Minggu, 27 September 2009

CAPITA SELECTA KENOTARIATAN

PJN

1. UU NO 30 Th 2004 Ttg Jabatan Notaris

2. Kode Etik Jabatan Notaris

3. Bahan Pembanding :

1. "Reglement op het Notarisambt in Indonesia" dalam bahasa Belanda dan Terjemahan

2. Kode Etik IPPAT

3. KUHPerdata

4,. Perkawinan (UU Perkawinan, KHI)

5. Peraturan Per UUan Agraria (Hub dgn Pendaftaran Tanah)

6. UU KeWargaNegaraan

7. PerUUan Tentang Jaminan (HT dan Fidusia, Hipotik Kapal/Pesawat Udara)

8. UU PT, Yayasan, Koperasi, BHP

8, Dll yang berhub dgn Tugas & Wewenang Notaris

PENGANTAR

Hukum (Isi) :

- Hukum Privat (Hukum Perdata)

- Hukum Publik

Hukum Privat – Hukum Publik

Kriteria Kepentingan

Hukum Privat : hukum yang mengatur kepentingan perorangan

Hukum Publik : hukum yang mengatur kepentingan umum

Kriteria Hubungan

Hukum Privat : hukum yang mengatur hubungan perorangan

Hukum Publik : hukum yang mengatur hubungan penguasa negara dengan perseorangan

Hukum Privat (Hukum Perdata)

- Tertulis dan tidak tertulis

Tertulis : KUH Perdata

Tidak tertulis : Hukum Adat

- Sempit dan Luas

Sempit : KUH Perdata

Luas : KUH Perdata dan KUHD

- Formal dan Materiil

Formal : Hukum Acara Perdata

Materiil : KUH Perdata

- Sistematika Hukum Perdata

A. Doktrin

- Hukum Orang

- Hukum Keluarga

- Hukum Harta Kekayaan

- Hukum Waris

B. Pembentuk UU

- Buku I : Orang

- Buku II : Kebendaan

- Buku III : Perikatan

- Buku IV : Pembuktian dan Daluwarsa

- II. Hukum Tentang Orang

- Istilah : Personenrecht (Belanda), Personal Law (Inggris)

Memuat :

- Peraturan-peraturan tentang manusia

- Sebagai subyek hukum

- Peraturan tentang kecakapan berhak dan kecakapan bertindak

- Untuk melaksanakan hak-haknya

-BW dalam Buku I dengan judul Van Personen

- Kurang tepat karena keberadaan seseorang tidak lepas dari keluarga, sehingga lebih tepat menggunakan judul “Personen en Familie Recht”

-Prinsip : Setiap manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali.

-Pembatasan

1. Kewarganegaraan (Pasal 21 ayat 1 UUPA) ;

2. Tempat tinggal (Pasal 10 ayat 2 UUPA) ;

3. Kedudukan atau jabatan ;

4. Tingkah laku dan perbuatan (Pasal 49 dan 53 UUP);

5. Jenis kelamin (Pasal 7 dan Pasal 11 UUP) ;

6. Keadaan tak hadir (Pasal 463 KUH Perdata).

- Kecakapan Bertindak (Handlingsbekwaam)

-Prinsip : Setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semuanya cakap melakukan perbuatan hukum.

-Pembatasan (Pasal 1330 KUH Perdata) :

1. Orang yang belum dewasa (Pasal 330 KUH Perdata, Pasal 47 UUP, Pasal 39 ayat 1 butir a UUJN) ;

2. Orang yang berada dibawah pengampuan (Pasal 433 KUH Perdata) ;

3. Perempuan bersuami (Tidak berlaku lagi dengan SEMA Nomor 3/1963 jo Pasal 31 UUP).

-Tempat Tinggal (Domicilie)

-Rumusan Domisili :

1. Adanya tempat tertentu ;

2. Adanya orang yang selalu hadir pada tempat tersebut ;

3. Adanya hak dan kewajiban ;

4. Adanya prestasi.

-Pentingnya Domisili ;

1. Dimana seorang harus menikah (Pasal 78 KUH Perdata)

2. Dimana seorang harus dipanggil oleh pengadilan (Pasal 1393 KUH Perdata) ;

3. Pengadilan mana yang berwenang terhadap seseorang (Pasal 207 KUH Perdata).

-Macam Domisili

-Sistem Common Law

1. domicili of origin, yaitu tempat tinggal seseorang yang ditentukan oleh tempat asal seseorang sebagai tempat kelahiran ayahnya yang sah ;

2. domicili of origin domicili of dependence, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh domisili dari ayah bagi anak yang belum dewasa, domisili ibu bagi anak yang tidak sah, san bagi istri ditentukan oleh domisili suaminya ;

3. domicili of choice, yaitu tempat tinggal yang ditentukan oleh pilihan seseorang yang telah dewasa, disamping tindak tanduknya sehari-hari.

- Hukum Eropa Kontinental (KUH Perdata)

- Tempat Tinggal Sesungguhnya dan Tempat Tinggal Yang Dipilih

- Tempat Tinggal Sesungguhnya : Tempat Tinggal melakukan perbuatan hukum pada umumnya.

1. Tempat Tinggal Sukarela (Mandiri)

2. Tempat Tinggal Wajib (Menurut Hukum)

- Tempat Tinggal Yang Dipilih

1. Dengan perjanjian

2. Perjanjian harus tertulis

3. Untuk satu atau lebih perbuatan hukum atau hubungan hukum tertentu

4. Adanya kepentingan yang wajar

- Kewarganegaraan (WNI dan WNA)

WNA dalam kaitan dengan Penguasaan Tanah

Secara normatif, peraturan perundang-undangan yang memfasilitasi penguasaan tanah oleh orang asing di Indonesia sudah cukup memadai.

Pengaturan penguasaan tanah oleh orang asing dapat dijumpai pada :

a. Pasal 42 dan Pasal 45 UUPA terkait dengan hak pakai atas tanah dan hak sewa.

b. PP No. 40 Tahun 1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah;

c. PP No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian

Namun demikian, masih dijumpai adanya perbuatan hukum dan bentuk penguasaan tanah yang dilakukan oleh warga negara asing yang diduga merupakan penyelundupan hukum.

- Pola penguasaan tanah oleh WNA yang berindikasi penyelundupan hukum

- Terjadi pemilikan semu yang berkarakter ”Hak Milik Plus”.

- Secara formal, Warga Negara Asing tidak memiliki tanah;

- Secara material, Warga Negara Asing melalui instrumen akta notaris dapat menguasai tanah melebihi karakter hak milik.

-Hukum Keluarga

-Istilah : Familierecht (Belanda), Law Of Familie (Inggris)

-Ruang Lingkup :

1. Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan ;

2. Peraturan perceraian ;

3. Peraturan kekuasaan orang tua ;

4. Peraturan kedudukan anak ;

5. Peraturan pengampuan (curatele) ; dan

6. Peraturan perwalian.

-Peraturan Perkawinan yang Berkaitan Dengan Menjalankan Profesi Notaris

-Perjanjian Perkawinan (Pasal 29 UUP)

-Harta Kekayaan

- KUH Perdata

1. Persatuan Bulat (Pasal 119)

2. Tidak ada sama sekali persatuan (Pasal 140 ayat 2)

3. Persatuan hasil dan pendapatan (Pasal 164)

4. Persatuan untung dan rugi (Pasal 155)

- Pasal 35 UUP :

1. Harta Bersama

2. Harta Bawaan

- Pasal 36 UUP :

1. Harta Bersama Suami Istri Dapat Bertindak Atas Persetujuan Kedua Belah Pihak

2. Harta Bawaan Masing-Masing, Suami Istri Mempunyai Hak Sepenuhnya Untuk Melakukan Perbuatan Hukum Mengenai Harta Bendanya

-III. Hukum Benda

-Pengertian : Peraturan-peraturan hukum yang mengatur hak-hak kebendaan yang bersifat mutlak artinya hak terhadap benda yang oleh setiap orang wajib diakui dan dihormati.

- Klasifikasi Benda

- Lanjutan Klasifikasi Benda

- Lanjutan Klasifikasi Benda

- Lanjutan Klasifikasi Benda

- Hak-Hak Kebendaan Menurut UUPA

- Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah

Hak-Hak Atas Tanah Dalam Hukum Tanah Nasional (HTN)

I. Hak-hak tanah dalam HTN pada dasarnya meliputi :

a. Hak-hak atas tanah yang primer yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh Negara dan bersumber langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah.

Jenis hak atas tanahnya adalah :

-Hak Milik, baca pasal 20 s/d 27 UUPA

- Hak Guna Usaha, (baca pasal 28 s/d 34 UUPA dan pasal 2 s/d 18 PP No. 40 Tahun 1966)

-Hak Guna Bangunan (baca pasal 35 s/d 40 UUPA dan pasal 19 s/d 38 PP No. 40 Tahun 1996

- Hak Pakai (pasal 41 s/d 43 UUPA dan pasal 39 s/d 58 PP No. 40 Tahun 1966)

b. Hak-hak atas tanah yang sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang diberikan oleh pemilik tanah dan bersumber secara tidak langsung pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah. Hak atas tanah yang sekunder disebut pula hak baru yang diberikan di atas tanah Hak Milik dan selalu diperjanjikan antara pemilik tanah dan pemegang hak baru dan akan berlangsung selama jangka waktu tertentu

Jenis hak atas tanah yang sekunder adalah sebagai berikut:

-Hak Guna Bangunan (pasal 37 UUPA yo pasal 24 PP No. 40/1996)

-Hak Pakai (pasal 41 UUPA yo pasal 44 PP No. 40/1996)

-Hak Sewa (pasal 44 dan 45 UUPA dan Hak Sewa atas tanah pertanian pasal 53 UUPA dan pasal 44 dan 45 UUPA)

-Hak Usaha Bagi Hasil (pasal 53 UUPA yo UU No. 2 Tahun 1960 tentang “Perjanjian Bagi Hasil”

- Hak Gadai atas Tanah (pasal 53 UUPA yo pasal 7 UU No. 56 Prp. 1960)

-Hak Menumpang (pasal 53 UUPA)

Hak-hak atas tanah tersebut dapat diberikan di atas :
Tanah Negara (tanah yang langsung dikuasai oleh Negara),
Bagian-bagian Tanah Hak Pengelolaan (baca halaman 14),
Tanah Hak Milik.

Hak atas tanah yang primer dapat diberikan pada tanah sub a dan b di atas, dan hak atas tanah yang sekunder (hak baru) diberikan di atas tanah sub c di atas. Tata cara pemberian hak atas tanah yang primer dan hak baru yang akan diuraikan kemudian.

Pengertian Hak Atas Tanah

Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang, untuk memakai tanah yang diberikan kepada orang dan badan hukum

Pada dasarnya tujuannya memakai tanah (secara universal) adalah untuk memenuhi 2 (dua) jenis kebutuhan, yaitu :

a. Untuk diusahakan, misalnya usaha pertanian, perkebunan, perikanan (tambak) atau peternakan

b. Untuk tempat membangun sesuatu (wadah), misalnya untuk mendirikan bangunan, perumahan, Rumah Susun (gedung bangunan bertingkat), Hotel, Proyek Pariwisata, Pabrik, Pelabuhan dan lain-lainnya.

Setiap hak atas tanah memberikan kewenangan memakai suatu bidang tanah tertentu, untuk memenuhi kebutuhan tertentu. Kewenangan memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari suatu dari suatu bidang tanah tertentu yang dihaki. Dalam rangka memakai tanah mengandung kewajiban untuk memelihara tanah termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya (Pasal 15 UUPA).

Pemakaian tanah tersebut harus sesuai dengan tujuan pemberian dan isi hak atas tanahnya serta menurut peruntukkannya sebagaimana ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku di Daerah yang bersangkutan (Kabupaten/Kota).

Karena pengertian tanah adalah permukaan bumi (Pasal 1 ayat 4 dan Pasal 4 ayat 1 UUPA), pemakaiannya untuk keperluan apapun, selalu meliputi penggunaan sebagian tubuh bumi dibawahnya dan sebagian ruang diatasnya, sesuai dengan tujuan pemakaiannya.

Sedang ruang diatas tanah dan tubuh bumi bukan milik pemegang hak, namun boleh digunakan oleh setiap pemegang hak dalam rangka memenuhi keperluannya atau tujuannya menggunakan tanah yang bersangkutan.

