A. Analisis Hukum Terhadap Undang-undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris Dari Sudut Peraturan Perundang-undangan Yang Mengaturnya.
1. Sejarah pembentukan UU No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
Pada tanggal 14 September 2004 yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui RUU tentang Jabatan Notaris menjadi Undang-undang merupakan penyempurnaan undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian besar Undang-undang yang mengatur mengenai kenotariatan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
Adapun berbagai ketentuan dalam peraturan perundang-undangan sebelum adanya Undang-Undang No. 30 Republik Indonesia Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, perlu diadakan pembaruan dan pengaturan kembali secara menyeluruh dalam satu Undang-undang yang mengatur tentang jabatan Notaris sehingga dapat tercipta suatu unifikasi hukum yang berlaku untuk semua penduduk di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum di bidang kenotariatan tersebut, dibentuk Undang-undang tentang Jabatan Notaris.
Dalam Undang-Undang No. 30 Republik Indonesia Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris ini diatur secara rinci tentang Jabatan Umum yang dijabat oleh Notaris, sehingga diharapkan bahwa Akta Otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris mampu menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum.
Mengingat Akta Notaris sebagai Akta Otentik merupakan alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, dalam Undang-Undang ini diatur tentang bentuk dan sifat Akta Notaris, serta tentang Minuta Akta, Grosse Akta, dan Salinan Akta, maupun Kutipan Akta Notaris.
Sebagai alat bukti tertulis yang terkuat dan terpenuh, apa yang dinyatakan dalam Akta Notaris harus diterima, kecuali pihak yang berkepentingan dapat membuktikan hal yang sebaliknya secara memuaskan di hadapan persidangan pengadilan. Fungsi Notaris di luar pembuatan Akta otentik diatur untuk pertama kalinya secara komprehensif dalam Undang-Undang No. 30 Republik Indonesia Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Demikian pula ketentuan tentang pengawasan terhadap pelaksanaan jabatan Notaris dilakukan dengan mengikut sertakan pihak ahli/akademisi, disamping Departemen yang tugas dan tanggungjawabnya dibidang kenotariatan serta Organisasi Notaris.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang lebih baik bagi masyarakat.
a. Sebelum berlakunya Undang-undang No 30 tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Pengaturan Jabatan Notaris di Indonesia di atur dalam Reglement Op Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomort 101; Ordonantie 16 Sepetember 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379); dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
2. Pengertian Notaris
Kedudukan seorang Notaris sebagai suatu fungsionaritas dalam masyarakat dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat memperoleh nasihat yang boleh diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannnya (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.
Undang-undang Nomor 30 Republik Indonesia Tentang Jabatan Notaris pada Bab I di dalam ketentuan umum Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi,
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang ini.
Undang-undang tentang Jabatan Notaris merupakan penyempurnaan Undang-undang peninggalan jaman kolonial dan unifikasi sebagian besar Undang-undang yang mengatur mengenai kenotarisan yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan hukum dan kebutuhan masyarakat.
Demikian pula, Notaris sebagai Pejabat Umum ditegaskan juga dalam bab I pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (Ord. Stbl. 1860 no. 3, mulai berlaku tanggal 1 Juli 1860), yang menyebutkan : Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Dengan memperhatikan beberapa pasal dari beberapa peraturan perundang-undangan yang melegitimasikan keberadaan Notaris sebagai Pejabat Umum, dan melihat tugas dan pekerjaan notaries memberikan pelayanan publik (pelayanan pada masyarakat) untuk membuat akta-akta otentik, notyaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legaliseren) surat-surat / akta-akta yang dibuat di bawah tangan (L.N. 1916-46 jo. 43). Notaris juga memberikan nasihat dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan, serta pengangkatan dan pemberhentian seorang Notaris yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri yang bidang tugas dan tanggung jawabnya meliputi bidang kenotariatan, maka persyaratan Pejabat Umum adalah seorang yang diangkat oleh Pemerintah dengan tugas kewenangan memberikan pelayanan publik di bidang tertentu, terpenuhi oleh Jabatan Notaris.
Setiap masyarakat membutuhkan seseorang (figuur) yang keterang-keterangannya dapat diandalkan, dapat dipercayai, yang tanda tangannya serta segelnya (capnya) memberi jaminan dan bukti kuat, seorang ahli yang tidak memihak dan penasihat yang tidak ada cacatnya (onkreukbaar atau unimpeachable), yang tutup mulut, dan membuat suatu perjanjian yang dapat melindunginya di hari-hari yang akan datang. Kalau seorang advokat membela hak-hak seseorang ketika timbul suatu kesulitan, maka seoarang Notaris harus berusaha mencegah terjadinya kesulitan itu.
