Selasa, 31 Agustus 2010

Contoh Perjanjian Franchise Restoran


CONTOH PERJANJIAN FRANCHISE RESTORAN

Yang bertandatangan di bawah ini:
1. Drs. M. Adung Darmadung, Direktur Restoran Serba Wenak beralamat di Jl. Raja Panjang No. 221 Kebun Jeruk, Jakarta Barat, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Restoran Serba Wenak dalam perjanjian ini selanjutnya disebut Franchisor.
2. Leni Marleni, swasta beralamat di Jl. Van Java No. 32 Radio Dalam Jakarta Selatan, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama pribadi selaku penerima Franchise yang selanjutnya disebut Franchisee.

Pada hari ini Kamis, tanggal duabelas bulan enam tahun duaribu delapan (12-06-2008) bertempat di kantor Restoran Serba Wenak di alamat tersebut di atas Franchisor dan Franchisee sepakat untuk mengikatkan diri dalam perjanjian kerja sama Franchise dengan menerangkan terlebih dahulu hal-hal sebagai berikut:

 Bahwa Franchisor adalah restoran yang menyajikan makanan siap saja yang dikenal dengan nama Restoran Serba Wenak.
 Bahwa Franchisor setuju memberikan izin dan membantu Franchise menjual dan menyajikan makanan Serba Wenak untuk wilayah Jakarta Selatan.
 Bahwa Franchisee berjanji akan mengawasi, menjaga dan mengendalikan mutu makanan Serba Wenak serta memebrikan pelayanan terbaik bagi setiap konsumen sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Franchisor.
 Bahwa Franchisor memberikan hak ekslusif kepada Franchisee untuk membuka restoran yang menyediakan dan menyajikan makanan siap saji yang ditetapkan Franchisor di seluruh wilayah Jakarta Selatan.
 Franchisor memberikan izin kepada Franchisee dengan nama Restoran Serba Wenak untuk itu Franchisee dapat m enggunakan merek dan system secara bersamaan dengan Franchisee lainnya yang sudah diizinkan oleh Franchisor sebelumnya.
 Franchisee setuju membeli dan menjalankan serta mematuhi semua ketetapan dan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh Franchisor.

Bahwa berdasarkan hal-hal yang telah ditetapkan di atas dengan ini Franchisor dan Franchisee sepakat untuk melaksanakan Perjanjian ini dalam bentuk kerjasama yang untuk selanjutnya disebut sebagai Perjanjian degnan syarat-syarat dan ketentuan sebagai berikut:

Pasal 1: Syarat-Syarat
Franchisee menyatakan bahwa untuk memenuh seluruh persyaratan yang ditetapkah oleh Franchisor antara lain:

1. memiliki tempat usaha baik miliki sendiri atau hak sewa minimal 5 (lima) tahun seluas 400 meter npersegi dengan desain sebagaimana terlampir.
2. menyediakan fasilitas parkir yang memadai minimal untuk 15 kendaraan roda 4 (empat) dan 50 (limapuluh) kendaraan roda 2 (dua) dan minimal satu toilet untuk konsumen.
3. menyediakan modal awal usaha sebesar Rp. 300.000.000 (tigaratus juta rupiah) dan uang jaminan sebesar Rp. 35.000.000 (tigapuluh lima juta rupiah) yang harus disetor ke rekening Franchisor.
4. tidak akan menyediakan dan menyajikan makanan lain dan atas usaha lain selain makanan Serba Wenak yang ditetapkan oleh Franchisor.

Pasal 2: Franchisee Fee dan Royalti

1. Franchisee setuju membayar Franchisee Fee sebesar Rp. 50.000.000 (limapuluh juta rupiah), pembayaran mana dilakukan pada saat perjanjian ini ditandatangani.
2. Franchisor berhak mendapatkan royalty sebesar 2% (dua persen) dari omzet penjualan setiap restoran yagn dibayarkan pada setiap tanggal 25 setiap bulannya untuk penjualan bulan sebelumnya.
3. untuk keperluan promosi secara nasional produk Serba Wenak, Franchisee bersedia membayar marketing fee sebesar 1% (satu persen) dari omzet penjualan kepada Franchisor.
4. marketinf fee sebagaimana diatur dalam ayat 3 pasal ini semata-mata hanya dieprgunakan oleh Franchisor untuk mempromosikan prpoduk Serba Wenak secara nasional yang dibayarkan bersamaan dengan pembayaran royalti.

Pasal 3: Sengketa dengan Pihak Ketiga

Franchisee tidak akan melibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung Franchisor bila Franchisee terlibat tuntutan hukum dan/atau non hukum yang dilakukan oleh pihak lain berkaitan dengan usaha restoran yang dikelolanya.

Pasal 4: Jam Buka Restoran

1. Pada tiga bulan pertama sejak perjanjian ini ditandatangani Franchisee akan membuka dan mengoperasikan restoran di Jl. Kutuloncat No. 33 Radio Dalam, Jakarta Selatan dan selanjutnya secara bertahap akan membuka 2 (dua cabang) antara lain:
a. cabang ciputat tepat di depan kampus UIN Syarif HIdayatullah Jakarta Selatan
b. cabang lebak bulus tepat di samping Perpustakaan Iman Jamak Lebak bulus Jakarta Selatan
2. Franchisee tidak diperkenankan memindahkan alamat restoran ke tempat lain tanpa persetujuan tertulis dari Franchisor.
3. dalam hal Franchisor memberikan izin pemindahan lokasi restoran, maka Franchisee wajib membayar biaya administrasi sebesar Rp. 4.000.000 (empat juta rupiah). Atas seluruh biaya baik renovasi, izin, pajak dan biaya apapun yang timbul akibat perpindahan lokasi ditanggung oleh Franchisee sendiri.

Pasal 5: Kewajiban Franchisor

Selama perjanjian ini berlangsung Franchisor berkewajiban untuk:
1. memberikan panduan operasional pengelolaan restoran kepada franchisee dan menyediakan secara Cuma-Cuma pengetahuan tentang manajemen pengelolaan dan teknik penyajian menu Serba Wenak.
2. menyediakan desain interior, peleatih dan materi pelatihan untuk para pekerja restoran franchisee atas biaya franchisor sendiri.
3. menyelenggarakan program pelatihan untuk franchisee secara berkesinambungan dan berkala paling sedikit 2 (dua) kali dalam setahun.
4. memberikan konsultasi gratis kepada franchisee apabila restoran franchisee berada dalam keadaan krisis yang dapat menyebabkan tutupnya atau berhentinya bisnis restoran franchisee.
5. memberikan rekomendasi kepada pihak perbankan/lembaga keuangan guna membentu franchisee memeproleh pinjaman untuk pengembangan restorannya.

Pasal 6: Kewajiban Franchisee

1. seluruh biaya untuk pengadaan perabotan untuk keperluan restoran serta bahan-bahan baku pembuat menu Serba Wenak yang sesuai dengan standar franchisor serta biaya-biaya lain seperti pengurusan perizinan atas pembukaan dan pengoperasian restoran menjadi tanggungan franchisee sendiri.
2. franchisee setuju bahwa pengadaan brosur, kartu nama, formulir, kwitansi, seragam, bahan/atau alat promosi dan benda-benda lain yang diperlukan untuk menunjang usaha restoran, franchisee sepakat untuk membeli dari franchisor atas biaya franchisee.
3. franchisee atau pekerja yang dipekerjakan oleh franchisee pada restoran yang dimaksudkan dalam perjanjian ini wajib mengikuti program pelatihan dna kerja praktek yang diselenggarakan franchisor atas biaya franchisee.

Pasal 7: Biaya-Biaya

1. Franchisee sestuju membayar kepada franchisor semua biaya dan iuran sesuai dengan perjanjian ini termasuk biaya atau tagihan tambahan atas semua produk atau jasa-jasa yang diberikan atau akan diberikan kepada franchisor. Setiap pembayaran yang terlambat akan dikenakan denda keterlambatan sebesar 1% per hari untuk paling lama satu bulan.
2. Franchisee setuju untuk biaya penyelenggaraan seminar, workshop/pelatihan dan pertemuan bulanan dan/atau tahunan yang diselenggarakan franchisor bersama-sama dengan franchisee lainnya.

Pasal 8: Pajak

Setiap pembayaran yang dilakukan oleh franchisee kepada franchisor yang atas pembayaran tersebut franchisor dibebani pajak sesusai dengan kegtentuan peraturan perundang-undangan, maka beban pajak tersebut ditanggung oleh franchisee.

Pasal 9: Perubahan Sistem

Franchisor berhak untuk mengubah dan menyesuaikan system marketing, termasuk penentuan adanya pemakaian nama dagang, tanda dagang, tanda pelayanan baru, identifikasi baru, produk dan menu-menu baru yang dilakukan dengan itikad baik demi usaha franchisee.

Pasal 10: Jangka Waktu

Perjanjian ini berlaku selama 5 (lima) tahun sejak perjanjian ini ditandatangani yakni tanggal 12 juni 2008 dan berakhir pada tanggal 11 Juni 2013 dan atas kesepakatan kedua belah pihak dapat diperpanjang dngan syarat dan jangka waktu yang akan ditetapkan kemudian.

Pasal 11: Kuasa

1. Franchisee dengan ini memberikan kuasa kepada franchisor untuk sewaktu-waktu seuai dengan keinginan franchisor untuk memeriksa dan atau mengaudit segala catatan dan pembukuan franchisee tanpa pengecualian apapun juga.
2. seluruh biaya audit dan biaya lain termasuk biaya pengacara dibayar dalam proses pemeriksaan dan atau audit sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sepenuhnya ditanggung oleh franchisee.

Pasal 12: Laporan

1. Franchisee setuju memberikan laporan penjualan secara periodic setiap bulan yang diserahkan paling lambat tanggal 5 setiap bulannya untuk laporan penjualan bulan sebelumnya.
2. dalam sekali setahun franchisee wajib melaporkan semua transaksi keuangan secara tertulis termasuk neraca dan daftar laba rugi secara terus-menerus selama masa perjanjian ini.
3. laporan tahunan sebagaimana tersebut di atas disiapkan sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi paling lambat 30 hari setelah berakhirnya tahun yang bersangkutan. Laporan tersebut harus ditandatangani oleh penanggungjawab restoran bersama akuntan publik yang ditunjuk oleh franchisor.

Pasal 13: Rahasia Dagang

Franchisee diwajibkan untuk merahasiakan system, manajemen dan cara-cara pengelolaan restoran yang didapat dari franchisor.

Pasal 14: Pembatalan

Franchisor dapat membatalkan secara sepihak perjanjian ini karena hal-hal berikut:
1. apabila franchisee lalai dan atau tidak melakukan kewajibannya yang diatur dalam eprjanjian ini padahal sudah diberikan peringatan ketiga oleh franchisor namun masih melakukan pelanggaran baik berbeda maupun yang sama, pelanggaran mana yang dianggap serius sebagaimana tertulis dalam surat peringatan/teguran yang menurut ukuran franchisor.
2. apabila franchisee bangkrut atau dinyatakan pailit kecuali jika franchisee dengan segera memenuhi kembali semua kewajiban-kewajiban yang ditetapkan dalam perjanjian ini.
3. dalam hal perjanjian ini diakhiri atau dibatalkan, franchisee berkewajiban untuk:
a. membayar kepada franchisor dengan segera seluruh jumlah hutang-hutangnya sekaligus dan lunas dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari setelah tanggal perjanjian ini berakhir.
b. Tidak menuntut dan meminta kembali franchise fee dan biaya-biaya lain yang sudah dikeluarkan beserta bunganya.
c. Dengan segera dan secara tetap menghentikan penggunaan semua tanda milik/label franchisor.
d. Franchisee tidak diperkenankan mempromosikan atau menngiklankan restorannya dengan menggunakan nama dan merek franchisor.
e. Franchisee dengan segera mengembalikan kepada franchisor semua buku manual penuntun, video, kaset, formulir atau peralatan dan barang-barang cetakan yang berisi tanda-tanda paroduk makanan milik franchisor paling lambat 14 hari setelah perjanjian ini berakhir.
f. Franchisee memberikan kausa penuh kepada franchisor melakukan pemeriksaan/inspeksi dan memasuki restoran franchisee serta mengambil tanda-tanda yang bercirikan merek franchisor.

Pasal 16: Penyelesaian Perselisihan

Apabila timbul sengketa diantara kedua belah pihak akibat dari perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah dan mufakat. Apabila dalam musyawarah untuk mufakat tersebut tidak berhasil mencapai kesepakatan maka kedua belah pihak akan menyelesaikan secara hukum dan karenanya kedua belah pihak memilih domisili hukum yang tetap di kantor Kepaniteraan Pengalidan Negeri Jakarta Barat.

Pasal 16: Penutup

Demikianlah perjanjian ini dibuat dan ditandatangani oleh para pihak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani tanpa adanya paksaan dari pihak manapun serta dibuat 2 (dua) rangkap masing-masing mempunyai kekuatan hukum yang sama. Dibuat danditandatangani di Jakarta pada tanggal 12 Juni tahun 2008.

Franchisee Franchisor

HUKUM TENTANG FRANCHISE

HUKUM TENTANG FRANCHISE

Pengertian franchise (dictionary of business terms):
1. Suatu izin yang diberikan oleh sebuah prusahaan (franshisor) kepada seorang atau kepada suatu perusahaan (franchisee) untuk mengoperasikan suatu retail, makanan atau supermarket dimana pihak franchisee setuju untuk menggunakan milik franchisor berupa nama, produk, servis, promosi, penjualan, distribusi, metode untuk display dll company support.
2. Hak untuk memasarkan barang-barang atau jasa perusahaan (co’s goods and services) dalam suatu wilayah tertentu, hak tersebut telah diberikan oleh perusahaan kepada seorang individu, kelompok individu, kelompok marketing, pengecer atau grosir.
3. Franchise adalah hubungan kemitraan antara usahawan yang usahanya kuat dan sukses dengan usahawan yang relative baru atau lemah dalam usaha tersebut dengan tujuan saling menguntungkan, khususnya dalam bidang usaha penyediaan produk dan jasa langsung kepada konsumen.