UUPA menetapkan 4 (empat) jenis hak atas tanah untuk keperluan pribadi maupun untuk kegiatan usaha.

Untuk keperluan pribadi perorangan warga Negara Indonesia adalah Hak Milik (Pasal 20 s/d 27 UUPA).

Sedang untuk keperluan usaha adalah Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Dan Hak Pakai dapat pula digunakan untuk keperluan khusus.

A. Hak Milik (HM)

Hak turun menurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6 (yang mengandung fungsi sosial). Turun temurun berarti dapat dikuasai tanahnya secara terus menerus dan akan beralih karena hukum kepada ahli warisnya.

Terkuat dan Terpenuh berarti penguasaan tanahnya. Tidak terputus-putus dan kewenangan pemilik untuk memakai tanahnya untuk diusahakan maupun untuk keperluan membangun sesuatu selama peruntukan tanahnya belum dibatasi menurut RTRW yang berlaku.

-HM hanya khusus untuk perorangan yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia saja (pasal 21 ayat 1 dan ayat 4 UUPA), bisa dipakai sendiri, atau dipakai orang lain.

-HM dapat beralih (karena hukum) atau dialihkan (karena pemindahan hak) kepada pihak lain dibebani hak baru dengan HGB, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Usaha bagi Hasil maupun Hak Menumpang (pasal 20 dan 24 UUPA).

- Dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan (pasal 25 UUPA).

- Dapat diwakafkan (Pasal 49 UUPA).

- HM wajib didaftarkan dan mempunyai sertifikat sebagai tanda bukti hak (pasal 23 UUPA yo PP No. 24 Tahun 1997).

- HM dapat dijual, dibebaskan haknya.

B. Hak Guna Usaha (HGU) memberikan wewenang untuk menggunakan tanahnya yang langsung dikuasai Negara untuk usaha pertanian, yaitu perkebunan, perikanan dan peternakan selama jangka wakti tertentu, yaitu 25 tahun dan 35 tahun dapat diperpanjang jangka waktunya 25 tahun dan jika tanahnya masih diperlukan dapat diperbaharui haknya, yaitu diberikan kembali selama 35 tahun. Sedang untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 95 tahun (pasal 11 PP No. 40/1996). HGU dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia. HGU harus diatas tanah negara.

C. Hak Guna Bangunan (HGB) memberikan wewenang untuk mendirikan bangunan diatas tanah kepunyaan pihak lain (tanah negara atau tanah Hak Milik), selama jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang jangka waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat diperbaharui hak tersebut. Untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus untuk 80 tahun (pasal 28 PP No. 40/1996). HGB hanya dapat diberikan kepada warga negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia

D. Hak Pakai (HP) memberikan wewenang untuk menggunakan tanah kepunyaan pihak lain (tanah negara atau tanah Hak Milik) selama jangka waktu tertentu, yaitu 25 tahun dan dapat diperpanjang jangka waktunya 20 tahun dan jika masih diperlukan dapat diperbaharui hak tersebut. Untuk perusahaan dalam rangka penanaman modal dapat diberikan sekaligus 70 (pasal 48 PP No. 40/1996) tahun. Tanah dengan Hak Pakai dapat digunakan untuk mendirikan bangunan atau usaha pertanian.

Hak Pakai dapat diberikan kepada :

a. Warga Negara Indonesia,

b. Badan Hukum Indonesia,

c. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia,

d. Badan Hukum Asing yang mempunyai kantor perwakilan di Indonesia,

e. Departemen, Lembaga Non Departemen dan Pemerintahan Daerah,

f. Badan keagamaan dan sosial,

g. Perwakilan Negara Asing dan perwakilan badan Internasional.

Bagi HBU-HGB dan Hak Pakai, karena tujuannya untuk keperluan bisnis atau investasi, maka hak-hak atas tanah tersebut.

- Dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

- Dapat dijadikan jaminan pelunasan utang dengan dibebani Hak Tanggungan.

- Wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan (Kabupaten/ Kota) untuk mendapatkan sertfikat sebagai tanda bukti hak.

- Tanah dengan hak-hak tersebut tidak boleh disewakan kepada pihak lain, namun bangunan yang didirikan diatas tanah HGB atau Hak Pakai boleh disewakan kepada pihak lain.

Hapusnya HM, HGU, HGB dan Hak Pakai karena :

a. Jangka waktunya berakhir atau dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi.

b. Dilepaskan haknya (pelepasan hak secara sukarela) oleh pemegang hak sebelum jangka waktunya berakhir.

c. Dicabut haknya berdasarkan pasal 18 UUPA yo UU No. 20 Tahun 1961.

d. Ditelantarkan, dengan memperhatikan ketentuan PP No. 36 Tahun 1998.

e. Tanahnya musnah.

f. Karena subjeknya tidak lagi memenuhi syarat.

Selasa, 22 September 2009

WEWENANG, KEWAJIBAN DAN LARANGAN PPAT


Ada 8 ( jenis ) akta PPAT yang menjadi alat bukti dan dasar perubahan data pendaftaran tanah ( lihat pasal 95 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria / KBPN ( Permenag/KBPN) No. 3 tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat 2, Per KBPN No. 1 tahun 2006)yakni:

1.     Akta Jual beli,

2.     Akta tukar menukar,

3.     Akta Hibah,

4.     Akta Pemasukan ke dalam perusahaan ( inbreng),

5.     Akta pembagian bersama,

6.     Akta pemberian Hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik,

7.     Akta pemberian hak tanggungan, dan

8.     Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.( lihat pasal 2 ayat 2)

 

Dalam rangka pembuatan akta-akta tersebut ( 8 jenis akta ), ditentukan pula bentuk akta – akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara pengisiannya, serta formulir yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997, terdiri dari bentuk:

a.      Akta jual beli ( lampiran 16);

b.     Akta tukar menukar (lampiran 17);

c.      Akta hibah ( lampiran 18);

d.     Akta pemasukan ke dalam perusahaan (lampiran 19);

e.      Akta pembagian hak bersama (lampiran 20);

f.       Akta pemberian hak tanggungan ( lampiran 21);

g.      Akta pemberian hak guna bangunan / hak pakai atas tanah hak milik ( lampiran 22);

Surat kuasa membebankan hak tanggungan ( lampiran 23 ); dan apabila dalam pembuatan akta tidak sebagaimana yang ditentukan tersebut maka merupakan pelanggaran.


Untuk lebih jelasnya dibawah ini ada artikel yang membahas dan mengkaji secara lebih rinci.

KAJIAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT)

DAN PERMASALAHANNYA *)

 

 

PENDAHULUAN

 

Dalam perundang-undangan PPAT maupun Notaris adalah merupakan "pejabat umum" yang diberikan kewenangan membuat "akta otentik" tertentu. Yang membedakan keduanya adalah Landasan hukum berpijak yang mengatur keduanya. PPAT adalah UU No. 5 tahun 1960, PP No. 24 tahun 1997, PP No. 37 tahun 1998 dan PerKBPN No. 1 tahun 2006, sedangkan Pejabat Notaris adalah UU No. 30 tahun 2005. Perbedaan tersebut tergambar dengan jelas lembaga hukum yang bertanggung jawab untuk mengangkat dan memberhentikan, tugas dan kewenangannya dalam rangka pembuatan akta-akta otentik tertentu, system pembinaan dan pengawasannya.

 

Pejabat Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM dan dibawah pembinaan dan pengawasan ada pada pejabat yang ada dibawah kementerian tersebut yakni Pengadilan negeri. PPAT diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (KBPN), sedangkan pembinaan dan pengawasannya ada pada pejabat yang ditunjuk dalam tingkat daerah kabupaten / kota hal ini Kepala Kantor pertanahan setempat.

 

Produk hukum yang dihasilkan adalah akte otentik, namun berbeda jenisnya. Didalam UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pejabat notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, dst, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Disamping itu dikatakan notaris berwenang pula antara lain : "membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan". ( lihat pasal 15 UU No. 30 tahun 2004).

 

PPAT sebagai pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik untuk perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan Hak Milik atas Satuan Rumah susun yang terletak diwilayah kerjanya (lihat UU No. 5 tahun 1960, PP No.24/1997, PP No. 37/1998 yo. Permenag/KBPN No.1 / 2006).

 

Persoalan hukumnya, sampai saat ini masih terjadi Pro dan kontra penjabaran lebih lanjut berkaitan kewenangan pembuatan akta pertanahan?.

 

TUGAS KEWENANGAN PPAT

 

Sesuai ketentuan perundangan pertanahan, sebagaimana diatur dalam ketentuan ini diuraikan secara rinci dalam pasal 2 – 6 peraturan KBPN No. 1 tahun 2006 yang merupakan penjabaran dari PP No. 37 tahun 1998 dan tindak lanjut dari ketentuan yang diatur dalam PP No. 24 tahun 1997, Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997, dijelaskan Tugas pokok dan kewenangan PPAT yakni, melaksanakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah dengan tugas pembuatan akta (otentik) sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu di daerah kerjanya yang ditentukan oleh pemerintah ( kompetensi absolute) yakni kabupaten atau kota satu wilayah dengan wilayah kerja Kantor pertanahan. Catatan untuk PPAT sementara ( Camat ) adalah wilayah jabatan camat saat menjabat.

 

Pertanyaan hukumnya adalah Dalam rangka pembuatan akta otentik atas Perbuatan hukum tertentu apa saja yang merupakan sebagian dari kegiatan pendaftaran tanah yang menjadi tugas pokok PPAT?

 

Ada 8 ( jenis ) akta PPAT yang menjadi alat bukti dan dasar perubahan data pendaftaran tanah ( lihat pasal 95 ayat 1 Peraturan Menteri Negara Agraria / KBPN ( Permenag/KBPN) No. 3 tahun 1997 jo. Pasal 2 ayat 2, Per KBPN No. 1 tahun 2006)yakni:

1.     Akta Jual beli,

2.     Akta tukar menukar,

3.     Akta Hibah,

4.     Akta Pemasukan ke dalam perusahaan ( inbreng),

5.     Akta pembagian bersama,

6.     Akta pemberian Hak guna bangunan/ hak pakai atas tanah hak milik,

7.     Akta pemberian hak tanggungan, dan

8.     Akta pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.( lihat pasal 2 ayat 2)

 

Dalam rangka pembuatan akta-akta tersebut ( 8 jenis akta ), ditentukan pula bentuk akta – akta yang wajib dipergunakan oleh PPAT, dan cara pengisiannya, serta formulir yang dipergunakan sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997, terdiri dari bentuk:

a.      Akta jual beli ( lampiran 16);

b.     Akta tukar menukar (lampiran 17);

c.      Akta hibah ( lampiran 18);

d.     Akta pemasukan ke dalam perusahaan (lampiran 19);

e.      Akta pembagian hak bersama (lampiran 20);

f.       Akta pemberian hak tanggungan ( lampiran 21);

g.      Akta pemberian hak guna bangunan / hak pakai atas tanah hak milik ( lampiran 22);

h.      Surat kuasa membebankan hak tanggungan ( lampiran 23 ); dan apabila dalam pembuatan akta tidak sebagaimana yang ditentukan tersebut maka merupakan pelanggaran. Permasalahan yang seringkali terjadi:

 

dalam pembuatan akta PPAT tidak mempergunakan bentuk, isi dan cara pembuatan akta yang telah ditentukan oleh permenag / KBPN No. 3 tahun 1997 dan tidak dihadiri oleh oleh para pihak atau kuasanya dan saksi sebagaimana yang ditentukan pasal 38 PP No. 24 tahun 1997 yo. Pasal 100 dan 101, Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997;

 

PPAT tidak membacakan akta yang dibuatnya kepada para pihak dan menjelaskan maksud, dan isi akta serta prosedur pendaftarannya sesuai ketentuan yang berlaku, sebagaimana pasal 101 Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1997.

 

PPAT melakukan pembuatan akta meskipun persyaratan yang ditentukan dalam pembuatan akta belum / tidak terpenuhi, sebagaimana diatur dalam pasal 39 PP No. 24 tahun 1997.

PPAT terlambat untuk mendaftarkan akta yang telah dibuatnya ke kantor Pertanahan setempat, sebagaimana di atur dalam pasal 40 PP No. 24 tahun 1997 jo. Pasal 103 Permenag / KBPN No. 3 tahun 1997.