Para Notaris mempunyai persamaan dalam pekerjaan dengan para advokat. Keduanya menuangkan suatu kejadian dibidang ekonomi dalam suatu bentuk hukum, memberi nasihat kepada pelanggan dan mengharapkan mendapat kepercayaan dari mereka.
Adapun ada perbedaan prinsip, yaitu :
1. Seorang Notaris memberi kepada semua pihak, advokat kepada satu pihak. Seorang notaries berusaha menyelesaikan suatu persoalan, sehingga semua pihak puas, advokat berusaha memuaskan satu pihak. Kalaupun dalam usaha itu itu tercapai suatu consensus, pada dasarnya ia memperhatikan hanya kepantingan pelanggannya.
2. Pekerjaan seorang Notaris adalah untuk mencegah terjadinya suatu persoalan antara pihak-pihak, sedangkan seorang advokat menyelesaikan suatu persoalan yang sudah terjadi.
3. Dari uraian tersebut diatas maka telah jelas pekerjaan seorang Notaris lebih luas dari apa yang digambarkan diatas, tetapi adanya perbedaan-perbedaan nyata sekali. Pada umumnya A.W. Voors menganjurkan supaya berpegang pada pedoman sebagai berikut :
Ø Dalam membela hak satu pihak diharapkan seoarang Notaris tidak ikut campur, tetapi dalam hal mencari dan membuat suatu bentuk hukum di mana kepentingan pihak-pihak berjalan parallel, Notaris memegang peranan dan advokat hanya memberi nasihat.
Ø Sering terjadi terhadap masyarakat adalah seorang Notaris bertindak sebagai Notaris dan advokat. Sikap ini sering menyenangkan para pelanggan. Tetapi sebagai akibatnya, hal ini nanti akan menghantam diri Notaris itu sendiri, sebab tidak mustahil Notaris iti bentrok dengan seorang advokat atau mengecewakan pelanggan karena seorang notaris tidak dibenarkan membela teori-teori yang dikemukakannya kepada pelanggan di hadapan pengadilan, keculai diminta oleh instansi itu.
4. Pengertian Akta Notaris Sebagai Akta Otentik
Akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan, demikjian menurut ketentuan umum bab I pasal 1 angka 7 dalam Undang-undang Republik Indonesia No 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Akta Notaris tidak boleh memuat penetapan atau ketentuan yang memberikan sesuatu hak dan / atau keuntungan bagi :
1. Notaris, istri atau suami Notaris;
2. saksi, istri atau suami saksi; atau
3. orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan Notaris atau saksi, baik hubungan darah dalam garis lurus ke atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat maupun hubungan perkawinan sampai dengan derajat ketiga.
5. Pengertian Akta
Menurut Prof. R. Soebekti, S.H. yang dinamakan Akta adalah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandangani.
Sedangkan menurut Prof. Mr. A. Pitlo, berpendapat bahwa :
Akta adalah suatu surat yang ditanda tangani, diperbuat untuk dipakai sebagai bukti, dan untuk dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat itu dibuat.
Dalam hal yang sama. Dr. Sudikno Mertokusuma. S.H. berpendapat bahwa yang dimaksud Akta :
Adalah surat yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Dari beberapa pengertian mengenai Akta yang penulis kutip tersebut diatas, jelaslah bahwa tidak semua dapat disebut akta, melainkan hanya surat-surat tertentu yang memnuhi beberapa syarat tertentu saja yang disebut Akta.
Adapun syarat yang harus dipenuhi agar suatu surat disebut Akta adalah :
a. Surat itu harus ditanda tangani.
Keharusan ditanda tangani sesuatu surat untuk dapat disebut akta ditentukan dalam pasal 1874 KUHPerdata. Tujuan dari keharusan ditanda tangani itu untuk memberikan ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta yang satu dengan akta yang lainnya, sebab tanda tangan dari setiap orang mempunyai cirri tersendiri yang berbeda dengan tanda tangan orang lain. Dan dengan penanda tangannya itu sesesorang dianggap menjamin tentang kebenaran dari apa yang ditulis dalam akta tersebut.
b. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan.
Jadi surat itu harus berisikan suatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan, dan peristiwa hukum yang disebut dalam surat itu haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar dari suatu hak atau perikatan.
c. Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti.
Jadi surat itu memang sengaja dibuat untuk dijadikan alat bukti. Menurut ketentuan aturan Bea Materai Tahun 1921 dalam pasal 23 ditentukan antara lain : bahwa semua tanda yang ditanda tangani yang diperbuat sebagai buktinya perbuatan kenyataan atau keadaan yang bersifat hukum perdata dikenakan bea materai tetap sebesar Rp.25,-. Oleh karena itu sesuatu surat yang akan dijadikan alat pembuktian di pengadilan harus ditempeli bea materai secukupnya (sekarang sebesar Rp.6.000,-).
