Negara kesatuan Republik Indonesia adalah suatu kesatuan dari berbagai kepulauan – kepulauan yang diikat dalam sebuah bentuk Negara yaitu Republik, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan memilih Pancasila sebagai pandangan hidup serta dasar negara. Pancasila haruslah tetap menjadi moral perjuangan bangsa dalam mencapai sasaran-sasaran pembangunan, selain itu juga Pancasila bukan saja berperan sebagai nilai pengukur tentang baik-buruknya kebijaksanaan serta pelaksanaan pembangunan di semua bidang, akan tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur dalam membangun masyarakat modern dan khususnya sebagai dasar strategi kepemimpinan agar tetap berkepribadian Indonesia.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka mambangun manusia (baik pemimpin maupun rakyat) serta tatanan masyarakat Indonesia, karena pancasila yang bulat dan utuh itu memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan serta keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dengan alam, hubungan antar bangsa, ataupun hubungan manusia dengan Tuhannya. Singkatnya untuk Pemimpin mampu mencapai tatanan masyarakat ysng adil dan makmur apabila berdasarkan Pancasila sebagai idiologi Bangsa dan juga UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
Dalam merealisasikan cita-cita luhur itu, para pemimpin bangsa mengharapkan muncul dan timbulnya rasa Cinta Tanah Air dan Bangsa sebagai langkah meneruskan cita-cita Proklamasi tersebut, manusia Indonesia berkeyakinan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dapat mewadahi aspirasi, modernisasi Bangsa Indonesia. Dan biasanya dalam pengimplementasian memimpin masyarakat, pasti akan menghadapi hambatan-hambatan, tantangan, ancaman, maupun gangguan-gangguan lainnya, baik dari dalam maupun yang dari luar. untuk menghadapi hal itu semua, perlunya pemupukan ketahanan dalam jiwa. Dan Pancasila sendiri merupakan jiwa serta kepribadian Bangsa Indonesia, yang mampu memberikan kekuatan hidup dan identitas kepada (warga) bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam pelaksanaan kehidupan di era modernisasi seperti saat ini, termasuk kepada wakil-wakil rakyat yang duduk pada Badan legislative atau dengan istilah lain dikenal sebagai lembaga yang legislate atau membuat undang-undang, sehingga badan ini sering disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, atau dengan sebutan Parlemen.
Di Indonesia, kajian tersebut dipahami bahwa legislatif merupakan lembaga political representation (perwakilan yang bersifat politik ; partai politik) yang secara prinsip memiliki kemampuan dan kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.sekalipun azas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, akan tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada dalam masyarakat.
Menurut teori yang berlaku, secara normative maka rakyatlah yang berdaulat, dan rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan yang menurut Rousseau disebut volonte generale atau general will. Sedang Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum (public polecy) yang mengikat seluruh masyarakat, yang direalisasikan atau dicerminkan dalam bentuk undang-undang. Sehingga kemudian badan tersebut dianggap berkuasa dalam hal membuat suatu keputusan menyangkut kepentingan umum.
Dari kepentingan itulah, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat di negara demokratis seperti Indonesia disusun sedemikian rupa, sehingga ia mewakili mayoritas rakyat dan mampu menempatkannya sepagai tempat pertanggung jawaban pemerintah (eksekutif). Sebagaimana perumusan yang dikutip Miriam Budiardjo (2006 : 174) dari C.F. Strong, bahwa demokrasi adalah suatu sistim pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistim perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. (a system of government in which the majority of the ground members of a political community participate trough a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for ist actions to that majority). Atau dengan perkataan lain, bahwa negara demokratis didasari oleh sistim perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat. Rumusan tersebut dilandasi dalam definisi bertanggung jawab dijabarkan secara luas, yaitu bahwa pemerintah pada kurun waktu tertentu dapat diminta untuk memberi penjelasan mengenai tindakan-tindakannya.
Dari kupasan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa legislatif selain sebagai penentu policy dan membuat suatu aturan, dewan perwakilan rakyat ini juga memiliki hak inisiatif, hak budget, dan hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan suatu undang-undang yang disusun oleh eksekutif. Termasuk mendapatkan suatu hak khusus untuk berdiri pada persoalan suatu kontrol terhadap badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan, termasuk memiliki wewenang untuk mengimpeach (menuntut) dan ‘mengadili’ pejabat tinggi.
Dasar Pemikiran
Saat ini Bangsa Indonesia masuk dalam tahapan untuk mencari intisari dari pada kemerdekaan yang murni. Berbagai problematika dalam menyatukan persepsi dan konsepsi tak henti-hentinya datang secara terus-menerus, dan ini tidak selalu membawa paradigma yang bersifat membangun, akan tetapi wacana serta paradigma yang menciptakan kontradiksi dikarenakan oleh kohesi dari masing-masing pemimpin yang lebih mengutamakan individu ataupun kelompok yang bisa menyebabkan disintegrasi. Dan ini merupakan bagian dari sejarah perjalanan Bangsa Indonesia dalam mencari kemerdekaan sejati. dan proses pencarian kemerdekaan itulah Bangsa Indonesia sangat membutuhkan Sumber Daya Manusia-Indonesia yang benar-benar mampu menghayati dan mengamalkan landasan bangsa secara murni dan konsukwen. Karena tanpa itu, dalam membahas suatu persoalan yang kemudian dimunculkan oleh para pemimpin pasti tidak ada titik temunya, karena mayoritas yang dibawa adalah ego serta demi kepentingan pribadi, kelompok, atau kemudian bisa dikatakan dalam membahas suatu persoalan tidak sesuai dengan butir-butir yang terkandung didalam dasar negara dan konstitusi Bangsa Indonesia.
Cinta tanah air dan Bangsa merupakan suatu hal yang sangat mutlak harus dilakukan oleh setiap pemimpin dan warga negara Indonesia. Hal tersebut juga merupakan bentuk pengamalan dalam sila ke 3 butir – butir Pancasila. Sikap rela berkorban untuk nusa dan bangsa merupakan implementasi dari sikap patriotisme kepemimpinan yang juga mengandung pengertian yang lain, yaitu Setiap manusia Indonesia harus siap dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara artinya jiwa nasionalisme harus tumbuh subur di dalam diri manusia Indonesia. Karena hal tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah konstruksi atau sebagai media sekaligus sarana yang fundamental untuk terbentuk dan terwujudnya kepemimpinan yang cinta Bangsa dan tanah air. Selain itu, hal tersebut juga dapat menjadi ruh bagi seluruh potensi budaya dan kepribadian Bangsa Indonesia, sehingga untuk saat ini dan sampai pada saat Republik Indonesia melalui kebenaran pemimpinnya mampu mewujudkan cita – cita nasional.
Bukan rahasia lagi, bahwa sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, kebijakan pemerintah (nasional) dan dinamika politik bangsa sangat mempengaruhi pasang-surut, perkembangan, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat, tidak terkecuali lembaga perwakilan rakyat ini terjadi selama periode kepemimpinan dua Presiden. Pada masa pemerintahan Soekarno, Konstituante pernah dibubarkan. Selama pemerintahan Soeharto, DPR dan DPRD didominasi, sehingga lembaga tersebut tidak berdaya terhadap esekutif. Bahkan Presiden RI Soeharto berhasil menjadikan lembaga tersebut sebagai alat legitimasi terhadap semua kebijakan Presiden.