 

 

PRINSIP YANG HARUS DILAKSANAKAN DALAM PEMBUATAN AKTA

 

Dalam rangka melaksanakan tugas pembuatan akta otentik atas 8 jenis perbuatan – perbuatan hukum yang merupakan bagian daripada kegiatan pendaftaran tanah, didalam ketentuan pasal 54 Peraturan KBPN No. 1 tahun 2006 ini menentukan kewajiban yang harus dilakukan PPAT pada saat pembuatan akta yang wajib harus dipenuhi oleh PPAT:

 

Sebelum pembuatan akta atas 8 jenis perbuatan hukum, PPAT wajib melakukan pengecekan/ pemeriksaan keabsahan sertifikat dan catatan lain pada kantor pertanahan setempat dan menjelaskan maksud dan tujuannya.

 

Dalam pembuatan akte tersebut tidak diperbolehkan memuat kata-kata " sesuai atau menurut keterangan para pihak" kecuali didukung oleh data formil.

 

PPAT berwenang menolak pembuatan akta yang tidak didasari data formil.

PPAT tidak diperbolehkan membuat akta atas 8 jenis perbuatan hukum dimaksud atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah ( NIB).

 

Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak terutang ( SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.

 

 

SANKSI

 

PPAT yang dalam melaksanakan tugasnya wajib mengikuti aturan, ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 38, pasal 39 dan pasal 40 (PP No. 24 tahun 1997), serta ketentuan dan petunjuk yang diberikan oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk dikenakan tindakan administrative berupa teguran tertulis sampai pemberhentian dari jabatannya sebagai PPAT, dengan tidak mengurangi kemungkinan dituntut ganti kerugian oleh pihak-pihak yang menderita kerugian yang diakibatkan oleh diabaikannya ketentuan-ketentuan tersebut (lihat Pasal 62 PP No. 24 tahun 1997).

 

Selanjutnya, dalam peraturan jabatan PPAT ( pasal 10 PP No. 37 tahun 1998 yo. PerKBPN No. 1 tahun 2006) menjelaskan ada dua klasifikasi pemberhentian dari jabatan PPAT, diberhentikan dengan hormat dan diberhentikan dengan tidak dengan hormat.

 

PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena: a. permintaan sendiri; b. tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan menteri atau pejabat yang ditunjuk; c. melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; d. diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI;

 

Sedangkan PPAT diberhentikan dengan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena: a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT; b. dijatuhi hukuman kurungan / penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima ) tahun atau lebihberat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

 

JENIS PELANGGARAN

 

Berdasarkan ketentuan pertanahan, pelanggaran dibedakan menjadi 2 jenis yang menjadi dasar pemberhentian PPAT.

 

Pelanggaran ringan antara lain:

1.     Memungut uang jasa melebihi ketentuan peraturan perundang-undangan;

2.     Dalam waktu 2 ( dua) bulan setelah berakhirnya cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali;

3.     Tidak menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya; 4. Merangkap jabatan.

 

Pelanggaran berat antara lain:

1.     Membantu melakukan permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

2.     Melakukan pembuatan akta sebagai permufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

3.     Melakukan pembuatan akta diluar daerah kerjanya kecuali yang dimaksud dalam pasal 4 dan 6 ayat (3);

4.     Memberikan keterangan yang tidak benar didalam akta yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan;

5.     Membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak diluar dan atau di dalam daerah kerjanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 46;

6.     Melanggar sumpah jabatan sebagai PPAT;

7.     Pembuatan akta PPAT yang dilakukan, sedangkan diketahui oleh PPAT yang bersangkutan bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan tidak hadir dihadapannya;

8.     Pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak untuk melakukan perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;

9.     PPAT tidak membacakan aktanya dihadapan para pihak maupun pihak yang belum atau tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;

10.  PPAT membuat akta dihadapan para pihak yang tidak berwenang melakukan perbuatan hukum sesuai akta yang dibuatnya;

11.  PPAT membuat akta dalam masa dikenakan sanksi pemberhentian sementara atau dalam keadaan cuti;

12.  Lain-lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan.

 

 

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

 

Sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 66 ayat (3) peraturan KBPN ini pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh Kepala Kantor Pertanahan sebagai berikut:

·       Membantu menyampaikan dan menjelaskan kebijakan dan peraturan pertanahan serta petunjuk tehnis pelaksanaan tugas PPAT yang telah ditetapkan oleh Kepala Badan dan peraturan perundang-undangan;

·       Memeriksa akta yang dibuat PPAT dan memberitahukan tercara tertulis kepada PPAT yang bersangkutan apabila ditemukan akta yang tidak memenuhi syarat untuk digunakan sebagai dasar pendaftaran haknya;

·       Melakukan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT.

 

 

*) Tulisan Dr. Boedi Djatmiko HA, SH.,M.hum

 


KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN JABATAN NOTARIS

KEWENANGAN, KEWAJIBAN, DAN LARANGAN

Bagian Pertama

Kewenangan

 

Pasal 15

(1) Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

(2) Notaris berwenang pula:

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

 

Bagian Kedua

Kewajiban

 

Pasal 16

(1) Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban:

a. bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;

b. membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris;

c. mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta;

d. memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;

e. merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;

f. menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;

g. membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga;

h. membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;

i. mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) had pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;

j. mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan;

k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan;

l. membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris;

m. menerima magang calon Notaris.

(2) Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.

(3) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta:

a. pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;

b. penawaran pembayaran tunai;

c. protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;

d. akta kuasa;

e. keterangan kepemilikan; atau

f. akta lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(4) Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari I (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap akta tertulis kata-kata "berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua".

(5) Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.

(6) Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

(7) Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.

(8) Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.

(9) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

 

Bagian Ketiga

Larangan

Pasal 17

Notaris dilarang:

a. menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;

b. meninggalkan wilayah jabatannya lebih dan 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah;

c. merangkap sebagai pegawai negeri;

d. merangkap jabatan sebagai pejabat negara;

e. merangkap jabatan sebagai advokat;

f. merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan Usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;

g. merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;

h. menjadi Notaris Pengganti; atau

i. melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

Rabu, 09 September 2009

Daftar Link Materi Pelengkap Perkuliahan Notariat MKN Unsri

Daftar Link Materi Pelengkap Perkuliahan Notariat MKN Unsri berupa Buku Pustaka, Opini, Catatan2, Artikel2, Contoh2 Akta bisa di lihat di :

http://www.4shared.com/dir/19552100/eaa2e9a3/NOTARIAT.html
http://www.4shared.com/account/dir/6268083/2921b84f/sharing.html?rnd=69
http://herman-notary.blogspot.com/
http://www.scribd.com/hmadriansyah
http://notary-herman.blogspot.com
http://kuliah-notariat.blogspot.com
http://andreij1688.multiply.com/
http://fb.esnips.com/user/hmadriansyah
http://groups.yahoo.com/group/Notaris_Indonesia/
http://groups.yahoo.com/group/ikatan-notaris-indonesia/




SEJARAH NOTARIAT.


(Materi Perkuliahan PJN MKN Unsri)

 

(1) PENDAHULUAN. 

Jika didasarkan kepada kenyataan, bahwa kita telah mempunyai perundang-undangan di bidang notariat, yakni "Peraturan Jabatan Notaris" (Notaris Reglement — Stbl. 1860 — 3), yang sekarang ini telah berumur kurang lebih 120 tahun, sebagai pengganti dari "Instructie voor notarissen in Indonesia" (Stbl. 1822 —11) dan bahkan jauh sebelumnya, yakni dalam tahun 1620 telah diangkat notaris pertama di Indonesia, seharusnya lembaga notariat ini telah dikenal dan meluas sampai ke kota-kota kecil dan bahkan ke desa-desa. Namun keadaannya tidaklah sedemikian, sehingga timbul pertanyaan, apa yang menjadi sebab tidak dikenalnya lembaga notariat ini secara meluas? 

Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan kurang meluasnya dikenal lembaga ini. Salah satu faktor di antaranya ialah, bahwa sebelum Perang Dunia II hampir seluruh notaris yang ada di Indonesia pada waktu itu adalah berkebangsaan Belanda, sedang jumlah notaris yang berkebangsaan Indonesia sangat sedikit jumlahnya. Pada waktu itu lembaga notariat seolah-olah dimonopoli oleh orang-orang Belanda. Lagi pula pada umumnya mereka mempunyai tempat kedudukan di kota-kota besar, sehingga mudah dimengerti bahwa hubungan mereka dapat dikatakan hanya dengan orang-orang Europa, Cina, Timur Asing dan bangsa asing lainnya, yang biasanya bermukim di . kota-kota besar pula serta sebagian kecil orang-orang Indonesia, yang terbatas pada golongan tertentu dalam masyarakat. 

Faktor lain yang tidak kurang pentingnya ialah, bahwa masuknya lembaga notariat di Indonesia ialah pada saat, di mana tingkat kesadaran dan budaya hukum dari masyarakat bangsa Indonesia pada waktu itu, suatu masyarakat yang bersifat primordial, yang masih berpegang teguh pada hukum adatnya dan kae, dah-kaedah religieus, masih rendah dan sempit, lebih-lebih lagi di mana para pengasuh dari lembaga notariat itu lebih menitik beratkan orientasinya pada hukum Barat, semuanya itu merupakan faktor-faktor penghambat dan yang tidak menguntungkan bagi perkembangan dan untuk dikenalnya lembaga notariat ini dengan cepat dan secara luar di kalangan masyarakat yang justru harus dilayaninya. 

Lembaga kemasyarakatan yang dikenal sebagai "notariat" ini timbul dari kebutuhan dalam pergaulan sesama manusia, yang menghendaki adanya alat bukti baginya mengenai hubungan hukum keperdataan yang ada dan/atau terjadi di antara mereka; suatu lembaga dengan para pengabdinya yang ditugaskan oleh kekuasaan umum (openbaar gezag) untuk di mana dan apabila undang-undang mengharuskan sedemikian atau dikehendaki oleh masyarakat, membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan otentik.

Berbicara mengenai sejarah notariat di Indonesia, kiranya tidak dapat terlepas dari sejarah lembaga ini di negara-negara Europa pada umumnya dan di negeri Belanda pada khususnya. Dikatakan demikian oleh karena perundang-undangan Indonesia  di bidang notariat berakar pada "Notariswet" dari negeri Belanda tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stbl. no. 20), sedang "Notariswet" itu sendiri pada gilirannya, sekalipun itu tidak merupakan terjemahan sepenuhnya, namun susunan dan isinya sebagian terbesar mengambil contoh dari undang-undang notaris Perancis dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803) yang dahulu pernah berlaku di negeri Belanda, sehingga apabila seseorang ingin untuk sungguh-sungguh mempelajari dan mengerti Peraturan Jabatan Notaris (P.J.N.) yang berlaku di Indonesia, suatu studi perbandingan mengenai ketiga perundang-undangan itu merupakan suatu syarat yang tidak dapat diabaikan. Perlunya hal itu lebih terasa lagi, mengingat kenyataan bahwa literatur di bidang notariat Indonesia  dapat dikatakan hampir tidak ada. Satu-satunya literatur yang ada di bidang notariat Indonesia yang lengkap adalah buku dari P. Vellema: "Het reglement op het notarisambt in Indonesia", sedang dari buku H.W. Roeby: "Het notarisambt en de notariele Ate" hanya Bagian I yang sempat diterbitkan dan yang hanya membahas 17 pasal dari "Notaris Reglement", sedang bagian-bagian selanjutnya hingga meninggalnya H.W. Roeby tidak pernah diterbitkan. 

Berlainan dengan di Indonesia, di negeri Belanda terdapat banyak literatur di bidang hukum notariat, di samping penerbitan-penerbitan berkala yang memuat karangan-karangan ilmiah di bidang hukum notariat. Buku-buku di bidang hukum notariat yang ditulis oleh para sarjana terkenal di negeri Belanda antara lain "De Notariswet", karangan J.C. Melis, buku mana dapat dikatakan terdapat di lemari buku dari setiap notaris di negeri Belanda dan isinya merupakan pengertian notarieel di seluruh negeri itu, di samping buku-buku karangan Prof. A. Pitlo, Mr. M.F.W. Treub, Mr. J. Wiarda, Prof. J.C. van Oven, Mr. Sprenger van Eyk — Libourel, Prof. Schermer, Mr. Eggens, Mr. A.J.B. Rijke, Mr. A.E.J. Bertling dan masih banyak lainnya. Tidak -kurang pentingnya karangan-karangan ilmiah di bidang notariat-yang secara teratur dimuat dalam W.P.N.R. (Weekblad voor Privaatrecht, Notarisambt en Registratie) dan W.N.R. (Weekblad voor Notariaat en Registratie), kedua-duanya merupakan penerbitan berkala yang sangat dikenal di negeri Belanda.