Berdasarkan ketentuan dan syarat-syarat tersebut diatas, maka surat jual beli, surat sewa menyewa, bahkan sehelai kwitansi adalah suatu akta, karena ia dibuat sebagai bukti dari suatu peristiwa hukum dan tanda tangani oleh berkepentingan.
6. Pengertian Akta Otentik
Menurut beberapa pendapat ahli hukum yang dimaksud Akta Otentik adalah sebagai berikut :
Akta yang dibuat oleh Pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan, baik maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang berkepentingan.
Surat yang dibuat oleh atau dimuka seseorang Pejabat Umum yang mempunyai wewenang untuk membikin suarat itu, dengan maksud untuk menjadikan surat tersebut sebagai surat bukti.
Suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan seorang Pegawai Umum yang berwenang untuk itu ditempat dimana akta itu dibuatnya.
Akta yang dibuat menurut bentuk Undang – undang oleh dan dihadapan seorang Pegawai Umum yang berwenang di tempat itu.
Dari beberapa pendapat para ahli hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa Akta Otentik mengandung beberapa unsur itu :
a. Akta itu harus dibuat oleh dan atau dihadapan Pegawai atau Pejabat Umum yang ditunjuk oleh Undang-undang.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang.
c. Pegawai Umum oleh dan atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Selanjutnya akan uraikan masing-masing unsur tersebut ditas sebagai berikut :
a. Akta itu harus dibuat oleh dan atau dihadapan Pegawai atau Pejabat Umum yang ditunjuk oleh Undang-undang.
Dalam ketentuan pasal 1869 KUH Perdata hanya mengatur apa yang dinamakan Akta Otentik, tetapi pasal tersebut yang dimaksud dengan “Pegawai / Pejabat Umum” itu dan juga tidak menjelaskan tempat dimana ia berwenang, sampai dimana batas-batas wewenangnya dan bagaimana akta menurut Undang-undang itu, sehingga Pembuat Undang-undang masih harus membuat Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal-hal tersebut diatas. Hanya saja disebutkan bahwa sebagai Pegawai Umum yang dmaksud, berlaku sesoarang Notaris, seorang Hakim, seorang Juru Sita pada suatu pengadilan, seoarang Pegawai Catatan Sipil dan sebagainya. Sehingga suatu Akta Notaris, suatu Surat Keputusan Hakim, suatu Surat Proses Verbal, Surat Perkawinan, Surat Kelahiran, Surat Proses Verbal, Surat Kematian, semuanya itu adalah Akta Otentik.
Menurut ketentuan pasal 1868 KUH Perdata mengenai Akta Otentik dapat dibedakan menjadi : Akta Otentik yang dibuat “oleh” Pegawai / Pejabat Umum, dan Akta Otentik yang dibuat “dihadapan” Pegawai / Pejabat umum.
Suatu Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum, itu meruapakan laporan suatu perbuatan atau kejadian resmi yang dtelah dilakukan “oleh” Pegawai Umum, itu merupakan laporan suatu perbuatan atau kejadian resmi yang telah dilakukan oleh Pegawai Umum yang bersangkutan misalnya Akta Notaris yang dibuat di dalam Rapat Umum Para Pemegang Saham suatu Perseroan Terbatas.
Dikatakan “oleh” disini karena inisiatif dari isi akta itu tidak dating dari orang-orang yang beritakan tentang sesuatunya dalam akta itu, tetapi Pegawai Umum tersebut menerangkan, menguraikan sesuatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihatnya atau disaksikan, dilakukan oleh Pembuat Akta itu yakni Pejabat umum itu sendiri, di dalam menjalankan jabatannya dan akta yang dibuat sedemikian itu dan yang memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialaminya itu dinamakan Akta Pejabat atau Relaas Akta.
Sedangkan akta yang dibuat “dihadapan” Pegawai umum, itu merupakan suatu laporan sesuatu perbuatan atau kejadian yang dilakukan oleh para pihak yang bersangkutan dan atas permintaan para pihak yang bersangkutan, Pegawai Umum mendengarkan apa yang bersangkutan, atau diceritakan dan yang dikehendaki atau melakukan perbuatan oleh kedua belah pihak yang sengaja datang menghadap itu agar keterangan itu atau perbuatan yang dikehendaki itu dinyatakan, diwujudkan serta dikonstatir oleh Pegawai umum dalam suatu akta, misalnya : A dan B datang menghadap Pegawai Umum, keduanya menerangkan bahwa mereka telah sepakat mengadakan perjanjian sewa menyewa. Akta yang sedemikian itu dinamakan Akta para Pihak.