Unsur-unsur yang harus dimiliki sebuah franchise:
1. Adanya minimal 2 pihak, yaitu pihak franchisor dan pihak dranchisee. Pihak franshisor sebagai pihak yang memberikan franchise sementara pihak franshisee merupakan pihak yang diberikan/ menerima franshise tersebut;
2. Adanya penawaran paket usaha dari franchisor,
3. Adanya kerja sama pengelolaan unit usaha antara pihak franchisor dengan pihak franchisee,
4. Dipunyaianya unit usaha tertentu (outlet) oleh pihak franchisee yang akan memamfaatkan paket usaha miliknya pihak franchisor,
5. Seringkali terdapat kontrak tertulis antara pihak franchisor dan pihak franchisee.

20 kategori usaha yang sering atau pernah menjadi objek bisnis franchise:
1. Bidang usaha makanan:
• Restoran,
• Makanan siap hidang,
• Makanan ringan (es krim, yogurt, baked goods, donat, pastry)
• Makanan khusus (speciality foods)
2. Jasa konsultan dan keperluan bisnis
• Aneka jasa konsultan (business aids and services)
• Jasa pencarian dan penempatan tenaga kerja (employment services)
• Periklanan dan direct mail
3. Jasa pemeliharaan, perbaikan dan kebersihan
• Pemeliharaan dan perbaikan gedung dan rumah (maintenance, cleanding and sanitation)
• Jasa kebersihan gedung dan rumah (janitorial, maid and personal services)
• Jasa pertamanan (lawn garden, agricultural supplies and services)
4. Jasa pialang pembelian rumah dan penyewaan property,
5. Jasa penjualan, pemeliharaan dan reparasi kendaraan bermotor.
6. Toko pengecer keperluan pribadi dan rumah tangga:
• Toko pengecer barang khusus (speciality retail stores)
• Toko keperluan sehari-hari (convenience store)
• Toko pakaian dan sepatu.

7. Hotel dan tempat penginapan
8. Kontraktor perumahan dan tempat komercial
9. Percetakan dan fotocopy
10. Penjualan dan pemeliharaan perabot rumah tangga seperti home furnishing, retail and repair services)
11. Penyewaan mobil dan truck
12. Rekreasi
• Exercise, sports, entertainment and services
• Penyewaan video, audio products and services
13. Penjualan computer dan electronic
14. Jasa dan produk pemeliharaan kesehatan
15. Biro perjalanan
16. Produk dan jasa pendidikan (health aids products and services)
17. Jasa pengepakan dan pengiriman (package preparation/ shipment/ mail services)
18. Salon rambut dan kecantikan,
19. Binatu (laundry and dry cleaning)
20. Jasa untuk anak (children services)

KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN FRANCHISE DARI MATA FRANCHISEE

Keuntungan:
1. Kurangnya pengetahuan dan keterampilan dari pihak franchisee dapat ditanggulangi dengan program-program pelatihan yang disediakan oleh pihak franchisor,
2. Karena pihak franchisee pada prinsipnya memiliki bisnisnya sendiri sebagai franchisee (yang hanya terikat kontrak dengan pihak franchisor), maka dia mempunyai insentif yang besar untuk berusaha sekuat tenaga untuk dapat memajukan bisnisnya itu di samping mendapat bantuan dan bimbingan yang terus menerus dari pihak franchisor.
3. Terdapat keuntungan bagi franshisee yang langsung dapat berbinis di bawah nama besar dan terkenal pihak franchisor,
4. Dibandingkan dengan apabila franshisee berbisnis secara biasa, maka dengan berbisnis secara franchise, pihak franchisee dapat menghemat cost dan permodalan diperlukan. Hal ini dikarenakan operasi percobaan yang telah dilakukan oleh pihak franchisor sudah menemukan sisteman yang efektid tapi paling irit biaya,
5. Seringkali pihak franchisee menerima juga bantuan-bantuan berikut ini:
a. Penyeleksian tempat,
b. Persiapan rencana perbaikan model gedung sehingga sesuai dengan rencana tata kota atau ketentuan lainnya yang berlaku,
c. Perolehan dana untuk sebahagian biaya akuisisi dari bisnis yang difranchisekan,
d. Pelatihan staff,
e. Pembelian peralatan,
f. Seleksi dan pembelian suku cadang,
g. Bantuan pembukaan bisnis dan menjalankannya dengan lancer.

6. Keuntungan atas adanya iklan bersama secara meluas,
7. Keuntungan bagi franchisee dari adanya daya beli yang besar dan negosiasi yang dilakukan pihak franchisor atas nama seluruh jaringan franchisee,
8. Adanya akses bagi pihak franchisee untuk mendapatkan pengetahuan dan skill khusus dari pihak franchisor,
9. Risiko dalam bisnis franchise umumnya kecil dibandingkan dengan bisnis bisnis model lainnya,
10. Franchise mendapatkan hak untuk menggunakan merek dagang, paten, hak cipta, rahasia dagang, serta proses, formula dn resep rahasia milik franchisor,
11. Franchisee memperoleh jasa-jasa dari staff lapangan pihak franchisor,
12. Franchisee mengambil mamfaat dari hasil riset yang dilakukan secara terus-menerus oleh franchisor, sehingga dapat memperkuat daya saing.
13. Informasi dan pengalaman dari seluruh jaraingan franchisee yang ada lewat franchisor dapat disebarkan ke seluruh jaringan yang ada.
14. Seringkali terdapat jaminan exclusivitas bagi franchisee untuk bergerak dalam usaha yang bersangkutan dalam sesuatu territorial tertentu.
15. Lebih mudah bagi franchisee utnuk memperoleh dana dari penyandang dana karena nama besar dan keberhasilan dari pihak franchisor.


Kerugian:
1. Kontrol yang besar oleh pihak franchisor terhadao pihak frnchisee menyebabkan pihak franchisee hilang kemandiriannya;
2. Pihak franchisee harus membayar berbagai macam fee kepada pihak franchisor, yang terms and conditionsnya therefore harus jelas dan dinegosiasi siapa yang harus memikul biaya tersebut:
a. Royalty; pembayaran oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan dari pemakaian hak franchise oleh franchisee.
b. Franchise fee: biasanya dilakukan sekali saja dan dengan jumlah tertentu pada saat penandatangan akte franchise,
c. Direct expenses: Biaya langsung yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pembukaan/ pengembangan suatu bisnis franchise seperti biaya pemodokan pihak yang akan menjadi pelatih dan feenya, biaya pelatihan dan biaya pada saat pembukaan;
d. Biaya sewa: apabila franchisor menyediakan tempat bisnis,
e. Marketing dan advertising fees; Karena franchisor yang melakukan marketing dan iklan, maka pihak franchisee mesti juga ikut menanggung beban biaya tersebut dengan menghitungnya baik secara persentase dari omset penjualan ataupun jika ada marketing atau iklan tertentu.
f. Assignment fees; biaya yang harus dibayar oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor jika pihak franchisee tersebut mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain biasanya untuk kepentingan persiapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan pemegang franchise yang baru dsb.
3. Kesukaran dalam menilai kualitas franchisor;
4. Biasanya kontrak franchise berisikan juga pembatasan-pembatasan terhadap bisnis franchise dan riang gerak dari pihak franchisor,
5. Kebijakan-kebijakan pihak franchisor tidak selamanya berkenaan di hati pihak franchisee,
6. Franchisor bisa jadi membuat kesalahan dalam kebijakannya,
7. Turunnya reputasi dan citra dari merek bisnis franchisor karena alasan yang tidak terduga-duga sebelumnya.


KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN DARI KACAMATA FRANCHISOR

Keuntungan:
1. Usahanya dapat cepat berkembang tetapi dengan menggunakan modal dan motivasi dari pihak franchisee,
2. Mudahnya dikembangkan suatu pasar baru atau perluasan wilayah baru karena nama franchisor yang sudah terkenal itu,
3. Franchisee akan memiliki motivasi yang kuat untuk mengembangkan bisnis franchise, karena dia memiliki bisnisnya sendiri.
4. Kecilnya modal untuk memperluas usaha karna sebahagian besar modal ditanggung oleh pihak franchisee
5. Jumlah karyawan dari pihak franchisor relative lebih sedikit,
6. Setiap kali dibuka unit franchise yang baru, biasanya daya beli kelompok usaha relative meningkat,
7. Banyak dana dapat dihemat karena adanya promosi dan pelayanan bersama,
8. Return on investment cukup tinggi, terutama setelah tahun kedua dan ketiga.

Kerugian:
1. Franchisor tidak gampang mendikte franchisee, sehingga tidak gampang baginya untuk mengadakan perubahan atau inovasi bisnis yang baru,
2. Timbul kesulitan bagi franchisor dikarenakan biasanya terdapat harapan yang terlalu tinggi bagi pihak franchisee yakin untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
3. Jika ada kenaikan dari segi biaya, biasanya pihak franchisor tidak mudah untuk meyakinkan pihak franchisee,
4. Bisa bisa menghancurkan reputasi dari pihak franchisor jika pihak franchisee ternyata dipilih secara tidak tepat.
5. Mengingat ikatan franchise biasanya untuk jangka waktu yang lama, maka apabila pihak franchisor ingin mengakhiri perjanjian franchise secara sepihak, misalnya karena ada kejadian yang tak terantisipasi, tidak gampang diakhiri kontrak franchise tersebut tampa alasan-alasan yang sah.

DASAR HUKUM FRANCHISE

1. Perjanjian sebagai dasar hukum KUH Perdata pasal 1338 (1), 1233 s/d 1456 KUH Perdata; para pihak bebas melakukan apapun sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kebiasan, kesopanan atau hal-hal lain yang berhubungan dengan ketertiban umum, juga tentang syarat-syarat sahnya perjanjian dsb.

2. Hukum keagenan sebagai dasar hukum; KUH Dagang (Makelar & Komisioner), ketentuan-ketentuan yang bersifat administrative seperti berbagai ketentuan dari Departemen Perindustrian, Perdagangan dsb. Seringkali ditentukan dengan tegas dalam kontrak franchise bahwa di antara pihak franchisor dengan franchisee tidak ada suatu hubungan keagenan.

3. Undang-undang Merek, Paten dan Hak Cipta sebagai dasar hukum; berhubung ikut terlibatnya merek dagang dan logo milik pihak franchisor dalam suatu bisnis franchise, apalagi dimungkinkan adanya suatu penemuan baru oleh pihak franchisor, penemuan dimana dapat dipatenkan. UU No.19 (1992) Merek, UU No 6 (1982) Paten, UU No.7 (1987) Hak Cipta.

4. UU Penanaman Modal Asing sebagai dasar hukum; Apabila pihak franchisor akan membuka outlet di suatu Negara yang bukan negaranya pihak franchisor tersebut maka sebaiknya dikonsultasi dahulu kepada ahli hukum penanaman modal asing tentang berbagai kemungkinana dan alternative yang mungkin diambil dan yang paling menguntungkannya. Franchise justru dipilih untuk mengelak dari larangan-larangan tertentu bagi suatu perusahaan asing ketika hendak beroperasi lewat direct investment.

5. Peraturan lain lain sebagai dasar hukum;

a. Ketentuan hukum administrative, seperti mengenai perizinan usaha, pendirian perseroan terbatas, dll peraturan administrasi yang umumnya dikeluarkan oleh Departmen Perdagangan. Kepmen Perdagangan No 376/Kp/XI/1983 tentang kegiatan perdagangan.
b. Ketentuan Ketenagakerjaan,
c. Hukum Perusahaan (UU PT No 1 (1995)),
d. Hukum pajak- adakah pajak ganda, pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak withholding atas royalty dan pajak penghasilan atas tenaga kerja asing.
e. Hukum persaingan,
f. Hukum industri bidang tertentu misalnya aturan tentang standar mutu, kebersihan dan aturan lain lain yang bertujuan melindungi konsumen, atau bahkan UU pangan sendiri.
g. Hukum tentang kepemilikan- hak guna bangunan, hak milik, etc.
h. Hukum tentang pertukaran mata uang- RI menganut rezim devisa bebas, maka tidak ada larangan maupun batasan terhadap keluar masuknya valuta asing dari/ke Indonesia.
i. Hukum tentang rencana tata ruang; apakah wilayah tersebut memungkinkan dibukannya sebuah franchise, kualitas bahan untuk gedung tersebut memenuhi syarat? Etc etc.
j. Hukum tentang pengawasan ekspor/ impor misalnya dalam hal pengambilan keputusan apakah barang barang tertentu mesti dibawa dari Negara pihak franchisor atau cukup diambil saja dari Negara pihak franchisee.
k. Hukum tentang bea cukai- apakah lebih menguntungkan barang-barang tertentu dipasok dari luar negeri atau cukup menghandalkan produk local semata.