 

(2) Notariat dalam abad pertengahan di Italia.

Sejarah dari lembaga notariat yang dikenal sekarang ini dimulai pada abad ke-11 atau ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asai dari notariat yang dinamakan "Latijnse notariaat" dan yang tanda-tandanya tercermin dalam diri notaris yang diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya (honorarium) dari masyarakat umum pula. Dengan demikian "Latijnse notariaat" tidak berasal dari Rumawi Kuno, akan tetapi justru dinamakan demikian berdasarkan kenyataan bahwa lembaga notariat ini meluaskan dirinya dari Italia Utara.. Resepsi dari notariat ini yang menyebabkan meluasnya lembaga, notariat di mana-mana. Resepsi dari notariat ini ternyata juga menempuh jalan yang sama seperti yang ditempuh oleh gelombang peradaban pada abad-abad terdahulu, yakni mula-mula meluas di seluruh daratan Europa dan melalui negara Spanyol sampai ke negara-negara Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Negara-negara yang tidak turut mengambil bagian dalam resepsi "Latijnse notariaat" ini adalah Kerajaan Inggris dan sebagian besar dari negara Skandinavia. Walaupun di negara-negara yang disebut terakhir ini juga dikepal perkataan "notaris", akan tetapi perkataan itu mempunyai arti yang lain. 

Dalam pada itu pertanyaan dari mana asalnya notariat dahulu, hingga sekarang ini belum dapat terjawab, baik oleh para ahli sejarah maupun oleh para sarjana lainnya. Para sarjana Italia telah mencoba mengadakan penelitian sumbernya secara mendalam, namun mereka belum juga mencapai kesatuan pendapat mengenai itu. 

Dalam tahun 1888 diadakan peringatan delapan abad berdirinya sekolah hukum Bologna, yang merupakan universitas tertua di dunia. Pendiri dari universitas ini adalah Irnerius. Dikatakan bahwa sekolah dari Irnerius ini berasal dari suatu sekolah notariat. Apabila hal ini benar, maka tidak mengherankan, bahwa karya pertama yang mempunyai nilai yang dihasilkan oleh universitas Bologna ini adalah yang dipersembahkan bagi notariat, yakni: "FORMULARIUM TABELLIONUM" dari Irnerius sendiri.

 

Seratus tahun kemudian Rantero di Perugia mempersembahkan pula karyanya yang berjudul: "SUMMA ARTIS NOTARIAE". Karya-karya lainnya menyusul dan pada akhir abad ke-13 muncullah karya yang paling termasyhur "SUMMA ARTIS NOTARIAE" dari seorang penduduk Bologna bernama Rolandinus Passegeri. Masih banyak buku-buku lainnya yang ditulis oleh Rolandinus, terutama buku-buku di bidang notariat, antara fain "FLOS TENTAMENTORUM". Rolandinus merupakan "coryfee" dari para notaris sepanjang abad. Summa summanya dipakai sampai abad ke-17. 

Pembagian isi dan karya-karya tersebut masih tetap dipertahankan sampai dengan abad ke-19. Dimulai secara singkat dengan suatu Bab mengenai notariat sendiri, yakni mengenai, sejarahnya, tugas dari notaris, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh notaris, bentuk dari akta-akta dan apa yang harus dimuat dalam akta, seperti misalnya, pemberitahuan dari hari, tanggal dan tahun serta nama-nama dari para saksi, tentang salinan-salinan akta dan kewajiban merahasiakan isi akta-akta, protokol dan esensialia-esensialia lainnya yang berhubungan dengan pekerjaan notaris. 

Setelah pembahasan singkat ini, menyusul uraian-uraian dari bagian-bagian hukum perdata yang berhubungan dengan pekerjaan notaris di dalam praktek. Bagian keperdataan dari Summa dan Artis biasanya dibagi dalam 3 pokok, yakni

1. hukum perjanjian,

2. hukum waris dan

3. hukum acara. perdata. Bagian terakhir ini diadakan, mengingat tugas kepaniteraan dari para notaris pada badan-badan peradilan. 

Di dalam tahun 1568 seorang ahli hukum Perancis bernama Papon menulis bukunya yang termasyhur di bidang notariat: "Les trois notaires". 

Mula-mula lembaga notariat ini dibawa dari Italia ke Perancis, di negara mana notariat ini sepanjang masa sebagai suatu pengabdian kepada masyarakat umum, yang kebutuhan dan kegunaannya senantiasa mendapat pengakuan, telah memperoleh puncak perkembangannya. Dari Perancis ini pulalah pada permulaan abad ke-19 lembaga notariat sebagaimana itu dikenal sekarang, telah meluas ke negara-negara sekelilingnya dan bahkan ke negara-negara lain. 

Nama "notariat", dengan nama mana lembaga ini dikenal di mana-mana, berasal dari nama pengabdinya, yakni dari nama "notarius". Dalam buku-buku hukum dan tulisan-tulisan Rumawi klassik telah berulang kali ditemukan nama atau titel "notarius" untuk menandakan suatu golongan orang-orang yang melakukan suatu bentuk pekerjaan tulis-menulis tertentu, akan tetapi yang dinamakan "notarius" dahulu tidaklah sama dengan "notaris" yang dikenal sekarang, hanya namanya yang sama. 

Arti dari nama "notarius" secara lambatlaun berubah dari artinya semula. Dalam abad ke-2 dan ke-3 sesudah Masehi dan bahkan jauh sebelumnya, sewaktu nama atau titel itu dikenal secara umum, yang dinamakan para "notarii" tidak lain adalah orang-orang yang memiliki keahlian untuk mempergunakan suatu bentuk tulisan cepat di dalam menjalankan pekerjaan mereka, yang pada hakekatnya mereka itu dapat disamakan dengan yang dikenal sekarang ini sebagai "stenografen". 

Sepanjang pengetahuan, para "notarii" mula-mula sekali memperoleh namanya itu dari perkataan "nota literaria", yaitu "tanda tulisan" atau "character", yang mereka pergunakan untuk menuliskan atau menggambarkan perkataan-perkataan. 

Untuk pertama kalinya nama "notarii" diberikan kepada orang-orang yang mencatat atau menuliskan pidato yang diucapkan dahulu oleh Cato dalam senaat Rumawi, dengan mempergunakan tanda-tanda kependekan (abbreviations atau characters). Kemudian dalam bagian kedua dari abad ke-5 dan dalam abad ke-6 nama. "notarii" diberikan secara khusus kepada para penulis pribadi dari para Kaisar, sehingga dengan demikian nama "notarii" kehilangan arti umumnya dan pada akhir abad ke-5 yang diartikan dengan perkataan "notarii" tidak lain adalah "pejabat-pejabat istana", yang melakukan berbagai ragam pekerjaan kanselarij Kaisar dan yang semata-mata merupakan pekerjaan administratip. 

Berhubung para pejabat istana ini menduduki berbagai macam tempat di dalam administrasi yang bersangkutan, maka dengan sendirinya terdapat perbedaan tingkat di kalangan mereka sendiri. Pada waktu itu terdapat 5 tingkatan tertinggi dan orang yang menempati tingkatan tertinggi dari kelima tingkatan itu merupakan orang kedua dalam administrasi itu. Pekerjaan mereka terutama adalah untuk menuliskan segala sesuatu yang dibicarakan dalam konsistorium Kaisar pada rapat-rapat yang membahas soal-soal di bidang kenegaraan. Juga para "notarii" yang mempunyai kedudukan tinggi ini tidak mempunyai persamaan dengan notaris yang, dikenal sekarang. Yang sama hanya nama, akan tetapi institut dari "tribunii notarii kekaisaran" ini mempunyai pengaruh besar di dalam terjadinya notariat sekarang.

  

(3) Tabeliones.

Selain para "notarii" juga pada permulaan abad ke-3 sesudah Masehi telah dikenal yang dinamakan "tabeliones". Sepanjang mengenai' pekerjaan yang dilakukan oleh para "tabeliones" ini, mereka mempunyai beberapa persamaan dengan para pengabdi dari notariat, oleh karena mereka adalah orang-orang yang ditugaskan bagi kepentingan masyarakat umum untuk membuat akta-akta dan lain-lain surat, walaupun jabatan atau kedudukan mereka itu tidak mempunyai sifat kepegawaian dan juga tidak ditunjuk atau diangkat oleh kekuasaan umum untuk melakukan sesuatu formalitas yang ditentukan oleh undang-undang. 

Para "tabeliones" ini lebih tepat untuk dipersamakan dengan apa yang dikenal sekarang sebagai "zaakwaarnemer" daripada sebagai notaris sekarang ini. Para "tabeliones" ini telah dikenal semasa pemerintahan Ulpianus, sedang mengenai pekerjaan para "tabeliones" ini mulai diatur perundang-undangannya secara luar dalam suatu konstitusi dari tahun 537 oleh Kaisar Justinianus, akan tetapi juga tidak memberikan sifat kepegawaian pada jabatan itu. Oleh karena pekerjaan para "tabeliones" ini mempunyai hubungan erat dengan peradilan, mereka ditempatkan di bawah pengawasan pengadilan. 

Berdasarkan kenyataan bahwa para "tabeliones" dari pengangkatannya oleh yang berwajib tidak memperoleh wewenang untuk membuat akta-akta dan surat-surat lain, maka akta-akta dan surat-surat yang mereka perbuat itu tidak mempunyai kekuatan otentik, sehingga akta-akta dan surat-surat tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang dibuat di bawah tangan. Kekuatan pembuktian dari akta yang dibuat oleh para "tabeliones" pada hakekatnya jauh tertinggal dari yang dibuat di hadapan yang berwajib, kepada surat-surat yang disebut terakhir mana, sebagai-mana halnya dengan surat ketetapan dari badan peradilan dalam arti sempit, diberikan yang dinamakan "publics fides".

(4) Tabularii.

Di samping para "tabeliones" masih terdapat suatu golongan' orang-orang yang menguasai teknik menulis, yakni yang dinamakan "tabularii", yang memberikan bantuan kepada masyarakat di dalam pembuatan akta-akta dan surat-surat. Para "tabularii" ini adalah pegawai negeri yang mempunyai tugas mengadakan dan memelihara pembuktian keuangan kota-kota dan juga ditugaskan untuk melakukan pengawasan atas arsip dari magisrat• kota-kota, di bawah ressort mana mereka berada. Oleh karena mereka juga dinyatakan berwenang untuk dalam beberapa hal tertentu membuat akta-akta, dengan sendirinya masyarakat mempergunakan tenaga mereka, sehingga pada zaman pemerintahan Justinianus (527 — 565), mereka dalam soal-soal pembuatan akta dan surat  merupakan saingan berat bagi para "tabeliones". 

Semasa kekuasaan dari Longobarden (568 — 774), keadaan yang berkembang pada masa kerajaan West Romein, dapat dikatakan telah berlangsung tanpa perubahan dan para "tabeliones" tetap memberikan jasa jasa mereka kepada masyarakat umum, tidak hanya kepada orang-orang Rumawi yang telah ditaklukkan, akan tetapi juga kepada orang-orang Longobarden sendiri. Dari kebiasaan raja-raja Longobarden untuk mengangkat para "notarii" yang dipekerjakan pada kanselarij kerajaan dari kumpulan-kumpulan para "tabeliones" dan juga berdasarkan kenyataan bahwa para "tabeliones" yang dipilih menjadi "Notarif' lebih terhormat di mata rakyat daripada "para penulis biasa", yang menyebabkan masyarakat lebih suka mempergunakan tenaga mereka daripada para "tabeliones" biasa, maka di kalangan para "tabeliones" segera terjadi kebiasaan untuk tanpa pengangkatan menjadi pegawai istana, menamakan dirinya "notarii" dan karenanya di dalam daerah kekuasaan raja-raja Longobarden nama "tabellio" diganti menjadi "notarius". 

