia kepada Majelis Pengawas Daerah paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Notaris meninggal dunia.
(5) Pejabat Sementara Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat membuat akta atas namanya sendiri dan mempunyai Protokol Notaris.

BAB VI
HONORARIUM

Pasal 36
(1) Notaris berhak menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya.
(2) Besarnya honorarium yang diterima oleh Notaris didasarkan pada nilai ekonomis dan nilai sosiologis dari setiap akta yang dibuatnya.
(3) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dari objek setiap akta sebagai berikut:
a. sampai dengan Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau ekuivalen gram emas ketika itu, honorarium yang diterima paling besar adalah 2,5% (dua koma lima persen);
b. di atas Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima paling besar 1,5 % (satu koma lima persen); atau
c. di atas Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) honorarium yang diterima didasarkan pada kesepakatan antara Notaris dengan para pihak, tetapi tidak melebihi 1 % (satu persen) dari objek yang dibuatkan aktanya.
(4) Nilai sosiologis ditentukan berdasarkan fungsi sosial dari objek setiap akta dengan honorarium yang diterima paling besar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Pasal 37
Notaris wajib memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu.

BAB VII
AKTA NOTARIS

Bagian Pertama
Bentuk dan Sifat Akta

Pasal 38
(1) Setiap akta Notaris terdiri atas:
a. awal akta atau kepala akta;
b. badan akta; dan
c. akhir atau penutup akta.
(2) Awal akta atau kepala akta memuat:
a. judul akta;
b. nomor akta;
c. jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun; dan
d. nama lengkap dan tempat kedudukan Notaris. 
(3) Badan akta memuat:
a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan, kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
c. isi akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari pihak yang berkepentingan; dan
d. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi pengenal.
(4) Akhir atau penutup akta memuat:
a. uraian tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf I atau Pasal 16 ayat (7);
b. uraian tentang penandatanganan dan tempat penandatanganan atau penerjemahan akta apabila ada;
c. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi akta; dan
d. uraian tentang tidak adanya perubahan yang terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.
(5) Akta Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris, selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), juga memuat nomor dan tanggal penetapan pengangkatan, serta pejabat yang mengangkatnya. 
Pasal 39
(1) Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah; dan
b. cakap melakukan perbuatan hukum.
(2) Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling sedikit 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3) Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam akta.

Pasal 40
(1) Setiap akta yang dibacakan oleh Notaris dihadiri paling sedikit 2 (dua) orang saksi, kecuali peraturan perundang-undangan menentukan lain.
(2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah;
b. cakap melakukan perbuatan hukum;
c. mengerti bahasa yang digunakan dalam akta;
d. dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf; dan
e. tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat dan garis ke samping sampai dengan derajat ketiga dengan Notaris atau para pihak.
(3) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikenal oleh Notaris u atau diperkenalkan kepada Notaris atau diterangkan tentang identitas dan kewenangannya kepada Notaris oleh penghadap.
(4) Pengenalan atau pernyataan tentang identitas dan kewenangan saksi dinyatakan secara tegas dalam akta.

Pasal 41
Apabila ketentuan dalam Pasal 39 dan Pasal 40 tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

Pasal 42
(1) Akta Notaris dituliskan dengan jelas dalam hubungan satu sama lain yang tidak terputus-putus dan tidak menggunakan singkatan.
(2) Ruang dan sela kosong dalam akta digaris dengan jelas sebelum akta ditandatangani, kecuali untuk akta yang dicetak dalam bentuk formulir berdasarkan peraturan perundang-undangan.
(3) Semua bilangan untuk menentukan banyaknya atau jumlahnya sesuatu yang disebut dalam akta, penyebutan tanggal, bulan, dan tahun dinyatakan dengan huruf dan harus didahului dengan angka.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku bagi surat kuasa yang belum n menyebutkan nama penerima kuasa.

Pasal 43
(1) Akta dibuat dalam bahasa Indonesia.
(2) Dalam hal penghadap tidak mengerti bahasa yang digunakan dalam akta, Notaris wajib menerjemahkan atau menjelaskan isi akta itu dalam bahasa yang dimengerti oleh penghadap.
(3) Apabila Notaris tidak dapat menerjemahkan atau menjelaskannya, akta tersebut diterjemahkan atau dijelaskan oleh seorang penerjemah resmi.
(4) Akta dapat dibuat dalam bahasa lain yang dipahami oleh Notaris dan saksi apabila pihak yang berkepentingan menghendaki sepanjang undang-undang tidak menentukan lain.
(5) Dalam hal akta dibuat sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Notaris wajib menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia.

