Kamis, 20 Januari 2011

NEGARA DAN HAK RAKYAT ATAS TANAH


Keluarnya kebijakan pemerintah dalam bentuk Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang kewenangan negara mencabut hak atas pemilikan tanah masyarakat dalam rangka kepentingan umum dan pembangunan.

Keterkejutan ini beralasan karena hampir semua orang tidak mengira bila pemerintah mengeluarkan peraturan presiden (perpres) itu di tengah harapan berjalannya proses demokrasi dan penguatan hak-hak rakyat sipil.

Lahirnya perpres mengingatkan orang pada praktik-praktik pemerintah Orde Baru dalam mengambil paksa tanah-tanah rakyat, baik yang di kota maupun di pedesaan dengan mengatasnamakan pembangunan sehingga menimbulkan penggusuran dan konflik agraria.

Pada dasarnya, Perpres No 36/2005 merupakan kelanjutan kebijakan pemerintahan Soeharto seperti tertuang dalam Surat Menteri Dalam Negeri 3 Desember 1975 No 12/108/12/1975 tentang petunjuk pelaksanaan pembebasan tanah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 2/1976 tentang penggunaan cara pembebasan tanah untuk kepentingan pemerintah dalam pembebasan tanah untuk swasta, serta beberapa peraturan lain yang memperkuat kedua peraturan itu. Jadi, hingga kini, tidak satu pun ada perbaikan kebijakan pertanahan bagi rakyat, sebaliknya proses penyingkiran rakyat atas tanahnya sendiri kian sistematis dan masif.

DILIHAT dari sejarah hukum agraria, kewenangan negara dapat mencabut hak kepemilikan tanah seseorang atau masyarakat merujuk pada dua sumber.

Pertama, hak eigendom yang tertuang dalam Pasal 570 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, warisan UU Agraria 1870 di masa kolonial (Agrarische Wet).

Kedua, UUPA 1960 Pasal 6, 18 dan 27. Pasal 6 menyatakan, “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”, dan Pasal 18 menyatakan “untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang”. Isi dari hak eigendom hampir sama dengan pasal ini.

Sepintas Perpres No 36/2005 seolah tidak bertentangan dengan undang-undang yang ada, tetapi bila UUPA 1960 dikaji kembali, termasuk penjelasannya, tampak pemelintiran interpretasi atas pasal-pasal yang ada dalam UUPA 1960.

Memahami atau mengadopsi UUPA 1960 untuk sebuah kebijakan tidak hanya cukup dengan memakai pasal-pasal tertentu yang hanya menguntungkan segelintir kelompok dan negara, tetapi harus dipahami juga dalam konteks sosio-politiknya secara keseluruhan.

Sejak masa Orde Baru dan sekarang selalu yang dipakai dan dilaksanakan adalah ketiga pasal itu untuk legitimasi pemerintah dalam pengambilalihan tanah rakyat secara besar-besaran dalam rangka kepentingan pembangunan. Sedangkan sebagian besar isi UUPA 1960 yang mewajibkan pemerintah merombak dan menata ulang penguasaan tanah yang lebih adil dan merata (agrarian reform) justru diabaikan.

Tanah memiliki fungsi sosial, sebetulnya merupakan antitesa hukum tanah Barat, bersumber dari Burgerlijk Wetboek Belanda yang disusun berdasar Code Civil Perancis. Dasar filosofi Code Civil Perancis menganut konsep individualistik- liberal, sebuah landasan masyarakat borjuasi Eropa abad XIX.

Ketika Indonesia merdeka, para pendiri republik menolak konsepsi itu karena jika individu diberi kebebasan dalam pemilikan dan penguasaan tanah tanpa ada intervensi negara, akan terjadi praktik akumulasi tanah tanpa batas yang berkembang menjadi monopoli penguasaan tanah pada segelintir orang dan ketidakmerataan penguasaan dan pemanfaatan tanah.

Agar tidak terjadi akumulasi dan monopoli tanah oleh segelintir orang, dimasukkan unsur masyarakat atau kebersamaan dalam penggunaan. Kebebasan individu dikurangi dan dimasukkan unsur kebersamaan ke dalam hak individu. Dalam hak individu ada hak kebersamaan, inilah yang disebut tanah mempunyai fungsi sosial.

Filosofi itulah yang mendasari perlu dilaksanakan land reform. Negara berwenang membatasi individu maupun badan hukum dalam penguasaan tanah dalam jumlah besar, karena itu lahirlah peraturan land reform, orang tidak boleh punya tanah lebih dari lima hektar (Jawa) atau tanah absente. Tugas negara yang mewakili kepentingan bersama menjadi lebih luas dalam mengusahakan peningkatan kemakmuran yang adil dan merata atau disebut sebagai welfare state (Boedi Harsono, 2003).

Meski demikian, dalam perkembangannya istilah fungsi sosial digunakan dalam konteks dan untuk kepentingan apa saja dalam rangka pencabutan hak atas tanah, termasuk tanah-tanah rakyat baik di kota maupun di desa yang luasnya kecil-kecil.

Padahal, seharusnya rakyat, khususnya petani gurem, yang pemilikan tanahnya tak seberapa atau tidak punya sama sekali (landless peasant) memperoleh manfaat dari intervensi negara untuk mendapatkan tanah yang cukup agar bisa produktif dalam pertanian. Negara bukan mencabut hak penguasaan tanah dari individu dan perusahaan yang menguasai tanah dalam jumlah besar dan diperuntukkan bagi petani atau rakyat yang tidak memiliki tanah.

Sebaliknya, prinsip fungsi sosial justru dipakai sebagai landasan yuridis negara untuk mengambilalih atau mencabut hak atas tanah yang dimiliki dan dikuasai rakyat untuk kepentingan pengusaha- pengusaha besar.

DI mana letak persoalan sebenarnya, dua kepentingan yang berbeda dan berseberangan merujuk sumber yang sama? Persoalannya terletak bukan hanya bagaimana undang-undang atau peraturannya, tetapi siapa sebenarnya yang merepresentasikan negara atau setidaknya kepada siapa negara berpihak? Kepada rakyat yang menjadi pemilik kedaulatan negara seperti yang menjadi dasar berdirinya republik ini atau kepada segelintir orang dan golongan ekonomi kuat?