Dari uraian tersebut diatas maka terdapat perbedaan pokok diantara kedua akta tersebut, yaitu :
1. Pada Akta Relaas, misalnya berita acara rapat yang dibuat oleh pejabat, sedangkan akta para pihak dibuat oleh para pihak dihadapan pejabat, dimana para pihak meminta bantuan pejabat untuk mengkonstatir apa yang dikehendakinya dalanm suatu akta.
2. Pada Akta Relaas Pejabat Pembuat akta mempunyai inisiatif untuk membuat akta, sedang dalam akta Para Pihak, inisiatif pembuatan akta dating dari para pihak sendiri, pihak pejabat tidak pernah berinisiatif untuk membuat akta.
3. Akta relaas, tanda tangan para yang hadir tidak merupakan keharusan, sedangkan pada Akta para Pihak, dengan ancaman kehilangan sifat otensitasnya.
4. Akta Relaas berisikan keterangan tertulis dari pejabat yang membuat akta itu sendiri, sedangkan Akta para Pihak berisikan keterangan yang dikehendaki oleh para pihak yang menyuruh membuat akta itu.
5. Kebenaran dari isi Akta relaas tidak dapat diganggu gugat, kecuali dengan menuduh akta itu adalah palsu, sedangkan kebenaran Akta Para Pihak dapat digugat tanpa menuduh kepalsuan akta itu.
6. Bentuk Akta Relaas berbeda dengan bentuk Akta Para pihak pada bagian awal akta dan pada bagian akhir akta.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang No 30 Tahun 2004.
Mengenai bentuk dari Akta Otentik itu sebenarnya tidak ditentukan secara tegas dalam Undang-undang, tetapi yang ditentukan secara tegas adalah “isi” dari Akta Otentik itu. Akta-akta Otentik yang dibuat oleh para Pejabat Pembuat Akta menurut hukum public, seperti vonis hakim, proses verbal yang dibuat oleh juru sita, dan lain-lain, mempunyai bentuk beragam, hanya saja isi atau hal-hal apa saja yang dimuat dalam akta itu telah ditentukan dalam Peraturan Perundang-undangannya, berdarkan nama maka seluruh akta sejenis mempunyai bentuk yang serupa, sebagai contoh : Akta Otentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, berdasarkan Peraturan jabatan Notaris (Stb. 1860 Nomor 3), bentuknya tidak secara tegas dalam Undang-undang, tetapi isi dan cara penulisan akta itu ditentukan secara tegas pasal 25 sampai dengan pasal 28, dengan ancaman kehilangan sifat otentik dari akta itu atau ancaman hukuman denda terhadap Notaris yang membuat akta tersebut.
c. Pegawai umum oleh dan atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu.
Sebagaimana telah penulis sampaikan diatas, bahwa ketentuan pasal 1868 KUPerdata itu tidak menjelaskan tempat dimana Pejabat Umum itu berwenang dan sampai sejauh batas wewenangnya, sehingga pembuat Undang-undang harus membuat Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, maka jika kita amati pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Stb. 1860 Nomor 3) yang berbunyi sebagai berikut :
Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat Akta Otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh Peraturan Umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu Akta Otentik, menjamin kepastian tanggalnya menyimpan aktanya, dan memberikan groose, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu Peraturan Umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.
Dari bunyi pasal tersebut diatas, jelaslah bahwa untuk Akta Otentik dibidang keperdataan (berdasarkan hukum perdata), Notaris adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuatnya, baik akta itu diharuskan atau atas permintaan orang yang berkepentingan, kecuali untuk akta-akta tertentu secara tegas disebut dalam poerundang-undangan , bahwa selain Notaris ada pejabat lain yang berwenang membuatnya, atau untuk pembuatan Akta Otentik tertentu pejabat lain itu dinyatakan sebagai satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuatnya. Sehingga wewenang Notaris merupakan wewenang yang bersifat umum, sedangkan wewenang pejabat lain yang bukan Notaris bersifat khusus.
Adapun akta-akta yang pembuatannya juga ditugaskan kepada pejabat lain oleh Undang-undang dikecualikan pembuatannya kepada antara lain :
1. Pasal 281 KUH Perdata, selain Notaris sebagai Pejabat Umum, juga Pegawa Kantor Catatan Sipil membuat akta pengakuan anak luar kawin.
2. Pasal 1227 KUH Perdata, selain Notaris sebagai Pejabat Umum, juga Juru Sita berwenang membuat berita acara karena adanya penolakan atau keterlambatan pendaftaran Hipotik oleh Pegawai penyimpanan yang berwenang untuk itu.