Pasal 44
(1) Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya.
(2) Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta.
(3) Akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) ditandatangani oleh penghadap, Notaris, saksi, dan penerjemah resmi.
(4) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dan Pasal 43 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.

Pasal 45
(1) Dalam hal penghadap mempunyai kepentingan hanya pada bagian tertentu dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan kepadanya.
(2) Apabila bagian tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterjemahkan atau dijelaskan, penghadap membubuhkan paraf dan tanda tangan pada bagian tersebut.
(3) Pembacaan, penerjemahan atau penjelasan, dan penandatanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan secara tegas pada akhir akta.

Pasal 46
(1) Apabila pada pembuatan pencatatan harta kekayaan atau berita acara mengenai suatu perbuatan atau peristiwa, terdapat penghadap yang:
a. menolak membubuhkan tanda tangannya; atau
b. tidak hadir pada penutupan akta, sedangkan penghadap belum menandatangani akta tersebut,
hal tersebut harus dinyatakan dalam akta dan akta tersebut tetap merupakan akta otentik.
(2) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan dalam akta dengan mengemukakan alasannya.
 
Pasal 47
(1) Surat kuasa otentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib dilekatkan pada Minuta Akta.
(2) Surat kuasa otentik yang dibuat dalam bentuk Minuta Akta diuraikan dalam akta.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dilakukan apabila surat kuasa telah dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta.

Pasal 48
(1) Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain.
(2) Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

Pasal 49
(1) Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta.
(2) Apabila suatu perubahan tidak dapat dibuat di sisi kiri akta, perubahan tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.
(3) Perubahan yang dilakukan tanpa menunjuk bagian yang diubah mengakibatkan perubahan tersebut batal.

Pasal 50
(1) Apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal tersebut dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan pada sisi akta.
(2) Pencoretan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
(3) Apabila terjadi perubahan lain terhadap perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perubahan itu dilakukan pada sisi akta sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 49.
(4) Pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan, dan penambahan.

Pasal 51
(1) Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis -dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani.
(2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan.
(3) Salinan akta berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib disampaikan kepada para pihak.
 
Pasal 52
(1) Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istri/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu . kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, apabila orang tersebut pada ayat (1) kecuali Notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di hadapan Notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh Notaris.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakibat akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh penghadap, tanpa mengurangi kewajiban Notaris yang membuat akta itu untuk membayar biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada yang bersangkutan.

Pasal 53
Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan/atau keuntungan bagi:
a. Notaris, istri atau suami Notaris;
b. saksi, istri atau suami saksi; atau
c. orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.

Bagian Kedua
Grosse Akta, Salinan Akta, dan Kutipan Akta

Pasal 54
Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 55
(1) Notaris yang mengeluarkan Grosse Akta membuat catatan pada minuta akta mengenai penerima Grosse Akta dan tanggal pengeluaran dan catatan tersebut ditandatangani oleh Notaris.
(2) Grosse Akta pengakuan utang yang dibuat di hadapan Notaris adalah Salinan Akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial.
(3) Grosse Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pada bagian kepala akta memuat frasa "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA", dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat frasa "diberikan sebagai grosse pertama", dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan serta tanggal pengeluarannya.
(4) Grosse Akta kedua dan selanjutnya hanya dapat diberikan kepada orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 berdasarkan penetapan pengadilan.

Pasal 56
(1) Akta originali, Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta yang dikeluarkan oleh Notaris wajib dibubuhi teraan cap/stempel.
(2) Teraan cap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus pula dibubuhkan pada salinan surat yang dilekatkan pada Minuta Akta.
(3) Surat di bawah tangan yang disahkan atau dilegalisasi, surat di bawah tangan yang didaftar dan pencocokan fotokopi oleh Notaris wajib diberi teraan cap/stempel serta paraf dan tanda tangan Notaris.

Pasal 57
Grosse Akta, Salinan Akta, Kutipan Akta Notaris, atau pengesahan surat di bawah tangan yang dilekatkan pada akta yang disimpan dalam Protokol Notaris, hanya dapat dikeluarkan oleh Notaris yang membuatnya, Notaris Pengganti, atau pemegang Protokol Notaris yang sah.