Sejak 1967 negara Orde Baru kini telah berpihak dan menjalankan sistem ekonomi kapitalistik. Sebagian besar produk hukum dibuat guna memfasilitasi kelancaran arus modal domestik maupun internasional seperti UU PMA tahun 1967.

Kata-kata “kepentingan umum” dan “pembangunan” telah menjadi alat efektif untuk melegitimasi penyediaan tanah seluas-luasnya oleh negara untuk kepentingan investasi. Pengertian “pembangunan (development)” selama ini disalahartikan. Bila mengacu pada The Proposal of Action UN Development Decade yang pertama (1960-1970) tampak pembangunan bukan hanya pertumbuhan.

Pembangunan adalah pertumbuhan plus perubahan. Perubahan mencakup perubahan sosial, ekonomi, dan kultural, serta bersifat kualitatif dan kuantitatif. Konsep utamanya, perbaikan mutu kehidupan.

Jika diperiksa lebih jauh apakah pengambilalihan tanah rakyat selama ini dengan atas nama pembangunan meski diberikan ganti rugi benar-benar menciptakan perubahan atau menciptakan perbaikan mutu kehidupan rakyat?

Jawabannya justru sebaliknya. Yang terjadi adalah marjinalisasi dan pemiskinan baik di pedesaan maupun di perkotaan dan Perpres No 36/2005 merupakan salah satu bagian alat kekuasaan yang turut menciptakan proses pemiskinan massal.

*)Syaiful Bahari Pemerhati Masalah Agraria, Tinggal di Jakarta

Lampiran :

Peraturan Presiden No. 36/2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a. bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah;
b. bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan unruk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nornor 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan urnum;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pernbangunan Untuk Kepentingan Umum;

Mengingat:
1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043);
3. Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106);
4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324);
5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
3. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah.
4. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah.
5. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat.
6. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah.
7. Pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah adalah perseorangan, badan hukum, lembaga, unit usaha yang mempunyai hak penguasaan atas tanah dan/atau bangunan serta tanaman yang ada di atas tanah.
8. Hak atas tanah adalah hak atas bidang tanah sebagaimana diatur dalam Undang undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
9. Panitia Pengadaan Tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum.
10. Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah.
11. Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau nonfisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
12. Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi.

BAB II
PENGADAAN TANAH

Pasal 2
(1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara:
a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau
b. pencabutan hak atas tanah.
(2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 3
1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah.
2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan benda-benda yang Ada Di Atasnya.

Pasal 4
(1) Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah, yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu.
(2) Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada
(3) Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota atau Gubernur, maka bagi siapa yang ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubemur sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 5
Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi:
a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;
b. waduk, bendungan, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya;
c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat;
d. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal;
e. peribadatan;
f. pendidikan atau sekolah;
g. pasar umum;
h. fasilitas pemakaman umum;
i. fasilitas keselamatan umum;
j. pos dan telekomunikasi;
k. sarana olah raga;
l. stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya;
m. kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembaga-lembaga internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa;
n. fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya;
o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan;
p. rumah susun sederhana;
q. tempat pembuangan sampah;
r. cagar alam dan cagar budaya;
s. pertamanan;
t. panti sosial;
u. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

BAB III
PANITIA, MUSYAWARAH, DAN GANTI RUGI

Bagian Pertama
Panitia Pengadaan Tanah

Pasal 6
(1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota.
(2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur.
(3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur.
(4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait.
(5) Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) terdiri atas unsur perangkat daerah terkait.

Pasal 7
Panitia pengadaan tanah bertugas:
a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya;
c. menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;
d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah;
e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi; ,
f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda lain yang ada di atas tanah;
g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah;
h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten.

Bagian Kedua
Musyawarah

Pasal 8
(1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai:
a) pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut;
b) bentuk dan besarnya ganti rugi.
(2) Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.

Pasal 9
(1) Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah.
(2) Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia pengadaan tanah dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan oleh para pemegang hak atas tanah, yang sekaligus bertindak selaku kuasa mereka.
(3) Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
(4) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah.

Pasal 10
(1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama.
(2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasaI 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi Iokasi tanah yang bersangkutan.
(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Pasal 11
Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang hak alas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah, panitia pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besamya ganti rugi sesuai dengan kesepakatan tersebut.

Bagian Ketiga
Ganti Rugi

Pasal 12
Ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk:
a. hak atas tanah;
b. bangunan;
c. tanaman;
d. benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah.

Pasal 13
(1) Bentuk ganti rugi dapat berupa:
a. uang; dan/atau
b. tanah pengganti; dan/atau
c. pemukiman kembali.
(2) Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat diberikan kompensasi berupa penyertaan modal (saham) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 14
Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.

Pasal 15
(1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas:
a. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual
Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
b. nilai jual bangunan yang ditaksir. Oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang bangunan;
c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di
bidang pertanian.
(2) Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Pasal 16
(1) Ganti rugi diserahkan langsung kepada:
a. pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau
b. nadzir bagi tanah wakaf.
(2) Dalam hal tanah, bangunan, tanaman, atau benda yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang pemegang hak atas tanah tidak dapat ditentukan, maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapat ditemukan tersebut dititipkan di pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

Pasal 17
(1) Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan tersebut.
(2) Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya.
(3) Setelah mendengar dan mempelajari pendapat dan keinginan pemegang hak atas tanah serta pertimbangan panitia pengadaan tanah, Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengeluarkan keputusan yang dapat mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan.

Pasal 18
(1) Apabila upaya penyelesaian yang ditempuh Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada Di Atasnya.
(2) Usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan NasionaI dengan tembusan kepada menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(3) Setelah menerima usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Badan Pertanahan Nasional berkonsultasi dengan menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
(4) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah tersebut disampaikan kepada Presiden oIeh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditandatangani oleh menteri dari instansi yang memerlukan tanah, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 19
Terhadap tanah yang digarap tanpa izin yang berhak atau kuasanya, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Prp.Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.

BAB IV
PENGADAAN TANAH SKALA KECIL

Pasal 20
Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak Iebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21
Dengan berlakunya Peraturan Presiden ini, peraturan pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional.

Pasal 23
Pada saat berlakunya Peraturan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 24
Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Mei 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Salinan ini sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-Undangan,

Lambock V Nahattands

HUKUM TATA GUNA TANAH (suatu pengantar)



KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENATAGUNAAN TANAH

1. Catur Tertib Pertanahan

Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial, politik dan ekonomi.

Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:

a. Tertib Hukum Pertanahan
Diarahkan pada program:
1. Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.
2. Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.
3. Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.
4. Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hukum agraria.

b. Tertib Administrasi Pertanahan
Diarahkan pada program:
1. Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.
2. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi kegiatan-kegiatan pembangunan.
3. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.
4. Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di kantor PPAT.
5. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.

c. Tertib Penggunaan Tanah
Diarahkan pada usaha untuk:
1. Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat daerah.
3. Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah.
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.

d. Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup
Diarahkan pada usaha:
a. Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban setiap pemegang hak atas tanah.
b. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
c. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah dan perubahan penggunaan tanah.

Pertimbangan dari segi tata guna tanah, antara lain menjawab:
• Apakah pemberian hak atas tanah kepada pemohon itu sesuai dengan rencana tata guna tanah yang sudah ada ?
• Apakah penggunaan tanah sebagai yang dimaksud pemohon sesuai dengan daya kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?
• Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan kesuburan dan pengawetan tanah yang bersangkutan?
• Melakukan analisa dampak lingkungan (ANDAL) sebelum suatu usaha industri/pabrik didirikan.
• Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat kaitannya dengan bidang tata guna tanah adalah tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah & lingkungan hidup.

2. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan

Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan kesadaran masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan.

Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH)

Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:

a. Tujuan
Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib Pertanahan serta menigkatkan pelayanan kepada masyarakat.

b. Prinsip Dasar
1. Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-sama pemilik tanah yang berdampingan
2. Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk mensukseskan kegiatan ini.
3. Sasaran

Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui kelompok POKMASDARTIBNAH, dimana Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.

3. Penatagunaan Tanah Pertanian
Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang penting bagi rakyat dan negara.

Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan pangan maupun tanaman perdagangan.

Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi belum secara menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan seperti:

UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain.

UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam (tebu).

Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan sektor pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:
a. Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan
b. Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme impor dan makin menurunya tarif bea masuk
c. Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan pertanian yang semakin meningkat.

4. Penertiban Pemakaian tanah secara liar.
Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:
• Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden
• UU Darurat No. 8 Tahun 1954
• UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan
• UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari yang berhak atau kuasanya.
Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain dengan perintah pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.

Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di dalam maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan tata tertib yang menghambat pembangunan yang direncanakan.

5. Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan
Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.

Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974):

a. Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi pelaksanaan kegiatan pembangunan.
b. Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.

Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi yang lain, yaitu:
• segi yuridis
• pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada asas-asas pembangunan nasional.

Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:

a. Penetapan lokasi perusahaan:
1) Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.
2) Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.
3) Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.
4) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.

Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya didasarkan pada pertimbangan:

• Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah pertanian menjadi lokasi perusahaan.
• Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi
• Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak mungkin.
• Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.
• Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi proyek.
1) Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya pengotoran/pencemaran lingkungan.

b. Penetapan luas tanah yang diperlukan:
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.

Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik:

1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan Ini mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.
2) Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif.

Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:
• Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan yang memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan tanah tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.
• Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha sesungguhnya.

c. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan:
1) Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI hak atas tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai.
2) Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah: Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.

Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai wewenang:
merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.
1) Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
2) Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang memerlukan.
Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam kegiatannya berupa:
3) Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan perumahan.
Pelaksanaan pembangunan perumahan
4) Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak

6. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah
Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.

Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah terhadap penggunan tanahnya. Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat menggunakan dan memanfaatkan tanah.

Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan, persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau sempadan sungai harus memperhatikan:

a.Kepentingan umum;
b.Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah mengikuti RTRW yang terakhir.

Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.

Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas tanah.

Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.

7. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu
Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman tertentu ialah:
a. UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman tertentu.
b. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:

a)Mengenai letak tanah
Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja perusahaan yang memerlukan tanah

b)Mengenai luas tanah
Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta kelangsungan kesuburan tanah

c)Pola tanam

Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.

Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:
Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan perusahaan yang memerlukan tanah.

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan sendiri oleh pemiliknya.

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
LANDASAN HUKUM TATA GUNA TANAH

1.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut:
Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.
Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.

2.Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA

Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan keagamaan.

Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:
Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.

Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.

Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14 UUPA ialah peraturan pemerintah

3.No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.
4.UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.

Mengenai penertiban/pemanfaatan:
6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau kuasanya.
7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982
8.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982

Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun 1972 jo No. 6 Tahun 1986.
9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang, penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan dengan penggunaan tanah. Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:
1. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta pemeliharaan tanah ada pada Negara;
2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu;
3. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;
4. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan tanah;
5. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan pemilikan tanah;
6. penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga merupakan subsistem dari system pembangunan;
7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan secara koordinatif;
8. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis dan sibernetik;
9. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.

Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.
__._,_.___
MODEL PERENCANAAN TATA GUNA TANAH

Sebelum dikeluarkannya PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, masalah model perencanaan penggunaan tanah masih merupakan masalah yang belum tuntas artinya masalahnya masih menjadi pembicaraan diantara para perencana pembangunan di Indonesia. Hal ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan penggunaan tanah yang dapat dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.

Adapun faktor-faktornya adalah:
1.UUPA sendiri hanya mengatur secara garis besarnya saja.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.

2.Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan dari rencana penggunaan tanah.

3.Selama ini pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan penataan wilayah termasuk penggunaan tanah yang diwarisi oleh Pemerintah Hindia Belanda.

Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah maka sudah ada aturan yang bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan menyelesaikan persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.
Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:

1.Model Zoning
Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha yang dilakukan.
Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago, dimana wilayah dibagi menjadi:
a.Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut “downtown”.
b.“The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan industri dan perdagangan.
c.“The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-pekerja kelas bawah.
d.“The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya
e.“The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.

Kebaikan dari model zoning adalah:
Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.

Kelemahan-kelemahannya adalah:
Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.
Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.
Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.

2.Model Terbuka
Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus diperhatikan antara lain:

a.Data kemampuan fisik tanah
Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS. Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.
Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi:
Wilayah tanah usaha terbatas.
Ketinggian 1000 m
Perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan tanah

b.Keadaan sosial ekonomi masyarakat
Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan pembangunan.

Keadaan lingkungan hidup.

Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan dengan ANDAL (analisa dampak lingkungan)
c.Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.

Prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam model terbuka:
a.Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.
b.Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan.
c.Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.

