Senin, 11 Oktober 2010

Jabatan Notaris Mudah Tergelincir

 
Notaris diminta selalu berpedoman pada kode etik profesi dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ini karena jabatan notaris dinilai mudah tergelincir pada hal-hal yang merugikan dan melanggar kode etik profesi.

Kalau pengacara masih ada kontrol, misalnya oleh jaksa atau pengadilan saat menangani sebuah perkara, namun kalau notaris kontrol pihak luar lemah. Hubungan hanya dengan klien, ungkapnya. Karena itu, Ikatan Notaris Indonesia sebagai wadah notaris dituntut untuk selalu meningkatkan kualitas, baik ilmu, amal, maupun moral, serta menjunjung tinggi keluhuran martabat notaris.

Dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat harus senantiasa berpedoman kode etik profesi dan berdasarkan UU tentang Jabatan Notaris, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2004. Untuk mencegah dan menghapus korupsi, kolusi dan nepotisme, serta suap sekaligus menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih, telah ditetapkan penggunaan teknologi informasi online pada seluruh notaris. Misalnya dalam pengurusan untuk memperoleh keputusan menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan, seperti diatur dalam UU Nomor 40/2007.

Keberadaan notaris dapat dipandang sebagai seorang figur yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat karena keterangan- keterangan yang tertuang dalam akta notaris harus dapat dipercaya, diandalkan, dapat memberikan jaminan sebagai alat bukti yang kuat, dan dapat memberikan perlindungan hukum bagi para pihak yang memerlukan dikemudian hari.

Kepastian hukum

Notaris adalah pilar utama dalam starting business di Indonesia. Ini karena, dalam berbagai hubungan bisnis, baik di perbankan, pertanahan, maupun kegiatan sosial, kebutuhan pembuktian tertulis berupa akta otentik semakin meningkat seiring perkembangan tuntutan kebutuhan masyarakat yang memerlukan kepastian hukum.

Melalui akta otentik yang dibuat oleh notaris dapat ditentukan secara jelas hak dan kewajiban untuk menjamin kepastian hukum sekaligus diharapkan terhindar dari silang sengketa. 

Terkait UU 40/2007, Cholilah, Direktur Perdata Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Depkumham, menyatakan, UU itu lahir untuk mendukung terciptanya iklim berusaha yang kondusif di Indonesia. Misinya untuk mempersingkat waktu, menyederhanakan prosedur dan syarat, serta menurunkan biaya,

PPAT DI PERSIMPANGAN JALAN


Seperti pernah saya kemukakan dalam tulisan pada harian lain dikota ini, Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) sejak awal lahirnya telah menimbulkan berbagai macam polemik karena adanya beberapa ketentuan dalam Pasal-pasal undang-undang tersebut yang bersifat kontroversial. Ternyata dugaan saya itu benar, terbukti dengan semakin ramainya polemik mengenai pasal-pasal yang telah saya bahas dalam tulisan tersebut.

Salah satu diantaranya adalah mengenai keberadaan Pasal 15 UUJN, terutama setelah adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi No 009-014/PUU-III/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Pengujian UUJN terhadap UUD 1945. Ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut ternyata hingga saat ini tetap tidak bisa dilaksanakan baik oleh Notaris maupun oleh Badan Pertanahan Nasional.

Masing-masing pihak tetap bertahan dengan argumennya sendiri-sendiri. BPN beranggapan bahwa Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) tidak bisa dipisahkan dengan BPN, keberadaan PPAT itu berdasarkan sejarahnya adalah untuk menjalankan sebagian pekerjaan BPN, karena keterbatasan waktu dan tempat yang jauh , karena negara kita luas, maka PPAT itu kita serahkan kepada Camat dan kita serahkan juga kepada Notaris. Demikian pernyataan seorang petinggi BPN dalam Majalah Berita Bulanan Notaris.

Benarkah demikian?, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tidak mengatur dan bahkan sama sekali tidak menyinggung mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seperti halnya dengan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria, Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 juga tidak menyebut adanya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), apalagi mengaturnya. Pasal 19 PP 10 tahun 1961 hanya menyebutkan Pejabat saja.

Di dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 4 tahun 1996 Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) disebut sebagai Pejabat Umum, yang diberi wewenang untuk membuat akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah dan akta pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau yang disebut pejabat umum itu diangkat oleh Menteri Negara/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan masing-masing diberi daerah kerja tertentu. Dengan dinyatakannya Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) oleh Undang-Undang Hak Tanggungan itu sebagai Pejabat Umum, maka diakhiri keragu-raguan mengenai penamaan, status hukum, tugas dan kewenangan Pejabat tersebut.

Sesungguhnya didalam Undang-Undang Nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun juga telah disebutkan mengenai tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah, yaitu sebagai Pejabat yang berwenang untuk membuat akta pemindahan hak milik atas satuan rumah susun dan akta pembebanan hak tanggungan atas satuan rumah susun, tetapi undang-undang ini juga tidak menyebutkan dengan jelas penamaan dan status PPAT. Baru di dalam Undang-Undang Hak Tanggungan (UU No.4 tahun 1996) disebutkan dengan jelas mengenai penamaan, status dan kedudukan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yaitu,  sebagai Pejabat Umum.

Dengan ditegaskannya nama, kedudukan dan status hukum Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Undang-Undang Hak Tanggungan, maka selanjutnya ketentuan umum mengenai Pejabat Pembuat Akta Tanah itu diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Ketentuan pasal 6 ayat 2 Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 menyatakan, bahwa dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah, Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah. Kata-kata dibantu telah menimbulkan salah pengertian pada sementara Pejabat Pembuat Akta Tanah maupun BPN. Pejabat Pembuat Akta Tanah seakan-akan adalah merupakan pembantu dalam arti bawahan Kepala Kantor Pertanahan. Tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah membantu Kepala Kantor Pertanahan, harus diartikan dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah yang menurut pasal 6 ayat 1 ditugaskan kepada Kepala Kantor Pertanahan.

Kepala Kantor Pertanahan, dalam melaksanakan tugasnya mendaftar hak tanggungan dan memelihara data yuridis yang sudah terkumpul dan disajikan dikantornya yang disebabkan karena pembebenan dan pemindahan hak– di luar lelang– kecuali dalam hal yang dimaksudkan dalam pasal 37 ayat 2, Kepala Kantor Pertanahan mutlak memerlukan data yang harus disajikan dalam bentuk akta yang hanya boleh dibuat oleh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Pejabat Pembuat Akta Tanah mempunyai kedudukan yang mandiri,  bukan  sebagai  pembantu  pejabat  lain. Kepala Kantor Pertanahan, bahkan siapapun tidak berwenang memberikan perintah kepadanya atau melarangnya membuat akta. Pelaksanaan tugas Pejabat Pembuat Akta Tanah  sudah ada ketentuannya dalam Undang-Undang 16 tahun 1985, Undang-Undang 4 tahun 1996, Peraturan Pemerintah No 24 tahun 1997 dan peraturan-peraturan hukum materil yang bersangkutan. Dalam pengertian itulah ketentuan pasal 6 ayat 2 tersebut harus diartikan.