SISTEM DOKUMENTASI DALAM BISNIS FRANCHISE

1. DOKUMENTASI PENDAHULUAN;
2. DOKUMENTASI POKOK;
3. DOKUMENTASI TAMBAHAN

A. Dokumentasi pendahuluan
I. Franchisor
a. Operational Perusahaan
i. Produk atau servis yang ditawarkan kepada public
ii. Kekhasan produk atau servis
iii. Pasar di negeri franchisor
b. Sejarah Perusahaan
i. Lamanya beroperasi
ii. Perkembangan sistem franchise
iii. Jumlah franchise dalam jariangannya.
c. Program Ekspansi Luar Negeri
i. Perkembangannya sampai saat ini,
ii. Kepentingannya di Negara franchisee.
II. Sistem Pendistribusion suatu Franchise
a. Peranannya dalam perekonomian di Negara franchisor;
i. Persentasenya dalam Gross National Product,
ii. Posisi dari produk dan servis dari franchise,
iii. Jumlah franchisee saat ini
b. Sejarah singkat
i. Penggunaannya di dalam industri-industri besar (distribusi mobil, distribusi petroleum, pembotolan minuman ringan)
ii. Booming franchise,
iii. Expansi international
c. Pengertian Franchise
d. Fungsi dari kontrak franchise
III. DRAFT KONTRAK FRANCHISE
IV. TENTANG HUKUM ASING MENGENAI FRANCHISE
a. Merek Dagang dan Merek Servis (Service Mark)
i. Perbedaan status dari merek servis
ii. Syarat “penggunaan”
iii. Prosedur registrasi
iv. Retriksi terhadap lisensi,
v. Siapa yang berhak mendaftar,
vi. Hak berdasarkan lisensi
vii. Kontrak tunggal atau ganda
viii. Kontrol kualitas
ix. Ketentuan traktat international yang relevant,
b. Peraturan dan izin dari pemerintah
i. Peraturan tentang investasi di bidang yang bersangkutan
ii. Izin-izin dari pemerintah (jika ada):
1. Persyaratannya
2. Biaya
3. Yudiriksi dari agency pemerintah,
4. Prosedur
5. Jangka waktu
iii. Franchise sebagai suatu security
iv. Pembatasan terhadap borrowings
c. Pengawasan Devisa
i. Pengaruhnya terhadap penerimaan franchisor,
1. Franchisee fee
2. Royalties
3. Fee untuk pelaksanaan servis
4. Pembayaran kembali pinjaman
ii. Remisi dari keuntungan
d. Sumber daya manusia
i. Pengaturan tentang jam kerja, upah dan pemutusan hubungan kerja,
ii. Yudiriksi dari Agency pemerintah
iii. Trade unions
iv. Tunjangan-tunjangan wajib kepada pekerja
e. Pengaturan tentang persaingan
i. Teritorial yang ekslusive
ii. Penetapan harga
iii. Tying arrangements
iv. Persaingan tidak fair
v. Klasula yang membatasi atau klasula “not to compete”
1. Kekuatan berlakunya
2. Pembatasannya.
f. Pengawasan impor dan bea cukai
i. Rate yang dapat diterapkan
ii. Metode penilaian
iii. Izin-izin yang diperlukan
iv. Impor modal
v. Eksemsi dan preferensial treatment
g. Insentif buat penanaman modal asing
i. Pinjaman, garansi dll bantuan financial
ii. Kemudahan pajak.
iii. Yudiriksi agency pemerintah
iv. Prosedur
v. Jangka waktu yang dibutuhkan
h. Hubungan Kontraktual
i. Formalitas
ii. Recordasi
iii. Restraints on alienation
iv. Bahasa yang disyaratkan
i. Agency
i. Unsur-unsur hubungan keagenan
ii. Kemungkinan karakterisasi hubungan franchise:
1. implikasi
2. alternative
3. kemungkinan tanggung jawab franchisor terhadap suatu perbuatan melawan hukum dan atau kontrak yang dibuat oleh franchisee.
j. Terminasi
i. Restriksi
ii. Pemberitahuan dan atau prosedur lain yang diperlukan
iii. Ganti rugi yang diperlukan
1. Dasar hukum
2. Method of determination
iv. Pembaharuan dan kegagalan untuk memperbaharui
v. Alternatif seperti yang dilakukan di Negara Negara lain
1. keuntungan
2. kerugian
k. Bentuk organisasi Bisnis:
i. Lisensi langsung kepada franchisee oleh franchisor,
ii. Perusahaan holding
iii. Cabang perusahaan asing:
1. Persyaratan kualifikasi dan otorisasi;
2. Perluasan terhadap submisi untuk suatu yurisdiksi;
3. Persyaratan modal
4. Persyaratan pelaporan
5. Representatif local
6. Izin-izin
7. Perluasan tanggung jawab
a. Perusahaan franchisor
b. Officer dan pekerja non resident
c. Representative local
8. Sebagai alternative terhadap subsidiary
a. Keuntungan terhadap principal
b. Kerugiannya terhadap principal
iv. Subsidary
1. Persyaratan dan prosedur terhadap incooperation
2. Jangka waktu
3. Persyaratan modal
4. Persyaratan terhadap proporsi kepemilikan saham oleh pihak domestic
5. Pembatasan terhadap pengalihan saham
6. Hak, persyaratan dan tanggung jawab dari:
a. Direksi
b. Officers
c. Pemegang saham
d. Para pendiri
e. Para pekerja
7. Distribusi
8. Reinvestasi dari keuntungan
9. Aturan tentang fiscal
10. Inspeksi dari pemerintah
11. Perseroan terbatas
12. Masalah perpajakan
a. Umum
i. Penerapan withholding terhadap pembayaran franchise fee, royalty, interest terhadap non resident,
ii. Perjanjian bilateral antarnegara
iii. Kemungkinan pembebasan pajak
iv. Ketersediaan dan syarat2 loss carry forward and carry back,
v. Ketersediaan deduksi terhadap pembayaran kepada non resident
vi. Income yang tidak kena pajak
vii. Pajak daerah
viii. Pengkreditan terhadap pajak daerah
ix. Pajak pendapatan terhadap orang asing
x. Bea pendaftaran dan meterai
xi. Pajak excise dan penjualan
xii. Determinasi terhadap income wajib pajak
xiii. Persyaratan pelaporan
b. Lisensi langsung
i. Withholding rate terhadap royalty
ii. Inklusi sebagai royalty dari franchise fee dan fee pelayanan yang continue,
iii. Rate dari perjanjian bilateral
iv. Deduksi dari pengeluaran yang relevant yang terjadi di luar negeri
v. Meminimalkan konsekuensi pelaksanaan bisnis dan permanent establishment.
c. Cabang
i. Pajak withholding atau pajak pendapatan terhadap remisi keuntungan cabang kepada perusahaan induk asing
ii. Alokasi pendapatan cabang
iii. Persyaratan kontribusi modal
iv. Perbedaan rate yang diberlakukan terhadap cang dengan badan hukum local
d. Subsidary
i. Rate withholding untuk dividen, bunga, royalty, dsb dan preferential treaty rates
ii. Retriksi thp deductibilitas dari royalty yang dibayar kepada perusahaan asing yang ada kaitannya,
iii. Pajak terhadap modal
iv. Undustributed profits tax
v. Rate dan metode depresiasi
13. Penyelesaian sengketa
a. Pilihan Hukum
i. Hukum di Negara franchisor
1. keuntungan
2. kerugian
ii. Hukum di Negara Franchisee
b. Ketersediaan Summary Remedies
c. Specific Performance
d. Damages
e. Arbitrase
i. Kekuatan berlakukanya
ii. Keuntungan
iii. Kerugian.


*Biasanya ada Memorandum of Understanding yang mengandung prinsip2 pokok saja.


DOKUMENTASI POKOK
1. Franchise Grant
Franchise grant berisikan penentuan pemberian hak franchise oleh pihak franchisor kepada pihak franchisee. Juga dirincikan hak hak yang boleh digunakan oleh pihak franchisee seperti hak merek dagang, merek jasa, paten, hak cipta, trade secret knowhow dsb.

2. Franchise Payment
Mengandung seluruh pembayaran oleh pihak franchisee kepada pihak franchisor sebagai imbalan penggunaan hak-hak yang dimiliki oleh pihak franchisor:
a. Franchisee fee, seringkali diberikan sekaligus pada awalnya
b. Initial Assistance (training and services)
c. Biaya untuk grand opening advertising fund
d. Royalty, misalnya dibayar bulanan sekian persen dari omset,
e. Biaya promosi/ iklan.

Hal hal lain yang perlu diperhatikan dalam perhitungan pembayaran kepada franchisor adalah:
a. Sebaiknya untk pembayaran royalty, ada sistem rate mundur, dalam arti ada pengurangan rate jika volume bisnisnya meningkat. Juga patut dipertimbangkan pembayaran franchisee fee (start up fee) dibayar dalam 2 tahap, dimana tahap pertama dibayar pada waktu penandatangan kontrak franchise atau bahkan lebih awal yakni pada waktu tanda tangan Purchase Agreement sementara sebahagian lagi dibayar saat mulainya operasinya bisnis.
b. Royalty yang rendah biasanya dapat diimbangi dengan kenaikan franchisee fee dan atau memark up harga barang atau jasa yang harus dibeli oleh franchisee dari franchisor.
c. Perlu dipikirkan tentang pajak-pajak terhadap pembayaran royalty fee dan franchisee fee.
d. Jika ada bunga terhadap late payment, apakah rate tersebut reasonable?
e. Jika ada ceiling berupa minimum monthly payment, apakah fair?

3. Services by Franchisor
Perincian atas servis apa saja yang akan diberikan pihak franchisor kepada pihak franchisee selama berlangsungnya kontrak franchise, antara lain:
a. Advis, jasa konsultasi dan planning untuk standard specifikasi permulaan, terutama untuk bangunan, peralatan, furnishing, dekorasi, layout dan lain lain
b. Program pre-opening training
c. Program Opening promotion
d. Opening supervision
e. Resep-resep khusus misalnya resep makanan
f. Advis dan data hasil riset tentang iklan, marketing dan merchandising,
g. Manual terhadap standar dari policy dan operasi bisnis yang bersifat rahasia,
h. Pengontrolan biaya dan akutansi.

4. Exclusivity
Pihak franchisee diberikan hak yang eksclusif untuk beroperasi di dalam satu wilayah tertentu.

5. Term
Berapa lama hak franchise diberikan kepada franchisee; biasanya 5-7 tahun walaupun itu sangat tergantung pada jenis yang difanchisekan. Penting diperhitungkan bagi franchisee disini apakah hasil yang akan diterima dalam jangka waktu tersebut dapat sebanding dengan investment yang ditanam oleh franchisee termasuk untuk peralatan franchise atau bahkan franchise fee.

6. Premises
Biasanya ditentukan tentang disain yang tidak boleh diubah dan tempat tersebut hanya semata-mata dipergunakan untuk tujuan tersebut serta franchisee tidak boleh melakukan usaha franchise di tempat lain. Bahkan seringkali jika hukum disana memungkinkan, pihak franchisor sendirilah yang memiliki gedung tersebut yang kemudian disewakan kepada pihak franchisee. Atau bahkan pihak franchisor menyewa gedung dari pihak ketuga untuk kemudian di sublease kepada pihak franchisee, walaupun tidak tertutup kemungkinana pihak franchisee sendirilah yang memiliki atau menyewa langsung gedung tersebut dari pihak ketiga.

7. Training
Biasanya pihak franchisor mempunyai pusat-pusat pelatihan franchise, dimana dengan persetujuan franchisor, pihak franchisee dapat mengirimkan staffnya ke sana. Ditentukan dengan tegas siapa yang harus menanggung ongkos training tersebut, dan untuk berapa lama masa training tersebut.

8. Accounting procedures: Right of Audit
Pihak franchisee berkewajiban untuk memberikan laporan kepada franchisor, misalnya laporan bulanan tentang pernyataan untung atau rugi. Kewajiban memberitahu tentang neraca tahunan perusahaan juga harus dilakukan. The right of audit maksudnya bahwa pihak franchisor dapat sewaktu-waktu menyelidiki pembukuan dari pihak franchisee untuk memverikasi laporan laba rugi yang diberikan oleh pihak franchisee tersebut.

9. Standard and Uniformity of Operation
Biasanya ditentukan bahwa pihak franchisor dapat sewaktu-waktu dalam suatu jangka waktu yang reasonable untuk masuk dan mengadakan inspeksi dan pengetesan apakah standard tersebut benar benar diikuti oleh pihak franchisee. Misalnya yang harus diseragamkan adalah lokasi, disain bangunan gedung, papan nama dan tanda tanda, mesin mesin, furnishing, equipment, menu, dan servis (bagi took makanan) dan siapa supplier alternative selain dari pihak franchisor sendiri.

10. Non Competition
Pihak franchisee dilarang secara langsung atau tidak, untuk membuka bisnis lain yang sama atau mirip dengan bisnis franchise tersebut selama dan bahkan selama beberapa tahun setelah berakhirnya kontrak franchise tersebut selama dan bahkan selama beberapa tahun setelah berakhirnya kontrak franchise yang bersangkutan. Juga tidak dibernarkan untuk melakukan apa yang dapat dikategorikan sebagai persaingan tidak sehat.

11. Confidentiality
Ditentukan bahwa pihak franchisee dan staffnya tidak boleh membocorkan informasi yang termasuk ke dalam trade secret miliknya pihak franchisor kepada pihak lain manapun/ kapanpun.

12. Government Approvals
Setiap government approval biasanya menjadi kewajiban pihak franchisee untuk mengurusnya sekaligus menanggung biayanya. Jika hal ini tidak dilakukan, dianggap pihak franchisee telah melakukan default terhadap kontrak franchise tersebut.

13. Employees
Pihak franchisee adalah semata-mata merupakan karyawan dari pihak franchisee sendiri. Tidak ada sangkut-pautnya dengan pihak franchisor. Sehingga tidak ada tuntutan hukum apapun baik oleh pihak ketiga dalam hubungan dengan tindakan karyawan, maupun oleh karyawan itu sendiri yang dapat dialamatkan kepada pihak franchisor.

14. Insurance
Asuransi apa yang harus dimasuki oleh pihak franchisee dan dijamin untk jumlah berapa. Misalnya asuransi untk product liability, bodily injury liability, property damages liability, dsb. Pihak franchisor biasanya meminata agar dia diikutkan menjadi additional named insured di dalam polis.

15. Indemnification
Karena itu kepada pihak franchisee seringkali dimintakan agar menjamin (to indemnify) bahwa pihak franchisor tetap aman, terproteksi dan bebas dari segala macam tuntutan hukum tersebut.

16. Taxes
Bahwa seluruh pajak yang berkenaan dengan usaha franchise tersebut akan dipikul dan dibayar oleh pihak franchisee.

17. Assignment
Peralihan oleh franchisee terhadapnya haknya yang terbit dari kontrak franchise kepada pihak ketiga. Hak tersebut harus dengan izin tertulis dari pihak franchisor, atau kepada franchisor diberikan “hak tolak pertama” (right of refusal). Sementara itu biasanya ditentukan juga bahwa dalam hal kematian atau ketidakcakapan berbuat dari pihak franchisee, pihak franchisor harus memberi izin kepada pihak ahli waris atau yang berhak lainnya untuk meneruskan usaha franchise kecuali jika pihak ahli waris atau yang berwenang lainnya tersebut tidak memenuhi standard untuk menjalankan bisnis tersebut.

