Kamis, 16 Desember 2010

CONTOH AKTA PERJANJIAN JUAL BELl DAN PELEPASAN HAK

PERJANJIAN JUAL BELl DAN PELEPASAN HAK
Nomor : …………..
- Pada hari ini, ………, tanggal ……..bulan………tahun……… (xx-xx-xxxx).
- Berhadapan dengan saya, …………, Sarjana Hukum, Notaris di …….., dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang saya, Notaris, kenal dan nama-namanya akan disebut pada akhir akta ini:
I. Tuan AAAAA, Direktur Utama dari perseroan terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Kota……….., Jalan……………., Rukun Tetangga …, Rukun Warga …., Kelurahan ……….., Kecamatan …………..,  pemegang Kartu Tanda Penduduk ………….. Nomor: ……………….;
- Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya seperti tersebut diatas dan karenanya sah mewakili Direksi dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama Perseroan Terbatas “PT. DAGANG Tbk” berkedudukan di ………, yang anggaran dasar beserta perubahannya lelah diumumkan berturut tutut dalam:
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- sedangkan susunan pengurus perseroan dimuat dalam akta tanggal …………. bulan……… tahun ……………………………….. (00-00-0000), Nomor ….. yang dibuat dihadapan XXXXXXXXXXX, Sarjana Hukum, Notaris pengganti dari AAAAA, Sarjana Hukum, Notaris di ……….;
- Dan untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini sebagai-mana ketentuan pasal 12 anggaran dasar perseroan, Direksi telah mendapat persetujuan dari Wakil Komisaris Utama dan seorang anggota Komisaris perseroan, berturut-turut yaitu:
- Tuan BBBBB, Direktur Utama dari perseroan terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Kota……….., Jalan……………., Rukun Tetangga …, Rukun Warga …., Kelurahan ……….., Kecamatan …………..,  pemegang Kartu Tanda Penduduk ………….. Nomor: ……………….; dan
- Tuan CCCCCC, Direktur Utama dari perseroan terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Kota……….., Jalan……………., Rukun Tetangga …, Rukun Warga …., Kelurahan ……….., Kecamatan …………..,  pemegang Kartu Tanda Penduduk ………….. Nomor: ……………….;
- yang keduanya turut hadir dihadapan saya. Notaris serta saksi-saksi yang sama dan menandatangani akta ini sebagai tanda persetujuannya;
- Selanjutnya disebut Pihak Pertama;
II. Tuan DDDDD, Direktur Utama dari perseroan terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Kota……….., Jalan……………., Rukun Tetangga …, Rukun Warga …., Kelurahan ……….., Kecamatan …………..,  pemegang Kartu Tanda Penduduk ………….. Nomor: ……………….;
- Menurut keterangannya dalam hal ini bertindak dalam jabatannya seperti tersebut diatas dan karenanya berhak mewakili Direksi dari dan oleh karena itu untuk dan atas nama “PT. YYYYYYYY”, berkedudukan di Jakarta, yang anggaran dasarnya dimuat dalam:
- Berita Negara Republik Indonesia tanggal delapan Nopember seribu sembilanratus sembilanpuluh enam (8-11-1996) Nomor 90, Tambahan Nomor 9224;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Berita Negara Republik Indonesia tertanggal …….. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., Tambahan Nomor: ….;
- Akta tanggal ……. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor .., yang dibuat oleh saya,   Notaris,  telah mendapat  persetujuan dari  Menteri Kehakiman Republik Indonesia sebagaimana ternyata dari Surat Keputusannya tanggal……. bulan………. tahun…………… (00-00-000) Nomor ……;
- Dan untuk melakukan tindakan hukum dalam akta ini sebagai mana ketentuan pasal 11 anggaran dasar perseroan, Direksi telah mendapat persetujuan dari Wakil Komisaris Utama dan seorang anggota Komisaris perseroan, berturut-turut yaitu:
- Tuan EEEEE, Direktur Utama dari perseroan terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Kota……….., Jalan……………., Rukun Tetangga …, Rukun Warga …., Kelurahan ……….., Kecamatan …………..,  pemegang Kartu Tanda Penduduk ………….. Nomor: ……………….; dan-
- Tuan DDDDD, Direktur Utama dari perseroan terbatas yang akan disebut, bertempat tinggal di Kota……….., Jalan……………., Rukun Tetangga …, Rukun Warga …., Kelurahan ……….., Kecamatan …………..,  pemegang Kartu Tanda Penduduk ………….. Nomor: ………………., yang turut hadir dihadapan saya, Notaris serta saksi-saksi yang sama dan menandatangani akta ini sebagai tanda persetujuannya;
- Selanjutnya disebut Pihak Kedua;
- Para penghadap menjalani sebagaimana tersebut menerangkan bahwa Pihak Pertama dengan ini bersedia untuk menjual:
-
-
-
- demikian berikut segala hak berupa apapun juga yang ada pada dan dapat dilakukan atau dipergunakan oleh pihak pertama, baik sekarang maupun dikemudian hari berkenaan dengan bidang tanah tersebut, terutama hak dan izin untuk memakai serta hak untuk membangun diatas bidang tanah tersebut;
- Selanjutnya disebut “Tanah”.
- tanah tersebut diperoleh Pihak Pertama, berdasarkan akia
-
-
kepada pihak kedua yang menerangkan akan membeli dan meneriina pelepasan hak atas tanah tersebut;
- satu dan lain dengan tidak mengurangi izin dari yang berwenang sepanjang masih diperlukan.
- Akan tetapi Jual Beli Dan Pelepasan Hak tersebul belum bisa dilaksa-nakan, oleh karena
-
-
- Para penghadap menjalani sebagaimana tersebut menerangkan bahwa Perjanjian jual beli dan pelepasan hak tersebut dilangsungkan dan diterima dengan harga Rp.
Jumlah uang mana telah dilunaskan oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama sebelum akta ini ditandatangani, dan untuk penerimaan uang itu dengan ini Pihak Pertama memberikan tanda pelunasannya, sehingga akta ini juga merupakan kwitansi untuk penerimaan uang sebesar Rp.
-
-
tersebut diatas.
- Dan selanjutnya Perjanjian jual beli dan pelepasan hak tersebui dilakukan dengan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut.
———————————————–Pasal 1
- Segala keuntungan yang didapat begitu pula segala kerugian yang diderita mengenai tanah tersebut terhitung mulai tanggal akta ini adalah untuk dan menjadi tanggungan Pihak Kedua.
———————————————–Pasal 2
- Pihak Kedua mengetahui dengan betul keadaan tanah tersebut, sehingga mengenai tanah tersebut Pihak Kedua tidak akan mengaju-kan tuntutan apapun juga baik mengenai luasnya maupun batas batasnya atau mengenai keadaannya.
———————————————–Pasal 3
- Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua bahwa tanah tersebui berikut segala sesuatu yang terdapat diatasnya adalah hak Pihak Pertama, belum dijual kepada orang/badan lain dan tentang hal itu baik sekarang maupun dikemudian hari Pihak Kedua tidak akan mendapat tuntutan apapun juga dari Pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atas tanah tersebut, dan oleh karenanya Pihak Kedua dibebaskan oleh Pihak Pertama dari segala tuntutan apapun juga dari Pihak lain mengenai hal-hal tersebut diatas.
———————————————–Pasal 4
- Segera setelah
-
-
maka para pihak akan melaksanakan jual beli dan pelepasan hak tersebut dihadapan Notaris/pejabat yang berwenang;
———————————————–Pasal 5
- Guna lebih menjamin kedudukan Pihak Kedua atas pelaksanaan jual beli bangunan dan pelepasan hak berdasarkan akta ini sebagai-niana mestinya, maka Pihak Pertama dengan akta ini sekarang untuk dipergunakan nanti pada waktunya memberi kuasa kepada Pihak Kedua untuk bertindak atas nama Pihak Pertama guna melaksanakan jual beli dan pelepasan hak tersebut kepada Pihak Kedua, demikian apabila oleh sesuatu sebab Pihak Pertama berhalangan untuk melaksanakan sendiri jual beli dan pelepasan hak tersebut.
- Kuasa yang ditetapkan dalam Akta ini merupakan kuasa mutlak dan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Jual beli dan pelepasan hak ini, karenanya tidak dapat dibatalkan atau dicabut kembali serta tidak akan berakhir karena sebab-sebab apapun termasuk sebab sebab yang tercantum dalam Pasal 1813 Kitab Undang Undang Hukum Perdata.
———————————————–Pasal 6
- Biaya akta ini serta segala biaya-biaya lainnya untuk mendapat sesuatu hak yang sesuai dengan penggunaan atas tanah tersebut dan segala sesuatu yang terdapat diatasnya atas nama Pihak Kedua dipikul dan dibayar oleh Pihak Kedua.
———————————————–Pasal 7
- Selanjutnya Pihak Pertama dengan ini memberi kuasa kepada Pihak Kedua dan.
bersama-sama maupun sendiri-sendiri dengan hak untuk memindahkan kekuasaan ini kepada orang/badan lain khusus untuk mengurus segala sesuatu  yang  perlu dilakukan  untuk  terjadinya pelepasan hak itu, keinudian sesudah tanah tersebut menjadi tanah bebas, uiuuk mengajukan permohonan kepada yang berwenang agar tanah tersebut diberikan sesuatu liak yang sesuai dengan penggunaannya kepada Pihak Kedua dan menerimanya atas nania Pihak kedua.
- Maka atas hal tersebut menghadap, membuat, mengajukan surat-surat permohonan, memberikan keterangan-keterangan, membuat surat-surat, akta-akta lain yang diperlukan, juga akta-akta dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, kemudian menandatangani serta me-ngerjakan segala sesuatu yang dianggap perlu guna menyelesaikan hal-hal tersebut, tidak ada tindakan yang dikecualikan.
- Jika sesuatu tindakan atau untuk mencapai yang tersebut dalam akta ini diperlukan kuasa dengan tegas itu harus dianggap kata demi kata telah tercantum dalam akta ini, dimana diperlukan dalam menjalankan segala hak dan diharuskan memenuhi segala kewajiban Pihak Pertama sebagai yang berhak atas tanah tersebut, akan tetapi segalanya itu atas resiko Pihak Kedua sendiri dan dengan ini Pihak Pertama dibebaskan oleh Pihak Kedua dari segala tuntutan atau gugatan dari Pihak lain berkenaan dengan tindakan-tindakan Pihak Kedua itu
- Kekuasaan-kekuasaan tersebut merupakan kekuasaan yang tetap yang tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab-sebab yang dimaksud dalam Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
- Kekuasaan-kekuasaan mana menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dengan akta ini yang tanpa adanya kekuasaan-kekuasaan tersebut, niscaya akta ini tidak akan dibuat.
———————————————–Pasal 8
- Jika Pihak Kedua tidak mendapat ijin dari instansi pemberi ijin yang berwenang untuk mendapat sesuatu hak atas tanah tersebut maka pelepasan hak ini harus dianggap tidak pernah terjadi, dalani hal demikian Pihak Kedua dengan ini oleh Pihak Pertama diberi kuasa penuh yang tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab-sebab yang tercantum dalain Pasal 1813 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, untuk memindahkan kuasa itu serta untuk mengalihkan hak atas tanah dan bangunan tersebut kepada Pihak lain atas nama Pihak Pertama dengan dibebaskan dari pertanggungan-jawab sebagai kuasa dengan menerima uang pengganti-kerugiannya yang menjadi hak sepenuhnya dari Pihak Kedua.
- Adapun uang penggantian yang sudah diberikan kepada Pihak Pertama yang tersebut diatas, tidak akan dituntut oleh Pihak Kedua.
- Akhirnya para penghadap menjalani sebagaimana tersebul me-nerangkan bahwa niengenai akta ini dan segala akibatnya para pihak memilih tempat tinggal yang tetap dan umum dan tidak akan berubah di Kantor Panitera Pengadilan Negeri
- Para penghadap dikenal oleh saya, Notaris
————————————–DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di …….., pada hari dan tanggal tersebut pada awal akta ini, dengan dihadiri oleh Tuan RRRRR dan Tuan MMMMMM, Sarjana Hukum, keduanya pegawai Kantor Notaris, bertempat tinggal di …….. sebagai saksi-saksi.
- Segera setelah akta ini saya, Notaris bacakan kepada para penghadap dan saksi-saksi,maka akta ini ditanda tangani oleh para Penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris.
- Dilangsungkan dengan
-
-