Bagian Ketiga
Pembuatan, Penyimpanan, dan Penyerahan Protokol Notaris

Pasal 58
(1) Notaris membuat daftar akta, daftar surat di bawah tangan yang disahkan, daftar surat di bawah tangan yang dibukukan, dan daftar surat lain yang diwajibkan oleh Undang-Undang ini.
(2) Dalam daftar akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris setiap hari mencatat semua akta yang dibuat oleh atau di hadapannya, baik dalam bentuk Minuta Akta maupun originali, tanpa sela-sela kosong,, masing-masing dalam ruang yang ditutup dengan garis-garis tinta, dengan mencantumkan nomor unit, nomor bulanan, tanggal, sifat akta, dan nama semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai kuasa orang lain.
(3) Akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali yang dibuat dalam rangkap 2 (dua) atau lebih pada saat yang sama, dicatat dalam daftar dengan satu nomor.
(4) Setiap halaman dalam daftar diberi nomor unit dan diparaf oleh Majelis Pengawas Daerah, kecuali pada halaman pertama dan terakhir ditandatangani oleh Majelis Pengawas Daerah.
(5) Pada halaman sebelum halaman pertama dicantumkan keterangan tentang jumlah halaman daftar akta yang ditandatangani oleh Majelis Pengawas Daerah.
(6) Dalam daftar surat di bawah tangan yang disahkan dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris setiap hari mencatat surat di bawah tangan yang disahkan atau dibukukan, tanpa sela-sela kosong, masing-masing dalam ruang yang ditutup dengan garis-garis tinta, dengan mencantumkan nomor unit, tanggal, sifat surat, dan nama semua orang yang bertindak baik untuk dirinya sendiri maupun sebagai kuasa orang lain.
 
Pasal 59
(1) Notaris membuat daftar klapper untuk daftar akta dan daftar surat di bawah tangan yang disahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1), disusun menurut abjad dan dikerjakan setiap bulan.
(2) Daftar klapper sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat nama semua orang yang menghadap dengan menyebutkan. di belakang tiap-tiap nama, sifat, dan nomor akta, atau surat yang dicatat dalam daftar akta dan daftar surat di bawah tangan.

Pasal 60
(1) Akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris Pengganti atau Notaris Pengganti Khusus dicatat dalam daftar akta.
(2) Surat di bawah tangan yang disahkan dan surat di bawah tangan yang dibukukan, dicatat dalam daftar surat di bawah tangan yang disahkan dan daftar surat di bawah tangan yang dibukukan.

Pasal 61
(1) Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya, menyampaikan secara tertulis salinan yang telah disahkannya dari daftar akta dan daftar lain yang dibuat pada bulan sebelumnya paling lama 15 (lima belas) hari pada bulan berikutnya kepada Majelis Pengawas Daerah.
(2) Apabila dalam waktu 1 (satu) bulan Notaris tidak membuat akta, Notaris, secara sendiri atau melalui kuasanya menyampaikan hal tersebut secara tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah dalam waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
 
Pasal 62
Penyerahan Protokol Notaris dilakukan dalam hal Notaris:
a. meninggal dunia;
b. telah berakhir masa jabatannya; 
c. minta sendiri;
d. tidak mampu secara rohani dan/atau jasmani untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris secara terus menerus lebih dari 3 (tiga) tahun; 
e. diangkat menjadi pejabat negara; 
f. pindah wilayah jabatan;
g. diberhentikan sementara; atau
h. diberhentikan dengan tidak hormat.

Pasal 63
(1) Penyerahan Protokol sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari dengan pembuatan berita acara penyerahan Protokol Notaris yang ditandatangani oleh yang menyerahkan dan yang menerima Protokol Notaris.
(2) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf a, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh ahli waris Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah.
(3) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf g, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah jika pemberhentian sementara lebih dari 3 (tiga) bulan.
(4) Dalam hal terjadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, atau huruf h, penyerahan Protokol Notaris dilakukan oleh Notaris kepada Notaris lain yang ditunjuk oleh Menteri atas usul Majelis Pengawas Daerah.
(5) Protokol Notaris dari Notaris lain yang pada waktu penyerahannya berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih diserahkan oleh Notaris penerima Protokol Notaris kepada Majelis Pengawas Daerah.