Singkatnya, baik Presiden RI Soekarno maupun Presiden RI Soeharto memiliki peran dalam dinamika lembaga perwakilan rakyat. Namun bedanya, Soekarno kurang berhasil membangun sistem untuk menguasai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan Soeharto membangun sistem yang dapat menghegemoni lembaga perwakilan rakyat, mulai dari pusat sampai daerah. Sehingga Presiden Soeharto mempu “membungkam” lembaga perwakilan rakyat selama puluhan tahun. Misalnya, lembaga perwakilan rakyat akhirnya memilih dan mengukuhkan Soeharto menjadi Presiden RI selama 32 tahun. Akibatnya terhadap lembaga perwakilan rakyat di daerah, yaitu secara prosedural, DPR/DPRD memiliki semua fungsi seperti saat ini, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran an fungsi pengwasan. Namun dalam praktek dan pelaksanaannya, lembaga perwakilan rakyat (legislatif) berada di bawah dominasi eksekutif di pusat maupun daerah. Hal ini karena Soeharto membangun sistem hedemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Bagaimana pemerintah pusat mengendalikan eksekutif maupun legislatif sampai ketingkat kabupaten/kota, dapat dilihat dalam strateginya memperkokoh dominasinya, mengontrol dan mengendalikan secara total daerah-daerah. Dengan kekuasaan yang sangat dominan dimilikinya, rezim Soeharto dapat mengatur DPR/DPRD dan menentukan Kepala Daerah muali dari Gubernur sampai Bupati/Walikota.
Selama masa Orde Baru, Pemerintah Pusat mampu mendesain mekanisme formal yang demokratis, namun riilnya dan implementasinya sangat otoriter. Misalnya, DPRD secara formal memilih Kepala Daerah, tetapi prakteknya Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim Soeharto terhdap lembaga perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No. 5/1974 mengenai pengangkatan Kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari DPRD diserahkan kepada Presiden , dan Menteri Dalam Negeri. Begitu pula berlaku dalam setiap pemilihan Bupati/Walikota, untuk mengangkat salah satu dari sedikit-dikitnya dua orang calon yang diajukan DPRD.
Hegemoni Pemerintah Pusat terhadap DPRD yang begitu kuat dalam proses pemilihan Kepala Desa telah menyebabkan DPRD madul dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang dikehendaki rakyat. Hal ini sangat disadari semangat demokrasi, namun tidak berdaya karena Pemerintah Pusat memiliki otoritas secaa konstitusional untuk menentukan siapa Kepala daerah yang dikehendaki. Demikian juga pelaksanaan fungsi-fungsi yang lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, bahwa potret selama puluhan tahun pemerintahan Orde Baru mewujudkan bahwa komitmen terhadap tahun pemerintahan Orde Baru menunjukkan bahwa komitmen terhadap pengembangan demokrasi sangat rendah. Hal ini dari berbagai kebijakan yang dihasilkan. Hal itu berbeda dengan semangat dasar yang menjiwai kelahiran RUU Otonomi Daerah tahun 1999 yang telah diubah oleh DPR menjadi UU tentang Pemerintahan Daerah. Dalam batang tubuh maupun penjelasan UU ini, hampir selalu terdapat kata-kata “demokrasi transparansi, partisipasi masyarakat atau pemerataan dan keadilan”.
PEMBAHASAN
Menurut UU No. 5/1974 DPRD bukanlah berkedudukan sebagai “badan legislatif” tetapi bersama dengan Kepala Daerah merupakan Pemerintah Daerah (lokal government). Posisi tersebut didesain oleh pemerintah Pusat agar DPRD dapat mengedepankan kepentingan pusat daripada konstituennya. Hal itu berlangsung selama Presiden Soeharto berkuasa. Pasca lengsernya Presiden Soeharto, terjadi perubahan besar. Selain agenda reformasi konstitusi secara besar-besaran, perioritas dan desakan perubahan juga menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Semangat perubahan tersebut diakomondasi melalui pembentukan UU No/22/1999 tentang Otonomi Daerah yang mengembangkan istilah demokrasi, partisipasi masyarakat, seta pengelolaan kekuasaan yang trasparan.
UU No. 22/1999 tntang daerah yang strategis. Karena kebijakan disentralisasi dalam UU tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No. 22/1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5/1974. Perkembangan tersebut merupakan kemajuan yang luar biasa, walaupun diakui belum sempurna seperti yang diharapkan. Karena itu, ketika pada tingkat implementasinya mengalami beberapa masalah dan muncul ketidakpuasan, maka muncul inisiatif untuk melakukan revisi atas beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Revisi itu terutama mengenai pokok persoalan yang terkait dengan Kepala daerah dan DPRD dapat diterima. Misalnya, UU itu telah direvisi menjadi UU tentang Pemerintahan Daerah.
Amademen UUD 1945, yang pada dirinya sendiri merupakan perubahan mendasar, telah membawa konsekuensi pada perubahan system ketatanegaraan Indonesia. Satu diantara banyak perubahan yang penting itu adalah perubahan pada format dan system perwakilan politik di Indonesia. Mulai tahun 2004, perwakilan politik di Indonesia bertumpu pada dua lembaga perwakilan , yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masing-masing lembaga perwakilan merepresentasi dua kontituen yang berbeda : DPR mewakili rakyat secara keseluruhan, dan DPD mewakili daerah-daerah yang dalam hal ini propinsi-propinsi yang ada di Indonesia. Rekrutmen keanggotaan lembaga itupun juga dilakukan melalui system Pemilihan Umum yang berlainan. Untuk keanggotaan DPR, Pemilihan Umum dilangsungkan atas dasar system perwakilan berimbang dengan daftar terbuka (open list proportional representation). Sementara untuk keanggotaan DPD, pemilihan umum diselenggarakan berdasarkan pada system distrik berwakil banyak (multi member district system), dengan masing-masing distrik pemilihan yaitu propinsi, diwakili oleh empat anggota DPD.
Perubahan lain yang terkait dengan kelembagaan perwakilan tersebut tertuju pada Majelis Permusrayatan Rakyat (MPR) Republik Indonesia. Keanggotaan MPR berasal dari keanggotaan kedua lembaga perwakilan rakyat diatas, yaitu DPR dan DPD . meski kepemimpinannya bersifat permanent, MPR tidak bekerja setiap hari. Artinya, MPR melakukan siding paling kurang sekali dalam 5 tahun. Dalam keadaaan istimewa MPR dapat melakukan sidang istimewa. Tetapi, perubahan fundamental yang terjadi dengan MPR terletak pad kedudukan dan fungsi lembaga ini jika pada masa lalu, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara, kini lembaga ini berkedudukan sama dengan lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. MPR tidak lagi mempunyai hak istimewa sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yang dapat melakukan tindakan apa saja atas nama rakyat. Karena itu, fungsi MPR pun kini tunduk dan dibatasi oleh UUD 1945. satu diatara beberapa fungsi MPR yang penting adalah mengubah d an menentukan Undang-Undang Dasar. Fungsi ini mendudukkan MPR sebagai badan saja.
Dengan perubahan-perubahan mendasar seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah : apakah kelembagaan perwakilan rakyat di Indonesia Dapat berfungsi dan bekerja secara lebih bermutu bagi pemenuhan kepentingan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Ini merupakan pertanyaan besar yang tidak dapat dipastikan jawabannya jika hanyah didasarkan pada perubahan-perubahan kelembagaan saja. Pertanyaan ini memerlukan banyak factor dan pertimbangan untuk dapat memperoleh jawaban yang lebih pasti, dan lebih bermutu. Perubahan kelembagaan dapat dilakukan secara cepat, seperti yang terjuadi dengan perubahan kelembagaan perwakilan politik atas dasar amandemen UUD 1945. tetapi, perubahan kelembagaan ini tetap akan sangat tergantung pada bukan saja dinamika politik yang berlangsung tetapi juga pada ide-ide dan pelaku-pelaku yang menjalankan dan bertanggungjawab atas fungsi-fungsi konstitusional lembaga-lembaga perwakilan tersebut. Ini merupakan pekerjaan besar setelah perubahan kelembagaan perwakilan yang harus didorong dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia.