3. Pasal 1405 dan 1406 KUH Perdata, tentang penawaran pembayaran karena adanya penolakan dari yang berpiutang, yang harus dibuktikan dengan adanya akta yang dibuat oleh Notaris atau Juru Sita.
4. Pasal 145 dan 218 KUH Dagang, kewajiban Juru Sita, disamping Notaris membuat akta protes wesel dan cek.
5. Pasal 4 KUH Perdata, kewajiban dari Pegawai Catatan Sipil dengan mengecualikan Notaris, untuk membuat register kelahiran, pemberitahuan kawin, perceraian serta kematian.
Sepanjang mengenai wewenang yang harus dipunyai oleh seorang Pegawai Umum untuk membuat suatu Akta Otentik, maka seorang Pegawai Umum itu hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatan di dalam seluruh daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya dan hanya di dalam daerah hukum itu berwenang. Jadi jika suatu akta dibuat oleh atau dihadapan pegawai yang tidak berweang untuk itu, melainkan hanya berlaku sebagi akta dibawah tangan jika para pihak telah menanda tanganinya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 1869 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut :
Suatu akta, yang karena berkuasa atau tidak cakapnya dalam pegawai termasuk diatas, atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diberlakukan sebagai Akta Otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan, jika ia ditanda tangani oleh para pihak.
7. Kekuatan Pembuktian dari Akta Otentik
Sebagaimana telah penulis singgung diatas, bahwa fungsi Akta yang paling penting adalah dipergunakan sebagai alat pembuktian, maka kekuatan pembuktian dari akta dapat dibedakan dalam tiga macam yaitu : kekuatan pembuktian lahir/ luar/pihak ketiga, keuatan pembuktian formil dan kekuatan pembuktian materil.
Adapun yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian lahir adalah kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir dari akta itu, maksudnya bahwa suatu surat yang kelihatan sebagai akta, harus diterima atau dianggap dan diperlakukan sebagai akta sampai dapat dibuktikan sebaliknya.
Kekuatan pembuktian lahiriah ini dimaksudkan kemampuan dari akta itu sendiri membuktikan dirinya sebagai akta otentik dan kemampuan ini menurut pasal 1875 KUH Perdata tidaka dapat diberikan pada akta yang dibuat dibawah tangan, karena akta yang dibuat dibawah tangan baru berlaku sah jika yang menanda tanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangan itu dan jika demikian akta itu berlaku sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak yang bersangkutan.
Sedangkan Akta Otentik membuktikan sendiri keabsahannya yang dalam bahasa latin disebut acta publica sese ipsa apabila suatu akta kelihatannya sebagai Akta Otentik, artinya menandakan dirinya dari luar dari kata-katanya sebagai berasal dari seorang PejabatUmum, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai Akta Otentik, sampai dapat dibuktikan bahwa akta itu tidak otentik.
Sepanjang mengenai kekuatan pembuktian lahiriah ini, yang merupakan pembuktian lengkap atau mengikat, mengandung arti bahwa kebenaran dari hal-hal yang tertulis dalam akta itu dianggap sebagai benar dengan tidak mengurangi pembuktian sebaliknya, maka Akta Para Pihak dan Akta Pejabat dalam hal ini sama.
Sesuatu akta yang diberi dari luar kelihatan sebagai akta otentik, berlaku sebagai akta Otentik terhadap setiap orang, tanda tangan dari Pejabat Umum yang bersangkutan diterima sebagai sah.
Pembuktian yang sebaliknya artinya bukti bahwa tangan itu tidak sah hanya dapat diadakan melalui acara “Volscheidsparocedure” menurut ketentuan pasal 148 KUH Perdata, dimana hanya diperkenankan pembuktian dengan surat-suarat, saksi-saksi dan ahli-ahli. Jadi dalam hal ini yang menjadi persoalan bukan isi dari akta itu ataupun wewenang dari pejabat itu, akan tetapi semata-mata mengenai tanda tangan dari pejabat itu.
Kekuatan pembuktian formil dari akta yaitu kekuatan yang didasarkan atas benar atau tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah akta itu. Sebagai contoh : antara A dan B yang melakukan jual-beli, mengakui bahwa tanda tangan yang tertera dalam akta itu adalah benar. Jadi pengakuan mengenai adanya pernyataan terjadinya peristiwa atau perbuatan hukum jual-beli itu sendiri.
Dalam Akta Otentik, pejabat Pembuat Akta telah menyatakan dalam tulisan itu, sebagaimana yang tercantum dalam akta itu dan selain itu kebenaran dari apa yang diuaraikan oleh Pejabat dalam akta itu sebagai yang dilakukan dan disaksikannya dalam menjalankan jabatannya itu.