CONTOH AKTE JUAL BELI RUMAH DAN PEMINDAHAN SERTA PENYERAHAN HAK

JUAL BELI RUMAH DAN PEMINDAHAN SERTA PENYERAHAN HAK

Nomor:…..

Pada hari ini,……………………………………………………………………tahun seribu sembilanratus sembilanpuluh……………………
Berhadapan dengan saya, ……………………………………….
Sarjana Hukum, Notaris di Jakarta, dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang nama-namanya akan disebut pada bagian akhir akta ini :
1.
untuk selanjutnya disebut sebagai : PIHAK PERTAMA
2.
untuk selanjutnya disebut sebagai : PIHAK KEDUA
Para penghadap yang bertindak sebagaimana tersebut terlebih dahulu menerangkan bahwa dengan tidak mengu-rangi izin dari yang berwenang apabila hal tersebut masih diperlukan, Pihak Pertama dengan ini menyerahkan dan memindahkan hak atas tanah dan sebuah bangunan rumah tinggal berikut turut-turutannya kepada Pihak Kedua dan Pihak Kedua tersebut menerangkan telah menerima penyerahan hak atas tanah dan bangunan rumah tinggal tersebut dari Pihak Pertama atas sebidang tanah dan bangunan rumah tersebut berdiri, berikut segala hak yang ada pada dan atau dapat dijalankan oleh Pihak Pertama atas tanah dan bangunan rumah tinggal tersebut yang mungkin diperoleh dikemudian hari, yang dikuasai oleh Pemerintah (milik negara) Huruf Daftar Nomor : yang terletak di Jalan Kelurahan Kecamatan
Kotamadya/Kabupaten, seluas ………………………………………
meter persegi), dengan berbatasan sebelah :……………
- Utara : ……………………………………………………………..
- Timur : ……………………………………………………………..
- Selatan : ……………………………………………………………..
- Barat : ……………………………………………………………..
Bahwa Pihak Pertama berhak atas tanah dan bangunan rumah tersebut berdasarkan :……………………………….
1. Surat Keputusan Direktur Tata Bangunan tertanggalNomor……………………………………………………………………………..  tentang…………………………………………………………….
2. Surat Perjanjian Sewa Beli tertanggal ………………………….Nomor……………………………………………………………………………..
surat-surat tersebut telah diperlihatkan kepada saya, Notaris
serta dilengkapi dengan telepon…………………………Nomor ……………………………………………………………………………..listrik ……………………………………………………………………….Watt dan Pihak Kedua menerangkan dengan ini telah mengadakan pengecekan/penelitian pada instansi-instansi yang bersangkutan dan semuanya telah jelas, satu dan lain dengan tidak mengurangi izin dari instansi yang bersangkutan mengenai pemindahan hak-hak atas tanah dan bangunan tersebut
Pemindahan Hak dalam perjanjian ini menurut keterangan para penghadap yang bertindak sebagaimana tersebut di atas dilangsungkan dan diterima dengan harga Rp……….dan jumlah uang tersebut dibayar seluruhnya oleh Pihak Kedua kepada Pihak Pertama segera setelah akta ini ditanda-tangani dan untuk penerimaan jumlah uang tersebut, Pihak Pertama akan memberikan kwitansi secara tersendiri
Selanjutnya tentang pemindahan hak tersebut kedua-belah pihak telah sepakat untuk dilangsungkan dan diterima dengan perjanjian-perjanjian sebagai berikut:
———————————————–Pasal 1.
Segala keuntungan dan kerugian yang didapat atau dideri-ta dengan apa yang dipindahkan dan diserahkan haknya dengan akta ini terhitung mulai hari ini menjadi miliknya atau dipikul oleh Pihak Kedua
Apa yang dipindahkan dan diserahkan haknya dengan akta ini berpindah ke tangannya Pihak Kedua dalam keadaan nyata pada hari ini dan mengenai keadaan itu Pihak Kedua tidak akan melakukan tuntutan apapun juga terhadap Pihak Pertama baik mengenai perbedaan tentang ukuran atau batas-batas pekarangan dan cacat yang terlihat
———————————————–Pasal 3.
Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua bahwa apa yang dipindahkan dan diserahkan haknya dalam akta ini adalah benar haknya Pihak Pertama, bebas dari sitaan, tidak dipertanggungkan dengan cara apapun juga, belum dijual kepada orang lain dan tentang hal itu baik sekarang maupun dikemudian hari Pihak Kedua tidak akan mendapat tuntutan apapun dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu atau turut mempunyai hak atas apa yang dipindahkan haknya ini dan karenanya Pihak Kedua dibebaskan oleh Pihak Pertama dari segala tuntutan apapun juga dari pihak lain mengenai hal-hal tersebut.
———————————————–Pasal 4.
Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua tentang adanya hak-hak yang dimaksud dalam Pasal 3 tersebut di atas, dan bilamana ternyata bahwa hak-hak tersebut tidak ada, maka pemindahan dan penyerahan hak ini dengan sendirinya menjadi batal menurut hukum dan dalam hal demikian kedua belah pihak sepanjang perlu melepaskan ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 1266 dan pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Selanjutnya Pihak Pertama menerangkan dengan ini memberi kuasa kepada Pihak Kedua yang tidak dapat dicabut kembali dengan hak substitusi baik bersama-sama maupun masing-masing, kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari pemindahan dan penyerahan hak ini dan tidak akan dibuat tanpa adanya kuasa ini dan kuasa tersebut tidak akan berakhir karena meninggalnya atau dilikwidasinya salah satu pihak, untuk memberitahukan pemindahan dan penyerahan hak ini kepada instansi yang berwajib/berwenang serta kepada pihak yang berkepentingan lainnya, dan selanjutnya mengajukan permohonan hak atas tanah tersebut kepada Instansi yang berwenang agar Pihak Kedua dapat mem-peroleh suatu hak tertentu atas tanah tersebut beserta sertipikat tanah hak tersebut di atas serta menerimanya, untuk keperluan tersebut menghadap dimana perlu dan kepada siapapun juga, memberi keterangan-keterangan, laporan-laporan, menanda-tangani surat-surat, memilih tempat tinggal dan selanjutnya melakukan dan menger-jakan segala sesuatu dan tindakan lainnya yang dapat dilakukan dleh Pihak Pertama/Penjual atas tanah tersebut termasuk didalamnya melepaskan hak atas tanah tersebut atas nama Pihak Pertama, jika hal ini dianggap perlu, tidak ada tindakan yang dikecualikan dan apabila untuk suatu tindakan diperlukan suatu kuasa yang lebih khusus, maka kuasa tersebut dianggap telah tercantum dalam akta ini.
———————————————– Pasal 5.
Jika Pihak Kedua tidak mendapat izin dari Instansi pem-beri izin yang berwenang untuk mendapat sesuatu hak atas tanah tersebut sehingga pemindahan dan penyerahan ini menjadi batal, maka Pihak Kedua dengan ini oieh Pihak Pertama diberi kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali dengan hak memindahkan kuasa itu untuk mengalihkan hak atas tanah itu kepada pihak lain atas nama Pihak Pertama dengan dibebaskan dari pertang-gung jawaban sebagai kuasa
———————————————– Pasal 6.
Biaya akta ini, biaya pembuatan sertipikat atas tanah tersebut di atas pada Instansi yang berwenang serta biaya-biaya yang bersangkutan dengan pemindahan dan penyerahan hak ini agar sertipikat tanah tersebut terdaftar atas nama Pihak Kedua semuanya dipikul dan dibayar oleh Pihak Kedua
———————————————– Pasal 7.
Hal-hal yang belum diatur atau cukup diatur dalam akta ini akan diatur lebih lanjut oleh kedua belah pihak dengan cara musyawarah untuk mufakat
———————————————– Pasal 8.
Tentang akta ini dan segala sesuatu akibatnya serta pelaksanaannya para pihak memilih tempat tinggal tetap dan seumumnya di Kantor Panitera Pengadilan Negeri……….
Para penghadap saya, Notaris kenal
———————————— DEMIKIANLAH AKTA INI
- Dibuat sebagai minuta dan dilangsungkan di…………………………….pada hari dan tanggal seperti tersebut pada bagian awal akta ini dengan dihadiri oleh : keduanya karyawan kantor Notaris dan bertempat tinggal di ………………………….yang keduanya saya, Notaris kenal sebagaisaksi-saksi
Segera setelah akta ini dibacakan oleh saya, Notaris kepada para penghadap dan saksi-saksi, maka akta ini ditanda-tangani oleh para penghadap, saksi-saksi dan saya, Notaris
Dilangsungkan dengan