Kebaikan dari model terbuka:
a.Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.
b.Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.

Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3.Land Consolidation
Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana (pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa, sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.

Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah kesuburan serta dicegah kerusakannya.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.

Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Bertitik tolak dari definisi tersebut di atas maka ada beberapa elemen dari konsolidasi tanah, yaitu:
a. Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
b. Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;
c. Konsolidasi tanah bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam;
d. Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan pastisipasi aktif masyarakat.

Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sedangkan sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

Sedangkan pelaksanaan konsolidasi tanah diatur lebih lanjut dalam SE KBPN No. 410-4245/1991 tentang Petunjuk Pelaksnaan Konsolidasi Tanah. Dalam pont 2 SE ini dinyatakan bahwa Peningkatan yang demikian itu mengarah kepada tercapainya suatu tatanan penatagunaan dan penguasaan tanah yang tertib dan teratur. Sasaran konsolidasi tanah terutama ditujukan pada wilayah sebagai berikut:
a. Wilayah perkotaan;
1) Wilayah pemukiman kumuh;
2) Wilayah yang tumbuh pesat secara alami;
3) Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;
4) Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman yang baru;
5) Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan berkembang sebagai daerah pemukiman
b. Wilayah pedesaan
1) Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia jaringan irigasi;
2) Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum merata;
3) Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh pangadaan jaringan jalan yang memadai.

Pada point 3 SE KBPN No. 410-4245/1991 dinyatakan bahwa konsolidasi tanah meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Konsolidasi tanah perkotaan
1) Pemilihan lokasi;
2) Penyuluhan;
3) Penjajakan kesepakatan;
4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;
5) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;
6) Identifikasi subjek dan objek;
7) Pemetaan dan pengukuran keliling; 8) Pengukuran dan pemetaan rincian;
9) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;
10) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;
11) Pembuatan desain tata ruang;
12) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;
13) Pelepasan hak atas tanah oleh para peserta;
14) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;
15) Staking out/relokasi;
16) Konstruksi/pembentukan badab jalan dll;
17) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;
18) Sertifikat;
b. Konsolidasi tanah pedesaan
1) Pemilihan lokasi;
2) Penyuluhan;
3) Penjajakan kesepakatan;
4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;
5) Identifikasi subjek dan objek;
6) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;
7) Seleksi calon penerima hak 8) Pemetaan dan pengukuran kapling;
9) Pengukuran dan pemetaan rincian;
10) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;
11) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;
12) Pembuatan desain tata ruang;
13) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;
14) Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;
15) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;
16) Staking out/relokasi;
17) Konstruksi/pembentukan prasarana umum dll;
18) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;
19) Sertifikat;
Kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah diarahkan pada tertib penggunaan tanah tetapi juga diarahkan untuk melakukan penataan kembali bidang-bidang tanah tertentu.
ASAS-ASAS TATA GUNA TANAH

Perencanaan tata agraria harus didasarkan pada tiga prinsip:
1.Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use)
Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi beberapa kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.

2.Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production)
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang mendesak.
3.Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use)
Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.

Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata guna tanah yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah di daerah perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan. Berdasarkan penjelasan Pasal 13 ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang menjadi persyaratan penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah itu dijelaskan sebagai berikut:

Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning). Biasanya disingkat dengan LOSS.
1.Lestari
Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan berdampak pada:
a) Akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah.
b) Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya untuk mewarislan sumber daya alam kepada generasi yang akan datang.
Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family of which many member are dead, some are living and the large number still to the born. (jadi tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang).
2.Optimal
Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomis yang setinggi-tingginya.
3.Serasi dan seimbang
Suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-pihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah.

Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)
1.Aman
Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir, bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
2.Tertib
Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam lalu lintas, dan dalam hukum.
3.Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam komunikasi.
4.Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.

Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi, selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum (Pasal 2).
PENGERTIAN TATA GUNA TANAH

Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:

1.Tata Guna Tanah (land use planning)
2.Tata Guna Air (water use palnning)
3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)

Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa bahwa sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
1.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan, penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan negara.

2.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional.
Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan yang berlaku.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
a. Adanya serangkaian kegiatan.
Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan, penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam pelaksanaanya.
b. Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan seimbang.
c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.
Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang adil dan makmur.

3.Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional yang telah ditetapkan.

TUJUAN TATA GUNA TANAH

Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut:
1.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat.
Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.

2.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.
Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang akirnya akan timbul kerusakan tanah.

3.Mengusahakan adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat akan tanah.
Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan tanah.
Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah warga masyarakat.

4.Jaminan kepatian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan.

Berdasarkan ketentuan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah tujuan dari penatagunaan tanah ialah pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah bertujuan untuk:
a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW;
b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam RTRW;
c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;
d. menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.

KUASA-KUASA YANG ADA HUBUNGANNYA DENGAN KUASA MUTLAK, HAK TANGGUNGAN DAN IKATAN JUAL BELI



Beberapa waktu yang lalu orang telah menghebohkan tentang adanya suatu bentuk surat atau akte kuasa, yang mereka namakan “kuasa mutlak”. Yang mereka maksudkan dengan kuasa mutlak itu tidak lain dan tidak bukan ialah suatu bentuk kuasa yang tidak dapat dicabut kembali atau yang dalam bahasa Belanda disebut “onherroepelijke volmacht”.

Mengapa perlu dihebohkan oleh sebagian masyarakat terten-tu? Sebab kuasa yang mereka anggap tidak bila dicabut kembali itu sebenarnya sudah sama tuanya seperti usia KUH Perdata sendiri.

Untuk dapat mengetahui dan menilai apa sebenarnya kuasa mutlak atau onherroepelijke volmacht itu, maka kita harus kem¬bali kepada sejarah hukumnya.

Oleh karena yang erat hubungannya dengan kuasa mutlak itu ialah lembaga gadai dan hipotik, maka perlu ditinjau lebih dahulu sejarah mengenai kedua lembaga termaksud.