Dalam arti formil sepanjang mengenai Akta Pejabat/ Relaas Akta, akta itu membuktikan kebenaran dari akta yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan dilakukan sendiri oleh Pejabat Umum tersebut dalam melakukan jabatannya.
Dengan demikian terjamin kebenaran dan kepastian dari tanggal akta itu, identitas dari orang-orang yang hadir dan juga tempat dimana akta itu dibuat.
Sedangkan dalam Akta para Pihak, bahwa para pihak ada menerangkan seperti apa yang diuraikan dalam akta itu, sedangkan kebenaran dari apa yang diterangkan oleh para pihak itu pada hakikatnya hanya pasti antara para pihak sendiri.
Kekuatan pembuktian materil adalah kekuatan pembuktian yang dasarkan atas benar atau tidaknya apa yang dinyatakan atau diterangkan dalam akta itu.
Sebagai contoh : A adan B mengakui benar telah terjadi perbuatan hukum jual – beli. Jadi menyangkut pembuktian tentang materi atau isi suatu akta, memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan dalam akta itu.
Dalam Akta Pejabat/ Relaas Akta sebagai Akta Otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan, yakni yang dilihat, didengar dan dilakukan sendiri oleh pejabat itu dalam menjalankan jabatannya.
Jadi kebenaran dari pernyataan pejabat serta bahwa akta itu dibuat oleh pejabat berlaku bagi siapapun. Sedangkan pada Akta Para Pihak menurut Undang-undang merupakan bukti sempurna bagi mereka dan para ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak darinya.
Karena akta itu, isi keterangan yang dimuat dalam akta itu berlaku sebagai yang benar, isinya mempunyai kepastian sebagai yangsebenarnya, menjadi terbukti dengan sah diantara pihak dan para ahli waris serta para penerima hak mereka.
Menurut pasal 1870. 1871 KUH Perdata akta ityu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran apa yang tercantum dalam akta itu, sedangkan bagi pihak ketiga keuatan pembuktian materil dari akta itu diserahkan pada pertimbangan hakim.
B. Analisis Hukum Terhadap Undang-Undang 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris
1. Apakah yang dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan mengenai mekanisme pertanggungjawaban Notaris dalam menjalankan tugas operasionalnya sebagai pejabat umum.
Sebagaimana telah penulis uraikan pada bab II sebelumnya siapakah yang dimaksud dengan Notaris, sampai dimana batas wewenangnya dan bagaimana tugas dan pekerjaannya notaris yang ditentukan oleh Undang-undang.
Adapun untuk memahami lebih jauh ruang lingkup Undang-undang No. 30 tahun 2004 Republik Indonesia Tentang Jabatan Notaris tersebut, terlebih dahulu penulis uraikan ruang lingkup Undang-undang tersebut mengenai hal-hal yang mencangkup pokok-pokok materi, sebagaimana berikut :
- Ketentuan Umum. Berisi uraian tentang pengertian dan definisi yang digunakan, antara lain mengenai pengertian Notaris, Organisasi Notaris, akta Notaris, Grosse Akta, dan Formasi Protokol.
- Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris Dalam Undang-undang ini memuat 2 (dua) syarat, yaitu syarat subyektif dan obyektif. Syarat subyektif tentang dapat dan tidak dapat seseorang diangkat sebagai Notaris, antara lain berkewarganegaraan Indonesia, berijazah sarjana hukum dan pendidikan kenotariatan, mendapat rekomendasi dari Organisasi Notaris. Adapun syarat obyektif yaitu pengangkatan dan pemberhentian Notaris dilakukan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan.
- Kewenangan, kewajiban, dan Larangan Jabatan Notaris. Kewenangan notaris ditegaskan yakni membuat akta otentik, yang diperluas dengan kewenangan lainnya. Perluasan wewenang tersebut, berdasarkan pada perencanaan yang baik dengan mengacu pada kenyataan yang ada di masyarakat yaitu tuntutan akan bantuan jasa notaris. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban bertindak amanah, jujur, seksama, mandiri, dan menjaga kepentingan pihak-pihak yang terkait dalam perbuatan hukum secara tidak memihak. Penjabaran secara terperinci mengenai kewajiban Notaris ditentukan dalam Undang-undang ini untuk memberikan jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang membutuhkan jasa Notaris.