Menurut Jimly Asshiddiqie, harus dibedakan antara pertanggung jawaban fungsional PPAT dari pengertian pertanggung jawaban hukum dan pertanggung jawaban professional PPAT. Dalam menjalankan fungsinya, PPAT tidak bertanggung jawab secara fungsional kepada siapapun, termasuk kepada Pejabat Pemerintah yang mengangkatnya. PPAT hanya bertanggung jawab secara hukum kepada Hakim di Pengadilan apabila ia disangka dan dituduh melakukan tindak pidana atau jika ia diminta bertanggung jawab  secara professional menurut norma-norma etika profesinya sendiri melalui Dewan Kehormatan atau Komisi Etika yang dibentuk oleh organisasi profesinya sendiri.

Sedangkan mengenai surat keputusan pengangkatan dan pemberhentian seorang PPAT hanya mempunyai sifat administratif. Oleh karena itu secara administratif PPAT tetap bertanggung jawab kepada pemerintah yang mengangkatnya. Artinya jika ia tidak memenuhi syarat administratif, ia tidak dapat diangkat menjadi PPAT, sebaliknya jika ia gagal memenuhi bukti-bukti lain yang dapat dijadikan alasan pemberhentiannya  dari jabatan PPAT, maka ia akan diberhentikan dari jabatan PPAT oleh pejabat Pemerintah yang mengangkatnya sebagai PPAT.

Dari uraian-uraian mengenai pengertian Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut diatas, terutama setelah berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan tahun 1996, Pejabat Pembuat Akta Tanah yang dimaksud adalah Notaris atau orang-orang yang diangkat menjadi Pejabat Umum oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah terlebih dahulu lulus dalam ujian yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional.

Pelaksanaan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah diatur dalam pasal 19 sampai dengan Pasal 32 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 37 Tahun 1998. Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah, dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri, dimana semua jenis akta itu diberi satu nomor urut yang berulang pada permulaan tahun takwim.

Kewenangan Menteri Agraria/Kepala BPN untuk menentukan bentuk akta Pejabat pembuat Akta Tanah tersebut adalah kewenangan yang diberikan oleh dirinya sendiri, dan hal itu bermula dari menentukan bentuk akta hipotik dan mengatur hukum acara serta kekuatan hukum dari sertifikat. Kesalahan dan kekeliruan tersebut terus berlanjut, terutama bertalian atau yang berkenaan dengan akta-akta perjanjian yang bertalian dengan hak atas tanah, demikian pula halnya yang bertalian dengan pejabat yang berwenang membuat akta tersebut, antara lain sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Rumah Susun Nomor 16 tahun 1985, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Permasalahan PPAT, semakin bertambah pula dengan belum bisa dilaksanakannya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN pasca keputusan Mahkamah Konstitusi, sehingga akan semakin panjang pula polemik mengenai kedudukan PPAT. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) sebagai pembuat Undang-Undang bersama-sama dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, beranggapan bahwa PPAT itu sudah inheren didalam diri Notaris, sementara BPN beranggapan bahwa Notaris dan PPAT itu  merupakan sesuatu yang terpisah dan harus dipisahkan.

Sementara itu organisasi PPAT, Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) melalui Ketua Umumnya menyatakan dan beranggapan bahwa masalah itu bukan merupakan kewenangan  dari IPPAT, sehingga jika suatu hari nanti PPAT tidak ada lagi karena keberadaanya dihapuskan oleh undang-undang, maka hal itu harus diterima.

Dengan terus berlanjutnya, bahkan belakangan semakin ramai polemik mengenai kedudukan dan keberadaan PPAT sebagai akibat ketentuan pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, maka akan berpengaruh pula terhadap kepercayaan masyarakat terhadap tugas dan kewenangan PPAT dan juga terhadap PPAT itu sendiri, sehingga PPAT benar-benar berada di persimpangan jalan.

Oleh karena itu untuk menjamin adanya kepastian hukum dan untuk dipenuhinya rasa keadilan, serta pula demi tercapainya tertib hukum sesuai dengan system hukum yang dianut dan berlaku di Indonesia, maka dengan pendekatan yang objektif, ilmiah dan argumentatif, jika keberadaan PPAT itu akan tetap dipertahankan, perlu segera dibentuk atau dibuat undang-undang organik yang mengatur tentang jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Ketentuan-ketentuan yang selama ini ada tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah dianggap belum cukup memadai, karena walaupun kedudukan, nama dan status Pejabat Pembuat Akta Tanah tersebut telah di sebutkan dengan tegas dalam Undang-Undang tentang Rumah Susun maupun Undang-Undang tentang Hak Tanggungan, tetapi ketentuan mengenai peraturan jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah hanya diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP), yang dianggap masih belum memadai untuk tugas dan peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Disamping itu keberadaan Peraturan Pemerintah No.37 tahun  tahun 1998 itu dianggap kurang tepat secara hukum. Keberadaan PP ini sama sekali tidak didasarkan atas perintah undang-undang. Penetapan PP tersebut oleh pemerintah dianggap perlu untuk mengisi kekosongan hukum.

Hal itu dapat dimaklumi, karena dalam teori hukum ada pendapat yang menyatakan bahwa apabila ada kebutuhan untuk mengatasi kekosongan hukum, kepala pemerintahan berwenang berdasarkan prinsip “Freisermessen” menetapkan peraturan yang dibutuhkan untuk kepentingan umum. Namun menurut Jimly Asshiddiqie bentuk hukumnya seharusnya bukan Peraturan Pemerintah, melainkan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur.

Atau jika keberadaan PPAT memang hendak dihapuskan karena dianggap telah inheren dalam diri Notaris, sebagaimana dikehendaki oleh DPR dan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia seperti yang tersirat dalam ketentuan Pasal 15 UUJN, serta wacana yang berkembang belakangan ini,  maka ketentuan itu harus pula dinyatakan dengan tegas dalam undang-undang, sehingga tidak menimbulkan polemik karena adanya perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya.

http://maferdyyuliussh.wordpress.com/ppat-di-persimpangan-jalan/

PANGREH PRAJA DAN PEGAWAI NEGERI

Menjadi abdi negara, menjadi hamba negara memang mudah, sebab negara itu seperti Tuhan, tidak bisa didefinisikan. Oleh karena itu tak perlu bertanya, bahkan tak perlu percaya bahwa negara itu memang benar-benar ada. Pokoknya melakukan, seolah-olah negara itu memang ada. Tetapi inilah letak perbedaan antara orang-orang Anglo-Saxon dengan orang-orang di daerah Eropa daratan, yang sistem kenegaraannya sebagian besar berasal dari peninggalan Romawi, dianut oleh Belanda dan kemudian diikuti pula oleh Indonesia.

Bagi orang-orang Anglo-Saxon, negara adalah rakyat, Parlemen adalah suaranya dan Birokrasi adalah pelaksananya. Untuk orang-orang Eropa Daratan (continental), negara adalah “Res Publica” sesuatu yang umum, yang sedikit sekali sangkut pautnya dengan rakyat, itupun kalau memang ada.

Oleh karena itu orang-orang Eropa daratan selalu bersikap defensif terhadap negara. Selalu menentang aturan-aturannya, selalu bersikap kompromis dengan tuntutan-tuntutannya. Polisi bukan hamba rakyat, tetapi “factor” dari tuannya. Di Inggris kaum Birokrat disebut “hamba masyarakat/abdi masyarakat” dan di Eropa daratan kaum Birokrat disebut “fungsionaris/aparatur” dari negara yang Impersonal.