18. Limitations of Franchise
Berbagai batasan dalam hal digunakannya oleh pihak franchisee setiap merek dagang, merek servis, nama dagang, paten atau hak cipta miliknya franchisor. Selanjutnya ditegaskan juga bahwa pihak franchisor yang berhak atas hak milik intelektual tersebut, sementara pihak franchisee hanya diberi hak untuk menggunakannya saja.

19. No Agency
Ditentukan bahwa franchisee bukanlah agen dari pihak franchisor. Karenanya franchisee tidak dapat mewakili atau mengikat pihak franchisor dengan pihak ketiga. Setiap deal franchisee yang dilakukannya dengan pihak ketiga adalah menjadi tanggung jawabnya pihak franchisee sendiri.

20. Events of Default
Kejadian-kejadian yang dapat menyebabkan terjdinya wanprestasi oleh salah satu pihak, sehingga pihak lain dengan prosedur tertentu dapat memutuskan kontrak secara sepihak sesuai dengan pengaturan yang terdapat dalam kontrak yang bersangkutan:
a. Jika salah satu pihak bangkrut atau dilikuidasi;
b. Jika franchisee tidak membayar royalty atau kewajiban pembayaran lainnya pada waktunya atau jika dia tidak menyerahkan laporan keuangan sebagaimana layaknya,
c. Jika franchisee gagal dalam mempertahankan standar mutu produk
d. Jika salah satu pihak melanggar suatu ketentuan hukum yang berlaku,
e. Jika pihak franchisee berhenti melakukan bisnisnya atau wanprestasi terhadap perjanjian sewa tempat ataupun karena alasan apapun hilang haknya untuk berusaha di tempat tersebut.
f. Jika salah satu pihak melakukan pelanggaran salah satu dari ketentuan dalam kontrak, yang setelah diberi notice dalam waktu tertentu tidak memperbaikinya.

21. Termination
Tentang kapan putusnya suatu kontrak atau abgaimana jika salah satu pihak atau kedua belah pihak ingin memutuskan suatu kontrak. Misalnya, ditentukan berapa hari harus diberi notice. Jika berlaku hukum Indonesia, ditentukan juga bahwa 1 pihak dapat langsung memutuskan sendiri kontrak tersebut tampa lewat pengadilan (Pasal 1226 KUH Perdata)

Perhatian khusus terhadap pemutusan kontrak oleh pihak franchisee misalnya karena franchisee berhalangan sementara atau tetap, untung dari bisnis franchise ternyata sangat mengecewakan, apakah perlu pemberian sanksi bagi pihak yang memutus perjanjian. Juga jika perjanjian putus, apakah peralatan dapat dijual di pasaran, jika tidak maka dipertimbangkan kewajiban membeli peralatan dalam hal-hal tertentu oleh pihak franchisor dengan terms and conditions yang sudah terlebih dahulu ditetapkan. Di samping itu, perlu juga perhatian dalam hal-hal apa saja pihak franchisor dapat memutuskan kontrak franchise tersebut.

22. Choice of Jurisdiction
- Badan mana yang berwenang mengadili seandainya terjadi perselisihan di kemudian hari. Sebaiknya diberi kesempatan terlebih dahulu dalam jangka waktu tertentu keapda para pihak untuk menyelesaikannya sendiri sengketa tersebut. Jika gagal baru diserahkan ke badan-badan peradilan yang dipilih oleh kedua belah pihak. Dianjurkan sangat agar digunakan jalur arbitrasi karena berbagai kelebihan dari lembaga peradilan swasta ini.

23. Fasilitas tambahan (optional)
Misalnya ditentukan bahwa pihak franchisor mengelola sendiri atau menempati orang-orangnya lebih banyak di bisnis franchise di tahun tahun pertama, dengan deal pembagian keuntungan khusus. Atau sering juga ditentukan disini bahwa pihak franchisor akan menyediakan dana/ membantu franchisee dalam hal memperoleh dana yang dipergunakan sebagai modal kerjanya. Ataupun ditentukan bahwa pihak franchisor akan berusaha mendapatkan tempat usaha, dll kewajiban yang tidak mengikat.

24. Jaminan-jaminan Pihak ketiga
Perusahaan holding dari franchisee dimintakan untuk menjdi guarantor, terutama jika pihak franchisee belum diketahui bonafiditasnya. Kewajiban guarantor misalnya untuk menyediakan dana seandainya pihak franchisee berada dalam kekurangan dana. Disamping itu juga tentunya dapat dia menjadi guarantor terhadap hutang2 yang dibuat pihak franchisee.

25. Miscellaneous
Misalnya tentang interpretation, entire agreement, non waiver, governing law, severability, notices, modification, languages, dll.

DOKUMENTASI TAMBAHAN

1. Technical Assistance Agreement (Management Agreement)
Biasanya tidak terlalu kuat apabila hanya diatur dalam franchise agreement.

2. Loan Agreement
Khusus, seperti dokumen security (hipotik, kuasa jual, fidusia, pengakuan hutang, draft notice of drawdown, dll) Loan yang bersangkutan dapat diambil dari pihak ketiga, tetapi dalam beberapa kasus, pihal franchisor sendiri menyediakan fasilitas loan tersebut atau franchisor mengusahakan pemberian loan oleh pihak ketiga.

3. Site lease
Apabila dalam deal tersebut menyangkut juga dengan sewa-menyewa, maka diperlukan kontrak sewa-menyewa. Variasi lain adalah:
1. Pihak franchisor memiliki tempat sementara pihak franchisee menyewanya dari franchisor,
2. Pihak franchisor menyewa tempat dari pihak ketiga kemudian diassign atau sublease kepada franchisee,
3. Franchisee menyewa sendiri tempat tersebut dari pihak ketiga,
4. Pihak franchisee memiliki sendiri tempat yang bersangkutan.

4. Building Agreement
Siapa yang akan memiliki gedung tersebut untuk menentukan siapa yang memilih pihak pemborong. Tentu dengan spekulasi yang sudah ditentukan oleh pihak franchisor.

5. Area Development Agreement
Dimana pihak kontraktor (developer) membangun beberapa outlet sekaligus untuk kemudian diserahkan kepada pihak franchisor atau masing masing franchisee. Dengan sistem ini dapat dijamin keseragaman bentuk bagunan tempat bisnis franchise disamping dapat dengan cepat dan lebih mudah memperluas jaringan bisnis franchise yang bersangkutan.

6. Equipment Lease
Melakukan deal sewa atau leasing lazimnya dari pihak ketiga,a tau tentu boleh juga dari pihak franchisor. Untuk keperluan tersebut diperlukan suatu dokumen hukum yang disebut Equipment lease yang isinya tidak jauh berbeda dari deal sejenis untuk bisnis-bisnis lainnya.


Selasa, 17 Agustus 2010

LEGITIMASI LEGISLATIF


Negara kesatuan Republik Indonesia adalah suatu kesatuan dari berbagai kepulauan – kepulauan yang diikat dalam sebuah bentuk Negara yaitu Republik, yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan memilih Pancasila sebagai pandangan hidup serta dasar negara. Pancasila haruslah tetap menjadi moral perjuangan bangsa dalam mencapai sasaran-sasaran pembangunan, selain itu juga Pancasila bukan saja berperan sebagai nilai pengukur tentang baik-buruknya kebijaksanaan serta pelaksanaan pembangunan di semua bidang, akan tetapi sekaligus juga sebagai nilai pengukur dalam membangun masyarakat modern dan khususnya sebagai dasar strategi kepemimpinan agar tetap berkepribadian Indonesia.

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka mambangun manusia (baik pemimpin maupun rakyat) serta tatanan masyarakat Indonesia, karena pancasila yang bulat dan utuh itu memberikan keyakinan kepada rakyat dan bangsa Indonesia bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila didasarkan atas keselarasan serta keseimbangan, baik dalam hubungan manusia dengan masyarakat, dengan alam, hubungan antar bangsa, ataupun hubungan manusia dengan Tuhannya. Singkatnya untuk Pemimpin mampu mencapai tatanan masyarakat ysng adil dan makmur apabila berdasarkan Pancasila sebagai idiologi Bangsa dan juga UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya.

Dalam merealisasikan cita-cita luhur itu, para pemimpin bangsa mengharapkan muncul dan timbulnya rasa Cinta Tanah Air dan Bangsa sebagai langkah meneruskan cita-cita Proklamasi tersebut, manusia Indonesia berkeyakinan bahwa Pancasila sebagai ideologi terbuka yang dapat mewadahi aspirasi, modernisasi Bangsa Indonesia. Dan biasanya dalam pengimplementasian memimpin masyarakat, pasti akan menghadapi hambatan-hambatan, tantangan, ancaman, maupun gangguan-gangguan lainnya, baik dari dalam maupun yang dari luar. untuk menghadapi hal itu semua, perlunya pemupukan ketahanan dalam jiwa. Dan Pancasila sendiri merupakan jiwa serta kepribadian Bangsa Indonesia, yang mampu memberikan kekuatan hidup dan identitas kepada (warga) bangsa Indonesia serta membimbingnya dalam pelaksanaan kehidupan di era modernisasi seperti saat ini, termasuk kepada wakil-wakil rakyat yang duduk pada Badan legislative atau dengan istilah lain dikenal sebagai lembaga yang legislate atau membuat undang-undang, sehingga badan ini sering disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat, atau dengan sebutan Parlemen.

Di Indonesia, kajian tersebut dipahami bahwa legislatif merupakan lembaga political representation (perwakilan yang bersifat politik ; partai politik) yang secara prinsip memiliki kemampuan dan kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang lebih besar.sekalipun azas perwakilan politik telah menjadi sangat umum, akan tetapi ada beberapa kalangan yang merasa bahwa partai politik dan perwakilan yang berdasarkan kesatuan-kesatuan politik semata-mata, mengabaikan kepentingan dan kekuatan-kekuatan lain yang ada dalam masyarakat.

Menurut teori yang berlaku, secara normative maka rakyatlah yang berdaulat, dan rakyat yang berdaulat ini mempunyai suatu kemauan yang menurut Rousseau disebut volonte generale atau general will. Sedang Dewan Perwakilan Rakyat dianggap merumuskan kemauan rakyat atau kemauan umum dengan jalan menentukan kebijaksanaan umum (public polecy) yang mengikat seluruh masyarakat, yang direalisasikan atau dicerminkan dalam bentuk undang-undang. Sehingga kemudian badan tersebut dianggap berkuasa dalam hal membuat suatu keputusan menyangkut kepentingan umum.

Dari kepentingan itulah, kemudian Dewan Perwakilan Rakyat di negara demokratis seperti Indonesia disusun sedemikian rupa, sehingga ia mewakili mayoritas rakyat dan mampu menempatkannya sepagai tempat pertanggung jawaban pemerintah (eksekutif). Sebagaimana perumusan yang dikutip Miriam Budiardjo (2006 : 174) dari C.F. Strong, bahwa demokrasi adalah suatu sistim pemerintahan dalam mana mayoritas anggota dewasa dari masyarakat politik ikut serta atas dasar sistim perwakilan yang menjamin bahwa pemerintahan akhirnya mempertanggung jawabkan tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu. (a system of government in which the majority of the ground members of a political community participate trough a method of representation which secures that the government is ultimately responsible for ist actions to that majority). Atau dengan perkataan lain, bahwa negara demokratis didasari oleh sistim perwakilan demokratis yang menjamin kedaulatan rakyat. Rumusan tersebut dilandasi dalam definisi bertanggung jawab dijabarkan secara luas, yaitu bahwa pemerintah pada kurun waktu tertentu dapat diminta untuk memberi penjelasan mengenai tindakan-tindakannya.

Dari kupasan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa legislatif selain sebagai penentu policy dan membuat suatu aturan, dewan perwakilan rakyat ini juga memiliki hak inisiatif, hak budget, dan hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan suatu undang-undang yang disusun oleh eksekutif. Termasuk mendapatkan suatu hak khusus untuk berdiri pada persoalan suatu kontrol terhadap badan eksekutif sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan, termasuk memiliki wewenang untuk mengimpeach (menuntut) dan ‘mengadili’ pejabat tinggi.


Dasar Pemikiran

Saat ini Bangsa Indonesia masuk dalam tahapan untuk mencari intisari dari pada kemerdekaan yang murni. Berbagai problematika dalam menyatukan persepsi dan konsepsi tak henti-hentinya datang secara terus-menerus, dan ini tidak selalu membawa paradigma yang bersifat membangun, akan tetapi wacana serta paradigma yang menciptakan kontradiksi dikarenakan oleh kohesi dari masing-masing pemimpin yang lebih mengutamakan individu ataupun kelompok yang bisa menyebabkan disintegrasi. Dan ini merupakan bagian dari sejarah perjalanan Bangsa Indonesia dalam mencari kemerdekaan sejati. dan proses pencarian kemerdekaan itulah Bangsa Indonesia sangat membutuhkan Sumber Daya Manusia-Indonesia yang benar-benar mampu menghayati dan mengamalkan landasan bangsa secara murni dan konsukwen. Karena tanpa itu, dalam membahas suatu persoalan yang kemudian dimunculkan oleh para pemimpin pasti tidak ada titik temunya, karena mayoritas yang dibawa adalah ego serta demi kepentingan pribadi, kelompok, atau kemudian bisa dikatakan dalam membahas suatu persoalan tidak sesuai dengan butir-butir yang terkandung didalam dasar negara dan konstitusi Bangsa Indonesia.

Cinta tanah air dan Bangsa merupakan suatu hal yang sangat mutlak harus dilakukan oleh setiap pemimpin dan warga negara Indonesia. Hal tersebut juga merupakan bentuk pengamalan dalam sila ke 3 butir – butir Pancasila. Sikap rela berkorban untuk nusa dan bangsa merupakan implementasi dari sikap patriotisme kepemimpinan yang juga mengandung pengertian yang lain, yaitu Setiap manusia Indonesia harus siap dan rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara artinya jiwa nasionalisme harus tumbuh subur di dalam diri manusia Indonesia. Karena hal tersebut dapat dijadikan sebagai sebuah konstruksi atau sebagai media sekaligus sarana yang fundamental untuk terbentuk dan terwujudnya kepemimpinan yang cinta Bangsa dan tanah air. Selain itu, hal tersebut juga dapat menjadi ruh bagi seluruh potensi budaya dan kepribadian Bangsa Indonesia, sehingga untuk saat ini dan sampai pada saat Republik Indonesia melalui kebenaran pemimpinnya mampu mewujudkan cita – cita nasional.

