Sebagai bangsa Indonesia yang di dasarkan atas salah sumber hukum yaitu Hukum Islam meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu,[1] yang dihadapkan pada permasalahan yang begitu kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering kali menimbulkan kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan yang terjadi apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud).
Permasalahan kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim peradilan agama harus menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang mendukung adanya peristiwa Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama atas status dari seseorang yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda masih hidupnya bahtera rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum Islam adalah untuk selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup.[2]
Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang[3] Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.[4] Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.[5]
Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.[6]
A. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur Mafqud
Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.
Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain.[7] Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.[8]
Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:[9]
1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:
"Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu'aa yanah" artinya, "yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan".
Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy.
2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.
Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:
1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan:
"Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber'iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia...." (HR Bukhari)[10]
2. Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi "Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun."
4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat "situasi" hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:
i. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.
ii. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.
Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable).[11]
C. Pembagian warisan seseorang yang dianggap hilang (Mafqud)
Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan, hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli warisnya?
Menurut para ulama, setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu keluarnya penetapan hakim.[12]
CONTOH KASUS
Seseorang yang meninggal dunia meninggalkan seorang Isteri yaitu Asyimah binti Kalil (A), Ibu yaitu Juheriah binti Massere (B), seorang anak laki-laki yang mafqud yaitu Wawan bin Aman Irah (C), seorang anak perempuan yaitu Nani binti Aman Irah (D) dan serta seorang saudara kandung bernama yaitu Yusuf bin Ali Umar (E). Harta peninggalannya sejumlah Rp.120.000.000,- Bagaimanakah pembagian warisannya menurut ajaran patrilineal syafi’i?
Skema Kasus
C
D
Apabila mafqud belum dinyatakan mati
A = 1/8 df (Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-
B = 1/6 df (Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
Sisa = Rp.120.000.000 - Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 = Rp.85.000.000,-
C dan D memperoleh sisa sebagai asabah
C : D = 2 : 1 (Q.4:11a)
C = 2/3 x sisa = 2/3 x Rp.85.000 = Rp.56.700.000,-
D = 1/3 x sisa = 2/3 x Rp.85.000 = Rp.28.300.000,-
E = Terhijab oleh C
A + B + C + D + E = Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.56.700.000 + Rp.28.300.000 = Rp.12.000.000,- (harta habis dibagi).
Apabila mafqud telah dinyatakan mati
A = 1/8 df (Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-
B = 1/6 df (Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-
D = 1/2 df (Q.4:11c) x Rp.120.000.000 = Rp.60.000.000,-
E mendapat sisa sebagai asabah (Q.4:176c) yaitu Rp.120.000.000 - Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.25.000.000,-
A + B + D + E = Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.120.000.000,- (harta habis dibagi).
Dengan demikian, harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya, karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya (mati haqiqy)[13] maupun secara hukum (mati hukmy)[14]. Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui 4 (empat) tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum 4 (empat) tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian diatas dapat penulis mengambil benang merah, antara lain:
1. Status hukum bagi si mafqud (meninggal atau tidak) sangat berpengaruh pada kehidupan bahtera keluarga, terlebih apabila menyangkut dengan keluarga besar yang terdiri dari orangtua, saudara-saudara.
2. Status hukum si mafqud dapat ditetapkan dan dimintakan kepada hakim pengadilan negeri, atas suatu persitiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga akan semakin jelas dari pihak-pihak yang ditinggalkan.
3. Dalam menetapkan status si mafqud, seorang hakim harus berasaskan bebas tapi terikat, yang artinya bebas memakai penafsiran dan berijtihad dengan dalil-dalil dengan sungguh-sungguh, tetapi terikat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dalam pembagian warisan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan tidak menimbulkan konflik dan adanya pembagian yang seadil-adilnya.
B. Saran
Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas penulis dapat memberi rekomendasi antara lain:
1. Dalam memutuskan perkara, maka hakim peradilan agama benar-benar harus menggali dan berijtihad dengan sungguh-sungguh agar dalam memutuskan perkara tidak ada kesalahan dan tidak ada rasa ragu-ragu.
2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang kewarisan.
DAFTAR PUSTAKA
I. BUKU
Al-Halawy, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab: Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, (Surabaya: Risalaha Gusti, 1999).
Ali, Prof. H. Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991).
Ash – Shiddieqy, T. M. Hasbi Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Aziz, Abdul, Ensiklopedia Hukum Islam I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).
Hasan, M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).
Idris Djakfar, Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995).
Masalik, Mabadlul, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma'shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994).
Rahman, Fachtur, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981).
Ramulyo, Moh. Idris, Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek di P.A. dan P.N., (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1994).
Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).
Sani, Abdullah, Kewarisan Bagi Orang Hilang menurut hukum Islam, skripsi sarjana Reguler (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000).
Sarmadi, A. Sukris, Trandensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).
II. INTERNET
“Warisan Untuk Mafqud” http://www.islamhouse.com/p/22885
[1] Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 78.
[2] Ibid., hal. 140, dalam pembahasannya mencantumkan QS Al-Rūm (30): 21.
[3] Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma'shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994), hal. 146.
[4] Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.
[5] Lihat juga “Warisan Untuk Mafqud” http://www.islamhouse.com/p/22885
[6] Abdullah Sani, Kewarisan Bagi Orang Hilang menurut hukum Islam, skripsi sarjana Reguler (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal. 98.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), ed. VII, hal. 296. Pendapat Prof. Hazairin tentang hal ini menyatakan seperti perumpamaan “Menggantungkan tanpa tali”, artinya tidak ada kejelasan status bagi seseorang dalam keluarga atau dalam bahtera rumah tangga.
[8] Lihat Abdul Aziz, et. al., Ensiklopedia Hukum Islam I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1037.
[9] Lihat Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.134, Idris Djakfar, Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 52-53, Fachtur Rahman, op. cit. hal. 507.
[10] Muhammad Abdul Aziz al-Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab: Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, (Surabaya: Risalaha Gusti, 1999), hal. 187-188.
[11] Sementara itu, A. Sukris Sarmadi secara tegas menyatakan bahwa penentuan status bagi orang mafqud diputuskan melalui keputusan pengadilan agama secara legal. Lihat A. Sukris Sarmadi, Trandensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 234. Demikian pula pendapat M. Idris Ramulyo, salah seorang pengasuh mata kuliah hukum kewarisan Islam di FHUI.
[12] T. M. Hasbi Ash – Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 273.
[13] Moh. Idris Ramulyo, Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek di P.A. dan P.N., (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1994), hal. 49.
[14] M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 15.