Pasal 64
(1) Protokol Notaris dari Notaris yang diangkat menjadi pejabat negara diserahkan kepada Notaris yang ditunjuk oleh Majelis Pengawas Daerah.
(2) Notaris pemegang Protokol Notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta.

Pasal 65
Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris bertanggung jawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun Protokol Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris.

BAB VIII
PENGAMBILAN MINUTA AKTA DAN PEMANGGILAN NOTARIS

Pasal 66
(1) Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita acara penyerahan.

BAB IX
PENGAWASAN

Bagian Pertama
Umum

Pasal 67
(1) Pengawasan tas Notaris dilakukan oleh Menteri.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri membentuk Majelis Pengawas.
(3) Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berjumlah 9 (sembilan) orang, terdiri atas unsur:
a. pemerintah sebanyak 3 (tiga) orang; 
b. organisasi Notaris sebanyak 3 (tiga) orang; dan 
c. ahli/akademisi sebanyak 3 (tiga) orang.
(4) Dalam hal suatu daerah tidak terdapat unsur instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, keanggotaan dalam Majelis Pengawas diisi dari unsur lain yang ditunjuk oleh Menteri. 
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perilaku Notaris dan pelaksanaan jabatan Notaris.
(6) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berlaku bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.

Pasal 68
Majelis Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) terdiri atas:
a. Majelis Pengawas Daerah;
b. Majelis Pengawas Wilayah; dan
c. Majelis Pengawas Pusat.

Bagian Kedua
Majelis Pengawas Daerah

Pasal 69
(1) Majelis Pengawas Daerah dibentuk di kabupaten atau kota.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Daerah terdiri atas unsur-unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Daerah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Daerah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Daerah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Daerah.
 
Pasal 70
Majelis Pengawas Daerah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk. memeriksa adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran pelaksanaan jabatan Notaris;
b. melakukan pemeriksaan; terhadap Protokol Notaris secara berkala 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau setiap waktu yang dianggap perlu;
c. memberikan izin cuti untuk waktu sampai dengan 6 (enam) bulan;
d. menetapkan Notaris Pengganti dengan memperhatikan usul Notaris yang bersangkutan;
e. menentukan tempat penyimpanan Protokol Notaris yang pada saat serah terima Protokol Notaris telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih;
f. menunjuk Notaris yang akan bertindak sebagai pemegang sementara Protokol Notaris yang diangkat sebagai pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4);
g. menerima laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran Kode Etik Notaris atau pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini; dan
h. membuat dan menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, dan huruf g kepada Majelis Pengawas Wilayah.
 
Pasal 71
Majelis Pengawas Daerah berkewajiban:
a. mencatat pada buku daftar yang termasuk dalam Protokol Notaris dengan menyebutkan tanggal pemeriksaan, jumlah akta serta jumlah surat di bawah tangan yang disahkan dan yang dibuat sejak tanggal pemeriksaan terakhir;
b. membuat berita acara pemeriksaan dan menyampaikannya kepada Majelis Pengawas Wilayah setempat, dengan tembusan k°pada Notaris yang bersangkutan, Organisasi Notaris, dan Majelis Pengawas Pusat;
c. merahasiakan isi akta dan hasil pemeriksaan;
d. menerima salinan yang telah disahkan dari daftar akta dan daftar lain dari Notaris dan merahasiakannya;
e. memeriksa laporan masyarakat terhadap Notaris dan menyampaikan hasil pemeriksaan tersebut kepada Majelis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, dengan tembusan kepada pihak yang melaporkan, Notaris yang bersangkutan, Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris.
f. menyampaikan permohonan banding terhadap keputusan penolakan cuti.

Bagian Ketiga
Majelis Pengawas Wilayah

Pasal 72
(1) Majelis Pengawas Wilayah dibentuk dan berkedudukan di ibukota provinsi.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Wilayah terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Wilayah dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Wilayah adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Wilayah dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Wilayah.