Demikianlah pada sa'at oleh Karel de Grote diadakan perubahan-perubahan dalam hukum peradilan, di Italia dikenal "notarii" untuk kanselarij raja-raja dan kanselarij Paus, sedang untuk tiap-tiap gereja induk dan pejabat-pejabat agama yang mempunyai kedudukan lebih rendah dari Paus, demikian juga untuk kepentingan masyarakat umum untuk menetapkan atau menyatakan hubungan-hubungan hukum keperdataan di antara mereka, di dalam daerah kekuasaan Paus dikenal "tabelio" dan "clericus notarius publicus" an dan di dalam kerajaan Longobarden dan juga sesudah jatuhnya kerajaan ini (dengan direbutnya Pavia dan penurunan raja Desiderius dari takhtanya oleh Karel de Grote) dikenal tabellio yang menamakan dirinya "notarius" dan "notarii", yang diangkat sebagai pegawai. 

Salah satu perubahan terpenting dalam notariat di bidang peradilan telah dilakukan oleh Karel de Grote, yakni pemberian perintah kepada para Komisaris Raja guna menjamin pelaksanaan peraturan-peraturan perundang-undangan di berbagai bagian dari kerajaan Perancis, untuk memperbantukan seorang "notarius" atau "cancellarius" pada badan-badan peradilan di tiap-tiap daerah kekuasaan seorang "graaf', terutama dengan tugas untuk menuliskan semua apa yang terjadi pada sidang-sidang peradilan tersebut. 

Setelah mengalami berbagai perkembangan, maka lambatlaun -"tabellionaat" dan "notariat" (golongan para notaris yang diangkat) bergabung dan menyatukan diri dalam suatu badan yang dinamakan "collegium" dari para noratius yang diangkat. Para  notarius yang tergabung dalam collegien ini dapat dipandang sebagai para pejabat yang satu-satunya berhak untuk membuat akta-akta, baik di dalam maupun di luar pengadilan (gerechtelijke dan buitengerechtelijke akten). 

Demikianlah terjadinya notariaat di Italia, yang menunjukkan banyak persamaan dengan notariat sekarang, walaupun masih terdapat perbedaan penting di antara yang satu dengan yang lain. Terdapat persamaan oleh karena notaris yang diangkat itu dalam kedudukannya sebagai pejabat, sekalipun tidak secara tegas dinyatakan berwenang, untuk itu oleh kekuasaan umum (openbaar gezag), membuat akta untuk masyarakat, sebagaimana halnya dengan para notaris sekarang. Akan tetapi terdapat perbedaan besar, oleh karena akta yang dibuat oleh para notaris yang diangkat itu tidak mempunyai kekuatan otentik, juga tidak mempunyai kekuatan eksekutorial, demikianjuga tidak mendapat kepercayaan, sebagaimana yang dimiliki oleh akta-akta yang dibuat oleh para notaris sekarang.

Kalau diperhatikan kedudukan dari para notaris itu, maka dalam arti kata yang sebenarnya mereka merupakan suatu kelas yang terhormat di dalam masyarakat, bahkan banyak di antara mereka yang sampai dapat menduduki jabatan-jabatan tertinggi di dalam pemerintahan. Seperti misalnya Rolandinus Passegeri yang disebut di atas, yang menjadi penguasa tidak bermahkota dari Bologna, lawan dari Frederik II. Demikian pula yang diperbuat oleh Coluccio Salutati di Florence dan Alberto Mussato di Padua, kedua-duanya semula adalah notaris, akan tetapi melalui jenjang-jenjang kepegawaian menjadi penguasa dari kota  di mana mereka bertempat tinggal.

 

(5) Masa kemerosotan di bidang notariat.

Setelah notariat sampai pada puncak perkembangannya, maka pada akhir abad ke-14 terjadilah kemerosotan di bidang notariat. Mulai sejak masa itu jabatan notaris lambat-laun jatuh di tangan orang-orang yang tidak mempunyai keahlian di bidang notariat. Hal ini sebagian besar terjadi disebabkan tindakan dari penguasa sendiri pada waktu itu, yang karena kekurangan uang, menjual jabatan-jabatan notaris kepada orang-orang, tanpa mengindahkan apakah mereka ini mempunyai cukup keahlian di bidang notariat. Tidak mengherankan apabila karenanya dari kalangan masyarakat timbul dan terdengar banyak kluhan-keluhan mengenai kebodohan dari para notaris dan kekurang kepercayaan terdahap mereka. Dari orang-orang yang merasa dirugikan terdengar ucapan-ucapan: "Ognorantia notariorum, pans advocatorum", yang berarti "Kebodohan dari para notaris adalah pencaharian (roti) bagi para pengacara" dan "Stultitia notariorum mundus perit", yang berarti "Dunia akan mengalami kehancurannya karena kebodohan para notaris". Lazimnya kalau sekali terjadi kemerosotan, maka untuk memperbaiki kembali keadaan itu akan memerlukan sangat banyak waktu. Kemerosotan di bidang notariat ini tidak terbatas di Italia saja, akan tetapi juga terjadi di negara-negara lain yang mengenai lembaga notariat ini. Hal ini terbukti dari ucapan-ucapan/kata-kata yang mengandung sindiran terhadap notariat di berbagai negara, seperti misalnya: "Een van de negen plagen der wereld is het etcetera der notarissen"; "Aus drei Dingen macht der Teufel seinen Salat: aus Advokatenzungen, aus Notarfingern and das dritte halt er sich vor"; "Notai, birri e messi, non timpaccier con essi" (hindarilah para notaris, para abdi peradilan dan polisi). 

 

(6) Perkembangan notariat di Perancis.

Lembaga notariat ini, yang seperti dikatakan di atas perkembangannya dimulai di Italia Utara, dalam abad ke-13 dibawa ke Perancis, di mana notariat memperoleh puncak perkembangannya. Raja Lodewijk de Heilige yang dianggap sebagai peletak dasar bagi kesatuan ketatanegaraan Perancis, banyak berjasa di dalam pembuatan perundang-undangan. Hasil pekedaannya dalam pembuatan perundang-undangan di berbagai lapangan masih tetap mempunyai nilai yang tinggi. Juga ia banyak berjasa di dalam pembuatan perundang-undangan di bidang notariat, yang menjadi contoh bagi perundang-undangan selanjutnya di bidang notariat.

 

Revolusi Perancis tidak hanya menjadi pendorong untuk mengadakan kodifikasi, akan tetapi juga untuk pengundangan dari berbagai perundang-undangan bagi daerah-daerah bagian dari kerajaan Perancis. Pada tanggal 6 Oktober 1791 di Perancis diundangkan undang-undang di bidang notariat. 

Dengan mulai berlakunya undang-undang baru tersebut, maka hapuslah perbedaan yang terdapat sebelumnya di antara berbagai macam notaris, sehingga berdasarkan undang-undang tersebut hanya dikenal satu macam notaris. Undang-undang tersebut kemudian diganti lagi, yakni dengan undang-undang dari 25 Ventose an XI (16 Maret 1803). Berdasarkan undang-undang ini para notaris dijadikan "ambtenaar" dan sejak itu mereka berada di bawah pengawasan dari "Chambre des notaires".

 

Untuk pertama kalinya berdasarkan undang-undang tersebut terjadilah pelembagaan dari notariat yang dimulai di Perancis. Tujuan utama dari pelembagaan notariat ialah untuk memberikan jaminan yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat, oleh karena tidak boleh dilupakan, bahwa notariat mempunyai fungsi yang harus diabdikan bagi kepentingan masyarakat umum dan tidaklah dimaksudkan oleh undang-undang untuk memberikan kepada notariat suatu kedudukan yang kuat bagi kepentingan notariat itu sendidi, akan tetapi untuk kepentingan umum. Kalaupun kepada notariat diberikan oleh undang-undang wewenang dan kepercayaan istimewa, semuanya tidak lain dimaksudkan, agar notaris dapat melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya untuk kepentingan umum dan bukan untuk kepentingannya sendiri. 

Jika diperhatikan apa yang diuraikan di atas, maka dapatlah diketahui, bahwa proses pemberian bentuk perundang-undangan bagi notariat ini telah menempuh suatu jalan yang tidak mudah dan suatu jangka waktu yang tidak kurang dari lima abad. 

 

(7) Sejarah notariat di negeri Belanda.

Pada sa'at puncak perkembangannya itu dan setelah terjadinya untuk pertama kalinya pelembagaan dari notariat ini, notariat Perancis sebagaimana itu dikenal sekarang, dibawa ke negeri Belanda dan dengan dua bush dekrit Kaisar, masing-masing tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811 - dinyatakan berlaku di seluruh negeri Belanda, terhitung mulai tanggal 1 Maret 1811. Dengan adanya kedua dekrit itu, maka terdapatlah di negeri Belanda suatu peraturan yang berlaku umum yang pertama di bidang notariat, di mana sebelumnya tidak ada satu ketentuan umum dan yang serupa yang berlaku di berbagai bagian dari negeri Belanda, sebagaimana yang ada di Perancis. 

Sejak kapan adanya notariat di negeri Belanda dan dari mana asalnya, artinya bukan notariat yang berkembang di Italia Utara dan kemudian dibawa ke Perancis, tidak diketahui dengan pasti. 

Kebetulan pula para sarjana dan para ahli sejarah di negeri Belanda sangat sedikit sekali memberikan perhatian di bidang perkembangan hukum ini, sehingga dapat dimengerti bahwa sejarah dari notariat ini, sebagaimana dikatakan oleh Prof. A. Pitlo masih merupakan suatu daerah yang dapat dikatakan belum diolah. 

Perundang-undangan notariat Perancis yang diberlakukan di negeri Belanda itu tidak segera hilang setelah lepasnya negara itu dari kekuasaan Perancis dalam tahun 1813. Baru dalam tahun 1842, setelah berulang-ulang adanya desakan dari rakyat Belanda untuk membentuk suatu perundang-undangan nasional yang sesuai dengan aspirasi rakyat di bidang notariat, maka dikeluarkanlah Undang-undang tanggal 9 Juli 1842 (Ned. Stb. no. 20) tentang jabatan notaris. Walaupun dari mulanya dimaksudkan untuk menyusun suatu perundang-undangan nasional mengenai jabatan notaris, namun menurut kenyataannya yang terjadi tidak lain daripada mengadakan perubahan-perubahan dalam "Ventosewet" itu sendiri.Seluruh bangunan dari undang-undang tersebut tetap seperti semula. 

Perbedaan-perbedaan terpenting antara Ventosewet dan De Notariswet antara lain adalah sebagai berikut: 

1. Ventosewet mengenal 3 golongan notaris, yakni:

  1. hofnotarissen,
  2. Arrondissementsnotarissen dan
  3. kantonnotarissen, yang berturut-turut mempunyai tempat kedudukan dan menjalankan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum dari "Gerechtshof', "Rechtbank" dan "Kantongerecht". 

Notariswet hanya mengenal satu macam notaris dan tiap-tiap notaris, dengan tidak mengadakan pembedaan, berwenang untuk menjalankan tugas jabatannya di seluruh daerah hukum dari "Rechtbank", di dalam daerah hukum mana notaris itu bertempat kedudukan. 

2. Berdasarkan ketentuan dalam Ventosewet diadakan yang dinamakan "Chambres des notaires" yang mempunyai tugas rangkap, yaitu melakukan pengawasan terhadap para notaris dan menguji para notaris. Oleh karena badan ini menurut penilaian dari pembuat undang-undang tahun 1842 di dalam menjalankan tugasnya tidak mencapai tujuannya, maka badan ini dihapuskan dan pengawasan terhadap para notaris diserahkan kepada badan-badan peradilan, sedang tugas untuk mengadakan ujian para notaris mula-mula dipercayakan kepada "gerechtshoven" dan kemudian dalam tahun 1878 dijadikan Ujian Negara. 

3. Ventosewet mengharuskan adanya suatu masa magang (werkstage) bagi para calon notaris selama 6 tahun dan penyerahan suatu sertifikat yang dinamakan "certificate de moralite et de capacite" (keterangan berkelakuan baik dan memiliki kecakapan) dari calon pelamar yang diberikan oleh "Chambre de discipline" dari daerah hukum kamar, di mana calon notaris itu hendak menjalankan tugas jabatannya. Dalam tahun 1842 masa magang (werkstage) ini dihapuskan berdasarkan pertimbangan yang semata-mata bersifat teoritis dan tidak tepat, bahwa tidak menjadi soal dari mana seseorang mendapatkan keahliannya itu, asai saja ia memilikinya dan lagi pula suatu jangka waktu tertentu mungkin bagi seseorang adalah terlalu pendek, sedang bagi yang lain terlalu lama, sehingga sebagai penggantinya diadakan Ujian Negara. 