FUNGSI SERTIFIKAT TANAH


I. PENDAHULUAN

Undang-Undang Pokok Agraria yang disingkat dengan UUPA, merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur masalah pertanahan di Indonesia sejak empat puluh tahun yang silam.

Tujuan dari UUPA itu sendiri sebagaimana yang dicantumkan dalam Penjelasan Umumnya adalah :
1.      Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi negara dan rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur;
2.      Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan;
3.      Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

Berdasarkan tujuan pokok UUPA tersebut di atas diatur macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh setiap orang, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain ataupun badan hukum. Menurut Pasal 16 UUPA, hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai dan diberikan kepada setiap orang dan atau badan hukum adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan lain-lain sebagainya.

Yang dimaksud dengan hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UUPA), sedangkan hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu (paling lama enampuluh tahun), guna perusahaan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan (Pasal 28), dan hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35)

Kalau diperhatikan, maka hak milik atas tanah memberikan kewenangan untuk menggunakannya bagi segala macam keperluan dengan jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang tidak ada larangan khusus untuk itu, sedangkan hak guna usaha hanya untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara untuk keperluan pertanian (perkebunan), perikanan atau peternakan.

Demikian pula dengan hak guna bangunan hanya untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah milik orang lain atau tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Menurut Boedi Harsono bahwa walaupun semua hak atas tanah memberikan kewenangan untuk menggunakan tanah yang dihaki, tetapi sifat-sifat khusus haknya, tujuan penggunaan tanahnya dan batas waktu penggunaannya merupakan pembeda antara hak yang satu dengan hak yang lain. Hak milik misalnya, sebagai hak yang terkuat dan terpenuh diantara hak-hak atas tanah yang lain, boleh digunakan untuk segala keperluan yang terbuka bila dibandingkan dengan hak-hak atas tanah yang lain, tanpa batas waktu tertentu. Lain halnya dengan hak guna bangunan, hanya terbuka penggunaan tanahnya untuk keperluan membangun dan memiliki bangunan, dengan jangka waktu yang terbatas

Dari semua jenis hak atas tanah yang dapat dipunyai oleh orang atas tanah, maka hak milik merupakan hak yang penggunaannya tidak ditentukan, tetapi tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Terhadap hak-hak atas tanah tersebut di atas, undang-undang mewajibkan kepada pemegang hak untuk mendaftarkannya. Menurut Pasal 19 UUPA, untuk menjamin kepastian hukum, oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah. Pendaftaran tersebut meliputi pengukuran, perpetaan, dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan haknya, serta pemberian surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Masalahnya sekarang adalah bagaimana fugsi sertifikat hak (milik) atas tanah bagi pemiliknya menurut UUPA?

II. PENDAFTARAN TANAH

a. Pengertian
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menjamin kepastian hukum diadakan pendaftaran tanah di seluiruh wilayah R.I. menurut ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah (Pasal 19 UUPA). Adapun peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari Pasal 19 tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah sebagai ganti Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961dan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, melipti pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

b. Azas Pendaftaran Tanah

Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas sederhana, aman, terjangkau, mutakhir dan terbuka.
1.      Azas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama para pemegang hak atas tanah.
2.      Azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum.
3.      Azas terjangkau dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak yang memerlu-kan, khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaran pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
4.      Azas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksana-annya dan kesinambungan dalam pemeliharaan datanya.Data yang tersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.
5.      Azas terbuka dimaksudkan agar masyarakat dapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.


c. Tujuan Pendaftaran Tanah.

Ada 3 (tiga) tujuan pendaftaran tanah , yaitu :

1.      Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah yang bersangkutan
2.      Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar.
3.      Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.

Khusus untuk tujuan pendaftaran tanah pertama yaitu untuk memberikan jaminan kepastian hukum, meliputi :
a)      Kepastian mengenai subyek hukum hak atas tanah (orang atau badan hukum)
b)      Kepastian mengenai letak, batas, ukuran/luas tanah atau disebut kepastian mengenai obyek hak.
c)      Kepastian hak atas tanah, yakni jenis/macam hak atas tanah yang menjadi landasan hukum antara tanah dengan orang atau badan hukum.


d. Kegunaan Pendaftaran Tanah.

Pendaftaran tanah mempunyai kegunaan ganda, artinya di samping berguna bagi pemegang hak, juga berguna bagi pemerintah.

1. Kegunaan bagi pemegang hak :
a)      Dengan diperolehnya sertifikat hak atas tanah dapat memberikan rasa aman karena kepastian hukum hak atas tanah;
b)      Apabila terjadi peralihan hak atas tanah dapat dengan mudah dilaksanakan;
c)      Dengan adanya sertifikat, lazimnya taksiran harga tanah relatif lebih tinggi dari pada tanah yang belum bersertifikat;
d)      Sertifikat dapat dipakai sebagai jaminan kredit;
e)      Penetapam pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak akan keliru.

2. Kegunaan bagi pemerintah :
a)             Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah berarti akan menciptakan terselenggarakannya tertib administrasi di bidang pertanahan, sebab dengan terwujudnya tertib administrasi pertanahan akan memperlancar setiap kegiatan yang menyangkut tanah dalam pembangunan di Indonesia.
b)             Dengan diselenggarakannya pendaftaran tanah, merupakan salah satu cara untuk mengatasi setiap keresahan yang menyangkut tanah sebagai sumbernya, seperti pendudukan tanah secara liar, sengketa tanda batas dan lain sebagainya.


e. Pelaksanaan Pendaftaran Tanah..