Bagaimana dengan Indonesia?. Kita patut berterimakasih kepada Marsekal Herman Willem Daendels yang telah berjasa besar bagi kita, karena ia adalah orang yang pertama kali memperkenalkan konsep negara dan birokrasi modern di Indonesia, dengan meniru model Napoleon di Eropa.

Birokrasi di Hindia Belanda disusun berdasarkan hirarki dengan wilayah sendiri. Pangreh Praja, Bupati dan lain-lain diangkat sebagai pegawai Hindia Belanda dengan tambahan fungsi sebagai pemimpin rakyat (volkshofden) yang artinya adalah pemimpin adat, agama dan penyelesai semua masalah.

Menurut Onghokham, Marsekal Herman Willem Deandels mempersonafikasikan dirinya seperti Napoleon kecil di timur , yang harus menciptakan negara bermodel Napoleon di Hindia Belanda. Deandels dengan tegas menciptakan pembagian fungsi, daerah dan hirarki kekuasaan, baik dikalangan penguasa Belanda (Eropa) maupun Bumiputera.

Birokrasi itu sendiri adalah suatu gejala di negara dan masyarakat modern. Dalam hal ini, birokrasi bersifat rasional dan hirarkis, dengan batasan kerja yang jelas; suatu mesin yang mengabdi dan mengurus masyarakat tanpa pandang bulu. Lebih lanjut dikatakan oleh Onghokham, kita tidak dapat membayangkan sebuah “welfarestate” (negara kemakmuran) di Barat, tanpa birokrasi, sebab ialah yang mengatur cara mencari nafkah, mengolah sumber-sumber ekonomi dan sekaligus menjamin tingkat kemakmuran semua warga. Birokrasi itu sendiri diatur dengan undang-undang, bukan oleh birokrasi itu sendiri.

Di Hindia Belanda dikenal dua macam pegawai negeri, karena Belanda memakai dual system, yakni pertama adalah, Bestuur Beamten (BB) atau dikenal pula sebagai Binnenlands Bestuur, yaitu pegawai pemerintahan dalam negeri. Yang  kedua adalah kaum priyayi, penguasa lokal dengan struktur pemerintahan yang disusun oleh Belanda, yaitu korps pegawai Pangreh Praja/Indslands Bestuur (IB/penguasa kerajaan).

BB adalah korps pegawai kolonial dari sebuah birokrasi negara modern, yang terdiri dari orang-orang Belanda dan umumnya berpendidikan tinggi. Dari BB inilah korps pegawai Republik Indonesia berasal. Pejabat-pejabat BB berasal dari VOC, sedangkan Pangreh Praja bukanlah korps pegawai yang seragam, yang sejak abad ke 19 (1830) disusun oleh Pemerintah Hindia Belanda. Oleh sebab itu system Pemerintahan Hindia Belanda sering pula disebut sebagai Indirecht Rule (pemerintahan tak langsung) karena dilakukan melalui penguasa lokal.

Para pejabat VOC yang datang ke Hindia Belanda kebanyakan adalah dengan motivasi petualangan dan mencari untung, disamping karena jatuh miskin dinegerinya. Jadi jabatan di VOC harus bisa membuat mereka menjadi kaya raya. Tetapi sayangnya gaji VOC rendah sekali, sehingga korupsi menjadi kebiasaan pejabat VOC di Hindia Belanda, agar mereka tetap bisa hidup mewah dan berfoya-foya untuk melanjutkan kebiasaan di negerinya.

Onghokham menggambarkan bahwa bentuk-bentuk korupsi pejabat VOC itu ada beberapa macam, yaitu pertama adalah berupa perdagangan pribadi. Pejabat VOC seharusnya berdagang, bertugas dan berusaha demi majikannya, yakni VOC, namun ternyata mereka lebih memperhatikan perdagangan pribadinya, yang dikenal sebagai “Morshandel” (perdagangan kecil). Sebenarnya perdagangan itu tidaklah kecil, karena di dalam melakukan perbuatan itu mereka memakai berbagai fasilitas VOC, seperti kapal, gudang, modal, koneksi dan fasilitas-fasilitas milik VOC lainnya.

Yang kedua adalah, para pejabat tinggi VOC juga menerima suap dari para pejabat VOC rendahan, dari pejabat Indonesia (Pangreh Praja) seperti Bupati (pengumpul pajak) dan dari orang-orang Cina yang memegang hak penjualan barang-barang VOC, seperti Candu. Disamping itu, juga terjadi jual beli jabatan di VOC, seperti kasus Dirk van Hogendorp, Gubernur VOC di Pantai Utara jawa Timur, yang untuk mendapatkan jabatannya harus membayar kepada Gubernur VOC di Semarang, Gubernur Jenderal VOC di Batavia (Jakarta) dan penguasa VOC di Belanda. Hal itu sebenarnya disadari dan diketahui oleh pejabat VOC di Belanda, tetapi mereka tidak punya keinginan untuk menghentikannya, karena adanya jalinan kepentingan.

Jual beli jabatan ini atau venality of office (memperoleh jabatan karena korupsi), membuat seorang pejabat harus korupsi untuk menganti uang yang diberikan  untuk membeli jabatan. Tetapi hal itu tidak hanya terjadi di kalangan VOC saja, sebab pada waktu yang sama raja-raja Jawa sendiri juga melakukan jual beli jabatan. Artinya pada kurun waktu yang sama antara VOC dan raja-raja di Jawa terjadi korupsi kolektif.

Korupsilah yang menyebabkan VOC pada akhirnya bangkrut, sehingga pada penghujung abad ke 18 koloninya di Asia diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Dinegeri Belanda sendiri juga terjadi kebobrokan yang sama atau biasa disebut sebagai ancienme regime (rezim lama) yang menimbulkan menyebarnya ide-ide Revolusi Perancis, dan pada kemudian dengan dukungan tentara revolusioner Perancis, rakyat Belanda dibebaskan dari ancienme regime tersebut(1798).

Setelah Hindia Belanda diambil alih oleh Pemerintah Belanda korupsi tidaklah berhenti, sampai awal abad ke duapuluh adapula korupsi dengan bentuk baru yaitu, lelangan barang-barang pribadi pejabat Belanda yang memasuki masa pensiun atau hendak dipindah tugaskan ketempat lain.

Setiap pejabat Belanda yang memasuki masa pensiun atau akan dipindahkan ketempat lain selalu melakukan lelang barang-barang pribadinya. Lelang itu menghasilkan banyak uang, sebab para pengusaha termasuk para pejabat Pangreh Praja akan membeli barang-barang itu dengan harga sangat tinggi.

Lewat kegiatan lelang itu pengganti sang pejabat Belanda akan mencatat para pengusaha dan pejabat Pangreh Praja yang berani membeli barang-barang itu dengan harga sangat tinggi. Para pengusaha dan Bupati itu kemudian akan dilindungi oleh pejabat baru tersebut. Selain itu mantan pejabat itu, sering diberikan jabatan dalam perusahaan Swasta besar, sehingga masa tuanya terjamin dengan baik, atau bahkan akan lebih baik lagi.