Pengalaman sejarah perwakilan politik di Indonesia seperti dipaparkan pad buku ini memang baru memperlihatkan beberapa aspek perwakilan politik yang berkaitan dengan perubahan-perubahan kelembagaan perwakilan dan berbagai dan rangkaian tahapan perjalanan bangsa Indonesia. Tetapi, pengalaman sejarah itu memperlihatkan bahwa model perwakilan politik di Indonesia tidak terlampau jauh berbeda pada setiap periode. Meski pengaturan kelembagaan diatur secara berbeda-beda pada akhirnya negosiasi antar kekuatan dan elit politik dominant dengan agenda kepentingan masing-masing menentukan kualitas hubungan wakil dan rakyat. Dalam setiap perubahan hasilnya tidak memperbesar pertanggungjawaban wakil dan lembaga perwakilan terhadap rakyat. Rakyat tidak memiliki instrument yang efektif untuk mengendalikan anggota dewan, selain dari pemilu. Pemilu, instrument satu-satunya, juga seringkali dicederai (abuset) sehingga tidak menjamin hasilnya berkualitas.
Parlemen 2004-2009 telah terbentuk sebagai hasil dari pemilu 2004 yang memilih anggotan DPR (dan DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota) dan DPD. Pemilu 2004 untuk memilih anggota DPR pun telah dilakukan secara baru dengan system perwakilan berimbang daftar terbuka. Dengan system ini , pemilih (rakyat) memperoleh peluang untuk mengenal para calon mereka secara lebih terbuka, dan menentukan pilihan-pilihan mereka secara lebih bebas. Demikian pula, system ini mengharuskan setiap calon wakil dari partai politik (untuk DPR) maupun dari perorangan (untuk DPD) untuk dipilih dari suatu daerah pemilihan yang jelas. Artinya, pada saat calon wakil itu terpilih menjadi wakil rakyat dan wakil daerah, mereka mempunyahi dan harus bekerja untuk kelompok masyarakat dan daerah pelayanan yang jelas. Pengaturan seperti ini memberi peluang yang luas bagi bukan saja kedekatan wakil dan konstituennya tetapi juga pertanggungjamwaban para wakil terhadap rakyat.
Beberapa hal harus dicatat dalam potensi hubungan yang intim antara wakil dan rakyat atas dasar pengaturan baru seperti tersebut diatas. Pertama, perlu dibedakan antara hubungan anggota DPR - rakyat dan hubungan anggotag DPD – Rakyat (daerah). Hubungan anggotag DPR-Rakyat dipengaruhi oleh intervensi partai politik. Meskipun pemilu untuk anggota DPR didasarkan pada daftar terbuka, dalam kenyataan para anggotag DPR yang terpilih ditentukan oleh keputusan partai politik lebih dari pada oleh dukungan suara para pemilih. Ini disebabkan terutama oleh pengaturan operasional (politis tentang penentuan calon terpilih. Calon terpilih adalah mereka yang memenuhi dukungan suara sebesar kuota nsuara yang ditentukan atas dasar bilangan pembagi pemilih (BPD) yang berbeda-beda antara satu dan lain daerah pemilihan, atau mereka yang berada dalam urutan nomor “jadi” dalam daftar calon yang diajukan oleh partai politik. Hasil pemilu 2004 untuk anggota DPR menunjukkan bahwa dari 550 wakil yang terpilih, hanya 2 wakil saja yang memenuhi kriteria kuota suara. Sebanyaik 548 anggota DPR adalah mereka yang tepilih karena ditempatkan kepada nomor “jadi” dalam daftar calon partai politik. Dengan demikian, sebagian besar anggota DPR periode 2004-2009 adalah anggota DPR pilihan partai politik. Mereka akan mempunyai tanggungjawab kepada partai politik lebih besar dari pada tanggungjawab mereka kepada rakyat.
Pola hubungan anggota DPR – partai politik – rakyat tidak akan menjadi persoalan besar jika partai politik mempunyai komitmen yang konsisten atas. kepentingan dan aspirasi rakyat. Dalam hal ini, banyak keprihatinan ditujukan kepada partai politik, terutama karena partai politik di Indonesia pada masa sekarang ini belum tampil sebagai organisasi yang mampu mengelola dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, atau paling kurang konstituen mereka. Partai politik lebih banyak dilibati dan atau melibatkan diri pada konflik-konflik kepentingan internal yang terjadi diantara elit partai atau kepentingan-kepentingan jangka pendek demi pelanggengan kekuasaan yang dinikmati para elit mereka. Dengan keadaan seperti ini, jika pun partai politik mengontrol wakil-wakilnya yang ada di DPR, partai itu melakukan kontrol terhadap wakil-wakilnya demi terpenuhnya kepentingan elit partai lebih dari pada kepentingan masyarakat pada umumnya.
Sementara itu, hubungan anggota DPD – rakyat dapat berlangsung bebas sesuai dengan kapasitas pribadi anggota DPD. Anggota DPD memang dipilih atas dasar kapasitas pribadinya, dan bukan karena hubungan dengan partai politik. Tetapi, hubungan anggota DPD –rakyat dapat terganggu oleh hambatan-hambatan structural maupun institusional terutama terkait dengan fungsi dan peran legislatif DPD yang amat lemah terutama berhadap-hadapan dengan DPR. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa peran dan fungsi DPD bersifat simbolik terhadap aspirasi dan kepentingan daerah, dan karena itu tidak akan pernah efektif untuk pemenuhan aspirasi dan kepentingan daerah. Dengan kenyataan ini, meski hubungan antara anggota DPD dan rakyat dapat berlangsung relatif intim, hubungan itu dapat terganggu karena DPD pada akhirnya tidak mempunyai “kuasa” untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah yang merfeka wakili.
DPR dan DPD mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap rakyat, karena mereka mengemban kepercayaan rakyat. Secara etis, DPR dan DPD tidak dapat mengabaikan sama sekali kepercayaan rakyat ini. Jabatan anggota DPR dan DPD bukan semata - mata jabatan politis, tetapi lebih-lebih merupakan jabatan etis. Tidak semua orang bias mendapatkan jabatan itu. Karena itu, amat tidak bertanggungjawab jika anggota DPR dan DPD tidak menunjukkan kesungguhan mereka untuk menjalankan kepercayaan rakyat itu. Mengabaikan tanggung jawab itu berarti menghianati kepercayaan rakyat. Tanggung jawab yang diperoleh karena kepercayaan rakyat mempunyai nilaimyang berbeda yang amat jauh dari tanggung jawab yang diperoleh seseorang karena dia “diupah” untuk memikul tanggungjawab itu anggota DPR dan anggota DPD bukan orang-orang “upahan” melainkan orang-orang “terpercaya” yang mempunyai komitmen untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat umumnya dan daerah-daerah khusunya. Orang-orang terpercaya tidak menunngu “upah” untuk melaksanakan tanggung jawab mereka.