Pelaksanaan pendaftaran meliputi kegiatan tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah

1. Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
a) Pengumpulan dan pengolahan data fisik
b) Pembuktian hak dan pembukuannya
c) Penerbitan sertifikat.
d) penyajian data fisik dan data yuridis.
e) Penyimpanan daftar umum dan dokumen.

2. Kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah meliputi :
a) Pendaftaran peralihan hak dan pembeban hak.
b) Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya

Pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah pendaftaran tanah yang didasarkan pada suatu rencana kerja pemerintah dan dilaksanakan dalam suatu wilayah yang ditetapkan oleh Menteri, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadik adalah pendaftaran tanah yang dilakukan atas permintaan atau permohonan pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pemerintah berkewajiban untuk melakukan pendaftaran tanah sedangkan masyarakat (pemegang hak atas tanah) berkewajiban untuk mendaftarkan hak atas tanah tersebut (Pasal 23, Pasal 32 dan {Pasal 38 UUPA).


III. SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH

Undang-undang tidak memberikan pengertian yang tegas mengenai sertifikat hak atas tanah. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat adalah adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Kalau dilihat Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, maka sertifikat itu merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat.

Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.
Selain pengertian sertifikat yang diberikan oleh undang-undang secara otentik, ada juga pengertian serttifikat yang diberikan oleh para sarjana. Salah satunya adalah K. Wantjik Saleh yang menyatakan bahwa sertifikat adalah salinan buku tanah dan surat ukurnya setelah dijilid menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang entuknya ditetapkan oleh Menteri.

Dari pengertian di atas penulis berpendapat bahwa sertifikat adalah surat tanda bukti hak yang dijilid dan diterbitkan oleh Kantor Pertanahan, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, dimana data tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.

Dari uraian di atas, maka sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat, berarti bahwa selama tidak dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam buku sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.

Dengan demikian sertifikat sebagai akte otentik, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, dalam arti bahwa hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.

Mengapa sertifikat sebagai alat bukti yang kuat, tidak sebagai alat bukti mutlak? Hal ini berkaitan dengan sistem publikasi yang dianut oleh hukum pertanahan Indonesia baik Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yakni sistem publikasi negatif yang mengandung unsur positif karena akan menghasilkan surat-surat tanda bukti hak (sertifikat) yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Jadi tidak sistem publikasi positif, karena menurut sistem publikasi positif adalah apa yang tercantum dalam buku pendaftaran tanah dan surat-surat tanda bukti hak yang dikeluarkan merupakan alat pembuktian yang mutlak Pihak ketiga (yang beriktikad baik) yang bertindak atas dasar bukti-bukti tersebut tidak mendapat perlindungan, biarpun kemudian ternyata bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya tidak benar.
Menurut Boedi Harsono, sistem pendaftaran tanah Indonesia ialah sistem publikasi negatif dengan tendens positif. Pengertian negatif adalah keterangan-keterangan yang ada itu jika ternyata tidak benar masih dapat diubah dan dibetulkan, sedangkan pengertian dengan tendens positif adalah bahwa para petugas pendaftaran tanah tidak bersikap pasif, artinya mereka tidak menerima begitu saja apa yang diajukan dan dikatakan oleh pihak-pihak yang meminta pendaftaran. petugas pelaksana diwajibkan untuk mengadakan pembuktian seperlunya (terhadap hak-hak atas tanah yang didaftar tersebut) untuk mencegah kekeliruan[9].

Demikian pula pendapat Parlindungan bahwa pengertian negatif tidak berarti Kantor Pendaftaran Tanah (Kantor Pertanahan, penulis) akan gegabah menerima permohonan pendaftaran tanah, tetapi selalu harus melalui suatu pemeriksaan, sehingga kadangkala pendaftaran (tanah) di Indonesia sekarang ini adalah pendaftaran yang negatai bertendensi positif.


IV. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fugsi sertifikat hak atas tanah (hak milik) menurut UUPA merupakan alat bukti yang kuat bagi pemiliknya, artinya bahwa selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar. Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam buku sertifikat harus sesuai dengan data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan karena data itu diambil dari buku tanah dan surat ukur tersebut.

Dengan demikian sertifikat sebagai akte otentik, mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi pemiliknya, dimana hakim harus terikat dengan data yang disebutkan dalam sertifikat itu selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya oleh pihak lain.

Kamis, 09 Desember 2010

IMPLEMENTASI UNDANG UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS (UUJN)



1. Umum

Sebelum membahas beberapa substansi yang dianggap perlu untuk dipahami dan kemudian diimplementasikan, yang perlu dicatat dalam pertemuan kali ini, kita perlu memahami makna kebijakan hukum kaitannya dengan kebijakan politik negara.

Moh. Mahfud MD, dalam disertasinya menyebutkan bahwa :
Tidak sedikit dari para mahasiswa hukum yang heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti dipahami dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Mereka bertanya : mengapa hal itu harus terjadi?

Ternyata hukum tidak seteril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.

Moh. Mahfud MD selanjutnya berpendapat bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Ia juga menekankan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum. Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan bidang hukum lainnya. Pandangan Mahfud di atas menggambarkan keadaan pembentukan undang-undang di Indonesia yang menitikberatkan pada politik daripada hukum, walaupun produk akhir politik tersebut tetap sebagai produk hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal inilah yang belum disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa keputusan politik yang dituangkan dalam suatu undang-undang merupakan produk hukum yang secara yuridis, isinya harus dilaksanakan, walaupun kemudian disadari bahwa undang-undang tersebut sulit dilaksanakan karena substansinya sarat dengan elemen-elemen politik. Mahfud sendiri menyatakan bahwa hukum terpengaruh oleh politik karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.

Untuk menghadapi anggapan tersebut sebagai wujud kegalauan Machfud, kita harus – dari sekarang – mengedepankan subsistem hukum yang memiliki konsentrasi yang lebih besar daripada politik. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum. Salah satu cara untuk mengedepankan hukum adalah bagaimana menegakkan suatu undang-undang yang didahului dengan memberikan pemahaman yang baik dan mendalam tentang substansi undang-undang, salah satunya, melalui sosialisasi kepada masyarakat, terutama kepada pelaksana undang-undang.

Pasal 5 huruf d, huruf e, dan huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yakni pembentukannya harus dapat dilaksanakan, adanya kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan.


2. Lingkup

Pasal 51 UU P3 mengamanatkan bahwa Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan dengan “menyebarluaskan” adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. Diskusi bedah pasal UUJN ini termasuk dalam pengertian penyebarluasan peraturan perundang-undangan, asalkan dalam membedah pasal tersebut jangan banyak menimbulkan pemahaman yang keliru atau malah menyesatkan. Untuk itu, penyamaan persepsi tujuan utama dalam pertemuan ini agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat ditegakkan.

Dalam kesempatan ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM hanya menyoroti Pasal 18 dan Pasal 19 tentang kedudukan dan wilayah jabatan notaris serta kantornya. Pasal 15 ayat (2) huruf f juga perlu dibahas dalam forum ini karena terkait dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketersinggungan kewenangan institusi lain di bidang kenotariatan.

Selain ketentuan di atas, Pasal 20 dan beberapa ketentuan delegasian kepada Menteri Hukum dan HAM perlu juga dimunculkan dalam forum ini dalam rangka memperoleh masukan bagaimana nantinya substansi peraturan pelaksanaan yang akan dipersiapkan oleh Departemen Hukum dan HAM untuk mengatur persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris dalam satu perkumpulan perdata, termasuk format kerahasiaan akta dan protokol notaris.


3. Kedudukan dan Wilayah Notaris

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 UUJN, notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota dan notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Dalam penjelasan pasal tidak dijelaskan oleh pembentuk undang-undang karena ketentuan tersebut Memang sudah jelas. Pasal 19 lebih lanjut menentukan bahwa notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya, dan notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. Dengan demikian, notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya.

Ketentuan di atas selain membatasi kewenangan notaris, juga akan menambah pekerjaan Majelis Pengawas (yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Pasal 67 UUJN) untuk selalu mengawasi notaris dalam menjalankan jabatannya. Pasal 17 menentukan secara tegas bahwa notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar-notaris dalam menjalankan jabatannya. Jadi, jika notaris berkedudukan di Kabupaten Bogor, maka wilayah jabatannya adalah seluruh wilayah provinsi Jawa Barat.

Jika orang membaca Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi “notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya” maka pertanyaan yang timbul adalah apakah “tidak berwenang secara teratur” itu bisa dihitung secara matematika (baik volume kerja maupun jumlah tempat di luar kedudukanya)? Jika bisa dihitung, maka hal ini terkait dengan cara pengawasan dan hal ini harus diatur secara jelas nantinya dalam peraturan pelaksanaan UUJN dalam rangka menciptakan kepastian hukum.

Ketentuan mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris di atas terkait dengan hubungan “teposeliro” antarnotaris dalam mencari (melayani) klien sehingga di sini diperlukan suatu kerja sama dan saling menghargai satu sama lain. Kebersamaan lebih ditekankan dalam membina korps profesi jabatan notaris.