Melihat sejarah panjang birokrasi dan korupsi di negeri ini, tentu kita tidak merasa heran jika kemudian Pemerintah dibawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganggap korupsi  sebagai suatu kejahatan yang sangat luar biasa (extra ordinary crimes) dan akan sangat sulit untuk memberantasnya. Perlu diketahui bahwa, para pendiri Indonesia ketika merdeka mewarisi suatu negara beserta aparatur pemerintahnya. Artinya, kemerdekaan Indonesia tidak dilakukan dengan mendirikan suatu negara baru dari bawah atau dengan menggunakan unsur-unsur revolusionernya.

Ketika Indonesia merdeka, sebagian besar aparatur pemerintahannya berasal dari zaman kolonial, khususnya Pangreh Praja yang berasal dari golongan priyayi atau Inlandsch Bestuur, dan sampai masa Orde Baru sebagian dari mereka masih berada disekitar lingkaran kekuasaan. Bahkan sebagian dari mereka yang pernah mendapat Orde van Oranje Nassau karena jasa-jasanya kepada pemerintah kolonial Belanda, dijadikan sebagai penasehat Pemerintah.

Maka dengan latar belakang aparatur pemerintahan seperti itu, menjadi pemerintah (Presiden, Gubernur, Bupati/Walikota, Camat) hanya dianggap sebagai “pemberi perintah” belaka, sehingga makna yang sebenarnya dari memerintah itu yang sesungguhnya adalah untuk mengurus semua kebutuhan dan kepentingan rakyat, menjadi terlupakan. Padahal, memberi perintah itu hanya sebagian kecil dari fungsi mengurus.

Jadi tidak perlu heran jika kemudian ramai diberitakan terjadinya jual beli jabatan dalam penunjukan dan penggantian pejabat-pejabat pemerintah pada level tertentu di berbagai daerah. Tidak pula perlu heran jika Pemerintah Kota Cirebon ber-susah payah untuk mengambil kembali mobil dinas yang berada ditangan bekas pejabat yang telah pensiun atau pejabat yang dipindah tugaskan kedaerah lain, karena masih dianutnya pandangan bahwa menjadi birokrat, menjadi pegawai negeri adalah menjadi abdi negara bukan menjadi hamba masyarakat bukan menjadi abdi masyarakat, sehingga “pengabdian” itu adalah jasa yang harus dibalas oleh negara.

Oleh karena itu, perlu ditanamkan kesadaran bahwa menjadi birokrat, menjadi pegawai negeri, berarti telah memilih jalan hidup untuk menjadi hamba masyarakat, menjadi abdi rakyat, bukan menjadi fungsionaris, bukan menjadi abdi negara atau menjadi apparatus.

Tetapi seperti kata orang bijak, masa lampau adalah cermin masa depan, sejarah selalu terulang kembali dengan nama baru, warna baru dan ………….manusia baru. Oleh karena itu salah satu upaya yang harus dilakukan Pemerintah untuk memberantas korupsi agar bangsa ini bias segera bangkit dari keterpurukan yang telah demikian lama dialami, dan sekaligus juga merupakan persoalan mendasar dari bangsa ini, adalah melakukan reformasi birokrasi yang hingga saat ini belum terjamah oleh agenda reformasi.

Sejak reformasi tahun 1998 yang menjatuhkan rejim Orde Baru, reformasi system dan kelembagaan pemerintah (birokrasi) tetap belum tersentuh. Jika hal itu tidak juga dilakukan, kita tidak boleh berharap terlalu banyak, sebab sungai masih tetap akan mengalir kearah sediakala.


http://maferdyyuliussh.wordpress.com/pangreh-praja-dan-pegawai-negeri/

MELIHAT KEPUTUSAN MA SEBAGAI BENTUK PENEMUAN HUKUM

 
Turunnya keputusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam perkara Korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2001 di Cirebon, yang dikenal sebagai kasus APBD Gate, telah menimbulkan berbagai macam tanggapan dan reaksi dalam masyarakat. Bagi para terpidana, putusan MA itu adalah suatu bentuk ketidak-adilan hukum dan bahkan kezaliman.

Untuk itu mereka melakukan perlawanan hukum dengan mengajukan upaya hukum berupa Peninjauan Kembali ke MA. Suatu upaya hukum yang memang dimungkinkan oleh Hukum Acara Pidana kita, tetapi bentuk perlawanan terhadap eksekusi putusan tersebut yang bahkan waktunya saja belum ditentukan oleh Kejaksaan Negeri Cirebon sebagai eksekutor, adalah suatu hal yang patut kita sesalkan.

Seharusnya kita bisa belajar dari Eurico Guiterres yang mengorbankan seluruh hidupnya demi “merah-putih” demi Indonesia, negeri yang dicintainya bahkan akibat keyakinannya ia kehilangan keluarga, kang tidak lengkap atau tidak jelas, maka hakim harus mencari hukumnya. Hakim harus melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum oleh hakim lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peritiwa hukum yang kongkrit.

Ajaran tentang penemuan hukum ini merupakan jawaban atas pertanyaan mengenai interpretasi atau penafsiran undang-undang, intepretasi restriktif atau ekstensif, penyempitan hukum atau analogi.

Jadi tugas hakim tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang rutin dan mekanis saja, namun telah menjadi ajang perseteruan antara berbagai pandangan tentang tujuan dan kepastian hukum. Tugas hakim dalam pandangan otonom adalah menentukan hukum inconcereto (kongkrit) terhadap peristiwa kongkrit. Disini putusan hakim adalah hukum buatan hakim, hakim juga pembentuk hukum, yaitu hukum inconcereto.

Pandangan ini mulai berkembang pada tahun 1850, yang menganggap hakim bukan lagi corong undang-undang, melainkan sebagai pembentuk hukum yang memberi bentuk pada isi undang-undang dan menyesuaikannya dengan kebutuhan-kebutuhan hukum.

Hakim dalam menjatuhkan putusannya dibimbing oleh pandangan-pandangan atau pikirannya sendiri. Hakim memutus menurut apresiasi pribadi. Pandangan ini oleh Van Eikema Hommes disebut sebagai pandangan yang “materiil yuridis”, dan di Jerman pandangan ini dikembangkan oleh Oskar Bullow dan Eugen Erlich.

Sementara itu Francois Geny, yang mendukung pandangan ini menentang penyalahgunaan cara berpikir yang abstrak-logis dalam pelaksanaan hukum dan terhadap fiksi bahwa undang-undang berisi hukum yang berlaku.

Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank menentang pendapat bahwa hukum yang ada itu sudah lengkap sehingga dapat dijadikan sumber bagi hakim untuk memberikan putusan dalam peristiwa yang kongkrit, menurut mereka undang-undang tidak mungkin lengkap. Undang-undang hanya merupakan satu tahap dalam proses pembentukan hukum dan terpaksa mencari kelengkapannya dalam praktek hukum dari hakim. Pandangan ini dianut pula oleh Etienne Portalis, perancang dan pembentuk KUHPerdata (Code Civil) Perancis.

Jika hakim mengadili menurut ketentuan undang-undang, maka penemuan hukumnya disebut sebagai penemuan hukum heteronom. Undang-undang merupakan premise mayor, peristiwa yang konkrit merupakan premise minor sedangkan putusan hakim merupakan konklusi atau kesimpulannya.