Schermer dalam bukunya “Ontwerpen van notariele akten” mengenai gadai dan hipotik menulis, bahwa hukum gadai atau pandrecht bukanlah suatu penemuan dari zaman sekarang. Sudah berabad-abad lamanya hukum gadai itu telah ada, meskipun dalam bentuk yang berbeda-beda, Asser dan van Heusde dalam bukunya bagian II halaman 285, yang disitir oleh Schermer memberitakan tentang itu sebagai berikut:

Dalam hukum Romawi, maka gadai mula-mula berbentuk penyerahan hak milik (eigendomsoverdracht) dengan ketentuan, bahwa kreditur harus menyerahkan kembali barang yang digadai-kan itu, apabila debitur telah membayar lunas utangnya. Selama utangnya belum dibayar lunas, maka barang yang digadaikan itu tetap menjadi milik kreditur, yang sebaliknya berhak juga untuk menyerahkan barang yang digadaikan itu kepada debitur¬nya, baik dalam bentuk perjanjian sewa-menyewa maupun per¬janjian pakai. Ini merupakan bentuk gadai yang pertama.

Dalam bentuk gadai yang kedua, maka yang diserahkan bukanlah hak miliknya, melainkan hak kekuasaannya (bezit).

Apabila utangnya telah dibayar lunas, maka krediturnya wajib menyerahkan kembali hak kekuasaanya itu kepada debitur.

Jikalau debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka krediturnya berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, agar supaya ia dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan barang tersebut. Dalam bentuk gadai yang kedua ini, masih ada kemungkinan, bahwa barang yang digadaikan itu tetap dipegang oleh debitur untuk dipakainya.

Bentuk gadai yang ketiga adalah hipotik. Dalam bentuk gadai semacam ini, maka baik hak milik maupun hak kekuasaan dari barang yang digadaikan itu tidak pindah kepada kreditur. Akan tetapi barang yang tetap dipegang oleh debitur itu, terikat kepada kreditur dengan suatu hak kebendaan atau zakelijk recht, hak kebendaan mana memberikan suatu kewenangan kepada kreditur untuk apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya menjual barang termaksud, agar supaya ia dapat menerima pem-bayaran dari hasil penjualan barang itu.

Perbedaan yang menonjol antara hak gadai dan hak hipotik seperti termaksud di atas ialah, bahwa dalam gadai hak kekuasaan (bezit) atas barang yang digadaikan pindah ke tangan kreditur, sedangkan dalam hipotik hak kekuasaan itu tidak pindah ke tangan kreditur. Yang terpenting ialah, bahwa kreditur berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, sedangkan untuk kedua hak itu, baik gadai maupun hipotik dapat diikatkan, baik barang-barang bergerak maupun barang-barang tidak bergerak.

Perlu diketahui, bahwa hukum Romawi adalah sumber dari Code Civil, sedangkan KUH Perdata yang dipakai di Indonesia asalnya dari KUH Perdata Belanda, yang seluruhnya mencontoh dari Code Civil.

Lambat lawn, maka keadaan menjadi berubah, sehingga gadai hanya dapat diterapkan atas barang-barang bergerak dan hipotik atas barang-barang tidak bergerak. Dan keadaan yang demikian itu terns berjalan sampai sekarang.

Dalam perkembangan selanjutnya, maka kreditur — peme-gang gadai menurut. pasal 1155 KUH Perdata berhak untuk — jikalau antara para pihak tidak diadakan perjanjian lain — setelah jangka waktu yang ditetapkan telah lewat, menjual barang yang digadaikan itu di muka umum dengan jalan pelelangan apabila debiturnya tidak memenuhi kewajibannya, agar supaya kreditur dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan itu. Dengan perkataan lain, kreditur-pemegang gadai dapat menjalankan hak, seakan-akan itu haknya sendiri untuk melakukan penjualan lelang, bebas dan lepas dari kehendak debitur yang menggadaikan barangnya.

Sebaliknya kepada kreditur — pemegang hipotik tidak diberikan hak seperti pemegang gadai, melainkan semua hanya diberikan kuasa biasa untuk menjual benda yang dihipotikkan, akan tetapi oleh karena kuasa semacam itu setiap waktu dapat dicabut kembali oleh debitur-pemberi hipotik, sehingga kreditur-pemegang hipotik dapat dirugikan oleh debitur-pemberi hipotik, maka kemudian kuasa itu ditetapkan sebagai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali seperti yang kita kenal sekarang dalam pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Akan tetapi kepada kreditur pemegang hipotik pertama diberikan kebebasan untuk pada waktu hipotiknya didaftarkan, secara tegas menyarat-kan, bahwa apabila utang pokoknya tidak dibayar dengan semesti¬nya atau bunga-bunganya yang terutang tidak dibayar, kreditur¬pemegang hipotik diberi kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, untuk menjual persil yang dihipotikkan itu di muka umum, agar supaya ia dapat menerima pembayaran dari hasil penjualan itu, baik utang pokok maupun bungs-bungs dan ongkos-ongkosnya.”

Kuasa mutlak inilah yang merupakan satu-satunya yang ada dalam KUH Perdata berdasarkan suatu ketentuan dalam Undang¬undang, sedangkan kuasa mutlak yang lain hanya merupakan produk yang keluar dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak.

Mengenai kuasa mutlak eks pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata itu sendiri sebenarnya sudah lama, bahkan sampai sekarang masih banyak terdapat perbedaan pendapat.

Hoge Raad Belanda sendiri dalam rentetan keputusan-keputusan mengenai hal itu menganut doktrin “mandaats-leer” atau “mandaats-theorie” yang berarti, bahwa kreditur-pemegang hipotik, yang menjual benda yang dihipotikkan itu berdasarkan pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata bertindak sebagai kuasa dari pemilik-pemberi hipotik.

Sebaliknya Majelis-majelis Hakim (Rechtscolleges) Belanda lainnya dan yang terbanyak dari Sarjana Hukum yang berwibawa (gezaghebbende rechtsgeleerden) berpendapat, bahwa kewenangan yang diberikan oleh pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata memberikan hak pribadi (eigen recht) kepada kreditur sedemikian rupa, sehing¬ga jikalau ia menggunakan kewenangan itu ia bertindak untuk diri sendiri, sedangkan penjualan yang ia lakukan merupakan suatu eksekusi yang disederhanakan dengan biaya yang murah, yang disebut “executivetheorie”.

Kedua doktrin tersebut masing-masing mempunyai untung ruginya.