Pasal 73
(1) Majelis Pengawas Wilayah berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan atas laporan masyarakat yang disampaikan melalui Majelis Pengawas Wilayah;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan atas laporan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. memberikan izin cuti lebih dari 6 (enam) bulan sampai 1 (satu) tahun;
d. memeriksa dan memutus atas keputusan Majelis Pengawas Daerah yang menolak cuti yang diajukan oleh Notaris pelapor;
e. memberikan sanksi berupa teguran lisan atau tertulis;
f. mengusulkan pemberian sanksi terhadap Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat berupa:
1) pemberhentian sementara 3 (tiga) bulan sampai dengan 6 (enam) bulan; atau
2) pemberhentian dengan tidak hormat.
g. membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f.
(2) Keputusan Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e bersifat final.
(3) Terhadap setiap keputusan penjatuhan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f dibuatkan berita acara.

Pasal 74
(1) Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a bersifat tertutup untuk umum.
(2) Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Wilayah.

Pasal 75
Majelis Pengawas Wilayah berkewajiban:
a. menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f kepada Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Pusat, dan Organisasi Notaris; dan
b. menyampaikan pengajuan banding dari Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti.

Bagian Keempat
Majelis Pengawas Pusat

Pasal 76
(1) Majelis Pengawas Pusat dibentuk dan berkedudukan di ibukota negara.
(2) Keanggotaan Majelis Pengawas Pusat terdiri atas unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3).
(3) Ketua dan Wakil Ketua Majelis Pengawas Pusat dipilih dari dan oleh anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Masa jabatan ketua, wakil ketua, dan anggota Majelis Pengawas Pusat. adalah 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali.
(5) Majelis Pengawas Pusat dibantu oleh seorang sekretaris atau lebih yang ditunjuk dalam Rapat Majelis Pengawas Pusat.

Pasal 77
Majelis Pengawas Pusat berwenang:
a. menyelenggarakan sidang untuk memeriksa dan mengambil keputusan dalam tingkat banding terhadap penjatuhan sanksi dan penolakan cuti;
b. memanggil Notaris terlapor untuk dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
c. menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara; dan
d. mengusulkan pemberian sanksi berupa pemberhentian dengan tidak hormat kepada Menteri.

Pasal 78
(1) Pemeriksaan dalam sidang Majelis Pengawas Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a bersifat terbuka untuk umum.
(2) Notaris berhak untuk membela diri dalam pemeriksaan sidang Majelis Pengawas Pusat.
 
Pasal 79
Majelis Pengawas Pusat berkewajiban menyampaikan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf a kepada Menteri dan Notaris yang bersangkutan dengan tembusan kepada Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Daerah yang bersangkutan serta Organisasi Notaris.

Pasal 80
(1) Selama Notaris diberhentikan sementara dari jabatannya, Majelis Pengawas Pusat mengusulkan seorang pejabat sementara Notaris kepada Menteri.
(2) Menteri menunjuk Notaris yang akan menerima Protokol Notaris dari Notaris yang diberhentikan sementara.

Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian anggota, susunan organisasi dan tata kerja, serta tata cara pemeriksaan Majelis Pengawas diatur dengan Peraturan Menteri.

BAB X
ORGANISASI NOTARIS

Pasal 82
(1) Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris.
(2) Ketentuan mengenai tujuan, tugas, wewenang, tata kerja, dan susunan organisasi ditetapkan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
 
Pasal 83
(1) Organisasi Notaris menetapkan dan menegakkan Kode Etik Notaris.
(2) Organisasi Notaris memiliki buku daftar anggota dan salinannya disampaikan kepada Menteri dan Majelis Pengawas.

BAB XI
KETENTUAN SANKSI

Pasal 84
Tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh Notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang m;,nderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan Bunga kepada Notaris.

Pasal 85
Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a, Pasal 16 ayat (1). huruf b, Pasal 16 ayat (1) huruf c, Pasal 16 ayat (1) huruf d, Pasal 16 ayat (1) huruf e, Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 16 ayat (1) huruf g, Pasal 16 ayat (1) huruf h, Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf j, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63, dapat dikenai sanksi berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis;
c. pemberhentian sementara;
d. pemberhentian dengan hormat; atau 
e. pemberhentian dengan tidak hormat.

BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 86
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan jabatan Notaris tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 87
Notaris yang telah diangkat pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, dinyatakan sebagai Notaris sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

Pasal 88
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, permohonan untuk diangkat menjadi Notaris yang sudah memenuhi persyaratan secara lengkap dan masih dalam proses penyelesaian, tetap diproses berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama.