4. Kewenangan Notaris

Pasal 15 UUJN menentukan kewenangan notaris secara rinci, termasuk pengecualiannya. Pengecualian tersebut dapat dilakukan, namun ditentukan terlebih dahulu oleh suatu undang-undang. Pengecualian atas kewenangan semacam ini secara relatif memang sulit dilakukan, namun perlu diwaspadai bahwa pembentuk undang-undang kemungkinan nantinya akan melakukan manuver untuk mengurangi kewenangan notaris. Model yang terakhir ini sering dilakukan demi kepentingan sektor tertentu untuk memperoleh kewenangan baru atau malah mengambil kewenangan sektor lain melalui pembentukan suatu undang-undang.

Dalam bagian ini, hanya dibahas mengenai kewenangan notaris yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f yang berbunyi “notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Ketentuan semacam ini sudah barang tentu membawa konsekuensi yuridis dan politis yang besar di lingkungan pemerintahan, khususnya yang terkait dengan tugas pendaftaran tanah yang telah dilaksanakan oleh pejabat pembuat akta tanah.

Permasalahan di atas harus segera dibenahi bersama oleh pemerintah sebagai pelaksana undang-undang. Kelemahan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN ini terlihat tidak adanya ketentuan peralihan yang menjembatani pelaksanaan pendaftaran tanah yang selama ini dilakukan oleh pejabat pembuat akta tanah yang didasarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Kedua Peraturan Pemerintah di atas sering dipermasalahkan oleh orang, terutama oleh akademisi, karena materi muatan yang diaturnya adalah materi muatan undang-undang. Di samping itu, kedua Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk bukan atas dasar pendelegasian yang jelas dari suatu undang-undang. Makna melaksanakan pendaftaran hanyalah tindakan adminstratif mendata, bukan memberikan hak tertentu dan membebani kewajiban kepada masyarakat.

Tampaknya Pasal 15 ayat (2) huruf f ini akan mengembalikan posisi kewenangan semula melalui satu pintu. Jika hal ini yang diinginkan, maka seyogyanya pemerintah mengambil inisiatif untuk membenahi dengan menetapkan suatu peraturan pemerintah yang mengatur mengenai masa transisi beralihnya lembaga pendaftaran tanah ke lembaga kenotariatan. Dengan demikian, pemerintah, dalam hal ini BPN, hanya mendata dan mengatur mengenai rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, penyajian, dan pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah dalam bentuk peta dan daftar.


5. Perserikatan Perdata

Suatu keinginan yang patut dipuji bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai kemauan untuk berkumpul bersama dalam satu kantor. Hal ini menunjukkan bahwa solidaritas antarnotaris semakin dapat diwujudkan di masa mendatang karena kesulitan notaris (baik materiel maupun nonmateriel) yang satu dengan lainnya tidaklah sama. Di samping itu, kebersamaan ini dapat dijadikan ajang untuk belajar dan menimba bidang-bidang ilmu dari notaris yang mempunyai pengalaman lebih.

Pembidangan ilmu bagi notaris yang berkeinginan untuk bergabung bersama perlu dilakukan, namun tetap memperhatikan proporsional pendapatan pemberian pelayanan kepada klien dengan melakukan perjanjian tertentu. Berdasarkan Pasal 20 ayat (3), persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris dalam satu kantor bersama akan diatur dalam Peraturan Menteri. Dalam Peraturan Menteri harus diatur pula makna “kemandirian” and “ketidakberpihakan” dalam menjalankan jabatannya.

Bentuk perserikatan perdata, sepenuhnya diserahkan kepada Peraturan Menteri tersebut untuk menentukannya yang diatur satu paket dengan persyaratannya. Persyaratan utama untuk saling merahasiakan antarnotaris terhadap akta atau protokol notaris yang memang harus dirahasiakan, harus ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut.


6. Penutup
Untuk menjalankan dan melaksanakan UUJN, salah satunya, adalah dengan secepatnya menetapkan Peraturan Menteri yang memang diminta oleh UUJN. Ada 6 (enam) Peraturan Menteri yang harus ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM, yakni:

a. Peraturan Menteri tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris;
b. Peraturan Menteri tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel Lambang Negara RI;
c. Peraturan Menteri tentang Persyaratan dalam Menjalankan Jabatan Notaris;
d. Peraturan Menteri tentang Formasi Jabatan Notaris;
e. Peraturan Menteri tentang Tata Cara Permohonan Pindah Wilayah Jabatan Notaris;
f. Peraturan Menteri tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi dan Tata Kerja, serta Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.

Quo Vadis Pendidikan PPAT

Jika disimpulkan, materi PKPA lebih banyak (20), berdurasi lebih lama, tetapi berbiaya terjangkau. Bertolak belakang dengan Diklat PPAT yang bermateri sedikit (enam), (seharusnya tidak) berdurasi lama, tetapi biaya (tidak) terjangkau.
bpn32 
Jer basuki mowo beyo” (jika ingin berhasil maka membutuhkan biaya), nukilan adagium jadul yang kerap didengung-dengungkan nenek moyang kita nampaknya perlu diperjelas kembali makna filosofinya. Agar tidak menjadi justifikasi praktik komersialisasi pendidikan oleh kaum kapitalis bertopeng pendidik. Memang benar, untuk dapat mengenyam pendidikan, elemen biaya adalah fardhu ‘ain. Masalahnya, apakah besaran biaya yang digelontorkan berbanding lurus dengan kualitas yang diterima peserta didik? tentu harus ada tolok ukur untuk dapat menilai apakah sebuah program pendidikan bersifat komersil (mahal), terjangkau atau sebaliknya, murahan?

Pertanyaan di atas patut dilayangkan kepada masa depan format pendidikan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Seperti diketahui, isu melambungnya “harga” diklat dan durasi pendidikan menyeruak tatkala Badan Pertanahan Nasional (BPN) menolak mengadakan Diklat PPAT bersamaan dengan ujian PPAT ulangan di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta tempo hari. Sempat terjadi “lempar bola” antara BPN dan organisasi profesi PPAT. Padahal, pasal 12 ayat (1) PerKa BPN No. 1/2006 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 37/1998 menegaskan bahwa pelaksanaan Diklat PPAT merupakan wewenang penuh BPN yang penyelenggaraannya dapat bekerja sama dengan organisasi profesi PPAT. Tanpa dibantu oganisasi profesi seperti IPPAT atau ASPPATpun, sebetulnya BPN dapat melaksanakan Diklat PPAT sendirian.

Informasi yang didapat justru mengagetkan, “…..tahun depan Diklat PPAT kurang lebih 2 bulan dan biayanya belasan juta rupiah”, begitulah kira-kira ucapan salah seorang perwakilan rekan yang gagal mengusahakan agar BPN dan organisasi PPAT mengadakan Diklat dan Ujian PPAT secara bersamaan.

Patut dipertanyakan, apakah durasi diklat PPAT membutuhkan waktu berbulan-bulan (2 bulan) ? apakah biaya belasan juta tersebut tidak terlalu mahal? Jika merujuk pasal 12 ayat (3) PerKa BPN No 1/ 2006, materi ujian PPAT hanya berjumlah enam, yakni hukum pertanahan nasional, organisasi dan kelembagaan pertanahan, pendaftaran tanah, peraturan jabatan PPAT, pembuatan akta PPAT, dan etika profesi.

Mari kita analisa bagaiamana kebutuhan lulusan MKn terhadap materi Diklat PPAT. Pertama, mata kuliah hukum pertanahan nasional (hukum agraria) telah diajarkan pada program Magister Kenotariatan (MKn) dengan bobot 2 SKS, itupun sebelumnya juga merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa S1 dengan bobot 3 SKS. Artinya, sebelumnya calon PPAT sudah “dijejali” materi yang sama sebanyak 5 SKS.

Kedua, Organisasi dan kelembagaan pertanahan. Materi ini mungkin hanya berkutat seputar Perpres No.10/2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan PerKa BPN No. 4/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan. Sesuatu yang barangkali tidak terlalu berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan jabatan PPAT sehari-hari.

Ketiga, mata kuliah pendaftaran tanah. Materi ini juga diberikan pada program MKn dengan judul mata kuliah yang agak berbeda, yaitu Pengurusan Hak Atas Tanah dengan bobot 2 SKS. Pun juga termasuk dalam silabus mata kuliah hukum agrarian pada Program S1 Fakultas Hukum.

Keempat, Peraturan Jabatan PPAT. Untuk materi ini, hanya ada 2 regulasi yang paling relevan diberikan, yakni PP No. 37/1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT dan PerKa BPN No 1/2006 Peraturan Pelaksanaan PP No. 37/1998.