Tetapi, perlu segera dicatat bahwa kualitas beban tanggungjawab yang dipikul anggota DPR berbeda dengan kualitas beban tanggung jawab yang dipikul anggota DPD terutama karena fungsi yang diberikan oleh kontitusi pada anggota DPR berbeda dengan fungsi yang diberikan konstitusi kepada anggota DPD semua fungsi keperwakilan politik, yang dinyatakan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran, disandang atau dimiliki oleh DPR dan anggotanya. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak memberikan fungsi-fungsi yang sama kepada DPD dan anggotanya. Fungsi DPD sebatas pada memberikan masukan dan pertimbangan kepada DPR untuk hal-hal tertentu saja, yaitu anggaran, otonomi daerah pajak, pendidikan dan agama, dan pemilihan anggota BPK. Karena itu, fungsi perwakilan politik hanya akan efektif jika para anggota DPR secara konsisten dan konsekuen melaksanakan tanggungjawab mereka yang dialaskan pada komitmen yang jujur dan kuat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Pengalaman – pengalaman masa lalu mengindikasikan secara kuat bahwa anggota – anggota DPR kurang menunjukkan komitmen etik mereka dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Ketergantungan anggota DPR kepada partai politiknya masing – masing terlalu kuat hingga mengalahkan komitmennya kepada rakyat yang menjadi sumber kekuasaan mereka sebagai anggota parlemen. Karena itu, selama anggota DPR tidak melawan atau menentang kebijakan par tai politikny, dia akan selamat untuk tetap menyandang jabatan sebagai anggota DPR. Dilema muncul pada saat kehendak rakyat yang harus diperjuangkan bertentangan dengan kebijakan atau pendirian partai politik. Sangat jarang terjadi anggota DPR mengundurkan diri semata – mata demi membela aspirasi dan kepentingan rakyat. Tetapi, tidak sedikit anggota DPR dipecat oleh partai politiknya karena memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang secara diametral bertentangan dengan kepentingan ( kebijakan dan pendirian ) partai politiknya. Ini tentu saja tidak berarti tidak ada upaya sama sekali dari lingkungan internal DPR untuk memperbaiki kinerja anggota DPR. Salah satu upaya ini adalah dirumuskan dan ditetapkannya kode etik anggota DPR pada periode kerja DPR 1999-2004. kode etik ini merupakan pernytaan komitmen dari para angg ot DPR untuk menjalankan tugas – tugasnya secara berdisiplin. Sayangnya, kode etik ini belum efektif dipatuhi para anggota DPR.
Upaya lain yang kini terlihat dilakukan baik oleh DPR maupun DPD adalah mencoba mengefektifkan kode etik melalui pembentukan badan kehormatan dimasing – masing dewan ini yang bersifat permanent. Badan kehormatan ini jelas dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan anggota – anggota dewan yang terhormat. Karena itu, fungsi badan semacam ini adalah mencegah terjadinya perilaku - perilaku tidak terhormat yang mungkin dilakukan oleh anggota dewan dan menindak anggota – anggota dewan yang terbukti melakukan perilaku yang tidak terhormat.
Inisiatif pembaharuan seperti tersebut diatas tentu pantas dan harus dihargai terutama karena inisiatif semacam ini membuktikan bahwa meskipun relative jarang tetap ada usaha – usaha terpuji dari lingkungan internal badan – badan perwakilan rakyat agar badan – badan ini dapat melangsungkan tugas – tugasnya secara terhormat. Memang, kehormatan badan – badan ini akan tetap tergantung pada masing – masing dan secara bersama – sama diantara para anggota dewan. Dengan kata lain kode etik menurut badan kehormatan DPR dan DPD ( juga MPR ) sebenarnya tidak diperlukan jika para anggota dewan telah berperilaku sesuai dengan komitmen etik mereka secara tanpa pamrih untuk melayani dan memperjuangkan kepentingan – kepentingan rakyat dan daerah yang diwakilinya.
kupasan diatas pada dasarnya hendak menegaskan hal yang dirasa penting, karena : pertama, agar hubungan wakil dan rakyat, terutama dalam konteks peningkatan kualitas hubungan antara anggota DPR ( dan DPRD ) dan rakyat dalam hal perubahan sistem politik setidaknya perlu dilakukan 2 hal. pertama, system pemilu DPR dab DPRD harus disempurnakan agar setiap pemilih bias mengenal calon yang dipilihnya. Memang saat nini dalam UU No 12 / 2003 tentang pemilihan umum sudah di introduksi system proporsional dengan daftar terbuka yang membuka peluang pemilih untuk mengenal wakilnya. Namun sayangnya, masih ada hambata yang menyebabkan dewan Pimpinan Pusat Partai Politik dapat kembali menentukan siapa yang akan mendapatkan kursi di DPR dan DPRD. Akibatnya, pemilih bias saja tidak mengetahui siapa yang mewakilinya. Bagai membeli kucing dalam karung sama seperti dulu. Dimasa yang akan datang, hal ini harus dibenahi. Perlu ada system yang membuat setiap orang tahu persis siapa wakilnya dan, karenanya, bias melakukan komunikasi dengan wakilnya selama masa jabatannya berlangsung .
Kedua, masih terkait dengan yang pertama, perlu didorong adanya system yang memungkinkan pertanggungjawaban politik pada konstituen. Selama ini hanya tata tertib DPR, dan bukan Undang – Undang, yang mengatur kewajiban anggota DPR untuk mengadakan pertemuan dengan konstituennya pada setiap masa reses. Kewajiban itupun tidak dirinci pertanggungjawabannya akibatnya,dialog dengan konstituen tidak berjalan dengan efektif dan tidak banyak yang ditindak lanjuti. Saat ini, UU No 22/2003 tentang SusunanDan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD sudah memberi sedikit peluang. Diatur bahwa kewajiban anggota DPR, DPD, maupun DPRD diantaranya adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti naspirasi masyarakat:serta memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilihnya. Pengaturan ini nampaknya masih memerlukan penjabaran lebih luas seperti kewajiban bagi setiap anggota DPR dan komisi – komisi di DPR untuk mengumumkan secara terbuka hasil – hasil yang diperoleh dari setiap kunjungan pada masa reses. Kepentingannya adalah agar masyarakat mengetahui secara lebih pasti bahwa kunjungan kepada konstituen telah dilakukan, dan bahwa kunjungan itu telah membawa pesan – pesan dari rakyat yang tidak dapat diabaikan begitu saja.
Ketiga , dalam konteks pembentukan perundang – undangan perlu ada perbaikan sistemik yang setidaknya mengandung 2 hal. Pertama perlu ada peraturan yang mensyaratkan adanya penjadwalan yang lebih serius dengan adanya prioritas dalam penyusunan undang – undang. Kedua, perlu ada penyusunan undang – undang yang dilakukan oleh lembaga yang khusus dibuat untuk itu agar pertarungan politik di DPR benar – benar focus pada pertarungan politi yang substansial. Bukan perdebatan soal kata – per – kata yang sifatnya sangat teknis sehingga menghabiskan waktu dan tidak bisa disebut sebagai pertarungan politik.
Keempat, dalam konteks wewenang DPD, perlu dilakukan suatu usaha besar untuk menjadikan DPD berfungsi secara maksimal dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Keberadaan DPD sebenarnya telah menjadikan kepentingan daerah “didengarkan” diarena pembuatan kebijakan dipusat. Tetapi, ini hanya akan menimbulakan kecurigaan dari daerah – daerah karena meski didengar, suara – suara mereka ( daerah ) masih bias diabaikan begitu saja baik dalam hal legislasi, pengawasan terhadap eksekutif dan dalam hal anggaran nasional. DPD perlu diberi wewenang untuk memperjuangkan kepentingan – kepentingan daerah ini . hanya dengan cara ini, keadilan dapat diwujudkan oleh pusat kepada pemerintah daerah – daerah.