4. Menurut Ventosewet suatu akta notaris hanya dapat dibuat di hadapan 2 notaris tanpa saksi-saksi atau di hadapan seorang notaris dan 2 saksi. Notariswet 1842 menghapuskan ketentuan itu dan menetapkan pembuatan akta dilakukan di hadapan seorang notaris dan 2 saksi — kecuali untuk pembuatan akta superskripsi dari surat  wasiat rahasia — dengan ancaman batal demi hukum, jika tidak dilakukan demikian. 

Terhadap undang-undang tahun 1842 ini banyak suara-suara yang tidak puns dan sangat diinginkan untuk mengadakan- peninjauan yang menyeluruh dari undang-undang itu, namun demikian undang-undang tersebut hingga kini masih tetap berlaku, sungguhpun telah banyak mengalami perubahan. 

Demikianlah selayang pandang sejarah terjadinya dan perkembangan dari notariat di Europa, yang kemudian melalui negeri Belanda dibawa ke Indonesia  dan yang dikenal sekarang ini sebagai lembaga notariat, dengan para notaris sebagai pengabdinya.

 

(8) Notariat dalam abad ke-17 di Indonesia.

Notariat seperti yang dikenal di zaman "Republik der Verenigde Nederlanden" mulai masuk di Indonesia  pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya "Oost Ind. Compagnie" di Indonesia. 

Pada tanggal. 27 Agustus 1620, yaitu beberapa bulan setelah dijadikannya Jacatra sebagai ibukota (tanggal 4 Maret 1621 dinamakan "Batavia"), Melchior Kerchem, Sekretaris dari "College van Schepenen" di Jacatra, diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. Adalah sangat menarik perhatian cara pengangkatan notaris pada waktu itu, oleh karena berbeda dengan pengangkatan para notaris sekarang ini, di dalam akta pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris sekaligus secara singkat dimuat suatu instruksi yang menguraikan bidang pekerjaan dan wewenangnya, yakni untuk menjalankan tugas jabatannya di kota Jacatra untuk kepentingan publik. Kepadanya ditugaskan untuk menjalankan pekedaannya itu sesuai dengan sumpah setia yang diucapkannya pada waktu pengangkatannya di hadapan Baljuw di Kasteel Batavia  (yang sekarang dikenal sebagai gedung Departemen Keuangan — Lapangan Banteng), dengan kewajiban untuk mendaftarkan semua dokumen dan akta yang dibuatnya, sesuai dengan bunyinya instruksi itu. 

Sekedar untuk pengetahuan cara pengangkatan seorang notaris pada abad ke-17, di bawah ini dimuat "in extenso" akta pengangkatan notaris Melchior Kerchem tersebut: 

"Jan Pieterz. Coen, Gouverneur-Generaal over alle landen, eylanden enz. alien dengenen die desen sullen sien of hooren lesen, saluijt, doen te weten, alsoo wij tot gerief ende ten dienste van de inwoonderen ende traficanten deser stede Jacatra goet ende hooch noodig achten eenen notarium publicum te creeeren en de te admiteeren. So ist, dat wij den eersamen Melchior Kerchem, Secretaris van't collegie van schepenen deser stede, ons van zijn ervarenheyt ende suffisantie tot het voors. ampt wel ende ten vollen onderricht houdende, gecreert, gestelt ende geadmiteerd hebben, gelijck wij hem creeren, stellen en admiteeren mits desen, omme het ampt van notarius publicum binnen het ressort ende jurisdictie deser stede Jacatra te mogen bedienen ende exerceeren, alle libellen, codicillen, instrumenten, preparatoir informatie, contracts van coopmanschappe, huweiyekse voorwaerden, testamenten ende andre acten ende stiupulatien nodich ende ten dienste der gemeente, gaende en comende man te passeren ende expedieeren, mits dat volgens den eedt van getrouwicheyt in onze handen gedaen, gehouden sal wesen alle instrumenten ende notariale acten, sonder eenige frauds sinceer ende suiverlyck te coucheren ende passeren ende voorst in alles te doen, wat een goet ende getrouw notarius toestaet ende behoort te doen. 

Ordonneeren en bevelen derhalve alien inwoonderen, in dienst wesende persoonen ende traficanten in de jurisdictie deser stede, onder ons gebiet ende gehoorsaemheyt sorterende den voors. Ed. Melchior Kerchem voor sulk aan te nemen, erkennen ende respecteren,. Actum in 't fort Jacatra." 

Lima tahun kemudian, yakni pada tanggal 16 Juni 1625, setelah jabatan "notaris public" dipisahkan dari jabatan "secretaries van den gerechte" dengan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 12 Nopember 1620, maka dikeluarkanlah instruksi pertama untuk para notaris di Indonesia, yang hanya berisikan 10 pasal, di antaranya ketentuan bahwa para notaris terlebih dahulu diuji dan diambil sumpahnya. 

Adapun sumpah yang harus diucapkan oleh seorang notarius pada waktu itu sebelum menjalankan jabatannya, berbunyi sebagai berikut:

"Ik sweere en beloove dat ik mijn ampt in alle vlijticheyt ende getrouwicheyt bedienen sal, dat ick in 't selve geen valsheyt plegen, nochte eenige ongeoorloofde ende verboden instrumenten voor yemant van wat qualiteyt hij zij maecken sal, dat ick het secreet van parthije niet en sal openbaren, dat ick mij voorts in alles soo, draegen sal als een vlijtich, vroom, eerlijck ende getrouwe notaris toe staet; dit en sal ick niet naer laeten om eenige giften ende gaven, gelt of goet, haet of nijt, ofte eenig dinck terwerelt, soo waerlijk most mij Godt Almachtich helpen." 

Juga di dalam instruksi tersebut ditentukan, bahwa para notaris wajib menjalankan jabatannya itu "sonder respect off aensien van persoonen." 

Namun menurut kenyataannya para notaris pada waktu itu tidak mempunyai kebebasan di dalam menjalankan jabatannya itu, oleh karena mereka pada masa itu adalah "pegawai" dari Cost Ind. Compagnie. Bahkan dalam tahun 1632 dikeluarkan plakkaat yang berisi-ketentuan bahwa para notaris, sekretaris dan pejabat lainnya dilarang untuk membuat akta-akta transport, jual-beli, surat wasiat dan lain-lain akta, jika tidak mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Gubernur Jenderal dan "Raden van Indie", dengan ancaman akan kehilangan jabatannya. Dalam pada itu di dalam praktek ketentuan tersebut tidak dipatuhi oleh pejabat-pejabat yang bersangkutan, sehingga akhirnya ketentuan itu menjadi tidak terpakai lagi. 

Setelah pengangkatan Melchior Kerchem sebagai notaris dalam tahun 1620, jumlah notaris terns bertambah, walaupun lambat, yang disesuaikan menurut kebutuhan pada waktu itu. Dalam tahun 1650 ditentukan, bahwa di Batavia akan diadakan hanya 2 orang notaris dan untuk menandakan bahwa jumlah ini telah mencukupi, dikeluarkanlah bersamaan dengan itu ketentuan, bahwa para "prokureur" dilarang untuk mencampuri pekerjaan notaris, dengan maksud agar dengan cara demikian masing-masing golongan dapat memperoleh penghasilannya secara adil. 

Dalam tahun 1654 jumlah notaris di Batavia ditambah lagi menjadi 3 dan kemudian dalam tahun 1751 jumlah ini menjadi 5, dengan ditentukan bahwa 4 dari padanya harus bertempat tinggal di dalam kota, yakni 2 di daerah bagian Barat dan 2 di bagian Timur, sedang yang seorang lagi harus tinggal di luar kota, apakah itu di bagian Selatan ataupun di salah satu "gracht" di luar "Rotterdammerpoort" di bagian Utara dari Jasserbrug. 

Di daerah di luar Batavia  yang dinamakan "buitenposten", juga terdapat notaris. Petunjuk mengenai itu diketemukan dalam suatu dokumen resmi (regeringsstuk) dari tahun 1686, akan tetapi keterangan-keterangan mengenai ketentuan-ketentuan yang diperlakukan terhadap mereka yang menjalankan jabatan notaris ini, yang berasal dari waktu itu, tidak diketahui. Namun banyak petunjuk yang memberikan dugaan, bahwa- yang ditugaskan untuk menjalankan jabatan itu adalah orang-orang yang disebut "gequalificeerde van de penne." 

Sejak masuknya notariat di Indonesia sampai tahun 1822, notariat ini hanya diatur oleh 2 buah reglemen yang agak terperinci, yakni dari tahun 1625 dan 1765. Reglemen-reglemen tersebut sering mengalami perubahan-perubahan, oleh karena setiap kali apabila untuk itu dirasakan ada kebutuhan, bahkan juga hanya untuk pengangkatan seorang notaris, maka peraturan yang ada dan juga sering terjadi peraturan yang sebenarnya tidak berlaku lagi, diperbaharui, dipertajam atau dinyatakan berlaku kembali ataupun diadakan peraturan tambahannya. 

Menurut kenyataannya semuanya itu dilakukan semata-mata hanya untuk kepentingan dari yang berkuasa pada waktu itu dan sekali-kali bukan untuk kepentingan umum, sebagaimana halnya sekarang ini. Salah satu ketentuan dalam reglemen-reglemen tersebut ialah larangan kepada para Komisaris dari Raad van Justitie di Batavia yang dimuat dalam Reglemen tahun 1765, agar di dalam melakukan inspeksi atas protokol para notaris tidak mengadakan pemeriksaan lebih jauh atas surat-surat wasiat dan akta-akta lain daripada yang di perlukan untuk menjalankan tugas itu, lagi pula mereka harus menjaga agar para Sekretaris atau para pegawai yang disumpah, yang membantu mereka di dalam melakukan inspeksi itu tidak turut melakukan pemeriksaan itu. Alasan untuk mengeluarkan peraturan itu ialah disebabkan adanya laporan pada waktu penyerahan rancangan "Nieuwe Bataviasche Rechten" kepada Pemerintah Pusat dalam tahun 1761, bahwa di Batavia terdengar desas-desus adanya usaha dari Komisaris Raad van Justitie di Batavia untuk mengetahui seluruh isi protokol dari para notaris dan dengan demikian dapat mengetahui rahasia dari seluruh kota Batavia. 

Selama pemerintahan antara (tussenbestuur) dari Inggeris(1795-1811) peraturan-peraturan lama di bidang notariat yang berasal dari "Republiek der Vereenigde Nederlanden" tetap berlaku dan bahkan setelah berakhirnya kekuasaan Inggeris di Indonesia, peraturan-peraturan lama tersebut tetap berlaku tanpa perubahan sampai dengan tahun 1822. 

Dalam hubungan ini perlu diperhatikan, bahwa "Ventosewet" yang diberlakukan di negeri Belanda tidak pernah dinyatakan berlaku di Indonesia, juga tidak sesudah restaurasi dari negeri Belanda dalam tahun 1813, sehingga yang berlaku di Indonesia adalah peraturan-peraturan lama yang berasal dari "Republiek der Vereenigde Nederlanden". Dengan demikian maka kedudukan notaris di Indonesia pada waktu itu adalah sama dengan kedudukan notaris pada masa pemerintahan "Republiek der Vereenigde Nederlanden" sebelum negara itu jatuh di bawah kekuasaan Perancis, sedang di negeri Belanda sendiri sejak tanggal 1 Maret 1811 notariat telah dilembagakan berdasarkan dekrit-dekrit tanggal 8 Nopember 1810 dan tanggal 1 Maret 1811, seperti yang diterangkan di atas. 

Di dalam tahun 1822 (Stb. no. 11) dikeluarkan "Instructie voor de notarissen in Indonesia", yang terdiri dari 34 pasal. Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan dalam Instructie tersebut, ternyata tidak lain daripada suatu resume dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya, suatu bunga rampai dari plakkat-plakkat yang lama. 