Adapun larangan dalam jabatan Notaris diantaranya mengenai larangan meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 x 24 jam berturut-turut tanpa alasan yang sah didasarkan pada adanya kewajiban pelayanan kepada masyarakat. Ketentuan ini menggantikan ketentuan lama yang melarang meninggalkan wailayah jabatannya lebih dari 3 x 24 jam, dasar pertimbangan yaitu dengan melihat pada kenyataan dalam masyarakat karena terdapat cukup banyak Notaris yang tersebar di wilayah Negara Republik Indonesia. Ketentuan larangan perangkapan jabatan Notaris mempunyai kedudukan sendiri dan tidak memihak dalam menjalankan jabatannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris.
d. Tempat kedudukan dan Wilayah jabatan Notaris.
Pengaturan mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan Notaris termasuk segala ketentuan mengenai perpindahan wilayah jabatan Notaris tidak lepas dari tujuan supaya lebih terjamin kepentingan umum, kepastian hukum, dan terjangkaunya pelayanan jasa Notaris oleh masyarakat. Ada hal baru yaitu bahwa wilayah jabatan notaries meliputi seluruh wialayah propinsi, namun mereka wajib berkedudukan di satu kabupaten atau kota dalam propinsi.
e. Honorarium.
Bagi Notaris ditetapkan honorarium berdasarkan kesepakatan para pihak dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh organisasi Notaris. Ketentuan ini dimaksudkan agar terdapat standar dalam menentukan honorarium bagi Notaris.
f. Akta Notaris.
Ketentuan mengenai akta Notaris merupakan ketentuan yang fundamental bagi Notaris oleh karena segala ketentuan mengenai bentuk dan sifat akta termasuk persyaratan esensial baik mengenai penghadap tata cara pembuatan akta, sifat memaksa dalam pembuatan akta Notaris oleh dan dihadapan Notaris, akibat hokum dan sanksi yang dijatuhkan apabila tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, telah diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini dilakukan guna memberikan jaminan yang pasti akan kebenaran formil dari surat akta otentik sebagai alat bukti yang terkuat dan terpenuh.
g. Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris.
Undang-undang ini mengatur mengenai pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, karena Notaris adalah jabatan yang bersifat publik perlu diatur secara khusus.
h. Pengawasan.
Agar ketentuan dapat dipastikan tertib pelaksanaannya, maka diperlukan adanya mekanisme pengawasan terhadap Notaris. Ketika itu Pengadilan Negeri adalah institusi yang melakukan pengawasan terhadap Notaris, tetapi sekarang ini Majelis Pengawas yang secara berjenjang dimulai dari Dewan Pengawas Pusat, Majelis Pengawas wilayah (Propinsi) dan Majelis Pengawas Daerah (Kabupaten). Departemen Kehakiman Dan Hak-Hak Asasi Manusia Republik Indonesia selaku institusi yang mengangkat Notaris, berdasarkan Undang-undang.
Penempatan petugas yang tepat dan kompeten, diharapkan pengawasan terhadap Notaris semakin tajam, akurat, wajar. Sehingga dengan demikian, akan membentuk pribadi Notaris yang lebih sigap, professional dan bertanggungjawab dalam melaksanakan tugasnya.
i. Ketentuan sanksi.
Sanksi hukum akan dikenakan terhadap Notaris yang melakukan pelanggaran atas ketentuan dalam Undang-undang ini. Sanksi dimaksud berupa ; sanksi perdata dan administratif berupa teguran lisan, tertulis, perberhentian dengan hormat, dan pemberhentian dengan tidak hormat.
Pemahaman keberadaan Notaris sebagai “Jabatan” sekaligus “Penjabat” untuk pertama kali mendapat pengaturan di dalam Reglement Op Het Notaris ambt in Indonesie (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara tahun 1954 Nomort 101;
Kemudian Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris;
Berikutnya, Undang-undang Nomor 33 Tahun 1954 tentang Wakil Notaris dan Wakil Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700);
Serta, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379);
Dan, Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 Tentang Sumpah/Janji Jabatan Notaris.
Dari yang diuraikan diatas maka dapat penulis kemukakan bahwa sebelumnya Undang-undang No. 30 Republik Indonesia Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, maka dari ketentuan-ketentuan dalam beberapa peraturan-peraturan yang penulis sebutkan diatas, dapat disimpulkan telah terjadi pergeseran Kedudukan Notaris sebagai pejabat yang membuat Akta Otentik dibidang keperdataan.
Dari hal-hal yang penulis uraikan tersebut diatas, dapat dikatakan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum dan akta-akta yang dibuatnya Akta Otentik.