Kelima meningkatkan kewenangan DPD berarti juga membentuk parlemen dengan system dua kamar yang seimbang antara kamar satu dan kamar yang lainnya. Dalam formatnya sekarang ini wewenang yang diberikan DPR terlalu dominant yang menguasai segala fungsi keterwakilan politik, format semacam ini hanya akan melanggengkan : konsentrasi kekuasaan pada suatu lembaga politik. Sesuatu yang ditentang oleh semangat reformasi sejak berakhirnya rejim Presiden Soeharto. Dengan menjadikan parlemen Indonesian sebagai parlemen dengan dua kamar fungsi – fungsi keperwakilan politik dapat terbagi secara berimbang antara DPR dengan DPD sehingga keduanya dapat saling mengisi dan mengimbangi demi optimalisasi keperwakilan dan demi terhindarnya dominasi satu lembaga atas lembaga – lembaga yang lain
***
Pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan demokratis, yang mana tidak mengawasi, mendikte ataupun menilai isi tulisan atau ucapan orang. Akses dalam mengimplementasikan hasil musyawarah memungkinkan mereka berperan penuh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini pondasi berpikir bisa tumbuh subur pada tiap orang atau warga yang ditunjang oleh arus gagasan,data, pendapat dan spekulasi yang tidak dihalangi. Tapi apa yang harus dilakukan pemerintah manakala ada media berita dan kelompok maupun perorangan yang menyalahgunakan kebebasan berbicara dengan informasi yang menurutnya palsu, menjijikkan, tidak bertanggung jawab atau berselera rendah ?! jawabannya… urusan tersebut semata-mata bukan urusan pemerintah untuk menilai masalah seperti itu. Pada umumnya obat bagi kebebasan berbicara adalah kebebasan yang lebih besar lagi. Mungkin hal ini tampak bertentangan sekali, tapi atas nama kebebasan berbicara, suatu demokratisasi kadang kala harus membela hak-hak individu dan kelompok yang justru mendukung kebijakan non-demokratis -- seperti pembungkaman kebebasan dalam berbicara.
Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab yang berani bertanggung jawab, maka dalam musyawarah yang demokratis haruslah membela hak-hak ini atas keyakinan bahwa pada akhirnya perdebatan terbuka akan menuntun kebenaran yang lebih besar dan tindakan umum yang lebih bijak daripada jika ucapan dalam penentangan dibungkam. Menurut filsuf berkebangsaan Inggris yang bernama John Sturt Mill mengatakan dalam esainya pada tahun 1859 “saat haus akan kemerdekaan, bahwa semua orang rugi manakala ucapan dibungkam” hal ini mempunyai makna apabila pendapat itu benar, mereka terhalang mendapat kesempatan bertukar kesalahan demi kebenaran. Kami memahami bahwa masyarakat kita mempunyai berbagai keinginan yang kadang kala bertentangan sekali, misalnya : orang menginginkan keamanan tapi menikmati petualangan ; mereka menyuarakan kebebasan individu tapi menuntut persamaan sosial. Dalam hal seperti ini musyawarah yang demokratis pada dasarnya menyamakan wacana dengan pengelolaan beberapa kerangka berfikir dalam batasan – batasan tertentu untuk mencapai kemufakatan, konsensus yang bisa diterima oleh semua pihak. Apabila ada golongan atau individu memandang musyawarah yang demokratif tidak lebih hanyalah suatu forum dimana mereka dapat mendesakkan tuntutan mereka, maka forum musyawarah ini dapat hancur dari dalam, dan jika ada individu ataupun kelompok menjalankan konsensus dengan membungkamkan suara, maka musyawarah tersebut tidak akan mungkin dapat menghasilkan suatu keputusan.
Seorang filosof yang sangat berpengaruh di Jerman yang bernama George Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831) dalam filsafat dialektikanya mengatakan “bahwa proses (musyawarah) seperti ini tidak lain untuk mencari suatu Nan-mutlak (kebenaran terbaik/terakhir)”, dan kemudian buah fikir ini disempurnakan lagi oleh seorang Karl Marx (1818-1883) asal Trier-Jerman melalui proses dialektikanya mengemukakan “untuk mencari kemufakatan dari suatu forum musyawarah tidak saja menjelaskan apa yang telah terjadi/ada/telah lalu, akan tetapi perlunya mencari solusi yang terbaik“. Jadi dalam hal ini, musyawarah yang demokratif bukanlah mesin yang yang berjalan sendiri begitu prinsip-prinsip dan prosedurnya yang tepat disisipkan. Suatu musyawarah demokratif membutuhkan komitmen dari suatu forum yang bisa menerima bahwa konflik tidak dapat dihindarkan, selain itu forum tersebut juga membutuhkan toleransi penting, yang mana bahwa konflik dalam suatu forum musyawarah yang demokratif bukanlah antara pihak yang benar atau yang salah, akan tetapi antara berbagai penafsiran yang berbeda atas hak-hak demokratis serta prioritas sosial. Selain dari itu juga untuk mencari garis-garis besar untuk menangani serta menganalisis beberapa pemikiran.
Karena itulah budaya musyawarah yang demokratis harus kita tumbuh kembangkan, karena individu maupun kelompok harus bersedia atau minimal bisa menerima perbedaan satu sama lain, dengan kata lain mengakui bahwa pihal lain mempunyai hak dan sudut pandang yang sah. Dengan demikian forum musyawarah dapat bertemu dalam suatu semangat untuk kemufakatan. Perlu juga diingat bahwa suatu suara resmi mungkin diperlukan, tetapi kelompok lebih sering dapat mencapai suatu konsensus melalui debat dan mufakat. Proses demikian mempunyai tambahan manfaat pembangunan kepercayaan yang diperlukan untuk menanggulangi masalah dimasa mendatang. Jadi pada dasarnya musyawarah yang demokratis bukanlah seperangkat kebenaran yang diungkapkan dan tidak berubah, melainkan suatu mekanisme untuk mencapai kesepakatan. Dengan demikian hasil musyawarah dapat dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab serta etikat yang baik
Sebelum menjawab “harus atau tidak” perlunya kita kupas terlebih dahulu Pancasila sila ke-4 yang mana dalam butir ke-5 berbunyi menghormati serta menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. Jadi dalam hal ini perlu kita maknai setiap hasil musyawarah seharusnyalah dihormati, karena dalam musyawarah seseorang ataupun kelompok bebas dalam mengeluarkan pendapatnya. Akan tetapi perlu pemahaman terlebih dahulu untuk menyatakan kebebasannya : dia tidak hanya berbicara mengenai tiadanya paksaan ataupun kekangan yang di bebankan oleh pihak lain ( kebebasan dari …’ ), tetapi juga bahwa dia bebas untuk melakukan sesuatu ( kebebasan untuk … ‘ ). hal ini merupakan aspek lain dari kebebasan dalam arti positif. Didalam tiap konteks apa saja, kebebasan hampir bisa diartikan suatu kebebasan khusus, yaitu kebebasan untuk atau didalam pelaksanaan suatu keinginan atau bentuk tertentu tindakan.