Pasal 89
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Kode Etik Nota, u yang sudah ada tetap berlaku sampai ditetapkan Kode Etik yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 90
Lulusan pendidikan Spesialis Notariat yang belum diangkat sebagai Notaris pada saut Undang-Undang ini mulai berlaku tetap dapat diangkat menjadi Notaris menurut Undang-Undang ini.

BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 91
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
1. Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris,
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 92
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.


Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 6 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 6 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 117




















PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2004
TENTANG
JABATAN NOTARIS

I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan secara tegas bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan.
Kepastian, ketertiban,-dan perlindungan hukum menuntut, antara lain, bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional, maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut, akta otentik yang merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh memberi sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang antuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris. Namun, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Jabatan Notaris yang kini berlaku sebagian besar masih didasarkan pada peraturan perundang-undangan peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda dan sebagian lagi merupakan peraturan perundang-undangan nasional, yaitu:
1. Reglement Op Het Notaris Ambt in Indonesie (Stb.1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101;
2. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
3. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954. tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan
5. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
Berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaharuan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu undang-undang yang mengatur tentang jabatan notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-Undang tentang Jabatan Notaris.
Dalam Undang-Undang ini diatur secara rinci tentang jabatan umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Mengingat Akta Notaris sebagai akta otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara komprehensif dalam Undang-Undang ini. Demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dilakukan dengan mengikutsertakan pihak ahli/akademisi, di samping Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan serta Organisasi Notaris. Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "sehat jasmani dan rohani" adalah mampu secara jasmani dan rohani untuk melaksanakan wewenang dan kewajiban sebagai Notaris.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "prakarsa sendiri" adalah bahwa calon notaris dapat memilih sendiri di kantor yang diinginkan dengan tetap mendapatkan rekomendasi dari Organisasi Notaris.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "pegawai negeri" dan "pejabat negara" adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian. Yang dimaksud dengan "advokat" adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.
 
Pasal 7
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengetahui Notaris yang bersangkutan telah melaksanakan tugasnya dengan nyata.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Ketidakmampuan secara rohani dan/atau jasmani secara terus menerus dalam ketentuan ini dibuktikan dengan surat keterangan dokter ahli.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "melakukan perbuatan tercela" adalah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, norma kesusilaan, dan norma adat.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "secara berjenjang" dalam ketentuan ini dimulai dari Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, sampai dengan Majelis Pengawas Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari pertentangan kepentingan karena sebagai Notaris, ia bersifat mandiri dan berkewajiban tidak berpihak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perbuatan yang merendahkan kehormatan dan martabat" misalnya berjudi, mabuk, menyalahgunakan narkoba, dan berzina.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pelanggaran berat" adalah tidak memenuhi kewajiban dan melanggar larangan jabatan Notaris.

Pasal 13
Cukup jelas.
 
Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Pasal 16
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kewajiban dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta dengan menyimpan akta dalam bentuk aslinya, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.
Huruf c
Grosse Akta yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan ini adalah Grosse pertama, sedang berikutnya hanya dikeluarkan atas perintah pengadilan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "alasan untuk menolaknya" adalah alasan yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang.
Huruf e
Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut.
Huruf f
Akta dan surat yang dibuat notaris sebagai dokumen resmi bersifat otentik memerlukan pengamanan baik terhadap akta itu sendiri maupun terhadap isinya untuk mencegah penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Kewajiban yang diatur dalam ketentuan ini adalah penting untuk memberi jaminan perlindungan terhadap kepentingan ahli waris, yang setiap saat dapat dilakukan penelusuran atau pelacakan akan kebenaran dari suatu akta wasiat yang telah dibuat di hadapan Notaris.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Pencatatan dalam repertorium dilakukan pada hari pengiriman, hal ini penting untuk membuktikan bahwa kewajiban Notaris sebagaimana dimaksud dalam huruf f dan huruf g telah dilaksanakan.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani akta di hadapan penghadap dan saksi.
Huruf m
Penerimaan magang calon Notaris berarti mempersiapkan calon Notaris ajar mampu menjadi Notaris yang profesional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.  
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.