Bukan rahasia lagi, bahwa sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia, kebijakan pemerintah (nasional) dan dinamika politik bangsa sangat mempengaruhi pasang-surut, perkembangan, dan kinerja lembaga perwakilan rakyat, tidak terkecuali lembaga perwakilan rakyat ini terjadi selama periode kepemimpinan dua Presiden. Pada masa pemerintahan Soekarno, Konstituante pernah dibubarkan. Selama pemerintahan Soeharto, DPR dan DPRD didominasi, sehingga lembaga tersebut tidak berdaya terhadap esekutif. Bahkan Presiden RI Soeharto berhasil menjadikan lembaga tersebut sebagai alat legitimasi terhadap semua kebijakan Presiden.

Singkatnya, baik Presiden RI Soekarno maupun Presiden RI Soeharto memiliki peran dalam dinamika lembaga perwakilan rakyat. Namun bedanya, Soekarno kurang berhasil membangun sistem untuk menguasai lembaga perwakilan rakyat. Sedangkan Soeharto membangun sistem yang dapat menghegemoni lembaga perwakilan rakyat, mulai dari pusat sampai daerah. Sehingga Presiden Soeharto mempu “membungkam” lembaga perwakilan rakyat selama puluhan tahun. Misalnya, lembaga perwakilan rakyat akhirnya memilih dan mengukuhkan Soeharto menjadi Presiden RI selama 32 tahun. Akibatnya terhadap lembaga perwakilan rakyat di daerah, yaitu secara prosedural, DPR/DPRD memiliki semua fungsi seperti saat ini, yakni fungsi legislasi, fungsi anggaran an fungsi pengwasan. Namun dalam praktek dan pelaksanaannya, lembaga perwakilan rakyat (legislatif) berada di bawah dominasi eksekutif di pusat maupun daerah. Hal ini karena Soeharto membangun sistem hedemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Bagaimana pemerintah pusat mengendalikan eksekutif maupun legislatif sampai ketingkat kabupaten/kota, dapat dilihat dalam strateginya memperkokoh dominasinya, mengontrol dan mengendalikan secara total daerah-daerah. Dengan kekuasaan yang sangat dominan dimilikinya, rezim Soeharto dapat mengatur DPR/DPRD dan menentukan Kepala Daerah muali dari Gubernur sampai Bupati/Walikota.

Selama masa Orde Baru, Pemerintah Pusat mampu mendesain mekanisme formal yang demokratis, namun riilnya dan implementasinya sangat otoriter. Misalnya, DPRD secara formal memilih Kepala Daerah, tetapi prakteknya Kepala Daerah baik Gubernur maupun Bupati/Walikota ditentukan oleh Pemerintah Pusat. Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim Soeharto terhdap lembaga perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No. 5/1974 mengenai pengangkatan Kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari DPRD diserahkan kepada Presiden , dan Menteri Dalam Negeri. Begitu pula berlaku dalam setiap pemilihan Bupati/Walikota, untuk mengangkat salah satu dari sedikit-dikitnya dua orang calon yang diajukan DPRD.

Hegemoni Pemerintah Pusat terhadap DPRD yang begitu kuat dalam proses pemilihan Kepala Desa telah menyebabkan DPRD madul dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang dikehendaki rakyat. Hal ini sangat disadari semangat demokrasi, namun tidak berdaya karena Pemerintah Pusat memiliki otoritas secaa konstitusional untuk menentukan siapa Kepala daerah yang dikehendaki. Demikian juga pelaksanaan fungsi-fungsi yang lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan, bahwa potret selama puluhan tahun pemerintahan Orde Baru mewujudkan bahwa komitmen terhadap tahun pemerintahan Orde Baru menunjukkan bahwa komitmen terhadap pengembangan demokrasi sangat rendah. Hal ini dari berbagai kebijakan yang dihasilkan. Hal itu berbeda dengan semangat dasar yang menjiwai kelahiran RUU Otonomi Daerah tahun 1999 yang telah diubah oleh DPR menjadi UU tentang Pemerintahan Daerah. Dalam batang tubuh maupun penjelasan UU ini, hampir selalu terdapat kata-kata “demokrasi transparansi, partisipasi masyarakat atau pemerataan dan keadilan”.


PEMBAHASAN

Menurut UU No. 5/1974 DPRD bukanlah berkedudukan sebagai “badan legislatif” tetapi bersama dengan Kepala Daerah merupakan Pemerintah Daerah (lokal government). Posisi tersebut didesain oleh pemerintah Pusat agar DPRD dapat mengedepankan kepentingan pusat daripada konstituennya. Hal itu berlangsung selama Presiden Soeharto berkuasa. Pasca lengsernya Presiden Soeharto, terjadi perubahan besar. Selain agenda reformasi konstitusi secara besar-besaran, perioritas dan desakan perubahan juga menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Semangat perubahan tersebut diakomondasi melalui pembentukan UU No/22/1999 tentang Otonomi Daerah yang mengembangkan istilah demokrasi, partisipasi masyarakat, seta pengelolaan kekuasaan yang trasparan.

UU No. 22/1999 tntang daerah yang strategis. Karena kebijakan disentralisasi dalam UU tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No. 22/1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintah daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintah daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5/1974. Perkembangan tersebut merupakan kemajuan yang luar biasa, walaupun diakui belum sempurna seperti yang diharapkan. Karena itu, ketika pada tingkat implementasinya mengalami beberapa masalah dan muncul ketidakpuasan, maka muncul inisiatif untuk melakukan revisi atas beberapa ketentuan dalam undang-undang tersebut. Revisi itu terutama mengenai pokok persoalan yang terkait dengan Kepala daerah dan DPRD dapat diterima. Misalnya, UU itu telah direvisi menjadi UU tentang Pemerintahan Daerah.

Amademen UUD 1945, yang pada dirinya sendiri merupakan perubahan mendasar, telah membawa konsekuensi pada perubahan system ketatanegaraan Indonesia. Satu diantara banyak perubahan yang penting itu adalah perubahan pada format dan system perwakilan politik di Indonesia. Mulai tahun 2004, perwakilan politik di Indonesia bertumpu pada dua lembaga perwakilan , yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Masing-masing lembaga perwakilan merepresentasi dua kontituen yang berbeda : DPR mewakili rakyat secara keseluruhan, dan DPD mewakili daerah-daerah yang dalam hal ini propinsi-propinsi yang ada di Indonesia. Rekrutmen keanggotaan lembaga itupun juga dilakukan melalui system Pemilihan Umum yang berlainan. Untuk keanggotaan DPR, Pemilihan Umum dilangsungkan atas dasar system perwakilan berimbang dengan daftar terbuka (open list proportional representation). Sementara untuk keanggotaan DPD, pemilihan umum diselenggarakan berdasarkan pada system distrik berwakil banyak (multi member district system), dengan masing-masing distrik pemilihan yaitu propinsi, diwakili oleh empat anggota DPD.

Perubahan lain yang terkait dengan kelembagaan perwakilan tersebut tertuju pada Majelis Permusrayatan Rakyat (MPR) Republik Indonesia. Keanggotaan MPR berasal dari keanggotaan kedua lembaga perwakilan rakyat diatas, yaitu DPR dan DPD . meski kepemimpinannya bersifat permanent, MPR tidak bekerja setiap hari. Artinya, MPR melakukan siding paling kurang sekali dalam 5 tahun. Dalam keadaaan istimewa MPR dapat melakukan sidang istimewa. Tetapi, perubahan fundamental yang terjadi dengan MPR terletak pad kedudukan dan fungsi lembaga ini jika pada masa lalu, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara, kini lembaga ini berkedudukan sama dengan lembaga-lembaga tinggi Negara lainnya. MPR tidak lagi mempunyai hak istimewa sebagai lembaga pelaksana kedaulatan rakyat yang dapat melakukan tindakan apa saja atas nama rakyat. Karena itu, fungsi MPR pun kini tunduk dan dibatasi oleh UUD 1945. satu diatara beberapa fungsi MPR yang penting adalah mengubah d an menentukan Undang-Undang Dasar. Fungsi ini mendudukkan MPR sebagai badan saja.

Dengan perubahan-perubahan mendasar seperti ini, pertanyaan yang muncul adalah : apakah kelembagaan perwakilan rakyat di Indonesia Dapat berfungsi dan bekerja secara lebih bermutu bagi pemenuhan kepentingan, aspirasi dan kebutuhan masyarakat Indonesia secara keseluruhan? Ini merupakan pertanyaan besar yang tidak dapat dipastikan jawabannya jika hanyah didasarkan pada perubahan-perubahan kelembagaan saja. Pertanyaan ini memerlukan banyak factor dan pertimbangan untuk dapat memperoleh jawaban yang lebih pasti, dan lebih bermutu. Perubahan kelembagaan dapat dilakukan secara cepat, seperti yang terjuadi dengan perubahan kelembagaan perwakilan politik atas dasar amandemen UUD 1945. tetapi, perubahan kelembagaan ini tetap akan sangat tergantung pada bukan saja dinamika politik yang berlangsung tetapi juga pada ide-ide dan pelaku-pelaku yang menjalankan dan bertanggungjawab atas fungsi-fungsi konstitusional lembaga-lembaga perwakilan tersebut. Ini merupakan pekerjaan besar setelah perubahan kelembagaan perwakilan yang harus didorong dan dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Pengalaman sejarah perwakilan politik di Indonesia seperti dipaparkan pad buku ini memang baru memperlihatkan beberapa aspek perwakilan politik yang berkaitan dengan perubahan-perubahan kelembagaan perwakilan dan berbagai dan rangkaian tahapan perjalanan bangsa Indonesia. Tetapi, pengalaman sejarah itu memperlihatkan bahwa model perwakilan politik di Indonesia tidak terlampau jauh berbeda pada setiap periode. Meski pengaturan kelembagaan diatur secara berbeda-beda pada akhirnya negosiasi antar kekuatan dan elit politik dominant dengan agenda kepentingan masing-masing menentukan kualitas hubungan wakil dan rakyat. Dalam setiap perubahan hasilnya tidak memperbesar pertanggungjawaban wakil dan lembaga perwakilan terhadap rakyat. Rakyat tidak memiliki instrument yang efektif untuk mengendalikan anggota dewan, selain dari pemilu. Pemilu, instrument satu-satunya, juga seringkali dicederai (abuset) sehingga tidak menjamin hasilnya berkualitas.

Parlemen 2004-2009 telah terbentuk sebagai hasil dari pemilu 2004 yang memilih anggotan DPR (dan DPRD Propinsi dan Kabupaten/Kota) dan DPD. Pemilu 2004 untuk memilih anggota DPR pun telah dilakukan secara baru dengan system perwakilan berimbang daftar terbuka. Dengan system ini , pemilih (rakyat) memperoleh peluang untuk mengenal para calon mereka secara lebih terbuka, dan menentukan pilihan-pilihan mereka secara lebih bebas. Demikian pula, system ini mengharuskan setiap calon wakil dari partai politik (untuk DPR) maupun dari perorangan (untuk DPD) untuk dipilih dari suatu daerah pemilihan yang jelas. Artinya, pada saat calon wakil itu terpilih menjadi wakil rakyat dan wakil daerah, mereka mempunyahi dan harus bekerja untuk kelompok masyarakat dan daerah pelayanan yang jelas. Pengaturan seperti ini memberi peluang yang luas bagi bukan saja kedekatan wakil dan konstituennya tetapi juga pertanggungjamwaban para wakil terhadap rakyat.

Beberapa hal harus dicatat dalam potensi hubungan yang intim antara wakil dan rakyat atas dasar pengaturan baru seperti tersebut diatas. Pertama, perlu dibedakan antara hubungan anggota DPR - rakyat dan hubungan anggotag DPD – Rakyat (daerah). Hubungan anggotag DPR-Rakyat dipengaruhi oleh intervensi partai politik. Meskipun pemilu untuk anggota DPR didasarkan pada daftar terbuka, dalam kenyataan para anggotag DPR yang terpilih ditentukan oleh keputusan partai politik lebih dari pada oleh dukungan suara para pemilih. Ini disebabkan terutama oleh pengaturan operasional (politis tentang penentuan calon terpilih. Calon terpilih adalah mereka yang memenuhi dukungan suara sebesar kuota nsuara yang ditentukan atas dasar bilangan pembagi pemilih (BPD) yang berbeda-beda antara satu dan lain daerah pemilihan, atau mereka yang berada dalam urutan nomor “jadi” dalam daftar calon yang diajukan oleh partai politik. Hasil pemilu 2004 untuk anggota DPR menunjukkan bahwa dari 550 wakil yang terpilih, hanya 2 wakil saja yang memenuhi kriteria kuota suara. Sebanyaik 548 anggota DPR adalah mereka yang tepilih karena ditempatkan kepada nomor “jadi” dalam daftar calon partai politik. Dengan demikian, sebagian besar anggota DPR periode 2004-2009 adalah anggota DPR pilihan partai politik. Mereka akan mempunyai tanggungjawab kepada partai politik lebih besar dari pada tanggungjawab mereka kepada rakyat.

Pola hubungan anggota DPR – partai politik – rakyat tidak akan menjadi persoalan besar jika partai politik mempunyai komitmen yang konsisten atas. kepentingan dan aspirasi rakyat. Dalam hal ini, banyak keprihatinan ditujukan kepada partai politik, terutama karena partai politik di Indonesia pada masa sekarang ini belum tampil sebagai organisasi yang mampu mengelola dan menyalurkan aspirasi dan kepentingan rakyat, atau paling kurang konstituen mereka. Partai politik lebih banyak dilibati dan atau melibatkan diri pada konflik-konflik kepentingan internal yang terjadi diantara elit partai atau kepentingan-kepentingan jangka pendek demi pelanggengan kekuasaan yang dinikmati para elit mereka. Dengan keadaan seperti ini, jika pun partai politik mengontrol wakil-wakilnya yang ada di DPR, partai itu melakukan kontrol terhadap wakil-wakilnya demi terpenuhnya kepentingan elit partai lebih dari pada kepentingan masyarakat pada umumnya.