Maka kebebasan secara abstrak merupakan suatu perkumpulan dari banyaknya species, yang tentu saja didalam masing-masing bentuknya selalu ditandai oleh absen paksaan, halangan atau campur tangan dari pihak lain. Hal ini merupakan arti lain kepositifan dari kebebasan, yaitu suatu usaha untuk mengidentikan keadaan khusus kegiatan manusia dimana disebut dengan Mill Individualitas, hak dan kemampuan bagi seluruh golongan baik minoritas maupun mayoritas dalam memilih ataupun berinisiatif. Jadi apakah hasil musyawarah harus kita terima serta kita laksanakan ~ jawabannya adalah harus ! Karena sebagaimana yang telah kita kupas, kebebasan mempunyai arti Negatif yang mana dalam melaksanakan kebebasan sering sekali adanya rintangan, campur tangan, paksaan, kontrol tetap ; selain itu juga mengandung arti Positif yang menunjuk kepada proses dalam tindakan atas dasar inisiatif perorangan ataupun kelompok, dan lebih konkret menunjuk kepada jenis-jenis umum dari minat manusia atau bentuk-bentuk kegiatan untuk mengekspresikan diri. Dalam konteks ini musyawarah di ibaratkan “suatu permainan” yang mana dalam tiap permainan sendiri ada yang menang dan yang kalah. Dan sebaiknya yang menang janganlah bangga dengan hasil akhirnya (kemenangan) tetapi mesti bangga dengan proses ; lantas bagaimana dengan yang kalah ? mungkin dalam hal ini penulis coba untuk mencuplik pepatah yang bunyinya kegagalan adalah penundaan – bukan suatu kekalahan. Dimana proses musyawarah bukan untuk mencari kemenangan atau kekalahan akan tetapi untuk mencari (solusi) yang terbaik. Kenapa mesti demikian, sebab musyawarah yang juga disebut “kompetitif” ini didalam forum musyawarah tersebut seluruh peserta menikmati kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, ataupun menyuarakan kritik terbuka dan solusi terhadap sesuatu yang janggal ; selain itu juga musyawarah yang demokratif sendiri adalah suatu usaha untuk menelorkan atau menghasilkan suatu keputusan yang terbaik. Dan jika dalam suatu forum musyawarah terjadi adu argumen yang semuanya mempunyai nilai baik, maka masyarakat musyawarah yang ingin mencari hasil yang terbaik dan mempunyai selisih waktu yang sangat minim atau mendesak, bisa menggunakan media voting yang tentu saja harus bersih--tidak ada permainan negatif/curang didalamnya. Selain itu, aturan – aturan dasar masyarakat didalamnya harus mendorong toleransi serta sopan-santun atau etika dalam pelaksanaanya.
Sejalan dengan prinsip bahwa dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, tetapi berhubung jumlah rakyat dan masalah serta aspirasi maupun kebutuhannya semakin banyak dan semakin kompleks, maka sistem demokrasi yang dianut di hampir seluruh Negara di dunia saat ini adalah demokrasi perwakilan yang dilaksanakan oleh dan di dalam organ-organ Pemerintahan Negara. Sekalipun begitu, partisipasi (keikutsertaan) rakyat dalam proses politik (perancangan, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengawasan) kebijakan umum yang mengikat segenap merupakan suatu keharusan.
Para teoriwan pada umumnya mendinifisikan partisipasi politik sebagai keikutsertaan warga negara biasa (bukan pejabat Negara) baik secara individu maupun berkelompok dalam mempengaruhi dan menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya oleh organ-organ pemerintahan Negara. Berkaitan dengan sifatnya dikenal dua macam partisipasi politik, yaitu (1) partisipasi politik melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak dengan kekerasan. Bentuknya antara lain berupa ikut serta memilih dan pemilu, mengajukan petisi (pernyataan, melakukan kontak dan tatap muka maupun menulis surat dengan atau kepada para pembuat/pelaksana/pengawasan keputusan; (2) partisipasi politik dengan cara-cara diluar prosedur yang wajar (non-konvensial) manakala mekanisme dan penyaluran aspirasi secara biasa tidak diperhatikan oleh organ-organ pemerintahan yang berwenang tidak melaksanakan fungsi secara benar. Bentunya dapat berupa demonstrasi (unjuk rasa), pembangkangan halus (misalnya lebih memilih bersikap menjadi golongan putih, abstain dalam pemilu daripada memilih calon-calon yang diajukan tetapi tidak sesuai dengan keinginan atau aspirasinya), pembangkangan sipil (tidak mau melaksanakan dan mentaati peraturan perundangan yang telah dibuat oleh organ pemerintahan Negara karena tidak sejalan dengan aspirasi dan kepentingan yang bersangkutan), mogok hura-hura, serangan bersenjata atau kudeta maupun revolusi.
Aspek penting dan bahkan keharusan adanya partisipasi politik rakyat dalam sistem demokrasi (sekalipun dianut sistem demokrasi perwakilan) didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan brikut. Pertama, karena politik pada dasarnya adalah segala hal yang berhubungan dengan usaha-usaha warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang diselenggarakan dalam suatu Negara. Dalam pada itu, pihak yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah rakyat itu sendiri. Karena itu rakyat harus tahu tentang apa yang baik bagi dirinya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah rakyat itu sendiri. Karena itu rakyat harus tahu dan terlibat dalam hal apa saja yang perlu diatur dan bagaimana aturan tersebut sebaiknya dibuat, dilaksanakan serta diawasi agar tujuan kebaikan bersama itu dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan.
Kedua, rakyat merupakan salah satu unsur pokok dari organisme yang dapat disebut Negara di samping harus ada wilayah, ada pemerintahan serta ada pengakuan atas kedaulatannya dari Negara-negara lain. Ketiga, jika untuk merencanakan, memnutuskan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan-kebijakan umum yang mengikat segenap warga suatu Negara hanya dipegang oleh sekelompok orang, maka dikhawatirkan mereka tidak memahami dan tidak menjalankan apa yang dikenhendaki oleh mayoritas rakyat. Jika rakyat dilibatkan dalam proses politik (pengambilan kebijakan), sekurang-kurangnya akan terwujud tiga hal, yakni terciptanya kebijakan publik yang lebih baik, meningkatannya kepercayaan masyarakat kepada para wakil rakyat dan instutusinya (legislatif) maupun eksekutif, dan kebijakan tersebut akan diterima secara spontan oleh publik alias tidak akan terjadi penentangan apalagi pembangkangan.
Selain hal tersebut, bahwa perlu diperhatikan terhadap keberadaan Patisipasi politik rakyat, baik yang konvensional maupun non konvesional perlu pelembagaan (penataan dan pengaturan). Hal itu disebabkan karena aktor-aktor yang ingin berpartisipasi sedemikian banyaknya. Kecuali itu juga karena dalam sistem demokrasi antara lain dianut prinsip diakuinya kesetaraan setiap individu. Karena itu perlu aturan hukum yang diterapkan untuk semua pihak tanpa pandang bulu. Sebab jika tanpa aturan hukum, maka yang akan terjadi bukan demokrasi tetapi anarki. Apalagi karena dalam prakteknya akan saling bertemu kebebasan individu yang lain. Di sinilah penting pengaturan melalui hukum yang disepakati bersama agar satu sama lain tidak saling merusak kebebasan masing-masing. Di Indonesia dalam era reformasi, pelembagaan partisipasi politik itu telah diatur secara mendasar dalam berbagai peraturan perundangan. Hal itu antara lain dituangkan dalam perubahan pertama sampai dengan keempat UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR dalam sidang-sidangnya pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.
Beberapa hal sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Indonesia pada masa-masa selanjutnya antara lain adalah seperti berikut: (1) dimasukkannya pasal-pasal tentang pentingnya Pemilu secara langsung oleh rakyat dan secara periodik (lima tahun sekali) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, para anggota DPR. DPD dan DPRD yang diselenggarakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, serta pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua kali masa jabatan setiap 5 tahun (Pasal 22E, Pasal 7 UUD 1945 yang telah diubah 4 kali); (2) dimasukkannya pasal tentang partai politik (salah satu aktor penting dalam sistem demokrasi) sebagai peserta Pemilu (Pasal 22E Perubahan UUD 1945);(3) dimasukkannya pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28A s/d 28J Perubahan UUD 1945); (4) dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang antara lain berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan ketidaksejalanan UU terhadap UUD, persengketaan kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Pelanggaran hukum berat oleh Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 24C Perubahan UUD 1945).