Kelima, pembuatan akta PPAT, selain sudah diajarkan pada Program MKn dengan bobot 2 SKS, pada praktiknya tugas PPAT tak lebih dari “pengisi blanko” akta, bukan membuat akta dari kertas yang diprint sendiri dari printer kantor PPAT. Maka tidak berlebihan jika kemudian Notaris/PPAT Doktor Habib Adjie melayangkan gugatan melalui Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan dipicu oleh penolakan kantor pertanahan untuk memproses peralihan hak yang dibuat tanpa menggunakan 8 macam blanko dari BPN. Patut diingat juga, banyak PPAT sementara (camat dan kepala desa) yang kurang menguasai teknik komparisi akta sehingga banyak menimbulkan konflik pertanahan. Sehingga berakibat akta yang telah dibuat menjadi cacat hukum. Ini berbeda (meskipun tidak dijamin) dengan para lulusan MKn yang notabene telah mendapatkan asupan materi secara komprehensif mulai dari hukum perkawinan, hukum waris KUHperdata, hukum waris adat, hukum waris islam, hukum jaminan, hukum perikatan, dan penemuan hukum. Bisa dikatakan, PPAT lulusan MKn lebih baik kualitasnya daripada PPAT Sementara yang kebanyakan bukan Sarjana Hukum.

Keenam, Etika Profesi. Materi ini memang perlu diberikan kepada calon PPAT khususnya terhadap kode etik PPAT. Walaupun sebalumnya, mata kuliah etika profesi hukum juga (lagi-lagi) telah diajarkan pada program S1 dan program MKn (etika profesi notaris). Tetapi, apakah perlu sampai berbulan-bulan lamanya? Tentu tidak khan?

Pendek kata, dari keenam materi yang diberikan dalam pendidikan PPAT, hampir semuanya pernah diberikan sebelumnya (redundant) kepada lulusan MKn. Sehingga, format pendidikan PPAT berbulan-bulan yang konon sedang direncanakan itu seharusnya tidak selama itu. Bukankah salah satu persyaratan pengangkatan PPAT haruslah lulusan program Kenotariatan (MKn atau Spesialis Notariat)

Jika kita bandingkan dengan format pendidikan Advokat, sangat terlihat betapa njomplang keduanya. Sebuah pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) yang berdurasi 2 bulan di FH UII Yogyakarta saja hanya berbiaya 3,5 juta. Durasi 2 bulan itu sepadan dengan banyaknya materi yang diterima. Mengacu kurikulum Peradi, kurang lebih ada 20 materi yang diajarkan. Jika disimpulkan, materi PKPA lebih banyak (20), berdurasi lebih lama, tetapi berbiaya terjangkau. Bertolak belakang dengan Diklat PPAT yang bermateri sedikit (enam), (seharusnya tidak) berdurasi lama, tetapi biaya (tidak) terjangkau. Padahal, sebelumnya Diklat PPAT hanya berkisar 2-3 hari dengan biaya sekitar 2,5 juta. Bahkan, November 2007, ASPPAT juga menginisiasi Diklat PPAT di Yogyakarta dengan biaya 1,5 juta. Jika benar kelak format Diklat PPAT berubah demikian, maka bisa dipastikan “inflasi” biaya dan durasi Diklat melonjak sebesar 1000%.

Bukan bermaksud “meremehkan” profesi PPAT. Secara teknispun, menjadi advokat lebih sulit dibandingkan dengan PPAT yang “hanya mengisi” 8 macam blangko akta saja. Menjadi advokat membutuhkan pengetahuan hukum yang luas, kemampuan komunikasi yang baik karena harus beracara (litigasi), dan memiliki daya analisa tinggi. Bahkan (maaf) seorang camat atau kepala desa yang notabene bukan sarjana hukum juga bisa diangkat menjadi PPAT. Menandakan bahwa sebetulnya untuk menjadi PPAT tidak sesulit menjadi advokat. Apakah seorang camat atau kepala desa dapat diangkat menjadi Advokat? Apa kata dunia.

Akankah kita diam saja? Semoga tidak. Salah satu sebab mengapa pembuat kebijakan selalu berhasil “memaksa” karena tiada perlawanan dari mereka yang “tertindas”. Kalaupun ada, tidak sesolid yang diharapkan meskipun sebetulnya mempunyai potensi besar untuk itu. Sebagian besar memilih pasrah, entah karena tidak terorganisir atau cuek bebek karena kebijakan itu tidak ngefek sama sekali terhadap kelangsungannya sebagai calon PPAT (golongan the have).

Lupakah kita bahwa masih ada ikatan mahasiswa kenotariatan di masing2 kampus (intern). Belum lagi Ikatan Organisasi Mahasiswa Kenotariatan Se-Indonesia (IKA OMKI). Saya masih meyakini bahwa IKA OMKI bukan “macan tidur” yang memilih tiarap ketika anggotanya “diinjak-injak”. Jika memang benar, sudah sepatutnya “petinggi” IKA OMKI mengambil langkah strategis guna mengantisipasi kebijakan yang kelak dapat merugikan anggotanya. Salah satu yang bisa dilakukan misalnya dengan mengadakan lokakarya format pendidikan PPAT versi IKA OMKI sebagai “counter draft” versi BPN. Tentunya, langkah preventif layak dilakukan. Bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati. Jangan sampai “nasi sudah menjadi bubur”.

Begitupun dengan BPN. Sebagai mitra PPAT, model penentuan kebijakan secara top down selayaknya mulai dikikis. Jangan sampai kesan otoriter melekat kepada lembaga yang telah dinobatkan sebagai lembaga yang terkorup oleh KPK ini (setelah Depkumham). Akankah “prahara” Diklat PPAT segera menyusul “tragedi” kelangkaan blanko akta dan hasil survey KPK. Semua berpulang kepada usaha kita.

Kondisi ini selain layak diperjuangkan lulusan MKn yang belum praktik, juga layak dilakukan pula oleh notaris yang belum diangkat PPAT. Bayangkan apa yang terjadi jika pendidikan PPAT dilaksanakan selama berbulan-bulan. Bagaimana nasib notaris yang belum diangkat PPAT? Apakah mereka harus meninggalkan kantor yang tersebar di seantero nusantara dengan mengajukan cuti? Ingat, dalam pasal 25 ayat (2) UUJN, cuti notaris hanya boleh diajukan jika telah menjalani masa jabatan selama 2 tahun dengan menunjuk notaris pengganti. Artinya, mereka yang belum menjalani masa jabatannya selama 2 tahun tidak diperkenankan cuti. Kalaupun berhak mendapat cuti karena telah praktik 2 tahun, apakah akan legowo meninggalkan kantor berbulan-bulan? mengingat mereka sedang merintis karir. Semoga semua “isu” di atas tidak menjadi kenyataan. 

Kebijakan pengangkatan PPAT, idealkah?


“…Jika pemerintah berpendapat bahwa 30 tahun adalah usia yang paling ideal bagi pengangkatan PPAT, berarti telah menerapkan “standar ganda” dalam klausul ini”.

joyowinoto

Salah satu profesi yang akhir-akhir ini sangat diminati sarjana hukum adalah notaris PPAT. Bayangan kesuksesan dari segi finansial dan status sosial telah menjadi daya tarik tersendiri yang mampu menyedot animo sarjana hukum untuk menekuni profesi ini. Tak ayal, mereka mulai menjejali kampus-kampus yang menyelenggarakan program magister profesi ini.
Besarnya demand mengakibatkan efek domino. Terlihat, Program Magister Kenotariatan (MKn) yang semula hanya diselenggarakan di UI, UGM, Unpad, Unair, USU, dan Undip, belakangan ini disusul oleh Unand, Unhas, Unibraw, Unud, serta kampus swasta Ubaya.

Depkumham Vs BPN
Lulus dan praktek dalam waktu singkat adalah dambaan hampir semua lulusannya. Apalagi bagi fresh graduate. Kebanyakan ingin segera memulai karir, memiliki penghasilan, lantas menikah. Kira-kira begitulah rencana jangka panjangnya. Saat ini, rata-rata usia lulusan fakultas hukum berkisar antara 22-23 tahun. Jika ditambah durasi pendidikan di MKn selama 2 tahun, berarti pada usia 25 tahun mereka sudah siap memulai magang di kantor notaris. Masa magang minimal adalah 12 bulan, katakanlah mereka magang selama 2 tahun. Itu artinya, selepas magang, usia telah mencapai 27 tahun dimana telah memenuhi syarat pengangkatan notaris sebagaimana diatur dalam UU 30/ 2004 tentang Jabatan Notaris.
Asalkan sudah lulus ujian kode etik dan mengikuti Diklat Sisminbakum yang relatif mudah, mengurus permohonan pengangkatan notaris pun juga tidak terlalu sulit. Permenkumham M.01-HT.03.01 TH 2006 tentang syarat dan tata cara pengangkatan, perpindahan dan pemberhentian notaris menyatakan bahwa asal formasi tersedia dan berkas permohonan lengkap serta persyaratan terpenuhi, maka dalam jangka waktu paling lambat 90 hari sejak tanggal register akan dikeluarkan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Notaris. Konsekuensinya, Menteri, melalui Dirjen Administrasi Hukum Umum “mau tidak mau” harus mengeluarkan SK dalam tempo 90 hari.