Suatu putusan hakim tidak akan berisi atau meliputi lebih dari apa yang terdapat dalam undang-undang yang berhubungan dengan apa yang terdapat dalam peristiwa kongkrit. Pandangan ini disebut pandangan yang typis logistic. Menurut S.1847-23 tentang Peraturan Umum mengenai Perundang-Undangan Indonesia, hakim sama sekali tidak diperkenankan menilai inti atau keadilan dari undang-undang. Artinya hakim bukanlah pembentuk undang-undang.

Disini hakim tidak menjalankan fungsi yang mandiri dalam penerapan undang-undang terhadap peristiwa hukum yang kongkrit. Hakim hanyalah corong dari undang-undang yang tidak dapat mengubah atau menambah undang-undang. Pandangan ini dipertahankan oleh Montesquieu dan Immanuel Kant, dengan pemikiran dasar pembentuk undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif.

Demi kepastian hukum, kesatuan hukum dan kebebasan warganya yang terancam oleh oleh tindakan sewenang-wenang dari hakim, maka hakim harus tunduk pada pembentuk undang-undang.  Dalam pandangan ini peradilan tidak lain hanyalah suatu bentuk silogisme.

Bagaimanakah dengan peradilan di Indonesia? Apakah juga telah menganut pandangan penemuan hukum oleh hakim itu?. Ternyata hakim-hakim di Indonesia juga telah menganut teori penemuan hukum oleh hakim tersebut. Hal itu terbukti dari adanya putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur tahun 1978 dalam perkara Nomor 46/Pid/UT/78/WAN.

Majelis hakim dalam perkara itu yang diketuai oleh Bismar Siregar, dalam pertimbangan hukumnya antara lain menyatakan: “bahwa dalam menyelesaikan perkara secara kekeluargaan, baik sebelum atau selama dipersidangan pengadilan, Pengadilan patut mempertimbangkan putusannya sebagai hakim yang bijaksana, berdasarkan pertimbangan hubungan baik antara pihak-pihak, yang menyatakan perbuatan yang terbukti itu tidak lagi merupakan perbuatan yang dapat dituntut hukum”.

Mahkamah Agung RI dalam putusannya tertanggal 15 Mei 1991 Nomor 1644/K/Pid/1988 telah membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengara dan menolak tuntutan Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Kendari atas terdakwa yang melakukan delik adat, karena terdakwa sebelumnya telah dijatuhi sanksi adat oleh pemuka adat (Pengadilan Adat) dan sanksi adat tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa.

Putusan MA tersebut telah memerankan fungsinya sebagai alat penemuan hukum, karena mengakui keabsahan putusan pengadilan adat di Kendari itu, padahal semua pengadilan adat, pengadilan swapraja dan pengadilan asli telah lama dihapuskan dalam sistem peradilan di Indonesia.

Demikian pula halnya dengan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan-Barat tanggal 14 November 1973 Nomor 546 tahun 1973, tentang penggantian jenis kelamin. Dengan penentapan hakim tersebut, hakim telah melakukan penemuan hukum untuk mengisi kekosongan peraturan hukum sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat.

Dalam perkara APBD Gate 2001 di Cirebon, dimana PP Nomor 110 tahun 2000 telah dicabut melalui Surat Edaran MA Nomor 4 tahun 2005 tanggal 28 Februari 2005 serta adanya ketentuan Pasal 244 KUHAP yang menyatakan bahwa terhadap putusan bebas murni tidak dapat dilakukan permohonan kasasi terhadap MA. Tetapi MA dalam putusan Kasasinya telah mengabulkan permohonan kasasi Kejaksaan Negeri Cirebon. Maka dapat kita lihat bahwa putusan kasasi MA dalam kasus APBD Gate ini adalah bentuk penemuan hukum oleh hakim (MA).

Putusan kasasi MA itu bukanlah akibat inkonsistensi MA dalam menerapkan hukum atau salah dalam menerapkan peraturan perundang-undangan, melainkan sebagai bentuk  penemuan hukum (rechtsvinding) untuk mencegah terjadinya kekosongan hukum.

Sistem hukum Civil Law yang dianut oleh Indonesia, mengenal bentuk penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat kepada undang-undang, tetapi penemuan hukum ini mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat, karena seringkali pula hakim harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.

Dalam praktek peradilan, tidak ada batas yang tajam antara penemuan hukum yang heteronom dan otonom, karena seperti dalam putusan MA diatas, penemuan hukum ternyata mengandung kedua unsur tersebut, yaitu otonom dan heteronom.

Dari putusan MA tersebut, kita melihat bahwa penemuan hukum ternyata bukan hanya semata-mata penerapan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa kongkrit, tetapi sekaligus penciptaan dan pembentukan hukum.

Dalam penemuan hukum yang otonom, penemuan hukum oleh hakim adalah penemuan hukum yang mandiri, hakim bukan lagi corong undang-undang, melainkan memberikan bentuk dan isi terhadap suatu undang-undang serta menyesuaikannya dengan kebutuhan masyarakat.


http://maferdyyuliussh.wordpress.com/melihat-keputusan-ma-sebagai-bentuk-penemuan-hukum/

LANDREFORM DALAM PEMBARUAN HUKUM AGRARIA


Dalam usianya yang ke 45 tahun ini, UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan. Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat memiliki tanah guna kepentingan pembangunan.

Akibatnya adalah berupa warisan konflik pertanahan yang tampak sekarang ini. Oleh sebab itu perangkat-perangkat hukum yang ada dalam UUPA perlu di perbaiki, bila perlu dengan melakukan perobahan ketentuan dan rumusan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang lengkap dan jelas, untuk menghindari penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari.

Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan  ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.

Mengapa harus petani?, sebab sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington, jika syarat-syarat penguasaan tanah itu adil, hingga memungkinkan para petani hidup layak, kecil kemungkinannya akan terjadi suatu revolusi. Sebaliknya, apabila tidak demikian dimana para petani hidup miskin dan menderita, revolusi mungkin akan terjadi, kalau tidak dapat dikatakan revolusi tidak akan dapat dihindarkan, kecuali jika pemerintah segera mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki keadaan itu. Tidak ada kelompok masyarakat yang lebih konservatif dari pada para petani pemilik tanah dan tidak ada pula kelompok yang lebih revolusioner dari pada mereka, jika memiliki tanah yang terlalu sempit, dengan pembayaran sewa yang terlalu tinggi.

Untuk mencegah terjadinya peringatan tersebut, salah satunya adalah dengan program landreform. Landreform dapat dipergunakan sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah menuju kearah keadilan sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam rangka pembangunan ekonomi.

Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, landreform pernah menjadi primadona dipanggung politik negara, namun kemudian landreform menghilang dari panggung politik, dan digantikan oleh kepentingan-kepentingan pemodal besar.

Secara harfiah, perkataan landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah.

Jika dilihat dari pengertian tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa.

Dalam kasus-kasus tanah, landreform dikenal sebagai agrarian reform sekedar untuk memberikan pengertian perubahan dalam gambaran menyeluruh. Sebaliknya, beberapa pihak menerjemahkan landreform secara sempit dan tradisionil, yaitu sebagai alat untuk mengadakan penyediaan tanah bagi para penggarap, yang biasanya dikenal sebagai redistribusi tanah atau dianggap sebagai landreform in practice.