Ketentuan-ketentuan dasar dari Perubahan UUD 1945 tersebut telah dituangkan pula ke dalam peraturan-peraturan pelaksanaan. Hal itu misalnya dalam bentuk dikeluarkannya paket undang-undang bidang politik pada tahun 1999, antara lain UU No.2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tantang Pemilihan Umum sebagai landasan pengaturan pelaksanaan Pemilu 1999, UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 9/1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, UU No. 39/1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menjelang Pemilu 2004, paket UU bidang politik tahun 1999 diganti dengan UU No. 31/2002 tentang Partai Politik, UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD, UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, ditambah UU No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kecuali itu telah dikeluarkan pula UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan (telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 Mei 2004.
Kesimpulan
Menguatnya posisi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) terhadap Kepala Daerah akibat diberlakukannya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini juga merupakan bukti dari upaya penguatan kelembagaan DPRD terhdap peran politik pada tingkat lokal. Misalnya, pasal 18 ayat 1, UU No. 22/1999 memberikan kewenangan sangat penting bagi DPRD antara lain; memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil).
Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Gubernur, Bupati dan Walikota bertanggungjawab kepada DPR. Pertanggungjawaban yang dimaksud meliputi, 1) pertanggungjawaban akhir tahun anggaran., 2) pertanggungjawaban akhir masa jabatan dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu misalnya berkaitan dengan persoalan pidana yang menyebabkan hilangnya kepercayaan publik. Selain itu, dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pengawasan pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota, pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), kebijakan pemerintahan daerah, dan pelaksanaan kerjasama internasional di daerah. Dalam pasal pengawasan ini tidak ada peraturan yang sangat rinci dan jelas mengenai peraturan dan ruang lingkup pengawasan yang dilakukan DPRD. Di sini jelas sekali bahwa UU tersebut memberikan otoritas yang sangat besar terhadap DPRD. Namun penguatan lembaga legislatif di hadapan eksekutif tidak dengan sendirinya dapat mendorong tercapainya tujuan penguatan tersebut, yakni peningkatan control terhadap kinerja Kepala Daerah yang lebih baik atau mencegah terjadinya penyimpangan terhadap implementasi kebijakan oleh eksekutif di daerah. Malahan sebaliknya terjadi relasi baru DPRD-Kepala daerah semakin marak dalam bentuk praktek kolusi baru antara eksekutif-legilatif di daerah.
Karenanya bagian yang banyak dikritis selama lima tahun UU tersebut berlaku adalah mengenai pelaksanaan pengawasan oleh DPRD. Secara umum, setidaknya ada tiga anggapan yang selalu muncul tentang pelaksanaan fungsi DPRD pasca pemerintahan Presiden Soeharto dan berlakunya UU No.22/1999 selama lima tahun. Pertama, DPRD dianggap kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif dari Kepala Daerah. Anggapan ini umumnya dianut oleh para pengamat politik yang cenderung menilai peranan Kepala Daerah masih cukup dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua, DPRD dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas Kepala Daerah, sehingga cenderung menyimpang dari fungsi utamanya sebagai badan pemerintahan daerah yang menyelenggarakan fungsi legislasi. Anggapan ini banyak dianut oleh pejabat eksekutif daerah. Ketiga, DPRD dianggap tidak memperoleh kesempatan yang seimbang dengan Kepala daerah untuk merumuskan kebijakan pemerintahan daerah. Anggapan ini umumnya beredar dikalangan anggota DPRD.
Kritik, Saran, dan Solusi
Untuk lebih dapat memaksimalkan interprestasi dan implementasi dari makalah ini, penulis merangkum beberapa alternatif kritik, saran, dan solusi : Desain pemerintah daerah pada masa Orde Baru, melalui kebijakan yang dihasilkan seperti UU No.5/1974, mempunyai beberapa dampak politik jangka panjang terhadap perkembangan demokrasi di tagnah air, antara lain : Pertama, system pemerintahan yang sentralistik telah menempatkan daerah (pemerintah daerah) sebagai subordinate pemerintah pusat. Dalam posisi yang demikian, pemerintahan daerah tidak berdaya terhadap pemerintah pusat. Selama kebijakan sentralisasi diterapkan secara konsisten (Orde BAru Konsisten melaksanakan sentralisasi), daerah (pemerintahan daerah) tidak akan pernah bias lahirn kebijakan daerah yang mandiri untuk menata daerah dan masyarakatnya secara otonomi. Dengan system sentralisasi,pemerintah daerah hanya menjadi alat untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat. Dalam posisi ketidakberdayaan daerah untuk menentang kebijakan pusat,proses eksploitasi secara politik maupun ekonomi berlangsung terus menerus. Disinilah kesenjagan dan ketidakadilan sosial dan ekonomi terjadi,daerah semakin miskin secara ekonomi,politik, dan budaya sementara pusat semakin kaya dan kekuasaan semakin kokoh/kuat.
Kedua, kebijakan sentralisasi yang berlangsung selama puluan tahun, merupakan bencana bagi kreatifitas serta daya kritis daerah, baik pemerintahan maupun masyarakatnya. Dibungkamnya kesadaran kritis dan kreatifitas masyarakat menyebabkan pemerintah pusat semakin sewenang-wenang dalam menentungkan kebijakan. Tidak adanya suara kritis masyarakat, menyebabkan Pemerintah Pusat merasa dirinya selalu benar, bahkan Pemerintah pusat (Presiden) merasa dirinya sebagai institusi yang paling berhak menentukan kebenaran. Karena itu setiap kebijakan Pemerintah Pusat maupun daerah relative tidak mendapat tanggapan yang berarti dari masyarakat. Pendekatan keamanan selalu digunakan untuk membungkam suara kritis masyarakat. Karena praktek Pemerintah Orde Baru berlangsung selama puluha tahun, maka muncul tradisi baru dalam masyarakat yakni sikap apatif dan permisif dengan praktek korupsi oleh pejabat Negara saat ini.
Ketiga¸ pemerintah pusat dengan sadar tidak memberikan ruang yang cukup untuk berkembangnya demokrasi dan partisipasi masyarakat, ha ini sangat dipahami Kepala Pemerintahan Orde Baru, karena demokrasi dianggap berbahaya terhadap orientasi kebijakan nasional yang menitikberatkan pada upaya menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu ,demokrasi juga dapat mengancam kekuasaan Soeharto yang ingin berkuasa terus – menerus di Indonesia. Akibatnya, bangsa ini ketinggalan selama puluhan tahun dalam merespon dan mengejawantahkan nilai demokrasi. Bahkan stabilitas dan pembangunan semu yang diciptakan , telah menyebabkan munculny kesadaran semu dikalangan masyarakat tentang demokrasi. Jadi tidak heran bila paska reformasi, bangsa ini baru melaksanakan demokrasi secara procedural,belum substansial.
Keempat, status DPRD yang bukan merupakan lembaga Legislatif dan hanya menjadi bagian dari pemerintahan daerah merupakan bukti bahwa pemerintah pusat tidak menghendaki demokrasi berkembang di Indonesia. Dan masyarakat daerah tidak diberi kesempatan sama sekali untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan kebijakan daerah. Lebih jauh kebijakan tersebut merupakan praktek pemasungan demokrasi. Dengan status demikian DPRD tidak lagi memposisikan dirinya sebagai mitra Pemerintah Daerah untuk transparansi dan mengakomodasi kepentingan masyarakat, tetapi sebaliknya menjadi alat kekuasaan pusat untuk memperkuat pengaruhnya didaerah. Hal ini bukan merupakan kesalahan DPRD, melainkan konstruksi hubungan Pemerintah Pusat dan daerah memang menempatkan posisi DPRD pada sisi yang sangat lemah dan tidak berdaya.