Kondisi ini berbeda dengan BPN, dikatakan dalam pasal 16 PerKa BPN 1/2006 tentang peraturan pelaksanaan PP 37/1998 “…berdasarkan permohonan pengangkatan PPAT sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 15, Kepala Badan menerbitkan Keputusan Pengangkatan PPAT”. Klausul ini tidak mengatur soal batas waktu bagi kepala BPN untuk menurunkan SK kepada calon PPAT. Tak jarang, SK baru turun bertahun-tahun pasca permohonan. Padahal, segala persyaratan terpenuhi dan formasi juga tersedia. Kondisi ini menimbulkan celah suap menyuap (korupsi) yang bisa digunakan “oknum” BPN. Sebagaimana kabar yang sangat santer beredar di kalangan calon PPAT, mereka rela mengeluarkan sejumlah uang guna “mempercepat” turunnya SK.
Masa Tunggu
Bagi notaris yang berusia 27 tahunan, mengantongi SK notaris bukan berarti perjuangan telah selesai. Sebagaimana diatur pasal 6 PP 37/1998 tentang peraturan jabatan PPAT, persyaratan usia minimal pengangkatan PPAT adalah 30 tahun. Ini berarti, mereka harus mengalami “masa tunggu” minimal 3 tahun untuk bisa diangkat. Itupun dengan asumsi ujian PPAT diselenggarakan tepat ketika mereka berusia 30 tahun. Jika tidak, dipastikan “masa tunggu”nya akan semakin lama.

Notaris PPAT ibarat Romeo-Juliet. Keduanya merupakan jabatan yang “tak terpisahkan” serta saling membutuhkan satu sama lain. Sungguh, menjadi notaris tanpa merangkap jabatan PPAT serba sulit. Keterbatasan kewenangan untuk membuat akta yang telah ditugaskan kepada PPAT menjadi hal yang kontraproduktif. Alhasil, klien yang datang banyak yang beralih. Ujung-ujungnya pendapatan juga seret. Padahal, biaya operasional juga tidak kecil. Belum lagi harus menghadapi “persaingan” dengan notaris PPAT senior.
Apakah syarat usia 30 tahun sudah ideal? Dengan permasalahan diatas, tentu menjadi menarik untuk kita melihat kembali klausul 30 tahun itu. Saat ini, kebutuhan terhadap kehadiran PPAT sangat tinggi. Apalagi pasca pemekaran wilayah dan seiring meningkatnya kesadaran hukum warga negara dalam berbagai perbuatan hukum.
Merujuk SK Kepala BPN No 4/2006 tentang penetapan formasi PPAT, dinyatakan bahwa jumlah kebutuhan PPAT sebanyak 17.830 orang. Dimana 45% keberadaan PPAT terpusat di Jabodetabek. Padahal, sampai saat ini jumlah PPAT yang ada baru mencapai 10.889. Artinya, masih diperlukan 6.941 PPAT baru. Apalagi, tahun 2009 jumlahnya akan ditingkatkan menjadi 26.000 lebih.
Bahkan, untuk mengejar “stok” PPAT, BPN dalam waktu dekat berencana membuka program pendidikan khusus PPAT setingkat sarjana atau diploma di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN). Jumlah lulusannya berkisar 30 orang pertahun. Jika usia lulusannya katakanlah 23 tahun, itu artinya “masa tunggu” pengangkatan PPAT justru lebih lama yakni 7 tahun.

Jalan Keluar
Klausul 30 tahun diatas sebetulnya patut ditinjau kembali dengan mengingat beberapa hal, misalnya harmonisasi persyaratan usia dengan profesi lain yang dirangkap, kebutuhan terhadap “stok” PPAT dan pertimbangan kesiapan calon PPAT yang bersangkutan.
Pendekatan komparasi dan harmonisasi dengan profesi hukum lainnya juga menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Lihat saja, persyaratan usia minimal seorang hakim hanya 25 tahun, Jaksa 25 tahun, Notaris 27 tahun, Polisi 18 tahun, Advokat 25 tahun, dan Pejabat Lelang kelas II dipersamakan dengan usia notaris (minimal 27 tahun). Syarat usia PPAT merupakan yang tertua dibanding yang lain. Kematangan atau kedewasaan seseorang tidaklah bisa diukur dari segi usia. Perbandingan ini dapat digunakan sebagai argumentasi untuk mengakhiri diskursus tentang parameter tingkat kedewasaan seseorang.
Penetapan syarat usia minimal bagi beberapa profesi hukum tersebut diatas merupakan pengakuan langsung bahwa usia 25 – 27 merupakan fase dimana seseorang telah dewasa dan memiliki kapasitas yang cukup sebagai praktisi hukum. Apalagi hanya jabatan “sekelas” PPAT. Jika pemerintah berpendapat bahwa 30 tahun merupakan usia yang paling ideal bagi pengangkatan PPAT, berarti telah menerapkan “standar ganda” dalam klausul ini.

Atas dasar itulah, usia ideal pengangkatan PPAT adalah 27 tahun. Pengangkatan notaris dan PPAT bisa dilakukan secara “bersamaan”. Sehingga, semua pihak diuntungkan dengan hal ini. Dimana Notaris PPAT memiliki kewenangan yang “lengkap”, sedangkan “stok” PPAT yang diinginkan BPN juga cepat terpenuhi. Bukankah jika PPAT bertambah, negara juga diuntungkan? Pasti, pundi-pundi pendapatan negara dari sektor pajak dan non pajak akan bertambah. Selain itu, sengketa pertanahan juga berpotensi menurun seiring kehadiran PPAT.

Jika kemanfaatan (zweekmasigkeit) tidak lebih banyak daripada mudharatnya, tentu revisi klausul usia dan mekanisme pengangkatan PPAT dalam PP 37/1998 dan PerKa BPN 1/2006 adalah sebuah keniscayaan. Apalagi, landasan yuridis, sosiologis dan filosofis kebijakan pengangkatan PPAT sudah mulai menjauhi tujuan mulia cita hukum (idée des recht).

By : Cak Rony, 25-01-2009

PERBEDAAN PERLAKUAN TERHADAP JABATAN NOTARIS - JABATAN PPAT


Sebagaimana dikutip oleh John Rawls dalam buku teori keadilan, menyatakan bahwa hukum dan lembaga bisa sama-sama hadir namun tidak adil. Memperlakukan kasus-kasus serupa dengan cara yang sama tidak menjadi jaminan yang mencukupi keadilan substantif. Jika merujuk pada teori ini, pembedaan perlakuan terhadap PPAT telah bertentangan dengan rasa keadilan.

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus, bagi masyarakat secara keseluruhan.

Dalam pelaksanaan jabatannya, seorang notaris telah diberikan rambu-rambu melalui perangkat peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi. Namun, realitas empirik menunjukkan banyak notaris yang tersangkut masalah hukum sehingga harus berurusan dengan aparat penegak hukum.    Secara garis besar, pemicunya datang dari notaris yang tidak tunduk kepada kode etik profesi maupun hukum positif. Celakanya, sampai ada yang terlibat perbuatan tindak pidana. Kondisi ini tentunya merusak citra baik notaris sebagai salah satu profesi terhormat (officium nobile).

Sebagai gambaran, kasus tindak pidana yang melibatkan notaris, sejak tahun 2005 sampai 2007 di Direktorat Reserse Kriminal dan satuan wilayah di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara sebanyak 153 kasus. Dimana 10 orang sebagai tersangka dan sebanyak 143 orang jadi saksi.

Dalam rangka proses penegakan hukum, notaris acap kali harus dipanggil oleh aparat penegak hukum. Baik berkedudukan sebagai saksi, tersangka maupun terdakwa. Dalam proses itu, prosedur yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum tunduk kepada ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-undang No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN), yaitu :

Untuk kepentingan proses peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah berwenang:

a. Mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan

b. Memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris.”

Lebih lanjut, Pasal 14 ayat (1) Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris menyatakan bahwa ”Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah.”

Pada tanggal 6 Mei 2006 Ikatan Notaris Indonesia (INI) juga menindaklanjuti ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris dengan menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian Republik Indonesia No.Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MoU/PP-INI/V/2006 tentang pembinaan dan peningkatan profesionalisme di bidang penegakan hukum. Nota kesepahaman tersebut memuat ketentuan bahwa tindakan pemanggilan terhadap notaris harus dilakukan secara tertulis dan ditandatangani oleh penyidik. Namun, pemanggilan itu dilakukan setelah penyidik memperoleh persetujuan dari Majelis Pengawas yang merupakan suatu badan yang mempunyai kewenangan dan kewajiban untuk melaksanakan pembinaan dan pengawasan. Lebih lanjut isi kesepahaman itu mengatur notaris yang akan diperiksa atau dimintai keterangan harus jelas kedudukan dan perannya, apakah sebagai saksi atau tersangka terhadap akta-akta yang dibuatnya dan/atau selaku pemegang protokol.