Prof. Boedi Harsono, memberikan perbedaan landreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria, melainkan memuat juga lain-lain pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian persoalan-persoalan tersebut pada waktu terbentuknya UUPA, merupakan program revolusi dibidang agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia.

Agrarian reform Indonesia itu meliputi 5 program (Panca Program), yaitu:

1.    Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;

2.    Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;

3.    Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;

4.    Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;

5.    Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.

Program yang ke-empat, lazim disebut program landreform. Bahkan keseluruhan program landreform tersebut seringkali disebut program landreform. Maka ada sebutan lendreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit.

Landreform dalam arti sempit, adalah merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dalam tulisan ini, yang dipergunakan adalah pengertian landreform dalam arti sempit, yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaanya.

Sejak awal diperkenalkannya program landreform di Indonesia, telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat mengenai tujuan landreform tersebut. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo, yaitu landreform menurut Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu landreform telah dipakai oleh PKI untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu Tuan Tanah Setan Desa dan Petani. Masyarakat dan birokrasi desa memang tidak siap untuk melaksanakan landreform. Perangkat desa bukanlah alat yang efektif untuk tujuan itu.

Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme, kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu rezim.

Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun pendapatan.

Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik, dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan makmur.

Dalam hal-hal tertentu, istilah landreform dipakai dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai perubahan dalam pemilikan dan penguasaan tanah, khususnya redistribusi tanah. Tetapi, menurut Erich Jacoby, redistribusi tanah tidaklah sama dengan  landreform. Namun redistribusi tanah melalui landreform khususnya, telah mencapai target selama 20 tahun terakhir, pada saat prioritas perubahan social ekonomi telah diberikan terhadap daerah-daerah yang masyarakatnya sangat peka terhadap perubahan-perubahan.

Pada dasarnya hal yang menimbulkan perlunya redistribusi tanah adalah ketidak seimbangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Disatu pihak ada sedikit petani yang mempunyai sejumlah besar atau sangat besar tanah pertanian, pada sisi lainnya sejumlah besar petani hanya mempunyai tanah yang sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tanah pertanian untuk digarap.

Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada petani yang membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Hal ini merupakan perwujudan dari azas yang terkandung dalam hukum agraria Indonesia, yang mengakui adanya hak perorangan atas tanah. Pemberian ganti kerugian itu, juga merupakan ciri pokok landreform Indonesia.

Jadi yang dimaksud dengan redistribusi tanah yang menjadi objek landreform, adalah pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah karena terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja atau bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah tersebut.

Ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah yang menjadi objek landreform tersebut dimulai pada tanggal 24 September 1963. Pelunasan Surat Hutang Landreform akan dilakukan dalam waktu 12 tahun, terhitung sejak diterimakan kepada bekas pemilik tanah yang bersangkutan, yaitu untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1965. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) PKI pada tahun 1965 itu, dan diikuti dengan perubahan-perubahan moneter kemudian, pengeluaran Surat Hutang Landreform yang sudah selesai disiapkan, terpaksa ditangguhkan dan bahkan kemudian ditiadakan.

Sehubungan dengan apa yang dikemukakan diatas, kiranya dapat dipahami betapa pentingnya program landreform tersebut dimasukan sebagai salah satu agenda dalam pembaruan hukum agraria nasional kita, agar program landreform yang telah lama hilang dan bahkan hampir dilupakan itu, kembali dilaksanakan. Pentingnya program landreform tersebut antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno, dalam amanatnya pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960, yang berjudul “Laksana Malaikat Yang Menyerbu Dari Langit! Jalannya Revolusi Kita” menyatakan; “Tanah, untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!. Tanah, tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk, gendut, karena mengisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu………….!.

Dengan demikiakn keberhasilan pembaruan hukum agraria itu,  hanya akan berhasil  apabila pembaruan hukum agraria itu benar-benar mengutamakan kepentingan petani sebagai golongan terbanyak dari bangsa ini yang antara lain adalah melalui program landreform,  tentunya dengan tidak mengabaikan peranan investor-investor dan pemodal besar.

Pemikiran ini sengaja menggunakan pengertian dan sebutan pembaruan hukum agraria dan bukan penyempurnaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Boedi Harsono. Penyempurnaan menurutnya, mengandung pengertian membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Pembaruan mengandung arti perubahan atau penggantian sesuatu yang dinilai kurang atau tidak baik. Beliau berkeyakinan bahwa hukum tanah nasional kita sekarang ini sudah baik, sehingga penyempurnaan akan dilaksanakan dengan melengkapi isi UUPA, yang merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional kita dan memperbaiki rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.

Penulis, berpemikiran bahwa sebutan yang tepat adalah pembaruan hukum agraria, sesuai dengan Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 bukan penyempurnaan hukum agraria, karena kita tidak boleh takut untuk mengakui bahwa hukum tanah nasional kita masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Untuk itu perlu dilakukan revisi yang tidak hanya berupa penyempurnaan, tetapi jika perlu dengan melakukan perubahan-perubahan atau pengantian terhadap beberapa ketentuan UUPA yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.
Namun demikian, dengan pembaruan hukum tanah nasional itu, diharapkan tidaklah menghapuskan keberadaan hukum adat sebagai sumber utama hukum tanah nasional kita, karena pembaruan yang dimaksud bukan berarti merubah secara total, melainkan memperbaiki dengan melakukan perubahan atau penggantian isi UUPA yang dianggap kurang atau tidak baik, dengan tetap berpedoman kepada hukum adat sebagai sumber utamanya.

http://maferdyyuliussh.wordpress.com/landreform-dalam-pembaruan-hukum-agraria/

POSISI NOTARIS DITENGAH KONTROVERSI PAYUNG HUKUM


POSISI NOTARIS DITENGAH KONTROVERSI PAYUNG HUKUM


Disahkannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, telah memunculkan berbagai macam tanggapan, baik yang datang dari kalangan Notaris sendiri, maupun dari pihak lain yang merasa Undang-Undang tersebut telah “memangkas” kewenangan yang selama ini merupakan kewenangannya.

Seperti biasa, setiap diberlakukannya Undang-Undang baru, tentu akan menimbulkan pro dan kontra. Untuk Undang-Undang Jabatan Notaris ini, polemik terus bergulir, khususnya mengenai beberapa pasal yang dapat menjadi sumber keragu-raguan dalam pelaksanaannnya, pada hal seperti dinyatakan dalam pembukaannya, Undang-Undang ini dibuat untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum, yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Didalam Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa, Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Menteri, sementara itu, menurut Pasal 1 (14) Menteri yang dimaksud adalah “Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan”. Penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang tersebut, menyatakan kedua pasal tersebut, cukup jelas.

Pasal ini tidak langsung menyebutkan bahwa Menteri yang dimaksud adalah Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia, sehingga ada kesan pembuat Undang-Undang, “malu-malu” untuk mengakui bahwa pada akhirnya, Notaris harus diangkat “hanya” oleh Menteri, seperti yang selama ini sudah berlangsung. Pengangkatan Notaris oleh Menteri Kehakiman dimulai sesudah tahun 1954, namun apa yang menjadi dasar kewenangan Menteri Kehakiman untuk dapat mengangkat para Notaris, tidak pernah jelas (GHS. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, hal. 58).