Pasal 17
Larangan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris.
Huruf a
Larangan dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Lihat Penjelasan Pasal 3 huruf g.
Huruf d
Lihat Penjelasan Pasal 3 huruf g.
Huruf e
Lihat penjelasan Pasal 3 huruf g.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Larangan menjadi "Notaris Pengganti" berlaku untuk Notaris yang belum menjalankan jabatannya, Notaris yang sedang menjalani cuti, dan Notaris yang dalam proses pindah wilayah jabatannya.
Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Dengan hanya mempunyai satu kantor, berarti Notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya.
Ayat (2)
Akta Notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor Notaris kecuali pembuatan akta-akta tertentu.
 
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perserikatan perdata" dalam ketentuan ini adalah kantor bersama Notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 21
Formasi adalah kebutuhan akan pengisian jabatan Notaris.

Pasal 22
Ketentuan mengenai Formasi Jabatan Notaris berlaku baik untuk pengangkatan pertama kali maupun pindah wilayah jabatan Notaris.

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kabupaten atau kota tertentu" dalam ketentuan ini adalah kabupaten atau kota tempat Notaris melaksanakan tugas jabatan Notaris pada saat pengajuan permohonan pindah wilayah jabatan Notaris.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "rekomendasi" dalam ketentuan ini hanya menyangkut kondite atas prestasi kerja Notaris.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 24
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" antara lain karena bencana alam, keamanan, dan hal lainnya menurut pertimbangan kemanusiaan.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Ayat (1)
"Pengambilan cuti setiap tahun" dalam ayat ini tidak mengurangi hak Notaris untuk mengambil cuti lebih dari 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Yang dimaksud dengan "keadaan mendesak" adalah apabila seorang Notaris tidak mempunyai kesempatan mengajukan permohonan cuti karena berhalangan sementara.
 
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dokumen yang mendukung Notaris Pengganti adalah sebagai berikut:
1. fotokopi ijazah paling rendah sarjana hukum yang disahkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan;
2. fotokopi kartu tanda penduduk yang disahkan oleh Notaris;
3. fotokopi akta kelahiran yang disahkan oleh Notaris;
4. fotokopi akta perkawinan bagi yang sudah kawin yang disahkan oleh Notaris;
5. surat keterangan kelakuan baik dari kepolisian setempat; 
6. surat keterangan sehat dari dokter pemerintah;
7. pasfoto terbaru berwarna ukuran 3 x 4 cm sebanyak 4 (empat) lembar; dan
8. daftar riwayat hidup.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Berdasarkan ketentuan ini, "Pejabat Sementara Notaris" bertanggung jawab sendiri atas semua hal yang dilakukannya dalam menjalankan tugas dan jabatannya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Pasal 36
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Akta yang mempunyai fungsi sosial, misalnya, akta pendirian yayasan, akta pendirian sekolah, akta tanah wakaf, akta pendirian rumah ibadah, atau akta pendirian rumah sakit.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kedudukan bertindak penghadap" adalah dasar hukum bertindak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "digaris" dalam ketentuan ini adalah untuk menyatakan bahwa ruang atau sela kosong dalam akta tidak digunakan lagi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Pasal 43
Ayat (1)
Bahasa Indonesia yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah bahasa Indonesia yang tunduk pada kaidah bahasa Indonesia yang baku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "penerjemah resmi" adalah penerjemah yang disumpah.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "pihak yang berkepentingan" adalah penghadap atau pihak yang diwakili oleh penghadap.
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.
 
Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.
 
Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "15 (lima belas) hari" adalah dihitung dari tanggal 1 sampai dengan tanggal 15.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 62
Protokol Notaris terdiri atas:
a. minuta Akta;
b. buku daftar akta atau repertorium;
c. buku daftar akta di bawah tangan yang penandatanganannya dilakukan di hadapan Notaris atau akta di bawah tangan yang didaftar; 
d. buku daftar nama penghadap atau klapper; 
e. buku daftar protes;
f. buku daftar wasiat; dan
g. buku daftar lain yang harus disimpan oleh Notaris berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengawasan" dalam ketentuan ini termasuk pembinaan yang dilakukan oleh Menteri terhadap Notaris.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Unsur pemerintah ditentukan oleh Menteri.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "ahli/akademisi" dalam ketentuan ini adalah ahli/akademisi di bidang hukum.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "laporan dari masyarakat" termasuk laporan dari Notaris lain.
Huruf h
Cukup jelas.
 
Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bersifat final" adalah mengikat dan tidak dapat diajukan banding kepada Majelis Pengawas Pusat.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.
 
Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Sanksi yang dikenakan kepada Notaris berlaku juga bagi Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.
 
Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4432