Apabila kreditur-pemegang hipotik menjual benda yang dihipotikkan sebagai kuasa dari debitur-pemberi hipotik, maka yang dianggap menjadi penjualnya adalah debitur-pemberi hipotik, sehingga ia antara lain harus menjamin (vrijwaren) pembelinya mengenai cacad-cacad yang tidak kelihatan dan lain sebagainya sesuai dengan pasal 1491 KUH Perdata, yang berbunyi:

“Jaminan yang harus diberikan oleh penjual kepada pembeli mempunyai dua tujuan, yaitu yang pertama, penguasaan benda yang dijualnya itu dengan tenang dan damai; yang kedua, cacad-cacad yang tidak kelihatan dan lain sebagainya dari benda yang dijualnya itu dan yang dapat mengakibatkan batalnya jual-beli termaksud”.

Pokoknya dalam hal yang demikian itu akan berlaku segala ketentuan-ketentuan mengenai perjanjian jual-beli biasa menurut pasal 1492 dan selanjutnya dari KUH Perdata.

Akan tetapi apabila kreditur-pemegang hipotik melakukan penjualan dengan kewenangan yang didasarkan atas pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata sebagai eksekusi yang disederhanakan, maka akibat hukumnya akan lain sekali daripada yang pertama.

Sebab kreditur-pemegang hipotik tidak menjualnya sebagai kuasa dari debitur-pemberi hipotik, akan tetapi atas nama sendiri, sehingga penjualan itu hampir sama seperti penjualan yang dilaku¬kan berdasar keputusan Hakim.

Dalam penjualan semacam itu, baik kreditur-pemegang hipotik maupun debitur-pemberi hipotik tidak perlu menanggung apapun juga terhadap pembelinya, sedangkan pembersihan atau zuivering dapat dilakukan juga, apabila jumlah hasil penjualannya tidak mencukupi untuk membayar jumlah utangnya.

Setelah kita mengikuti uraian yang termaksud di atas, maka kita sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa kuasa yang tidak dapat dicabut kembali yang didasarkan atas Undang-undang itu SEBENARNYA tidak ada, sebab satu-satunya saja yang ada seperti tercantum dalam pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata, oleh Majelis-majelis Hakim Belanda kecuali Hoge Raad — dan yang terbanyak dari para Sarjana Hukum yang berwibawa dianggap bukan sebagai kuasa, melainkan sebagai pemberian hak pribadi untuk menjual benda yang dihipotikkan.

Perlu diketahui, bahwa kuasa yang termaksud dalam pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata semula berasal dari Hukum kuno, ialah dari apa yang disebut “procuratio in rem suam”, yaitu suatu kuasa yang menurut kebiasaan diberikan oleh debitur kepada —dan untuk kepentingan kreditur pribadi untuk — jika debitur tidak membayar utangnya menjual benda yang ditanggungkan itu.

Lalu bagaimana selanjutnya dengan kesimpulan termaksud, bahwa KUH Perdata sebenarnya tidak mengenai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, seperti halnya dengan Code Civil, yang menurut Rijke, seorang penulis terkernuka, juga tidak menge¬nai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali.

Menurut Asser-Kamphuisen, maka para pihak dapat menentu¬kan, bahwa suatu kuasa tidak dapat dicabut kembali. Pasal 1814 KUH Perdata yang berbunyi: “Pemberi kuasa dapat mencabut kembali kuasanya, jika hal itu dianggap perlu olehnya dan apabila ada alasan untuk itu menuntut kepada pemegang kuasa untuk mengembalikan akta kuasanya yang dipegang oleh pemegang kuasa”, merupakan ketentuan yang bebas dan tidak mengikat, sehingga para pihak dapat membuat perjanjian tentang kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, seperti telah disinggung di atas.

Adapun perjanjian-perjanjian yang biasanya membutuhkan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali itu, ialah misalnya:

I. Perjanjian kredit notariil dengan tanggungan hipotik disertai pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada kreditur untuk memasang hipotik itu dengan jalan membuat akta PPAT untuk hipotik.

Sebelum berlakunya Undang-undang Pokok Agraria dalam tahun 1960, maka seorang peminjam dapat memberi¬kan (verlenen) hipotik kepada krediturnya dalam akta kreditnya atau akta obligasinya dengan pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk mendaftarkan (vestigen) hipotik itu di Kantor Agraria dahulu Kantor Kadaster.

Baik dalam akta kreditnya yang dibuat oleh notaris maupun dalam akta pemasangan hipotik yang dibuat oleh Kantor Kadaster, terutama ketentuan-ketentuan yang ter-cantum dalam pasal 1178, 1185 dan 1210 KUH Perdata dan pasal 297 KURD harus dicantumkan.

Ada perbedaan yang prinsipiil antara kuasa yang tidak dapat dicabut kembali yang diberikAn oleh debitur untuk mendaftarkan hipotik itu dan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali yang tercantum dalam akta pendaftaran hipotik yang dibuat oleh Kantor Kadaster dan yang didasarkan atas pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata.

Kedua kuasa itu meskipun kedua-duanya tidak dapat dicabut kembali, namun hanya yang didasarkan atas pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata saja yang benar-benar berdasarkan ketentuan Undang-undang, yaitu pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata, tidak dapat dicabut kembali, sedangkan kuasa yang diberikan dalam akta obligasinya untuk mendaftarkan hipotiknya bila dicabut kembali, meskipun kuasa itu diberi¬kan dengan syarat tidak dapat dicabut kembali.

Setelah berlakunya UUPA, maka pemberian hipotik dan pendaftaran-atau pemasangannya dapat dilakukan dalam satu akta hipotik yang dibuat oleh PPAT.

Dengan adanya akta hipotik PPAT itu, maka disebutkan dalam akta termaksud, bahwa kreditur telah mendapatkan hipotik atas tanah-tanah yang dihipotikkan. Akan tetapi selama akta hipotik PPAT itu setelah dimasukkan ke Kantor Agraria belum diproses oleh Kantor Agraria tersebut sedemi¬kian rupa, sehingga dapat dikeluarkan sertifikat hipotiknya, maka pemasangan hipotik itu baru berlaku antara para pihak secara intern dan belum berlaku secara ekstern terhadap pihak ketiga (derden).

Keadaan yang demikian itu dapat menimbulkan masalah hukum yang cukup pelik.