Sementara itu, hubungan anggota DPD – rakyat dapat berlangsung bebas sesuai dengan kapasitas pribadi anggota DPD. Anggota DPD memang dipilih atas dasar kapasitas pribadinya, dan bukan karena hubungan dengan partai politik. Tetapi, hubungan anggota DPD –rakyat dapat terganggu oleh hambatan-hambatan structural maupun institusional terutama terkait dengan fungsi dan peran legislatif DPD yang amat lemah terutama berhadap-hadapan dengan DPR. Secara ringkas dapat dinyatakan bahwa peran dan fungsi DPD bersifat simbolik terhadap aspirasi dan kepentingan daerah, dan karena itu tidak akan pernah efektif untuk pemenuhan aspirasi dan kepentingan daerah. Dengan kenyataan ini, meski hubungan antara anggota DPD dan rakyat dapat berlangsung relatif intim, hubungan itu dapat terganggu karena DPD pada akhirnya tidak mempunyai “kuasa” untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan daerah yang merfeka wakili.

DPR dan DPD mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap rakyat, karena mereka mengemban kepercayaan rakyat. Secara etis, DPR dan DPD tidak dapat mengabaikan sama sekali kepercayaan rakyat ini. Jabatan anggota DPR dan DPD bukan semata - mata jabatan politis, tetapi lebih-lebih merupakan jabatan etis. Tidak semua orang bias mendapatkan jabatan itu. Karena itu, amat tidak bertanggungjawab jika anggota DPR dan DPD tidak menunjukkan kesungguhan mereka untuk menjalankan kepercayaan rakyat itu. Mengabaikan tanggung jawab itu berarti menghianati kepercayaan rakyat. Tanggung jawab yang diperoleh karena kepercayaan rakyat mempunyai nilaimyang berbeda yang amat jauh dari tanggung jawab yang diperoleh seseorang karena dia “diupah” untuk memikul tanggungjawab itu anggota DPR dan anggota DPD bukan orang-orang “upahan” melainkan orang-orang “terpercaya” yang mempunyai komitmen untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat umumnya dan daerah-daerah khusunya. Orang-orang terpercaya tidak menunngu “upah” untuk melaksanakan tanggung jawab mereka.

Tetapi, perlu segera dicatat bahwa kualitas beban tanggungjawab yang dipikul anggota DPR berbeda dengan kualitas beban tanggung jawab yang dipikul anggota DPD terutama karena fungsi yang diberikan oleh kontitusi pada anggota DPR berbeda dengan fungsi yang diberikan konstitusi kepada anggota DPD semua fungsi keperwakilan politik, yang dinyatakan dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya yaitu fungsi legislasi, fungsi pengawasan dan fungsi anggaran, disandang atau dimiliki oleh DPR dan anggotanya. UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya tidak memberikan fungsi-fungsi yang sama kepada DPD dan anggotanya. Fungsi DPD sebatas pada memberikan masukan dan pertimbangan kepada DPR untuk hal-hal tertentu saja, yaitu anggaran, otonomi daerah pajak, pendidikan dan agama, dan pemilihan anggota BPK. Karena itu, fungsi perwakilan politik hanya akan efektif jika para anggota DPR secara konsisten dan konsekuen melaksanakan tanggungjawab mereka yang dialaskan pada komitmen yang jujur dan kuat untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat.

Pengalaman – pengalaman masa lalu mengindikasikan secara kuat bahwa anggota – anggota DPR kurang menunjukkan komitmen etik mereka dalam memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat. Ketergantungan anggota DPR kepada partai politiknya masing – masing terlalu kuat hingga mengalahkan komitmennya kepada rakyat yang menjadi sumber kekuasaan mereka sebagai anggota parlemen. Karena itu, selama anggota DPR tidak melawan atau menentang kebijakan par tai politikny, dia akan selamat untuk tetap menyandang jabatan sebagai anggota DPR. Dilema muncul pada saat kehendak rakyat yang harus diperjuangkan bertentangan dengan kebijakan atau pendirian partai politik. Sangat jarang terjadi anggota DPR mengundurkan diri semata – mata demi membela aspirasi dan kepentingan rakyat. Tetapi, tidak sedikit anggota DPR dipecat oleh partai politiknya karena memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat yang secara diametral bertentangan dengan kepentingan ( kebijakan dan pendirian ) partai politiknya. Ini tentu saja tidak berarti tidak ada upaya sama sekali dari lingkungan internal DPR untuk memperbaiki kinerja anggota DPR. Salah satu upaya ini adalah dirumuskan dan ditetapkannya kode etik anggota DPR pada periode kerja DPR 1999-2004. kode etik ini merupakan pernytaan komitmen dari para angg ot DPR untuk menjalankan tugas – tugasnya secara berdisiplin. Sayangnya, kode etik ini belum efektif dipatuhi para anggota DPR.

Upaya lain yang kini terlihat dilakukan baik oleh DPR maupun DPD adalah mencoba mengefektifkan kode etik melalui pembentukan badan kehormatan dimasing – masing dewan ini yang bersifat permanent. Badan kehormatan ini jelas dibentuk untuk menjaga dan menegakkan kehormatan anggota – anggota dewan yang terhormat. Karena itu, fungsi badan semacam ini adalah mencegah terjadinya perilaku - perilaku tidak terhormat yang mungkin dilakukan oleh anggota dewan dan menindak anggota – anggota dewan yang terbukti melakukan perilaku yang tidak terhormat.

Inisiatif pembaharuan seperti tersebut diatas tentu pantas dan harus dihargai terutama karena inisiatif semacam ini membuktikan bahwa meskipun relative jarang tetap ada usaha – usaha terpuji dari lingkungan internal badan – badan perwakilan rakyat agar badan – badan ini dapat melangsungkan tugas – tugasnya secara terhormat. Memang, kehormatan badan – badan ini akan tetap tergantung pada masing – masing dan secara bersama – sama diantara para anggota dewan. Dengan kata lain kode etik menurut badan kehormatan DPR dan DPD ( juga MPR ) sebenarnya tidak diperlukan jika para anggota dewan telah berperilaku sesuai dengan komitmen etik mereka secara tanpa pamrih untuk melayani dan memperjuangkan kepentingan – kepentingan rakyat dan daerah yang diwakilinya.

kupasan diatas pada dasarnya hendak menegaskan hal yang dirasa penting, karena : pertama, agar hubungan wakil dan rakyat, terutama dalam konteks peningkatan kualitas hubungan antara anggota DPR ( dan DPRD ) dan rakyat dalam hal perubahan sistem politik setidaknya perlu dilakukan 2 hal. pertama, system pemilu DPR dab DPRD harus disempurnakan agar setiap pemilih bias mengenal calon yang dipilihnya. Memang saat nini dalam UU No 12 / 2003 tentang pemilihan umum sudah di introduksi system proporsional dengan daftar terbuka yang membuka peluang pemilih untuk mengenal wakilnya. Namun sayangnya, masih ada hambata yang menyebabkan dewan Pimpinan Pusat Partai Politik dapat kembali menentukan siapa yang akan mendapatkan kursi di DPR dan DPRD. Akibatnya, pemilih bias saja tidak mengetahui siapa yang mewakilinya. Bagai membeli kucing dalam karung sama seperti dulu. Dimasa yang akan datang, hal ini harus dibenahi. Perlu ada system yang membuat setiap orang tahu persis siapa wakilnya dan, karenanya, bias melakukan komunikasi dengan wakilnya selama masa jabatannya berlangsung .

Kedua, masih terkait dengan yang pertama, perlu didorong adanya system yang memungkinkan pertanggungjawaban politik pada konstituen. Selama ini hanya tata tertib DPR, dan bukan Undang – Undang, yang mengatur kewajiban anggota DPR untuk mengadakan pertemuan dengan konstituennya pada setiap masa reses. Kewajiban itupun tidak dirinci pertanggungjawabannya akibatnya,dialog dengan konstituen tidak berjalan dengan efektif dan tidak banyak yang ditindak lanjuti. Saat ini, UU No 22/2003 tentang SusunanDan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD sudah memberi sedikit peluang. Diatur bahwa kewajiban anggota DPR, DPD, maupun DPRD diantaranya adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti naspirasi masyarakat:serta memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilihnya. Pengaturan ini nampaknya masih memerlukan penjabaran lebih luas seperti kewajiban bagi setiap anggota DPR dan komisi – komisi di DPR untuk mengumumkan secara terbuka hasil – hasil yang diperoleh dari setiap kunjungan pada masa reses. Kepentingannya adalah agar masyarakat mengetahui secara lebih pasti bahwa kunjungan kepada konstituen telah dilakukan, dan bahwa kunjungan itu telah membawa pesan – pesan dari rakyat yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

Ketiga , dalam konteks pembentukan perundang – undangan perlu ada perbaikan sistemik yang setidaknya mengandung 2 hal. Pertama perlu ada peraturan yang mensyaratkan adanya penjadwalan yang lebih serius dengan adanya prioritas dalam penyusunan undang – undang. Kedua, perlu ada penyusunan undang – undang yang dilakukan oleh lembaga yang khusus dibuat untuk itu agar pertarungan politik di DPR benar – benar focus pada pertarungan politi yang substansial. Bukan perdebatan soal kata – per – kata yang sifatnya sangat teknis sehingga menghabiskan waktu dan tidak bisa disebut sebagai pertarungan politik.

Keempat, dalam konteks wewenang DPD, perlu dilakukan suatu usaha besar untuk menjadikan DPD berfungsi secara maksimal dalam memperjuangkan kepentingan daerah. Keberadaan DPD sebenarnya telah menjadikan kepentingan daerah “didengarkan” diarena pembuatan kebijakan dipusat. Tetapi, ini hanya akan menimbulakan kecurigaan dari daerah – daerah karena meski didengar, suara – suara mereka ( daerah ) masih bias diabaikan begitu saja baik dalam hal legislasi, pengawasan terhadap eksekutif dan dalam hal anggaran nasional. DPD perlu diberi wewenang untuk memperjuangkan kepentingan – kepentingan daerah ini . hanya dengan cara ini, keadilan dapat diwujudkan oleh pusat kepada pemerintah daerah – daerah.

Kelima meningkatkan kewenangan DPD berarti juga membentuk parlemen dengan system dua kamar yang seimbang antara kamar satu dan kamar yang lainnya. Dalam formatnya sekarang ini wewenang yang diberikan DPR terlalu dominant yang menguasai segala fungsi keterwakilan politik, format semacam ini hanya akan melanggengkan : konsentrasi kekuasaan pada suatu lembaga politik. Sesuatu yang ditentang oleh semangat reformasi sejak berakhirnya rejim Presiden Soeharto. Dengan menjadikan parlemen Indonesian sebagai parlemen dengan dua kamar fungsi – fungsi keperwakilan politik dapat terbagi secara berimbang antara DPR dengan DPD sehingga keduanya dapat saling mengisi dan mengimbangi demi optimalisasi keperwakilan dan demi terhindarnya dominasi satu lembaga atas lembaga – lembaga yang lain



***





Pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan demokratis, yang mana tidak mengawasi, mendikte ataupun menilai isi tulisan atau ucapan orang. Akses dalam mengimplementasikan hasil musyawarah memungkinkan mereka berperan penuh pada kehidupan masyarakat Indonesia. Dalam hal ini pondasi berpikir bisa tumbuh subur pada tiap orang atau warga yang ditunjang oleh arus gagasan,data, pendapat dan spekulasi yang tidak dihalangi. Tapi apa yang harus dilakukan pemerintah manakala ada media berita dan kelompok maupun perorangan yang menyalahgunakan kebebasan berbicara dengan informasi yang menurutnya palsu, menjijikkan, tidak bertanggung jawab atau berselera rendah ?! jawabannya… urusan tersebut semata-mata bukan urusan pemerintah untuk menilai masalah seperti itu. Pada umumnya obat bagi kebebasan berbicara adalah kebebasan yang lebih besar lagi. Mungkin hal ini tampak bertentangan sekali, tapi atas nama kebebasan berbicara, suatu demokratisasi kadang kala harus membela hak-hak individu dan kelompok yang justru mendukung kebijakan non-demokratis -- seperti pembungkaman kebebasan dalam berbicara.

Sebagai pemimpin yang bertanggung jawab yang berani bertanggung jawab, maka dalam musyawarah yang demokratis haruslah membela hak-hak ini atas keyakinan bahwa pada akhirnya perdebatan terbuka akan menuntun kebenaran yang lebih besar dan tindakan umum yang lebih bijak daripada jika ucapan dalam penentangan dibungkam. Menurut filsuf berkebangsaan Inggris yang bernama John Sturt Mill mengatakan dalam esainya pada tahun 1859 “saat haus akan kemerdekaan, bahwa semua orang rugi manakala ucapan dibungkam” hal ini mempunyai makna apabila pendapat itu benar, mereka terhalang mendapat kesempatan bertukar kesalahan demi kebenaran. Kami memahami bahwa masyarakat kita mempunyai berbagai keinginan yang kadang kala bertentangan sekali, misalnya : orang menginginkan keamanan tapi menikmati petualangan ; mereka menyuarakan kebebasan individu tapi menuntut persamaan sosial. Dalam hal seperti ini musyawarah yang demokratis pada dasarnya menyamakan wacana dengan pengelolaan beberapa kerangka berfikir dalam batasan – batasan tertentu untuk mencapai kemufakatan, konsensus yang bisa diterima oleh semua pihak. Apabila ada golongan atau individu memandang musyawarah yang demokratif tidak lebih hanyalah suatu forum dimana mereka dapat mendesakkan tuntutan mereka, maka forum musyawarah ini dapat hancur dari dalam, dan jika ada individu ataupun kelompok menjalankan konsensus dengan membungkamkan suara, maka musyawarah tersebut tidak akan mungkin dapat menghasilkan suatu keputusan.