Tak berbeda dengan notaris, PPAT juga memiliki peranan penting dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah. Menurut PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, peralihan dan pembebanan hak atas tanah hanya dapat didaftar apabila dibuktikan dengan akta PPAT. PPAT merupakan pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

Selain itu juga dikenal PPAT Sementara dan PPAT khusus. PPAT sementara merupakan pejabat pemerintah yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Sedangkan PPAT Khusus merupakan pejabat Badan Pertanahan Nasional yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas Pemerintah tertentu.

PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud diatas adalah :

1) Jual beli;

2) Tukar menukar;

3) Hibah;

4) Pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);

5) Pembagian hak bersama;

6) Pemberian hak guna bangunan/hak pakai atas tanah hak milik;

7) Pemberian hak tanggungan;

8) Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

Jika dicermati, peranan notaris dan PPAT sama pentingnya. Selain kesamaan urgensi, juga terdapat kesamaan kualifikasi. Pendapat ini didasari beberapa hal, yaitu :

Pertama, PPAT merupakan pejabat umum. Pasal 1 butir 1 PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT menyebutkan : “Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Berdasarkan pasal tersebut, profesi PPAT merupakan pejabat umum sebagaimana halnya dengan notaris. Dengan demikian, kedudukan PPAT dapat disejajarkan dengan notaris sebagai pejabat umum karena telah memenuhi kualifikasi sebagai pejabat umum.

Kedua, PPAT wajib merahasiakan isi akta. Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang ketentuan pelaksanaan PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT, menegaskan sumpah jabatan bagi PPAT agar menjaga kerahasiaan isi akta. Ditegaskan dalam sumpah jabatan tersebut …”bahwa saya, akan merahasiakan isi akta-akta yang dibuat di hadapan saya dan protokol yang menjadi tanggung jawab saya, yang menurut sifatnya atau berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dirahasiakan.”

Bandingkan dengan sumpah jabatan dalam Pasal 4 ayat (2) UUJN yang mewajibkan notaris merahasiakan isi akta, ”saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya”. Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN juga mengatur kewajiban serupa, yaitu: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain”. Dari rumusan sumpah jabatan tersebut, terdapat pula kesamaan kewajiban bagi PPAT dan notaris untuk merahasiakan isi akta.

Dengan demikian, dengan adanya kesamaan kedudukan dan kewajiban bagi seorang notaris dan PPAT, maka patut dipersamakan juga bentuk perlakuan bagi keduanya. Artinya, perlu juga diatur ketentuan yang mengharuskan izin pemeriksaan dalam proses peradilan bagi seorang PPAT. Atau sebaliknya, ketentuan pemanggilan bagi notaries dipersamakan dengan PPAT yaitu tanpa izin pemanggilan. Tidak adanya ketentuan izin pemeriksaan bagi PPAT sebagaimana halnya notaris menimbulkan diskriminasi perlakuan bagi PPAT.

Sigwick, sebagaimana dikutip oleh John Rawls dalam buku a theory of justice, menyatakan bahwa hukum dan lembaga bisa sama-sama hadir namun tidak adil. Memperlakukan kasus-kasus serupa dengan cara yang sama tidak menjadi jaminan yang mencukupi keadilan substantif. Jika merujuk pada teori ini, pembedaan perlakuan terhadap PPAT telah bertentangan dengan rasa keadilan.

Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, dimana pada situasi sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, dimana pada situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula. Masalah muncul ketika seseorang berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Karena itulah penting untuk mengambil langkah selanjutnya guna mencapai kesetaraan.

Keadilan merupakan salah satu ide agung dalam sejarah peradaban manusia sepanjang masa sejak zaman dahulu sampai sekarang. Dalam sejarah perkembangannya makna yang melekat pada ide keadilan ternyata cukup beraneka ragam. Aristoteles mencoba membagi ragam-ragam keadilan sebagai berimenjadi beberapa kualifikasi :

a. Keadilan pembagian (distributif)

Ragam keadilan ini yang terkenal pula sebagai keadilan distributif menunjuk pada kepantasan dalam pembagian berbagai barang dan jasa kepada para anggota masyarakat.

b. Keadilan penggantian (retributif)

Ragam keadilan ini menyangkut penanganan yang adil terhadap pelaku kesalahan (atau pelanggar hukum) maupun pihak korban dari kesalahan/pelanggaran itu dengan memberikan hukuman yang setimpal dan ganti rugi yang layak

c. Keadilan timbal balik (komutatif)

Ragam keadilan ini menyangkut pertukaran benda jasa diantara para anggota masyarakat yang harus timbal balik secara proporsional. Setiap pertukaran yang adil harus mewujudkan persamaan yang seimbang di antara barang atau jasa dari kedua belah pihak.

d. Keadilan prosedural

Ragam keadilan ini menunjuk pada keadilan sebagai tujuan yang harus dicapai dalam hukum berupa sesuatu keputusan ditetapkan berdasarkan pelaksanaan secara selayaknya pranata hukum yang berlaku.

e. Keadilan kontributif

Ragam keadilan ini yang dikemukakan oleh Mortimer Adler menyangkut kewajiban moral setiap anggota masyarakat untuk melakukan tindakan yang memberikan sumbangan atau menunjang kebaikan bersama dan kesejahteraan umum dari masyarakat.

secara prinsipil hukum harus diterapkan secara sama kepada siapa saja, baik kepada si kaya maupun kepada si miskin, kepada laki-laki maupun kepada perempuan, kepada mayoritas maupun kepada golongan minoritas, kepada kulit putih maupun kepada kulit berwarna. Namun, tidak berarti keadilan hanya mengenai perlakuan yang sama saja. Memberlakukan hukum yang sama kepada orang dalam kualifikasi yang berbeda, justru dapat menimbulkan ketidakadilan. Jadi, kualifikasi orang-orang dalam masyarakat tetap dibutuhkan untuk mengukur suatu keadilan. Siapapun yang dapat memenuhi kualifikasi yang sama, harus diberikan hak yang sama pula. Di situlah terletak keadilan.

Karena itu, keadilan distributif sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles, serupa dengan prinsip keadilan dari Raja Romawi Justinian, yaitu untuk memberikan setiap orang sesuai haknya (to give each man his due). Memang, itu berarti bahwa keadilan memberikan hal yang sama bagi orang atau kelompok orang yang sama, tetapi memberikan hal yang berbeda bagi orang atau kelompok orang yang berbeda, dengan catatan bahwa tidak semua perbedaan antar manusia dapat dijadikan dasar untuk melakukan diferensiasi. Perbedaan rasial, warna kulit, asal daerah, gender, agama, dan kepercayaan, tidak boleh dijadikan dasar dibedakannya hukum atau hak-hak mereka. Karena hal seperti itu merupakan “diskriminasi”. Jadi, diferensiasi hukum bukan berarti diskriminasi.

Keadilan dan persamaan mempunyai hubungan yang sangat erat, sebegitu eratnya sehingga jika terjadi perlakuan yang tidak sama, hal tersebut merupakan suatu ketidakadilan yang serius. Bahkan, ahli pikir hukum H.L.A. Hart menyatakan bahwa keadilan tidak lain dari menempatkan setiap individu yang berhak dalam hubungan dengan sesamanya. Mereka berhak mendapatkan posisi yang relatif masing-masing sama atau kalau tidak, masing-masing tidak sama. Jadi, postulatnya adalah perlakuan yang sama terhadap hal-hal yang sama, equal treatment of equal.

NB : Penulis memiliki argumentasi yang berbeda dengan tulisan ini berkaitan dengan proses pemanggilan Warga Negara biasa (tinjauan asas equality before the law dalam konstitusi)

Daftar Pustaka

Fuady, Munir, 2007, Dinamika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Bogor

Nota kesepahaman Ikatan Notaris Indonesia dengan Kepolisian Republik Indonesia No.Pol:B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MoU/PP-INI/V/2006 tentang pembinaan dan peningkatan profesionalisme di bidang penegakan hukum

Rawls, John, 2006, Teori keadilan : dasar-dasar filsafat politik untuk meweujudkan kesejahteraan sodial dalam Negara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

Riyadi, Eko, 2008, Hukum hak asasi manusia, Pusham UII, Yogyakarta

The Liang Gie, 1993, Keadilan sebagai landasan bagi etika administrasi pemerintahan dalam Negara Indonesia, Liberty, Yogyakarta

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris

Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 2006 tentang ketentuan pelaksanaan PP Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan PPAT

Waspada Online, Notaris Terlibat 153 Kasus Tindak Pidana, http://www.waspada.co.id /Berita/Medan/Notaris-Terlibat-153-Kasus-Tindak-Pidana.html, tanggal akses 26 april 2008, pukul 21.42 WIB