Misalnya, jikalau berdasarkan keputusan Hakim benda yang dihipotikkan itu disita konservatoir atau executoriaal, apakah hipotik yang didapat oleh kreditur berdasarkan akta hipotik PPAT yang belum dilengkapi dengan sertifikat hipotiknya dapat menangkis penyitaan itu, sedemikian rupa, sehingga kreditur dapat menjalankan haknya dengan penuh sebagai pemegang hipotik dengan menganggap seakan-akan penyitaan itu tidak ada?

Apabila kita membandingkan cara-cara pemberian hipotik dan pendaftarannya menurut peraturan yang lama sebelum berlakunya UUPA, maka says cenderung untuk mengatakan, bahwa pemegang hipotik yang surat-suratnya belum lengkap itu, tidak dapat menjalankan haknya dengan penuh sebagai pemegang hipotik tanpa cacat.

Menurut peraturan yang lama mengenai pemberian dan pendaftaran hipotik, maka meskipun sudah ada akta obligasinya secara notariil dengan pemberian (verlenen) hipotik, namun jikalau pendaftarannya (vestiging) di Kantor Kadaster belum selesai, maka hak hipotiknya juga belum dianggap sempurna, sehingga jikalau tanah yang dihipotikkan itu disita, maka hipotiknya juga tidak bila didaftarkan.

Keadaan yang demikian itu mungkin sama saja dengan keadaan sekarang. Apabila ada penyitaan atas benda yang dihipotikkan sedangkan Kantor Agraria belum dapat menyelesaikan pembuatan sertifikat hipotiknya, maka BIASANYA Kantor Agraria akan menganggap, bahwa terjadi sengketa atau perselisihan mengenai tanah yang bersangkutan, yang tidak memungkinkan dibuatnya sertifikat hipotik itu sampai sengketa atau perselisihan itu terselesaikan, sama halnya dengan masalah tanah yang telah dijual dengan akta PPAT dan harus didaftarkan atas nama pembelinya.

Apabila tanah itu disita, maka pendaftaran tanah itu atas nama pembelinya juga tidak mungkin dilaksanakan, sebelum sits itu dihapus.

Pasal 22 ayat 1 Peraturan Pemerintah no. 10 tahun 1961 berbunyi sebagai berikut:

“Mengenai tanah yang sudah dibukukan, maka Pejabat dapat menolak permintaan untuk membuat akta sebagai yang dimaksud dalam pasal 19, jika:

a. permintaan itu tidak disertai dengan sertifikat tanah yang bersangkutan;

b. tanah yang menjadi obyek perjanjian ternyata masih dalam perselisihan;

c. tidak disertai surat tanda bukti pembayaran biaya pendaftarannya.”

Terhadap ketentuan sub b, yaitu jika “tanah yang menjadi obyek ternyata masih dalam perselisihan”, umumnya PPAT-Notaris. cukup mengerti untuk memberikan penilaian kepada kata “perselisihan” itu menurut hukumnya, ialah jika terhadap tanah itu diajukan gugatan di muka Pengadilan Negeri, baik dengan disertai penyitaan konservatoir atau tidak.

Apabila Kantor Agraria dalam melaksanakan pembalik¬an nama tanah atau pendaftaran hipotik menerapkan ketentuan sub b dari pasal 22 termaksud sesuai dengan tafsiran atau interpretasi dari para PPAT-notaris, maka hal itu tidak menimbulkan masalah.

Akan tetapi dalam prakteknya, suatu proses pembalikan nama tanah atau pendaftaran hipotik dapat ditangguhkan oleh Kantor Agraria, apabila Kantor Agraria menerima surat pengaduan dari seseorang, yang hanya menerangkan tanpa pembuktian lebih lanjut tentang adanya proses di muka Pengadilan Negeri, bahwa tanah yang akan dibalik nama atau dihipotikkan itu masih terlibat perselisihan atau sengketa, maka pembalikan namanya atau pendaftaran hipotiknya bisa ditangguhkan atau tertunda sampai terselesaikannya perselisihan atau sengketa tersebut, hal mana perlu diusaha¬kan untuk mendapatkan penjelasan atau clearance dari instansi yang berwenang mengenai kriteria tentang pengertian perselisihan atau sengketa yang dimaksud, oleh karena keadaan yang demikian itu telah mengakibatkan banyak kerugian yang tidak ternilai bagi para yang berkepentingan.

II. Perjanjian gadai, di mana yang digadaikan suatu penagihan utang (schuldvordering), maka debitur-pemberi gadai harus memberikan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada kreditur-pemegang gadai untuk dapat mints pembayaran dari penagihan utang yang digadaikan itu. Juga dalam hal fiduciaire eigendomsoverdracht yang meliputi sebuah perusa¬haan, maka kreditur perlu mendapatkan kuasa yang sama untuk dapat menagih segala penagihan-penagihan yang kemudian akan didapat oleh perusahaan yang difiduciakan itu.

III. Perjanjian kredit dengan tanggungan rumah tanpa tanah, di mana debitur memberikan kuasa yang tidak dapat dicabut kembali kepada kreditur untuk — jikalau debitur tidak membayar utangnya menjual rumah itu.

Kuasa-kuasa yang termaksud di sebelah angka I, II dan III termaksud biasanya dalam aktanya masing-masing ditetapkan sebagai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, yaitu sebagai syarat mutlak dan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari per¬janjian yang dibuat oleh para pihak dan yang tidak akan dilangsungkan tanpa adanya kekuasaan itu dengan melepaskan aturan-aturan hukum yang menentukan tentang berhentinya sesuatu kekuasaan.

Oleh karena kuasa-kuasa itu diberikan kepada dan untuk kepentingan kreditur pribadi, maka kuasa-kuasa yang demikian itu mempunyai sumber yang sama seperti pasal 1178 ayat 2 KUH Perdata, yaitu “procuratio in rem suatu” seperti disinggung di atas.

Dengan demikian, maka kuasa termaksud dianggap tidak batal oleh karena terjadinya hal-hal yang termaksud dalam pasal 1813 KUH Perdata.

Raad van Justitie Semarang dalam keputusannya tgl. 4 September 1936 (Lihat Indisch Tijdschrift van het Recht, bagian 146 tahun 1937), mengenai pasal 1813 KUH Perdata menetapkan, bahwa :

“Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk menjual, apabila debitur yang telah meninggal dunia tidak memenuhi kewajibannya terhadap kreditur-pemegang kuasa, merupakan kuasa yang diberikan untuk keuntungan kreditur-pemegang kuasa, sehingga kreditur itu mendapatkan suatu hak pribadi untuk melakukan perbuatan hukum, untuk mana ia telah dikuasa¬kan, sedangkan kuasa itu tidak batal oleh karena terjadinya hal-hal yang mengakibatkan berhentinya suatu kuasa”.