Lebih lanjut dikatakannya, bahwa menurut ketentuan pasal 3 PJN, para Notaris diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Didalam pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, dinyatakan dengan tegas, bahwa segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Pasal 3 PJN Stbl. 1860 Nomor 3 masih tetap berlaku,karena belum pernah dirubah atau dicabut. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara, hanya Pasal 2 ayat 3, pasal 62,62a dan Pasal 63, yang dicabut. Dengan demikian, pengangkatan Notaris seharusnya tetap dilakukan oleh Presiden selaku Kepala Negara, sebagaimana halnya dilakukan sebelumnya, sampai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004.

Pengangkatan para Notaris oleh Gubernur Jenderal(baca: Kepala Negara)adalah dengan alasan; inti dari tugas Notaris adalah mengatur secara tertulis dan otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak, yang secara mufakat meminta jasa-jasa Notaris, yang pada dasarnya adalah sama dengan tugas Hakim yang memberi putusan tentang keadilan antara para pihak yang bersengketa. Baik Hakim maupun Notaris dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, harus bebas dari pengaruh kekuasaan Eksekutif, oleh karena itu seyogyanya pengangkatan Notaris itu tidak dilakukan oleh Badan Eksekutif, melainkan oleh Kepala Negara (Ibid).

Dengan melihat alasan tersebut diatas, tentunya menimbulkan pertanyaan, apa yang melatarbelakangi pembuat Undang-Undang mengajukan pengangkatan Notaris harus dilakukan oleh Menteri, mengapa ketentuan Pasal 3 PJN yang menentukan pengangkatan Notaris dilakukan oleh Kepala Negara tidak dipertahankan ?, sementara di beberapa Negara lain, seperti, Belanda, Belgia, Italia para Notaris diangkat oleh Kepala Negara. Mengapa pembuat Undang-Undang justru “menurunkan derajat” Notaris? atau apabila tidak mungkin dilakukan oleh Kepala Negara, mengapa tidak dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung, yang sekaligus bertindak selaku pengawas dan pembina para Notaris.

Didalam Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN dinyatakan bahwa; Notaris berwenang pula membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan. Selama ini, pembuatan akta Pertanahan, adalah wewenang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)yang penangkatan, pengawasan dan pemberhentiannya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional. Munculnya ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, tentu saja menimbulkan interprestasi yang berbeda diantara pihak-pihak yang berkepentingan, baik dari kalangan Notaris sendiri, DPR, Departemen Hukum Dan HAM, serta Badan Pertanahan Nasional.

Departemen Hukum dan HAM  melalui Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan menafsirkan, dengan adanya Ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f tersebut, maka seorang Notaris tidak perlu lagi mengikuti ujian khusus untuk dapat diangkat sebagai PPAT, karena sudah inheren didalam diri Notaris, maka pembinaan, mengangkat Notaris itu otomatis mengangkat PPAT. Lebih lanjut menurutnya, UUJN mengesampingkan produk hukum lain dibawah Undang-Undang yang mengatur soal PPAT.(Jurnal Renvoi, Ed.No.7, 13-12-2004,hal.21). Demikian pula halnya menurut Akhil Muchtar, Wakil Ketua Komisi III DPR RI, yang menyatakan bahwa; dari sudut pandang Legislatif, Pasal 15 (f) ini sudah jelas, jadi tidak perlu dijelaskan. Kesimpulannya Notaris diberi wewenang untuk membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan itu didasarkan pada wewenang yang diberikan oleh undang-undang (Jurnal Renvoi, Ed.No.8, 3-01-2005, hal.8).

Bagaimana dengan Badan Pertanahan Nasional(BPN)?, sebagai pihak yang “hajat dan kewenangannya” dipangkas, tentu saja BPN tidak bisa menerima hal itu, karena keberadaan PPAT tersebut menurut Achmad Rony, juga merupakan perintah undang-undang, yaitu sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 26 ayat 1 UUPA, yang kemudian dijabarkan oleh Pasal 10 Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961. Lebih lanjut, mengenai PPAT juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 1998 tentang Rumah Susun, Undang-Undnag Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Notaris. Dengan demikian keberadaan PPAT seperti yang dikenal selama ini masih relevan, sementara ketentuan UUJN tidak memberikan ketegasan batas wilayah kerja Notaris selaku Pejabat Umum yang memiliki kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan(Jurnal Renvoi, ibid, hal. 14).

Apabila kita menelaah UUJN itu sendiri, maka sesungguhnya Pasal 15 ayat 1 UUJN dengan tegas  telah menyebutkan, bahwa,Notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan , perjanjian, dan Ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk menyimpan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

Dengan demikian sepanjang pembuatan akta itu telah ditugaskan kepada kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang(yang dalam hal ini adalah PPAT), maka Notaris, seharusnya tidak lagi berwenang untuk membuatnya. Namun demikian, ketentuan tersebut justru dimentahkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f, yang memperbolehkan Notaris untuk membuat akta yang berkaitan dengan Pertanahan.

Pada sisi lain, Pasal 17 huruf g UUJN menyatakan bahwa Notaris tidak secara otomatis juga menjadi PPAT, karena pasal ini mengakui adanya pemisahan kewenangan Notaris dengan PPAT, dimana pasal 17 huruf g tersebut berbunyi; Notaris dilarang; merangkap jabatan sebagai PPAT.

Akibat yang ditimbulkan oleh ketentuan Pasal 15 ayat 2 huruf f UUJN tersebut, ditambah dengan pernyataan-pernyataan dari Pejabat Depertemen Hukum Dan HAM, para Notaris serta Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, menimbulkan reaksi balik yang keras dari Badan Pertanahan Nasional, sebagaimana dinyatakan oleh Prof. Arie Sukanti Hutagalung(Guru Besar Pertanahan FHUI), Badan Pertanahan Nasional sudah sepakat kalau ada Notaris yang membuat akta itu tidak dalam jabatan sebagai PPAT, tidak akan dilakukan balik nama dan tidak akan dilakukan pembebanan Hak Tanggungan (Ibid, hal: 27).

Bila hal ini benar, maka yang akan dirugikan tidak hanya Notaris yang bersangkutan, melainkan juga masyarakat banyak yang justru menginginkan adanya kepastian hukum. Adalah tepat apa yang dikatakannya, bahwa subtansi UUJN tersebut, bertentangan dengan 3 Undan-Undang dibidang pertanahan, yaitu Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 (UUPA), Undang-Undang No. 15 Tahun 1985 dan Undang-Undang No. 4 tahun 1996. Dua undang-Undang terakhir dengan tegas menyebutkan adanya Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Jadi UUJN tidak saja menabrak ketiga Undang-Undang tersebut diats, melainkan telah “membypass” ketiga Udang-Undang tersebut.

Pasal lain yang patut dicermati dalam UUJN ini adalah Pasal 20 ayat 1, yang memperbolehkan Notaris untuk membentuk Persekutuan Perdata dalam menjalankan jabatannya. Menurut penjelasannya, yang dimaksud dengan Perserikatan Perdata dalam ketentuan Pasal 20 tersebut, adalah “kantor bersama Notaris”. Di dalam Peraturan Jabatan Notaris Stbl. 1860 Nomor 3, Pasal 12,  Notaris dilarang keras untuk mengadakan persekutuan dalam menjalankan jabatannya, dengan ancaman akan kehilangan jabatannya apabila ketentuan tersebut dilanggar.