Di dalam penyusunan dari Instructie ini ternyata tidak ada dituruti ketentuan-ketentuan seperti yang terdapat dalam "Ventosewet", sebagaimana itu dahulu berlaku di negeri Belanda. Satu-satunya pasal yang agak menyerupai ketentuan dalam "Ventosewet" adalah pasal 1 dari Instructie tersebut, yang mengatur secara hukum batas-batas tugas dan wewenang dari seorang notaris dan yang kiranya dapat dipandang sebagai langkah pertama di dalam pelembagaan notaris di Indonesia, yang menyatakan, bahwa "Notaris adalah pegawai umum yang harus mengetahui seluruh perundang-undangan yang berlaku, yang dipanggil dan diangkat untuk membuat akta-akta dan kontrak-kontrak, dengan maksud untuk memberikan kepadanya kekuatan dan pengesahan, menetapkan dan memastikan tanggalnya, menyimpan asli atau minutanya dan mengeluarkan grossenya, demikian juga salinannya yang sah dan benar."

Selama 38 tahun usianya, Instructie tersebut tidak banyak mengalami perubahan. 

Dalam tahun 1860 Pemerintah Belanda pada waktu itu menganggap telah tiba waktunya untuk sedapat mungkin menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan yang berlaku di negeri Belanda dan karenanya sebagai pen,,', anti dari peraturan-peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang dikenal sekarang ini pada tanggal 26 Januari 1860 (Stb. no. 3) mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860. Dengan diundangkannya "Notaris Reglement" ini, maka diletakkanlah dasar yang kuat bagi pelembagaan notariat di Indonesia.

Sebagaimana dahulu halnya dengan ";Notariswet" yang berlaku di negeri Belanda, dari mana lahirnya Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) yang berlaku di Indonesia, pada waktu diundangkan dan juga sesudahnya tidak mendapat sambutan yang baik dari masyarakat Belanda, hal serupa juga dialami oleh Peraturan Jabatan Notaris ini, tidak hanya dari pihak yang berhubungan langsung dengan peraturan ini, akan tetapi juga dari pihak-pihak di luar notariat.

 

Mr. L.A.P.T. Buijn (bekas Direktur van Justitie) dalam Ind. Rijdschrift v.h. Recht, bagian 18 fol. 25 dst. memberikan pendapatnya mengenai peraturan tersebut sebagai berikut: 

"Sungguh menimbulkan kesan yang memilukan di dalam menemukan, bahwa reglemen itu penuh dengan peraturan hukuman. Reglemen itu lebih merupakan suatu reglemen disiplin (tucht) untuk suatu batalyon penghukum daripada suatu reglemen yang bertujuan untuk mengatur dan menentukan bidang tugas dari para pejabat umum, dari siapa oleh kepentingan Negara dituntut agar supaya martabat dan wataknya dipertahankan dan yang di dalam barisan para pejabat mempunyai/mengambil tempat yang terhormat dan tinggi." 

Jika diperhatikan isi pasal-pasal dalam Peraturan Jabatan Notaris tersebut, maka spa yang dikatakan oleh Mr. Buijn di atas memang adalah tepat sekali. Peraturan Jabatan Notaris terdiri dari 66 pasal, dari mana 39 pasal mengandung ketentuan-ketentuan hukuman, di samping banyak sanksi-sanksi untuk membayar penggantian biaya, ganti rugi dan bunga. Ke-39 pasal tersebut terdiri dari 3 pasal mengenai hal-hal yang menyebabkan hilangnya jabatan (ambtsverbeurte), 5 pasal tentang pemecatan, 9 pasal tentang pemecatan sementara dan 22 pasal mengenai denda. 

Pasal-pasal yang terdapat dalam Peraturan Jabatan Notaris adalah copie dari pasal-pasal dalam Notariswet yang berlaku di negeri Belanda. Dalam pada itu di dalam Peraturan Jabatan Notaris tidak terdapat satu pasal pun yang mengharuskan adanya suatu "masa magang" (werkstage), berbeda dengan di negeri Belanda, di mana di dalam Notariswet, dari mana sebenarnya Peraturan Jabatan Notaris dilahirkan, bahwa salah satu syarat untuk dapat diangkat sebagai notaris, yang bersangkutan harus dapat menyerahkan suatu bukti, bahwa ia sudah pernah bekerja (tidak terputus-putus) pada salah satu kantor notaris selama sekurang-kurangnya 3 tahun. 

Sebenarnya di Indonesia telah beberapa kali dikemukakan tentang perlunya diadakan "masa magang" ini. Sangat disayangkan bahwa pada waktu dikeluarkan Ordonansi tahun 1907 no. 485, yang mengatur lebih lanjut perincian mengenai mata pelajaran untuk ujian-ujian Bagian I, II dan III, tidak sekaligus diatur di dalamnya tentang keharusan untuk menempuh suatu "masa ma-gang" (werkstage) bagi para calon notaris. 

Menjadi pertanyaan, apakah Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu menganggap bahwa "masa magang" itu tidak perlu. 

Sebenarnya ada satu Bijblad yang pernah menyinggung-nyinggung tentang "masa magang" ini. Dengan Gouvernementsmissive tanggal 29 Nopember 1889 no. 2763, Bijblad no. 5142, kepada Direktur v. Justitie diminta perhatiannya, agar apabila ada diterima usul untuk pengisian suatu lowongan tempat notaris, hendaknya di dalam mempertimbangkannya tidak lagi semata-mata berpegang kepada "ancienniteitsbeginsel", akan tetapi dengan mempertahankan susunan urutan, terutama memperhatikan kecakapan dari pelamar yang bersangkutan, dengan pengertian bahwa mengenai caloncalon yang belum dapat memberikan bukti tentang kecakapannya sebagai notaris pengganti, untuk memberitahukan kepada mereka untuk tetap bekerja di bidang notariat dan membuktikan tentang adanya memiliki kecakapan praktis yang diperlukan. 

Akan tetapi yang mengherankan ialah kenyataan, bahwa Bijblad no. 5421 tersebut baru diumumkan dalam tahun 1897 dan sekaligus dengan itu dilampirkan "missive" dari Sekretaris Pertama Gub. Jenderal tanggal 6 Juli 1895 no. 1348 yang berisikan: "bahwa menurut pertimbangan Pemerintah, di dalam mengisi lowongan tempat notaris, harus diutamakan kandidat-kandidat yang telah pernah menjalani masa magang (kerja) sekurang-kurangnya satu tahun dan lagi pula dikehendaki, agar di dalam mengajukan sesuatu usul untuk pengangkatan seorang notasi, hal ini diperhatikan oleh Kepala Departemen yang bersangkutan".

Berdasarkan kenyataan ini, maka pada waktu itu sangat diragukan, apakah Pemerintah (pada waktu itu) mempunyai maksud agar peraturan itu sungguh-sungguh dilaksanakan. Timbulnya keraguan itu sangat beralasan, oleh karena penempatan peraturan tersebut dalam suatu Bijblad dan bukan dalam ordonansi yang mengatur jabatan notaris (Notaris Reglement), memberikan kepada peraturan itu hanya suatu sifat "anjuran" (menganjurkan) dan tidak merupakan suatu persyaratan yang harus dipenuhi untuk dapat diangkat sebagai notaris. Hal tersebut memperkuat dugaan yang terdapat di kalangan beberapa pihak, bahwa penempatan peraturan tersebut dalam suatu Bijblad oleh Pemerintah dimaksudkan, agar di dalam adanya usul untuk mengisi suatu lowongan notaris, Pemerintah tetap mempunyai kebebasan di dalam menentukan pilihannya. Duggan tersebut ternyata adalah benar, oleh karena seperti yang dikemukakan oleh P. Vellema dalam bukunya "Het Reglement op het notarisambt in Indonesia", telah terjadi pengangkatan sebagai notaris seorang pensiunan President Raad van Justitie", yang tidak pernah bekerja sebelumnya di kantor seorang notaris. 

Juga di dalam Peraturan Jabatan Notaris (P.J.N.) tidak ada diatur tentang pendidikan notaris, yang diatur hanya tentang ujian notaris, dengan menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menempuh ujian notaris, akan tetapi bagaimana caranya ia memperoleh ilmu itu sama sekali tidak dipersoalkan. Juga sangat disayangkan, bahwa dari pihak Pemerintah sangat kurang perhatian mengenai pendidikan notariat. 

Jika programme ujian yang berlaku di Indonesia ini dibandingkan dengan yang berlaku di negeri Belanda sampai pada sa'at penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, yang menguraikan persyaratan-persyaratan untuk berbagai mata pelajaran yang diujikan kepada para calon notaris, maka jelas dapat dilihat bahwa tidak ada perbedaan di antara keduanya. Syarat-syarat ujian adalah sama. Para notaris Indonesia  sepanjang mengenai pengetahuan vak (vakkennis) sederajat dengan para notaris di negeri Belanda. 

Ujian notaris sebagaimana itu diatur dalam P.J.N. adalah ujian Negara, artinya untuk mengambil ujian, maka tiap-tiap kali oleh Departemen Kehakiman dibentuk panitia ujian yang dimaksud dalam pasal 14 P.J.N.

 

Undang-undang i.c. P.J.N. masih tetap mempergunakan ujian semata-mata sebagai ukuran untuk menilai kecakapan teoritis dan kemampuan praktis dari seorang notaris. Cara ini tidak dapat dipertahankan lagi. Dikatakan demikian oleh karena pada hakekatnya terdapat hubungan yang tidak terpisahkan satu sama lain di antara tugas dari seorang notaris dalam lalu lintas masyarakat dewasa ini, pendidikan untuk jabatan notaris yang akan dijalankannya dan persyaratan ujian. 

Di mana sifat dari ujian vak ini menentukan sifat dari pendidikan yang diperlukan untuk itu dan syarat-syarat yang diharuskan bagi notaris praktek, agar ia dapat menunaikan tugasnya dengan baik, mempunyai pengaruh besar terhadap sifat dari pendidikan notariat, maka timbul pertanyaan, apakah dengan memperhatikan perkembangan lalu lintas hukum sekarang ini dan tugas yang harus dipenuhi oleh seorang notaris di dalam lalu lintas hukum itu dianggap perlu untuk mengadakan perubahan dalam bentuk dan isi dari pendidikan notariat ini? Menurut hemat saya hal ini sangat perlu, oleh karena menurut kenyataannya, bersamaan dengan perkembangan waktu, tugas notaris telah pula berkembang sebagaimana itu sekarang ini, yakni notaris sebagaimana menurut undang-undang dan notaris menurut yang sebenarnya dan tugas yang harus dijalankannya, yang diletakkan kepadanya oleh undang-undang, sangat berbeda sekali dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh masyarakat di dalam praktek. 

Jadi apabila peraturan hukum tentang persyaratan untuk dapat diangkat sebagai notaris memperhatikan dengan teliti tugas yang harus dilakukan oleh notaris di dalam kehidupan modern sekarang ini; maka sudah seharusnya P.J.N. memuat peraturan- peraturan yang memberikan jaminan, bahwa tidak seorang pun dapat diangkat menjadi notaris, jika ia tidak memiliki pengetahuan yang oleh undang-undang dianggap merupakan jaminan yang cukup tentang adanya pengetahuan umum serta pengetahuan hukum dan juridic yang benar-benar sesuai dengan persyaratan yang dituntut oleh lalu lintas hukum modern dari seorang notaris. 

Maka untuk kepentingan suatu pendidikan yang baik, terutama untuk memperoleh pengetahuan.juridis yang umum (algemene juridise ontwikkeling) sudah pada tempatnya pendidikan notariat dijadikan pendidikan universitair berdasarkan undang-undang. 

Dengan diadakannya pendidikan notariat yang merupakan pendidikan "pasca sarjana" pada Universitas Indonesia, yang kemudian disusul pada Universitas Pajajaran, Universitas Gajah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro,  Universitas Sumatera Utara, dan Universitas Sriwijaya adalah sangat tepat dan merupakan perwujudan dari suatu keinginan yang telah lama ada. 

Walaupun pendidikan notariat serupa ini sebenarnya sudah sejak lama diharap-harapkan, namun kita tidak perlu berkecil hati, jika diketahui bahwa di negeri Belanda sendiri, yang telah jauh lebih lama mengenal lembaga notariat ini dan telah juga lebih lama berusaha ke jurusan itu, baru mulai tahun 1958 pendidikan notariat di negeri Belanda dijadikan pendidikan universitair, berkat kegigihan dan usaha Prof. Mr. A.R. de Bruijn. 