Dengan adanya keputusan Raad van Justitie tersebut, maka kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Raad van Justitie Semarang tidak mengikuti jejak Hoge Raad Belanda, yang menerapkan theori mandaat atau mandaatsleer, melainkan justru menerapkan theori eksekusi yang disederhanakan, seperti yang dianut oleh Majelis-majelis Hakim Belanda — kecuali Hoge Raad —dan para Sarjana Hukum yang berwibawa.

Meskipun demikian keadaannya, namun baik theori maan¬daat maupun theori eksekusi sampai sekarang masih mempunyai pendukungnya masing-masing.

Untuk menjaga agar supaya pihak yang diberi kuasa tidak menderita kerugian, apabila penafsiran doktrin termaksud tidak menguntungkannya, maka dalam praktek kenotariatan sebaiknya harus ditempuh jalan yang lebih aman.

Kuasa-kuasa yang semacam itu perlu disertai suatu perjanjian, bahwa apabila pemberi kuasa mencabut kembali kuasanya atau meninggal dunia dan para ahliwarisnya tidak bersedia memberikan kuasa baru, pemberi kuasa diwajibkan membayar kerugian kepada pemegang kuasa menurut kebutuhan.

Pasal 56 ayat 1 Peraturan Kepailitan (Faillissements verordening menyebutkan, bahwa kreditur pemegang hipotik, yang membuat ketentuan seperti termaksud dalam pasal 1178 KUH Perdata dan kreditur pemegang gadai dapat menjalankan hak-hak¬nya seperti kepailitan itu tidak ada.

Dengan adanya ketentuan itu, maka dengan menggunakan tafsir hukum secara “a contrario”, kuasa-kuasa yang lain, meskipun diberikan dengan syarat tidak dapat dicabut kembali, akan batal, apabila pemberi kuasanya jatuh pailit.

Hoge Raad Belanda dalam keputusannya tgl. 4 Mei 1933 N.J. 1933, 963 disitir oleh Pitlo dalam bukunya “Het verbintenissenrecht” menetapkan, bahwa, kuasa yang diberikan oleh seorang wanita dengan syarat tidak dapat dicabut kembali, menjadi batal juga, apabila wanita itu kemudian menikah, sehingga kedudukan-nya pindah dari ‘berhak bertindak” (bekwaam) menjadi “tidak berhak bertindak” (onbekwaam), oleh karena ketentuan itu sifatnya memaksa. (dwingend).

Apabila kita menggunakan tafsir hukum secara ‘analogie’, maka kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, yang diberikan oleh seorang yang kemudian ditaruh di bawah kuratele, menjadi batal juga, oleh karena “pemberi kuasanya” mengalami perubahan status, yaitu dari semula “berhak bertindak” menjadi “tidak berhak bertindak”.

3. Sesuai dengan kenyataannya, baik ditinjau dari segi peraturan/pengaturannya leasing ini bahkan suatu waktu merasakan bahwa dalam beberapa segi kita ketinggalan dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Padahal justru itu, ilmu. pengetahuan itu, yang kita gumuli setiap hari dalam menjalankan tugas kita sehari-hari. Kita kejar dan kita atasi dan kemudian akhirnya kita kuasai ilmu pengetahuan itu.

Meskipun demikian keadaannya, namun baik theori maan¬daat maupun theori eksekusi sampai sekarang masih mempunyai pendukungnya oleha karena “pemberi kuasanya” mengalami perubahan status yaitu dari semula “berhak bertindak” menjadi “tidak berhak bertindak”.

Perlu diperhatikan, bahwa pada prinsipnya tiap kuasa dapat dicabut kembali, sehingga hak untuk mencabutnya tidak dapat ditiadakan oleh suatu perjanjian atau ketentuan, yang dibuat oleh para pihak.

Memang, suatu kuasa secara materialnya tidak boleh dicabut kembali, yang berarti, bahwa pemberi kuasa terikat untuk tidak mencabutnya, namun secara formal kuasa itu boleh dicabut kembali, asal saja dengan membayar kerugian, apabila hal itu dituntut, sesuai dengan ketentuan, yang ditetapkan dalam pasal 1242 KUH Perdata, yang menetapkan, bahwa apabila ikatan yang dibuat itu terdiri dari sesuatu yang tidak akan dilakukan, maka yang melanggarnya hanya oleh karena ia melanggar wajib memba-yar ongkos-ongkos, ganti rugi dan bunga-bunganya.

Berhubung dengan apa yang diuraikan di atas mungkin ada baiknya untuk merenungkan lebih lanjut tentang adanya kuasa-kuasa yang akhir-akhir ini banyak dibuat oleh para notaris, yang hanya ditandatangani oleh pemberi kuasanya saja, tanpa hadirnya pemegang kuasa, misalnya kuasa-kuasa untuk mengurus, menjual, menghipotikkan atau menyewakan sebidang atau dua bidang tanah beserta bangunan-bangunannya yang menjadi milik pemberi kuasa.

Dalam kuasa semacam itu biasanya disebutkan, bahwa kuasa tersebut tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir dengan terjadinya hal-hal yang termaksud dalam pasal 1813 KUH Perdata.

Sulit kiranya untuk dapat menentukan, apakah kuasa yang semacam itu dapat dikategorikan sebagai kuasa yang diberikan kepada dan untuk kepentingan pemegang kuasa, oleh karena kuasa semacam itu seharusnya tidak berdiri sendiri, melainkan seperti diuraikan di atas harus disertai dengan perjanjian pemberi¬an tugas atau “overeenkomst van lastgeving”, agar supaya kuasa itu merupakan kuasa dengan pemberian tugas atau “volmacht met lastgeving”, sehingga dapat didasarkan atas doktrin hukum “procuratio in rem suam” termaksud.

Akhirnya dengan adanya uraian di atas mengenai kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, maka kuasa itu dengan mudah dapat digunakan juga untuk perjanjian pengikatan jual-beli atau perjanjian yang serupa itu seperti misalnya perjanjian opsi.

Dekian sekelumit tentang Kuasa, Semoga bermanfaat.