Situasi demikian disadari tidak akan bisa membawa perubahan apapun bagi demokrasi di Indonesia. Karenanya semangat perubahan dalam konteks hubunganpusat dan daerah adalah rekonstruksi terhadap pola relasi yang dibangun secara subordinate oleh Pemerintah Pusat selama Orde Baru. Semangat perubahan ini semakin kuat ketika reformasi terjadi dengan lengsernya Soeharto. Munculnya kebijakan desentralisasi pasca reformasi sebenarnya bukan merupakan perkembangan baru dalam penyelenggaraan Negara di Indonesia. UU Otonomi Daerah yang menjadi acuan bagi pelaksana otonomi daerah saat ini sebetulnya telah lama ada bahkan mengalami revisi namun demikian ,perlu dipahami bahwa perubahan politik pasca reformasi merupakan factor pendorong utama terhadap perubahan kebijakan desentralisasi saat ini. Sehingga, langkah maju daru kebijakan Desentralisasi saat ini adalah dirimuskannya secara tegas dan terinci mengenai pola relasi antar Eksekutif dan Legislatif.
Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 merupakan koreksi terhadap pola relasi antara Eksekutif dan Legislatif yang didominasi oleh Eksekutif pada era Orde baru. karena itu UU No 22 Tahun 1999 memberi otoritas yang relative sangat besar kepada DPRD. Persoalannya kemudian adalah pemberian otoritas yang sedemikian besar itu tidak diikuti oleh pelembagaan kekuasaan di daerah yang demokratis yakni pelembagaan mekanisme chek and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Restrukturisasi pola relasi pemerintahan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999, telah menetapkan DPRD sebagai kekuatan dominan didaerah, namun tidak didukung oleh mekanisme yang efektif untuk meminta pertanggung jawaban DPRD sebagai institusi politik daerah yang dominan. Perubahan politik juga tidak cukup efektif dalam membangun akuntabilitas DPRD kepada public. Sistem pemilu yang tidak efektif dalam mendorong akuntabilitas DPRD yang dominant didaerah itu, menimbulkan kerawanan terhadap praktek – praktek penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu pelembagaan pemilihan Kepala Desa secara langsung merupakan upaya untuk mengakomodir perubahan politik yang berkembang selama ini. Ada beberapa alasan yang dapat dipakai sebagai acuan untuk melembagakan pemilihan Kepala Desa secara langsung, dengan alas an : Pertama, perubahan UUD 1945 yang mengisyrakatkan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara demokratis. Semangat demokratis yang terkandung dalam perubahan UUD itu dapat diamati dengan dilembagakanyya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Hal itu juga berkaitan dengan pemilihan kepala daerah sesuai dengan UU Pemerintah Daerah. Kedua, perubahan Susduk yang tidak lagi memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Pemerintah Derah. Hal ini merupakan jaminan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat hal itu berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah yang langsung kepada rakyat bukan kepada DPRD.
Dengan mengacu kepada dua pertimbangan tersebut , maka revisi terhadap UU No 22/1999 merupakan jawaban atas kebutuhan yang selama ini terjadi penumpukan kekuasaan pada suatu lembaga sementara pada sisi yang lain sangat lemah sehingga terjadi dominasi suatu lembaga terhadap lembaga lainnya. sehingga, sejak pemerintahan Orde baru menetapkan kebijakan mengenai desentralisasi melalui UU No. 5 /1974, maupun kebijakan desentralisasi pasca reformasi melalui UU No.22 /1999 tentang Otonomi daerah, tidak diatur secara jelas mengenai pola relasi lembaga Negara yang berada didaerah dengan rakyat. Revisi UU No 22/1999 yang sekarang menjadi UU tentang pemerintahan daerah juga tidak mengatur secara jelas mengenai pola relasi tersebut.
System pemilihan Presiden atau Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota secara langsung oleh rakyat, merupakan perkebangan yang perlu diapresiasi karena rakyat dengan otoritas pribadi yang mandiri dapat menentukan pemimpin yang dikehendakinya secara langsung tanpa perantara. Dalam hal ini, kedaulatan rakyat dalam hal menentukan pemimpinnya diakui dan mendapat tempat terhormat persoalannya mekanisme pertanggung jawaban public setiap pemimpin yang dipilih secara langsung, tidak diatur secara jelas. Hal itu mengaburkan pesan rakyat dalam menuntut tanggung jawab sang pemimpin yang dipilih rakyat. Slogan yang mengatakan bertanggung jawab langsung kepada rakyat sesnugguhnya sangat abstrak karena pola relasi yang tidak jelas antara rakyat dengan pemimpin mulai dari Presiden sampai Bupati atau Walikota. Dengan ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban pada rakyat, memungkinkan tejadinya penyalahgunaan kewenangan pemimpin yang telah dipilih secara langsung.
Namun bagaimanapun dengan diputuskannya mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan pertanggungjawaban Kepala Daerah langsung kepada daerah merupakan pilihan yang dinilai dapat menjadi solusi terhadap persoalan relasi Eksekutif dan Legislatif yang tidak seimbang pasca reformasi. Dalam kerangka yang lebih luas, perubahan tersebut diharapkan dapat mendorong format politik baru yang demokratis, transparan,serta akuntabilitas para penyelenggara pemerintah daerah.
KEPUSTAKAAN
Ahmad, munawar. 2007. Menurut akar pemikiran politik kritis di Indonesia & Penerapan critical discourse Analysis sebagai system metodologi. Yogyakarta, Gava media ;
Alfian. 1992. Masalah dan Prospek Pembangunan politik Indonesia. Jakarta, PT. Gramedia;
Bertens. K. 2006. Psikoanalisis Sigmund Freud, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Budiardjo, Miriam. 1985. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia.
Daryanto.S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap : Ejaan Yang Disempurnakan, Surabaya : Penerbit Apolo.
Faturohman, Deden. Sobari, Wawan. 2004. Pengantar Ilmu Politik, Malang : UMM Press.
Hardiman, Francisco Budi. 1990. Kritik Ideologi : Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan, Yogyakarta : Kanisius.
Hanafi, Hassan. 2005. Bongkar Tafsir : Liberalisasi, revolusi, hermeneutic. Yogyakarta, AR – RUZZ Media ;
Hegel, GWF. 2002. Filsafat sejarah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar ;
Muluk, Khairul. 2006. Desentralisasi Pemerintahan dan Daerah. Malang, Banyumedia ;
Rush, Michael; Althoff, Philip. 1990. Pengantar sosiologi politik. Jakarta, CV. Rajawali ;
Sabine, George H. 1963. Terjemahan : A History Of Political Theory, Jakarta : Yayasan Penerbitan Franklin.
Simbolon, Prakitrit. 1996. Politik kerakyatan Discorsi Niccolo Machiavelli. Jakarta : Kepustakaan popular Gramedia ;
Soekarno. 1926. Suluh Indonesia Muda, Jakarta.
Sudiyat, Iman. 1999. Asas-asas Hukum Adat, Yogyakarta : Penerbit Liberty.
Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta, Raja Grafindo Perssada ;
Turner, Bryan. S. 2005. Menggugat sosiologi sekuler (Studi analisis atas sosiologi Max Weber). Yogyakarta, Suluh Press ;
Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme : Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : Kanisius.