Seorang filosof yang sangat berpengaruh di Jerman yang bernama George Wilhelm Fredrich Hegel (1770-1831) dalam filsafat dialektikanya mengatakan “bahwa proses (musyawarah) seperti ini tidak lain untuk mencari suatu Nan-mutlak (kebenaran terbaik/terakhir)”, dan kemudian buah fikir ini disempurnakan lagi oleh seorang Karl Marx (1818-1883) asal Trier-Jerman melalui proses dialektikanya mengemukakan “untuk mencari kemufakatan dari suatu forum musyawarah tidak saja menjelaskan apa yang telah terjadi/ada/telah lalu, akan tetapi perlunya mencari solusi yang terbaik“. Jadi dalam hal ini, musyawarah yang demokratif bukanlah mesin yang yang berjalan sendiri begitu prinsip-prinsip dan prosedurnya yang tepat disisipkan. Suatu musyawarah demokratif membutuhkan komitmen dari suatu forum yang bisa menerima bahwa konflik tidak dapat dihindarkan, selain itu forum tersebut juga membutuhkan toleransi penting, yang mana bahwa konflik dalam suatu forum musyawarah yang demokratif bukanlah antara pihak yang benar atau yang salah, akan tetapi antara berbagai penafsiran yang berbeda atas hak-hak demokratis serta prioritas sosial. Selain dari itu juga untuk mencari garis-garis besar untuk menangani serta menganalisis beberapa pemikiran.

Karena itulah budaya musyawarah yang demokratis harus kita tumbuh kembangkan, karena individu maupun kelompok harus bersedia atau minimal bisa menerima perbedaan satu sama lain, dengan kata lain mengakui bahwa pihal lain mempunyai hak dan sudut pandang yang sah. Dengan demikian forum musyawarah dapat bertemu dalam suatu semangat untuk kemufakatan. Perlu juga diingat bahwa suatu suara resmi mungkin diperlukan, tetapi kelompok lebih sering dapat mencapai suatu konsensus melalui debat dan mufakat. Proses demikian mempunyai tambahan manfaat pembangunan kepercayaan yang diperlukan untuk menanggulangi masalah dimasa mendatang. Jadi pada dasarnya musyawarah yang demokratis bukanlah seperangkat kebenaran yang diungkapkan dan tidak berubah, melainkan suatu mekanisme untuk mencapai kesepakatan. Dengan demikian hasil musyawarah dapat dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab serta etikat yang baik

Sebelum menjawab “harus atau tidak” perlunya kita kupas terlebih dahulu Pancasila sila ke-4 yang mana dalam butir ke-5 berbunyi menghormati serta menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah. Jadi dalam hal ini perlu kita maknai setiap hasil musyawarah seharusnyalah dihormati, karena dalam musyawarah seseorang ataupun kelompok bebas dalam mengeluarkan pendapatnya. Akan tetapi perlu pemahaman terlebih dahulu untuk menyatakan kebebasannya : dia tidak hanya berbicara mengenai tiadanya paksaan ataupun kekangan yang di bebankan oleh pihak lain ( kebebasan dari …’ ), tetapi juga bahwa dia bebas untuk melakukan sesuatu ( kebebasan untuk … ‘ ). hal ini merupakan aspek lain dari kebebasan dalam arti positif. Didalam tiap konteks apa saja, kebebasan hampir bisa diartikan suatu kebebasan khusus, yaitu kebebasan untuk atau didalam pelaksanaan suatu keinginan atau bentuk tertentu tindakan.

Maka kebebasan secara abstrak merupakan suatu perkumpulan dari banyaknya species, yang tentu saja didalam masing-masing bentuknya selalu ditandai oleh absen paksaan, halangan atau campur tangan dari pihak lain. Hal ini merupakan arti lain kepositifan dari kebebasan, yaitu suatu usaha untuk mengidentikan keadaan khusus kegiatan manusia dimana disebut dengan Mill Individualitas, hak dan kemampuan bagi seluruh golongan baik minoritas maupun mayoritas dalam memilih ataupun berinisiatif. Jadi apakah hasil musyawarah harus kita terima serta kita laksanakan ~ jawabannya adalah harus ! Karena sebagaimana yang telah kita kupas, kebebasan mempunyai arti Negatif yang mana dalam melaksanakan kebebasan sering sekali adanya rintangan, campur tangan, paksaan, kontrol tetap ; selain itu juga mengandung arti Positif yang menunjuk kepada proses dalam tindakan atas dasar inisiatif perorangan ataupun kelompok, dan lebih konkret menunjuk kepada jenis-jenis umum dari minat manusia atau bentuk-bentuk kegiatan untuk mengekspresikan diri. Dalam konteks ini musyawarah di ibaratkan “suatu permainan” yang mana dalam tiap permainan sendiri ada yang menang dan yang kalah. Dan sebaiknya yang menang janganlah bangga dengan hasil akhirnya (kemenangan) tetapi mesti bangga dengan proses ; lantas bagaimana dengan yang kalah ? mungkin dalam hal ini penulis coba untuk mencuplik pepatah yang bunyinya kegagalan adalah penundaan – bukan suatu kekalahan. Dimana proses musyawarah bukan untuk mencari kemenangan atau kekalahan akan tetapi untuk mencari (solusi) yang terbaik. Kenapa mesti demikian, sebab musyawarah yang juga disebut “kompetitif” ini didalam forum musyawarah tersebut seluruh peserta menikmati kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, ataupun menyuarakan kritik terbuka dan solusi terhadap sesuatu yang janggal ; selain itu juga musyawarah yang demokratif sendiri adalah suatu usaha untuk menelorkan atau menghasilkan suatu keputusan yang terbaik. Dan jika dalam suatu forum musyawarah terjadi adu argumen yang semuanya mempunyai nilai baik, maka masyarakat musyawarah yang ingin mencari hasil yang terbaik dan mempunyai selisih waktu yang sangat minim atau mendesak, bisa menggunakan media voting yang tentu saja harus bersih--tidak ada permainan negatif/curang didalamnya. Selain itu, aturan – aturan dasar masyarakat didalamnya harus mendorong toleransi serta sopan-santun atau etika dalam pelaksanaanya.

Sejalan dengan prinsip bahwa dalam demokrasi kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, tetapi berhubung jumlah rakyat dan masalah serta aspirasi maupun kebutuhannya semakin banyak dan semakin kompleks, maka sistem demokrasi yang dianut di hampir seluruh Negara di dunia saat ini adalah demokrasi perwakilan yang dilaksanakan oleh dan di dalam organ-organ Pemerintahan Negara. Sekalipun begitu, partisipasi (keikutsertaan) rakyat dalam proses politik (perancangan, pengambilan keputusan, pelaksanaan dan pengawasan) kebijakan umum yang mengikat segenap merupakan suatu keharusan.

Para teoriwan pada umumnya mendinifisikan partisipasi politik sebagai keikutsertaan warga negara biasa (bukan pejabat Negara) baik secara individu maupun berkelompok dalam mempengaruhi dan menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya oleh organ-organ pemerintahan Negara. Berkaitan dengan sifatnya dikenal dua macam partisipasi politik, yaitu (1) partisipasi politik melalui prosedur yang wajar (konvensional) dan tidak dengan kekerasan. Bentuknya antara lain berupa ikut serta memilih dan pemilu, mengajukan petisi (pernyataan, melakukan kontak dan tatap muka maupun menulis surat dengan atau kepada para pembuat/pelaksana/pengawasan keputusan; (2) partisipasi politik dengan cara-cara diluar prosedur yang wajar (non-konvensial) manakala mekanisme dan penyaluran aspirasi secara biasa tidak diperhatikan oleh organ-organ pemerintahan yang berwenang tidak melaksanakan fungsi secara benar. Bentunya dapat berupa demonstrasi (unjuk rasa), pembangkangan halus (misalnya lebih memilih bersikap menjadi golongan putih, abstain dalam pemilu daripada memilih calon-calon yang diajukan tetapi tidak sesuai dengan keinginan atau aspirasinya), pembangkangan sipil (tidak mau melaksanakan dan mentaati peraturan perundangan yang telah dibuat oleh organ pemerintahan Negara karena tidak sejalan dengan aspirasi dan kepentingan yang bersangkutan), mogok hura-hura, serangan bersenjata atau kudeta maupun revolusi.

Aspek penting dan bahkan keharusan adanya partisipasi politik rakyat dalam sistem demokrasi (sekalipun dianut sistem demokrasi perwakilan) didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan brikut. Pertama, karena politik pada dasarnya adalah segala hal yang berhubungan dengan usaha-usaha warga Negara untuk mewujudkan kebaikan bersama yang diselenggarakan dalam suatu Negara. Dalam pada itu, pihak yang paling tahu tentang apa yang baik bagi dirinya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah rakyat itu sendiri. Karena itu rakyat harus tahu tentang apa yang baik bagi dirinya dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah rakyat itu sendiri. Karena itu rakyat harus tahu dan terlibat dalam hal apa saja yang perlu diatur dan bagaimana aturan tersebut sebaiknya dibuat, dilaksanakan serta diawasi agar tujuan kebaikan bersama itu dapat mencapai sasaran seperti yang diharapkan.

Kedua, rakyat merupakan salah satu unsur pokok dari organisme yang dapat disebut Negara di samping harus ada wilayah, ada pemerintahan serta ada pengakuan atas kedaulatannya dari Negara-negara lain. Ketiga, jika untuk merencanakan, memnutuskan, melaksanakan dan mengawasi kebijakan-kebijakan umum yang mengikat segenap warga suatu Negara hanya dipegang oleh sekelompok orang, maka dikhawatirkan mereka tidak memahami dan tidak menjalankan apa yang dikenhendaki oleh mayoritas rakyat. Jika rakyat dilibatkan dalam proses politik (pengambilan kebijakan), sekurang-kurangnya akan terwujud tiga hal, yakni terciptanya kebijakan publik yang lebih baik, meningkatannya kepercayaan masyarakat kepada para wakil rakyat dan instutusinya (legislatif) maupun eksekutif, dan kebijakan tersebut akan diterima secara spontan oleh publik alias tidak akan terjadi penentangan apalagi pembangkangan.

Selain hal tersebut, bahwa perlu diperhatikan terhadap keberadaan Patisipasi politik rakyat, baik yang konvensional maupun non konvesional perlu pelembagaan (penataan dan pengaturan). Hal itu disebabkan karena aktor-aktor yang ingin berpartisipasi sedemikian banyaknya. Kecuali itu juga karena dalam sistem demokrasi antara lain dianut prinsip diakuinya kesetaraan setiap individu. Karena itu perlu aturan hukum yang diterapkan untuk semua pihak tanpa pandang bulu. Sebab jika tanpa aturan hukum, maka yang akan terjadi bukan demokrasi tetapi anarki. Apalagi karena dalam prakteknya akan saling bertemu kebebasan individu yang lain. Di sinilah penting pengaturan melalui hukum yang disepakati bersama agar satu sama lain tidak saling merusak kebebasan masing-masing. Di Indonesia dalam era reformasi, pelembagaan partisipasi politik itu telah diatur secara mendasar dalam berbagai peraturan perundangan. Hal itu antara lain dituangkan dalam perubahan pertama sampai dengan keempat UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR dalam sidang-sidangnya pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Beberapa hal sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan demokrasi di Indonesia pada masa-masa selanjutnya antara lain adalah seperti berikut: (1) dimasukkannya pasal-pasal tentang pentingnya Pemilu secara langsung oleh rakyat dan secara periodik (lima tahun sekali) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, para anggota DPR. DPD dan DPRD yang diselenggarakan oleh sebuah Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, serta pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua kali masa jabatan setiap 5 tahun (Pasal 22E, Pasal 7 UUD 1945 yang telah diubah 4 kali); (2) dimasukkannya pasal tentang partai politik (salah satu aktor penting dalam sistem demokrasi) sebagai peserta Pemilu (Pasal 22E Perubahan UUD 1945);(3) dimasukkannya pasal-pasal tentang Hak Asasi Manusia (Pasal 28A s/d 28J Perubahan UUD 1945); (4) dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang antara lain berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan ketidaksejalanan UU terhadap UUD, persengketaan kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangan antar lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Pelanggaran hukum berat oleh Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 24C Perubahan UUD 1945).

Ketentuan-ketentuan dasar dari Perubahan UUD 1945 tersebut telah dituangkan pula ke dalam peraturan-peraturan pelaksanaan. Hal itu misalnya dalam bentuk dikeluarkannya paket undang-undang bidang politik pada tahun 1999, antara lain UU No.2/1999 tentang Partai Politik, UU No. 3/1999 tantang Pemilihan Umum sebagai landasan pengaturan pelaksanaan Pemilu 1999, UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 9/1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum, UU No. 39/1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya UU No. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menjelang Pemilu 2004, paket UU bidang politik tahun 1999 diganti dengan UU No. 31/2002 tentang Partai Politik, UU No. 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD dan DPRD, UU No. 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, ditambah UU No. 23/2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Kecuali itu telah dikeluarkan pula UU No. 10/2004 tentang Tata Cara Pembuatan Peraturan Perundang-undangan (telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 24 Mei 2004.



Kesimpulan

Menguatnya posisi DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) terhadap Kepala Daerah akibat diberlakukannya Undang-Undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini juga merupakan bukti dari upaya penguatan kelembagaan DPRD terhdap peran politik pada tingkat lokal. Misalnya, pasal 18 ayat 1, UU No. 22/1999 memberikan kewenangan sangat penting bagi DPRD antara lain; memilih kepala Pemerintahan Daerah (Gubernur/Wakil Bupati/Wakil dan Walikota/Wakil).