2. Apakah konsep jabatan umum yang melekat pada Notaris dengan akta otentik yang dibuatnya.
Menurut ketentuan pasal 1870 KUH Perdata, suatu Akta Otentik memberikan diantara para pihak beserta para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang lengkap atau sempurna dan mengikat tentang apa yang dimuat di dalamnya, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta itu harus dapat dipercaya oleh hakim, yaitu harus dianggap sebagai yang benar, selama ketidakbenarannya itu tidak ada pihak lain yang dapat membuktikan sebaliknya. Dan ia memberikan suatu penambahan pembuktian lain.
Dengan demikian siapa yang menyatakan bahwa Akta Otentik itu palsu, maka ia harus membuktikan tentang kepalsuan akta itu. Karena itulah maka Akta Otentik mempunyai kekuatan pembuktian lahiriah, formil dan materil.
Sebagai mana telah penulis uraikan diatas, bahwa Akta Notaris adalah Akta Otentik, maka Akta Notaris juga mempunyai keuatan pembuktian lahiriah, formil dan materil. Hal mana akan penulis uraikan sebagai berikut :
a. Kekuatan pembuktian lahir mengandung arti bahwa akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sendiri sebagai Akta Otentik, karena kehadirannya sesuai dan menurut Peraturan Perundang-Undangan yang mengaturnya. Demikian pula akta-akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian lahir, karena akta-akta itu sendiri mempunyai kemampuan untuk membuktikan dirinya sebagai Akta Otentik yaitu karena kelahirannya ditentukan oleh Peraturan Perundang-Undangan, dari Pejabat yang membuatnya, jenis akta yang dibuatnya, wewenang pembuat aktanya, bentuk aktanya dan sifat aktanya semuanya diatur dalam Peraturan Perundang-Undangan.
b. Kekuatan pembuktian formil itu mempermasalah-kan mengenai benar atau tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan dibawah akta itu, jadi notaris menyatakan dalam tulisan itu bahwa apa yang dinyatakan dalam akta itu. Sehingga kekuatan pembuktian formil Akta Otentik menjamin kebenaran tentang tanggal, tempat akta dibuat, komparant dan tanda tangan yang berlaku terhadap setiap orang.
Demikian juga pada Akta Notaris sebagai Akta Otentikyang merupakan Akta Para Pihak, bagi siapapun telah pasti bahwa pihak-pihak yang bersangkutan menyatakan seperti apa yang tertulis diatas tanda tangan mereka.
Dari hal yang diuraikan diatas, memberikan kepastian bahwa Akta Notaris mempunyai kekuatan pembuktian formil.
c. Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi atau isi suatu akta dan memberi kepastian tentang peristiwa atau kejadian bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Untuk Akta Notaris atau Relaas Akta sebagai Akta Otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan yakni yang dilihat didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris itu didalam menjalankan jabatannya. Sedangkan Akta Para Pihak menurut undang-undang merupakan bukti bagi mereka dan ahli warisnya dan sekalian 0rang-orang yang mendapat hak darinya. Demikian pula pada akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris, mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para pihak dan dikonstatir oleh Notaris dalam Akta itu adalah benar-benar terjadi dan Akta Notaris sebagai Akta Otentik yang berupa Akta Para Pihak, maka isi keterangan dan ataupun perbuatan hukum yang tercantum di dalam akta ituberlaku terhadap orang-orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan serta kepentingan siapa akta itu diberikan. Hal ini dapat dilihat pada bagian akhir setiap akta notaris yang biasanya berbunyi sebagai berikut :
Demikian akta ini dibuat dihadapan para pihak dan :
Sebagai saksi-saksi, dan setelah dibacakan serta dijelaskan, maka sebagai bukti kebenaran pernyataan yang dikemukakan oleh PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA tersebut diatas, akta ini ditanda tangani oleh PIHAK PERTAMA, PIHAK KEDUA, Para Saksi, dan saya Notaris.
Dengan demikian Akta Notaris menurut undang-undang merupakan bukti sempurna bagi mereka dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak darinya, karena akta itu isi keterangan yang dimuat di dalamnya berlaku sebagai yang benar dan mempunyai kepastian sebagai yang sebenarnya menjadi terbukti dengan sah diantara para pihak dan para ahli waris serta penerima hak mereka dan jika akta itu dipergunakan di muka pengadilan adalah cukup dan bahwa Hakim harus menerima kebenaran dalam akta itu, dan tidak diperkenankan untuk meminta tanda pembuktian lainnya kecuali dilakukan pembuktian sebaliknya oleh pihak ketiga mengenai kebenaran isi atau materi dari akta itu.
Berdasarkan hal-hal yang penulis uraikan tersebut diatas, dapat penulis simpulkan bahwa kedudukan Akta Notaris sebagai alat bukti tertulis dalam sistem Hukum Indonesia, merupakan Akta Otentik, karena memenuhi syarat-syarat yang dimaksudkan dalam ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.