Persekutuan, menurut ketentuan Pasal 1618 KUHPerdata, adalah bermaksud untuk membagi keuntungan yang didapat karenanya. Melihat maksudnya, maka tujuan persekutuan tentunya adalah mencari keuntungan secara bersama-sama. Dengan demikian, apabila kita bandingkan dengan kedudukan Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik, dimana akta otentik itu ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindunagn hukum, seperti yang dijelaskan dalam penjelasan umum UUJN, maka keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut menjadi kontradiktif, karena dengan keberadaan Notaris secara bersama-sama dalam satu kantor bersama, akan sangat sulit untuk menjalankan ketentuan Pasal 16 ayat 1 huruf e UUJN, yang mewajibakan Notaris untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Sanksi terhadap pelanggaran ketentuan pasal itu, menurut pasal 85 UUJN, mulai dengan teguran lisan sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat.

Perlu diingat bahwa, bahwa bidang keahlian para Notaris adalah sama. Hal ini berbeda dengan dokter misalnya, yang membuka praktek bersama, namun dengan bidang keahlian dan spesialisasi yang berbeda-beda, karena ada dokter spesialis kandungan, spesialis anak atau spesialis THT, yang sepakat untuk membuka praktek bersama, berupa klinik kesehatan, agar masyarakat mudah mencari dokter yang dibutuhkan, sesuai dengan penyakit yang diidapnya. Demikian pula halnya dengan Advokat, karena  Advokat ada yang spesialisasinya adalah pidana dan ada pula yang spesialisasinya dalam bidang hukum perdata ataupun Tana Negara, sehingga untuk memudahkan penanganan perkara, meraka sepakat untuk membuka kantor bersama.

Oleh karena itu, mengingat sifat dan bidang pekerjaan Notaris seperti diuraikan diatas, serta kedudukan Notaris sebagai pejabat umum, maka seharusnya ketentuan Pasal 12 Peraturan Jabatan Notaris  Stbl. 1860 No. 3 tetap dipertahankan.

Pada sisi lain, keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, akan sangat menguntungkan bagi Notaris-Notaris yang telah mempunyai “nama” (baca; senior) dan Klien/langganan yang banyak, karena dengan keberadaan Pasal 20 ayat 1 tersebut, mereka tetap dapat mempertahankan dominasinya, tanpa perlu khawatir akan diambil alih oleh Notaris lain, terutama Notaris pemula (baca; yunior ), sebab  sudah dapat diperkirakan, dengan  segala kelebihan yang dimilikinya, baik dari jumlah klien/langganan maupun modal dalam kerjasama itu, mereka  akan tampil sebagai pimpinan dari kantor bersama tersebut, bahkan mungkin setelah pensiun sebagai Notarispun, mereka akan tetap menjadi pengatur laku dari belakang layar. Maka yang akan terjadi kemudian adalah dominasi yang tidak terputus.

Ketentuan lainnya dalam UUJN ini yang dapat menimbulkan masalah adalah ketentuan Pasal 82 ayat 1, yang menentukan bahwa,  Notaris berhimpun dalam wadah Organisasi Notaris. Penjelasan Pasal 82 ayat 1 menyatakan, “cukup jelas”. Namun bernarkah demikian?. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang Kenotarisan, Organisasi Notaris satu-satunya yang diakui oleh Pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia (INI).

Ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN tersebut adalah bersifat memaksa, yang  mengharuskan Notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Akan tetapi, walaupun berdasarkan Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI. No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003, INI adalah satu-satunya Organisasi Notaris yang diakui oleh Pemerintah, tidak satu katapun dalam UUJN , baik dalam pasal-pasal maupun dalam penjelasannya yang menyebutkan bahwa wadah Organisasi Notaris yang dimaksud oleh UUJN itu adalah INI.

Pengakuan dari Departemen Hukum dan HAM, bahwa INI adalah sebagai “wadah tunggal” Notaris, akhirnya kembali ditegaskan  melalui, Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004, tertanggal 7 Desember 2004, tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, Dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Pengakuan tersebut, ditegaskan dalam Pasal 3 ayat 1 huruf b dan diulangi dalam Pasal 4 ayat 1 huruf b.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa selain INI masih terdapat beberapa organisasi Notaris lain, yang suka atau tidak suka, hingga saat ini ada, yaitu antara lain adalah Himpunan Notaris Indonesia (HNI) dan Asosiasi Notaris Indonesia (ANI), serta Persatuan Notaris Reformasi Indonesia (Pernori). Sebagai sebuah organisasi profesi jabatan yang berbentuk perkumpulan, HNI telah terdaftar di Departemen Dalam Negeri, seperti juga halnya dengan INI. Paling tidak, ia telah memenuhi unsur untuk dapat dianggap sebagai organisasi profesi jabatan sebagaimana dinyatakan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 (2) Peraturan Meneteri Hukum dan HAM tersebut diatas.

Dengan adanya kenyataan tersebut, ketentuan Pasal 82 ayat 1 UUJN, ternyata belum menyelesaikan masalah organisasi Notaris. Bahkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM tertanggal 7 Desember 2004, mengenai pembentukan Majelis Pengawas Notaris, yang menyatakan bahwa unsur dari organisasi Notaris adalah dari Pengurus Ikatan Notaris Indonesia, akan semakin menimbulkan ketidak jelasan, karena bagaimana melakukan pengawasan terhadap para Notaris yang tidak bernaung dibawah INI? Apakah akan dilakukan langsung oleh Menteri atau seperti yang ditentukan oleh ketentuan peralihan Pasal 40 Peraturan Menteri tersebut, bahwa semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan pelaksanaan yang berkaitan dengan pengawasan Notaris, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Meneteri ini. Artinya, sampai dengan selesainya masalah “wadah tunggal” organisasi Notaris, maka pengawasan terhadap Notaris-Notaris yang tidak bernaung dibawah INI, akan tetap dilakukan oleh Pengadilan Negeri diwilayah Jabatan Notaris yang bersangkutan. Apabila demikian halnya, jelas sekali bahwa Peraturan Menteri itu, dibuat secara tergesa-gesa, tanpa memperhatikan keadaan yang sesungguhnya, sekaligus menunjukan kembalinya Arogansi kekuasaan untuk memaksakan kehendak.

Menyikapi diberlakukannya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, maka kita semua perlu memiliki jiwa besar untuk dapat menerima perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang tersebut,  karena Undang-Undang yang semula diharapkan akan dapat menjadi pegangan untuk kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi para Notaris dalam menjalankan jabatannya, ternyata justru menjadi sumber keragu-raguan dan ketidak pastian. Oleh karena itu, Pemerintah, Organisasi-organisasi Notaris, Dewan Perwakilan Rakyat serta para Akademisi, perlu melakukan telaah ulang terhadap UUJN tersebut.

Dengan demikian, akan didapat suatu penyelesaian untuk melakukan perbaikan terhadap UUJN tersebut, paling tidak untuk menghilangkan kontroversi yang ditimbulkan setelah diberlakukannya UUJN.


Sumber : Maferdy Yulius
http://maferdyyuliussh.wordpress.com/posisi-notaris-ditengah-kontroversi-payung-hukum/