Dalam menjalankan tugas dan kewajiban Gubernur, Bupati dan Walikota bertanggungjawab kepada DPR. Pertanggungjawaban yang dimaksud meliputi, 1) pertanggungjawaban akhir tahun anggaran., 2) pertanggungjawaban akhir masa jabatan dan pertanggungjawaban untuk hal tertentu misalnya berkaitan dengan persoalan pidana yang menyebabkan hilangnya kepercayaan publik. Selain itu, dalam bidang fungsi pengawasan, DPRD mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-undangan, pengawasan pelaksanaan keputusan Gubernur, Bupati dan Walikota, pelaksanaan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), kebijakan pemerintahan daerah, dan pelaksanaan kerjasama internasional di daerah. Dalam pasal pengawasan ini tidak ada peraturan yang sangat rinci dan jelas mengenai peraturan dan ruang lingkup pengawasan yang dilakukan DPRD. Di sini jelas sekali bahwa UU tersebut memberikan otoritas yang sangat besar terhadap DPRD. Namun penguatan lembaga legislatif di hadapan eksekutif tidak dengan sendirinya dapat mendorong tercapainya tujuan penguatan tersebut, yakni peningkatan control terhadap kinerja Kepala Daerah yang lebih baik atau mencegah terjadinya penyimpangan terhadap implementasi kebijakan oleh eksekutif di daerah. Malahan sebaliknya terjadi relasi baru DPRD-Kepala daerah semakin marak dalam bentuk praktek kolusi baru antara eksekutif-legilatif di daerah.

Karenanya bagian yang banyak dikritis selama lima tahun UU tersebut berlaku adalah mengenai pelaksanaan pengawasan oleh DPRD. Secara umum, setidaknya ada tiga anggapan yang selalu muncul tentang pelaksanaan fungsi DPRD pasca pemerintahan Presiden Soeharto dan berlakunya UU No.22/1999 selama lima tahun. Pertama, DPRD dianggap kurang mampu melaksanakan fungsinya sebagai mitra yang seimbang dan efektif dari Kepala Daerah. Anggapan ini umumnya dianut oleh para pengamat politik yang cenderung menilai peranan Kepala Daerah masih cukup dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kedua, DPRD dianggap terlalu jauh mencampuri bidang tugas Kepala Daerah, sehingga cenderung menyimpang dari fungsi utamanya sebagai badan pemerintahan daerah yang menyelenggarakan fungsi legislasi. Anggapan ini banyak dianut oleh pejabat eksekutif daerah. Ketiga, DPRD dianggap tidak memperoleh kesempatan yang seimbang dengan Kepala daerah untuk merumuskan kebijakan pemerintahan daerah. Anggapan ini umumnya beredar dikalangan anggota DPRD.



Kritik, Saran, dan Solusi



Untuk lebih dapat memaksimalkan interprestasi dan implementasi dari makalah ini, penulis merangkum beberapa alternatif kritik, saran, dan solusi : Desain pemerintah daerah pada masa Orde Baru, melalui kebijakan yang dihasilkan seperti UU No.5/1974, mempunyai beberapa dampak politik jangka panjang terhadap perkembangan demokrasi di tagnah air, antara lain : Pertama, system pemerintahan yang sentralistik telah menempatkan daerah (pemerintah daerah) sebagai subordinate pemerintah pusat. Dalam posisi yang demikian, pemerintahan daerah tidak berdaya terhadap pemerintah pusat. Selama kebijakan sentralisasi diterapkan secara konsisten (Orde BAru Konsisten melaksanakan sentralisasi), daerah (pemerintahan daerah) tidak akan pernah bias lahirn kebijakan daerah yang mandiri untuk menata daerah dan masyarakatnya secara otonomi. Dengan system sentralisasi,pemerintah daerah hanya menjadi alat untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah Pusat. Dalam posisi ketidakberdayaan daerah untuk menentang kebijakan pusat,proses eksploitasi secara politik maupun ekonomi berlangsung terus menerus. Disinilah kesenjagan dan ketidakadilan sosial dan ekonomi terjadi,daerah semakin miskin secara ekonomi,politik, dan budaya sementara pusat semakin kaya dan kekuasaan semakin kokoh/kuat.

Kedua, kebijakan sentralisasi yang berlangsung selama puluan tahun, merupakan bencana bagi kreatifitas serta daya kritis daerah, baik pemerintahan maupun masyarakatnya. Dibungkamnya kesadaran kritis dan kreatifitas masyarakat menyebabkan pemerintah pusat semakin sewenang-wenang dalam menentungkan kebijakan. Tidak adanya suara kritis masyarakat, menyebabkan Pemerintah Pusat merasa dirinya selalu benar, bahkan Pemerintah pusat (Presiden) merasa dirinya sebagai institusi yang paling berhak menentukan kebenaran. Karena itu setiap kebijakan Pemerintah Pusat maupun daerah relative tidak mendapat tanggapan yang berarti dari masyarakat. Pendekatan keamanan selalu digunakan untuk membungkam suara kritis masyarakat. Karena praktek Pemerintah Orde Baru berlangsung selama puluha tahun, maka muncul tradisi baru dalam masyarakat yakni sikap apatif dan permisif dengan praktek korupsi oleh pejabat Negara saat ini.

Ketiga¸ pemerintah pusat dengan sadar tidak memberikan ruang yang cukup untuk berkembangnya demokrasi dan partisipasi masyarakat, ha ini sangat dipahami Kepala Pemerintahan Orde Baru, karena demokrasi dianggap berbahaya terhadap orientasi kebijakan nasional yang menitikberatkan pada upaya menciptakan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu ,demokrasi juga dapat mengancam kekuasaan Soeharto yang ingin berkuasa terus – menerus di Indonesia. Akibatnya, bangsa ini ketinggalan selama puluhan tahun dalam merespon dan mengejawantahkan nilai demokrasi. Bahkan stabilitas dan pembangunan semu yang diciptakan , telah menyebabkan munculny kesadaran semu dikalangan masyarakat tentang demokrasi. Jadi tidak heran bila paska reformasi, bangsa ini baru melaksanakan demokrasi secara procedural,belum substansial.

Keempat, status DPRD yang bukan merupakan lembaga Legislatif dan hanya menjadi bagian dari pemerintahan daerah merupakan bukti bahwa pemerintah pusat tidak menghendaki demokrasi berkembang di Indonesia. Dan masyarakat daerah tidak diberi kesempatan sama sekali untuk ikut berpartisipasi secara aktif dalam pembuatan kebijakan daerah. Lebih jauh kebijakan tersebut merupakan praktek pemasungan demokrasi. Dengan status demikian DPRD tidak lagi memposisikan dirinya sebagai mitra Pemerintah Daerah untuk transparansi dan mengakomodasi kepentingan masyarakat, tetapi sebaliknya menjadi alat kekuasaan pusat untuk memperkuat pengaruhnya didaerah. Hal ini bukan merupakan kesalahan DPRD, melainkan konstruksi hubungan Pemerintah Pusat dan daerah memang menempatkan posisi DPRD pada sisi yang sangat lemah dan tidak berdaya.

Situasi demikian disadari tidak akan bisa membawa perubahan apapun bagi demokrasi di Indonesia. Karenanya semangat perubahan dalam konteks hubunganpusat dan daerah adalah rekonstruksi terhadap pola relasi yang dibangun secara subordinate oleh Pemerintah Pusat selama Orde Baru. Semangat perubahan ini semakin kuat ketika reformasi terjadi dengan lengsernya Soeharto. Munculnya kebijakan desentralisasi pasca reformasi sebenarnya bukan merupakan perkembangan baru dalam penyelenggaraan Negara di Indonesia. UU Otonomi Daerah yang menjadi acuan bagi pelaksana otonomi daerah saat ini sebetulnya telah lama ada bahkan mengalami revisi namun demikian ,perlu dipahami bahwa perubahan politik pasca reformasi merupakan factor pendorong utama terhadap perubahan kebijakan desentralisasi saat ini. Sehingga, langkah maju daru kebijakan Desentralisasi saat ini adalah dirimuskannya secara tegas dan terinci mengenai pola relasi antar Eksekutif dan Legislatif.

Lahirnya UU No 22 Tahun 1999 merupakan koreksi terhadap pola relasi antara Eksekutif dan Legislatif yang didominasi oleh Eksekutif pada era Orde baru. karena itu UU No 22 Tahun 1999 memberi otoritas yang relative sangat besar kepada DPRD. Persoalannya kemudian adalah pemberian otoritas yang sedemikian besar itu tidak diikuti oleh pelembagaan kekuasaan di daerah yang demokratis yakni pelembagaan mekanisme chek and balances dalam penyelenggaraan pemerintah daerah. Restrukturisasi pola relasi pemerintahan daerah menurut UU No 22 Tahun 1999, telah menetapkan DPRD sebagai kekuatan dominan didaerah, namun tidak didukung oleh mekanisme yang efektif untuk meminta pertanggung jawaban DPRD sebagai institusi politik daerah yang dominan. Perubahan politik juga tidak cukup efektif dalam membangun akuntabilitas DPRD kepada public. Sistem pemilu yang tidak efektif dalam mendorong akuntabilitas DPRD yang dominant didaerah itu, menimbulkan kerawanan terhadap praktek – praktek penyalahgunaan kekuasaan.

Karena itu pelembagaan pemilihan Kepala Desa secara langsung merupakan upaya untuk mengakomodir perubahan politik yang berkembang selama ini. Ada beberapa alasan yang dapat dipakai sebagai acuan untuk melembagakan pemilihan Kepala Desa secara langsung, dengan alas an : Pertama, perubahan UUD 1945 yang mengisyrakatkan diselenggarakannya pemilihan kepala daerah secara demokratis. Semangat demokratis yang terkandung dalam perubahan UUD itu dapat diamati dengan dilembagakanyya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Hal itu juga berkaitan dengan pemilihan kepala daerah sesuai dengan UU Pemerintah Daerah. Kedua, perubahan Susduk yang tidak lagi memberikan kewenangan kepada DPRD untuk memilih Kepala Pemerintah Derah. Hal ini merupakan jaminan bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat hal itu berkaitan dengan mekanisme pertanggungjawaban kepala daerah yang langsung kepada rakyat bukan kepada DPRD.

Dengan mengacu kepada dua pertimbangan tersebut , maka revisi terhadap UU No 22/1999 merupakan jawaban atas kebutuhan yang selama ini terjadi penumpukan kekuasaan pada suatu lembaga sementara pada sisi yang lain sangat lemah sehingga terjadi dominasi suatu lembaga terhadap lembaga lainnya. sehingga, sejak pemerintahan Orde baru menetapkan kebijakan mengenai desentralisasi melalui UU No. 5 /1974, maupun kebijakan desentralisasi pasca reformasi melalui UU No.22 /1999 tentang Otonomi daerah, tidak diatur secara jelas mengenai pola relasi lembaga Negara yang berada didaerah dengan rakyat. Revisi UU No 22/1999 yang sekarang menjadi UU tentang pemerintahan daerah juga tidak mengatur secara jelas mengenai pola relasi tersebut.

System pemilihan Presiden atau Wakil Presiden, Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota secara langsung oleh rakyat, merupakan perkebangan yang perlu diapresiasi karena rakyat dengan otoritas pribadi yang mandiri dapat menentukan pemimpin yang dikehendakinya secara langsung tanpa perantara. Dalam hal ini, kedaulatan rakyat dalam hal menentukan pemimpinnya diakui dan mendapat tempat terhormat persoalannya mekanisme pertanggung jawaban public setiap pemimpin yang dipilih secara langsung, tidak diatur secara jelas. Hal itu mengaburkan pesan rakyat dalam menuntut tanggung jawab sang pemimpin yang dipilih rakyat. Slogan yang mengatakan bertanggung jawab langsung kepada rakyat sesnugguhnya sangat abstrak karena pola relasi yang tidak jelas antara rakyat dengan pemimpin mulai dari Presiden sampai Bupati atau Walikota. Dengan ketidakjelasan mekanisme pertanggungjawaban pada rakyat, memungkinkan tejadinya penyalahgunaan kewenangan pemimpin yang telah dipilih secara langsung.

Namun bagaimanapun dengan diputuskannya mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung dan pertanggungjawaban Kepala Daerah langsung kepada daerah merupakan pilihan yang dinilai dapat menjadi solusi terhadap persoalan relasi Eksekutif dan Legislatif yang tidak seimbang pasca reformasi. Dalam kerangka yang lebih luas, perubahan tersebut diharapkan dapat mendorong format politik baru yang demokratis, transparan,serta akuntabilitas para penyelenggara pemerintah daerah.




KEPUSTAKAAN

Ahmad, munawar. 2007. Menurut akar pemikiran politik kritis di Indonesia & Penerapan critical discourse Analysis sebagai system metodologi. Yogyakarta, Gava media ;

Alfian. 1992. Masalah dan Prospek Pembangunan politik Indonesia. Jakarta, PT. Gramedia;

Bertens. K. 2006. Psikoanalisis Sigmund Freud, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Budiardjo, Miriam. 1985. Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia.

Daryanto.S.S. 1997. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap : Ejaan Yang Disempurnakan, Surabaya : Penerbit Apolo.

Faturohman, Deden. Sobari, Wawan. 2004. Pengantar Ilmu Politik, Malang : UMM Press.

Hardiman, Francisco Budi. 1990. Kritik Ideologi : Pertautan Pengetahuan Dan Kepentingan, Yogyakarta : Kanisius.

Hanafi, Hassan. 2005. Bongkar Tafsir : Liberalisasi, revolusi, hermeneutic. Yogyakarta, AR – RUZZ Media ;

Hegel, GWF. 2002. Filsafat sejarah. Yogyakarta, Pustaka Pelajar ;

Muluk, Khairul. 2006. Desentralisasi Pemerintahan dan Daerah. Malang, Banyumedia ;

Rush, Michael; Althoff, Philip. 1990. Pengantar sosiologi politik. Jakarta, CV. Rajawali ;

Sabine, George H. 1963. Terjemahan : A History Of Political Theory, Jakarta : Yayasan Penerbitan Franklin.

Simbolon, Prakitrit. 1996. Politik kerakyatan Discorsi Niccolo Machiavelli. Jakarta : Kepustakaan popular Gramedia ;

Soekarno. 1926. Suluh Indonesia Muda, Jakarta.

Sudiyat, Iman. 1999. Asas-asas Hukum Adat, Yogyakarta : Penerbit Liberty.

Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Politik : Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta, Raja Grafindo Perssada ;

Turner, Bryan. S. 2005. Menggugat sosiologi sekuler (Studi analisis atas sosiologi Max Weber). Yogyakarta, Suluh Press ;

Wora, Emanuel. 2006. Perenialisme : Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta : Kanisius.