Namun demikian masih disayangkan, bahwa adanya pendidikan notariat universitair (pasca sarjana) di Indonesia belum diatur dalam suatu perundang-undangan dan juga belum, merupakan satu-satunya pendidikan notariat, oleh karena di samping itu masih tetap diadakan ujian negara, sungguhpun hanya untuk Bagian III (terakhir), sedang ujian Bagian I dan II tidak diadakan lagi, walaupun belum pernah dihapuskan secara resmi. 

Selain daripada itu ternyata di dalam praktek yang dapat diterima untuk pendidikan notariat pasca sarjana adalah semua sarjana hukum yang telah menamatkan pelajarannya pada Fakultas Hukum Universitas Negeri atau yang dinamakan dengan itu, tanpa mengadakan pembedaan di antara para sarjana hukum yang bersangkutan. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena sekarang ini sebenarnya tidak lagi terdapat sistim seperti yang ada dahulu, di mana seorang mahasiswa setelah mencapai suatu tingkat tertentu, dapat meneruskan studinya dengan memiliki jurusan tertentu, misalnya jurusan perdata atau jurusan pidana dan sebagainya. Kalaupun sekarang ini ada dikatakan, bahwa seseorang telah menamatkan pendidikannya menjadi Sarjana Hukum Jurusan Perdata, sebenarnya hal ini hanya berdasarkan kenyataan, bahwa yang bersangkutan telah membuat skripsi mengenai sesuatu bidang hukum perdata. 

Sejarah notariat Indonesia, sebagaimana juga halnya dengan notariat di negara-negara lain mengenal masa kejayaannya dan masa kemerosotannya. 

Dalam tahun 1954 diundangkan "Undang-undang tentang Wakil-notaris dan Wakil-notaris Sementara" (L.N. 1954 — 101), di dalam pasal 4 dari undang-undang mana dinyatakan:

a.     untuk ditunjuk sebagai Wakil-notaris (sementara) seorang tidak perlu lulus dalam ujian yang dimaksud dalam pasal 13 Reglemen;

b.     dalam pada itu sedapat mungkin ditunjuk seorang yang telah lulus dalam satu atau dua bahagian dari ujian yang dimaksud dalam pasal 13 Reglemen.

 

Di dalam konsiderans dari undang-undang tersebut dapat di-baca pertimbangan dari pembuat undang-undang untuk mengeluarkan undang-undang itu, antara lain dikatakan:

a.     bahwa perlu diadakan peraturan supaya dalam hal seorang penjabat notaris tidak ada, jabatan notaris itu dapat dijalankan sebaik-baiknya.

b.     bahwa berhubung dengan hal-hal yang mendesak peraturan ini harus segera diadakan dengan tidak menunggu pengaturan kenotariatan seluruhnya.

 

Terlepas dari pertanyaan, apakah mereka yang memiliki izasah Bagian I dan/atau II telah mempunyai cukup pengetahuan dan ketrampilan untuk dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maksud daripada undang-undang tersebut, sebagaimana itu dapat dinilai dari konsiderans di atas, adalah baik. Namun pelaksanaan dari undang-undang tersebut telah menyebabkan timbulnya hal-hal yang tidak diinginkan, yang memerosotkan nama baik dari korps notariat. 

Di dalam pelaksanaan dari undang-undang tersebut, para Wakil Notaris (sementara) yang diangkat itu menurut yang tercantum di dalam surat  pengangkatannya diangkat untuk satu tahun dan kemudian setelah berakhirnya jangka waktu satu tahun Itu, diperpanjang lagi untuk satu tahun dan demikian seterusnya. Sudah barang tentu cara sedemikian tidak memberikan perasaan yang tenteram bagi yang bersangkutan, oleh karena selalu dibayangi oleh perasaan takut, kalau-kalau masa jabatannya satu tahun itu setelah berakhir, tidak diperpanjang lagi.

Akibatnya ialah, bahwa Wakil Notaris (sementara) yang bersangkutan berusaha untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin, pertama dengan pertimbangan untuk. dapat menutup biaya-biaya yang telah dikeluarkannya untuk pembuktian kantornya itu, yang pada umumnya tidak sedikit jumlahnya dan untuk persediaan, apabila ia tidak diangkat kembali. Timbullah dalam hal ini pikiran, seperti yang dikatakan dalam bahasa Belanda: "Halen wat er te halen valt". 

Keadaan ini sungguh tidak menguntungkan bagi pembinaan dan perkembangan suatu notariat yang baik dan akibatnya hanya memerosotkan lembaga notariat ini di mata masyarakat yang dilayaninya. Untunglah keadaannya lambat lawn membaik kembali dengan lulusnya sebagian bestir dari para Wakil Notaris (sementara) tersebut dan dengan dihentikannya kemudian pengangkatan para Wakil Notaris (sementara) baru. 

Dalam periode 1960 — 1965, terutama di zaman Kabinet 100 Menteri, notariat banyak mengalami kegoncangan-kegoncangan. Tanpa mengindahkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pada waktu itu dikeluarkan suatu surat keputusan yang bertujuan mengadakan "peremajaan" di kalangan para notaris, sekalipun mengenai batas umur bagi para notaris untuk dapat dipensiunkan telah diatur dalam undang-undang (P.J.N.) sendiri. 

Dalam pada itu sangat mengherankan, bahwa di antara para notaris yang terkena peraturan "peremajaan" itu, ada yang diangkat kembali berdasarkan dispensasi, dengan memperpanjang masa jabatannya. 

Dipengaruhi oleh keadaan pada waktu itu, terjadilah pengangkatan-pengangkatan para notaris/wakil notaris baru, dengan tidak lagi berpedoman kepada dan tidak mengindahkan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku dan bahkan ada kalanya sudah merupakan pengangkatan politis. 

Setelah terjadinya pergeseran-pergeseran pimpinan, maka beberapa notaris yang terkena "peremajaan" dan tidak mendapat dispensasi, diangkat kembali (direhabilitier). Adanya rehabilitasi ini sangat diperlukan untuk menghilangkan "image" yang ada di kalangan masyarakat umum terhadap para notaris yang timbul disebabkan "peremajaan" itu, yakni anggapan masyarakat bahwa apa yang telah terjadi itu bukaniah suatu "peremajaan", akan tetapi pemecatan-pemecatan disebabkan tindakan-tindakan dan perbuatanperbuatan para notaris yang melanggar hukum. 

Di seluruh Indonesia dewasa ini terdapat kurang lebih 350 notaris (termasuk di dalamnya wakil notaris). Dahulu di samping notaris dan wakil notaris terdapat yang dinamakan notaris merangkap, yakni para Bupati yang di samping jabatannya tersebut juga merangkap sebagai notaris. Sejak dikeluarkannya surat keputusan Menteri Dalam Negeri yang melarang para Bupati merangkap jabatan notaris, maka hapuslah jabatan notaris merangkap ini.

Menurut peraturan yang berlaku, Pemerintah menetapkan formasi (jumlah notaris) untuk tiap-tiap kota atau tempat atau dengan perkataan lain. Pemerintah tidak menetapkan jumlah notaris untuk seluruh Indonesia. Berbicara mengenai jumlah notaris yang dibutuhkan di Indonesia, maka jika dibandingkan dengan negara-negara lain, jumlah yang ada sekarang masih belum mencukupi. 

Di negeri Belanda misalnya dewasa ini, jika jumlah notaris yang ada dibandingkan dengan jumlah penduduknya, maka terdapat satu notaris untuk kurang lebih 6.000 jiwa. Apabila kita mengambil sebagai contoh perbandingan yang ada di negeri Belanda, maka di Indonesia dengan jumlah penduduk sebanyak kurang lebih 130 juta orang, sekurang-kurangnya harus ada 20.000 notaris. 

Dalam pada itu tidak boleh dilupakan, bahwa di samping berhagai faktor yang berbeda dengan di negara kita, di negeri Belanda rakyatnya telah begitu "notaris-minded", sehingga dapat dikatakan segala persoalan yang berhubungan dengan harta kekayaannya di bidang hukum keperdataan dipercayakan pengurusannya kepada notarisnya. 

Dalam Kongres ke-VIII Ikatan Notaris Indonesia yang diadakan dalam tahun 1970 di Solo, bapak Prof. R. Soebekti S.H., pada waktu itu Ketua Mahkamah Agung R.I. pernah mengemukakan keinginannya agar dalam waktu yang singkat Indonesia telah mempunyai 2.000 notaris, agar dengan demikian di tiap-tiap Kabupaten atau dalam daerah hukum dari tiap-tiap Pengadilan Negeri terdapat sekurang-kurangnya 2 notaris. Gagasan beliau itu sangat baik dan dimaksudkan tidak lain agar dapat diberikan pelayanan oleh para notaris sampai kepada penduduk di desa-desa. 

Yang menjadi pertanyaan dalam hal ini ialah bagaimana caranya agar keinginan tersebut dapat menjadi kenyataan. Pendidikan notariat di Indonesia baru ada pada 4 Universitas, yakni Universitas Indonesia, Universitas Pajajaran, Universitas Gajah Mada dan Universitas Sumatera Utara. Keempat universitas tersebut menghasilkan tiap-tiap tahun kurang lebih 30 sampai 40 Candidaat Notaris, sehingga untuk mencapai jumlah tersebut di atas diperlukan waktu kurang lebih 60 sampai 70 tahun dan mungkin lebih, mengingat bahwa sementara itu di antara notaris yang ada sekarang ini akan ada yang meninggal dunia atau dipensiunkan. Apabila gagasan tersebut sungguh-sungguh hendak dijadikan kenyataan, maka dari sekarang ini juga harus dipikirkan dan diambil langkah-langkah yang diperlukan bagi realisasinya. 

Dalam hubungannya dengan pendidikan dan pembinaan profesi notariat, pada beberapa tahun terakhir ini terlihat dengan jelas adanya perhatian Pemerintah di bidang itu, hal mana disambut dengan hangat oleh Ikatan Notaris Indonesia dan para notaris sendiri, demi untuk peningkatan mutu dan pendidikan notariat di dalam pengabdiannya kepada masyarakat umum.

Di dalam kehidupan yang dinamis sekarang ini bagi notariat juga merupakan suatu keharusan untuk lebih tajam melihat ke depan daripada masa-masa silam. Untuk itu diperlukan pengetahuan tentang sejarah perkembangannya sendiri, oleh karena dengan lebih mengenal apa yang terjadi di masa silam dan togas yang harus dilakukannya di dalam masa pembangunan dewasa ini di segala bidang, para notaris akan dapat lebih baik memandang ke masa depan.

 

Hendaknya para notaris harus senantiasa waspada, agar tidak tertinggal di belakang. Apabila para notaris tidak ingin pihak lain membicarakan hal-hal yang menyangkut dirinya, tanpa hadirnya para notaris sendiri, maka para notaris harus mempersenjatai dirinya sendiri mulai sekarang ini juga. 

Hendaknya diingat bahwa para notaris tidak akan dapat mempersenjatai dirinya, apabila para notaris di samping perhatiannya untuk pekerjaannya sehari-hari, tidak mempunyai perhatian untuk pembangunan yang kini sedang giat-giatnya dilakukan di segala bidang, terutama di bidang pembangunan hukum. 

 

(9) SIFAT PERATURAN JABATAN NOTARIS. 

Peraturan Jabatan Notaris yang lama yang diatur dalam Stbl 1860-3 termasuk dalam rubrik undang-undang dan peraturan-peraturan organik, oleh karena ia mengatur jabatan notaris. Materi yang diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris termasuk dalam hukum publik, sehingga ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalamnya adalah peraturan-peraturan yang memaksa (dwingend recht). 

Peraturan Jabatan Notaris terdiri dari 66 pasal dan mengandung 39 ketentuan hukuman dan di samping itu dengan tidak mengurangi banyak ancaman-ancaman untuk membayar ongkos, kerugian dan bunga. Ketentuan-ketentuan hukuman tersebut menyangkut 3 hal tentang hilangnya jabatan, 5 tentang pemecatan, 9 tentang pemecatan sementara dan 22 tentang denda. 


Tugas :

Bandingkan UU Jabatan Notaris yang berlaku saat ini yaitu UU No 30 Tahun 2004. dengan PJN lama yang diatur dalam Stbl tersebut


Lembaga Notariat di Indonesia berada di dalam lingkungan Departemen Kehakiman (Stbl. 1870 — 42: psi. 1).