Rabu, 23 Februari 2011

PERAN NOTARIS DALAM KAITAN DENGAN PIUTANG DAN LELANG NEGARA



Dari Tugas dan kewenangan Notaris secara explicit dapat diketahui bahwa Notaris dapat berperan sebagai pejabat umum pembuat akta otentik yaitu dalam pembutan akta Perjanjian Kredit dimana dalam akta tersebut juga menyebutkan tentang jaminan, Tanggungan atau agunan. Sehingga apabila Debitur terbukti melakukan dan telah terjadi wanprestasi maka Kreditur dapat melakukan upaya paksa guna pelunasan piutangnya yang antara lain dengan menyerahkan penyelesaian pelunasan Kredit tersebut melalui antor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara  selanjutnya dalam tuilisan ini disebut/disingkat KP2LN setempat.

Berdasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris Pasal 15 ayat (2) huruf (g) menyebutkan bahwa wewenang Notaris sebagai Pejabat Umum dapat membuat Akta Risalah Lelang junto Keputusan Menteri Keuangan Nomor 305/KMK.01/2002 tentang Pejabat Lelang khususnya yang dimuat dalam Pasal 4 menyebutkan bahwa Notaris dapat menjadi pejabat lelang kelas II.

Oleh karena itu perlu penelitian mengenai peranan Notaris sebagai pembuat akta Perjanjian Kredit dalam kaitannya dengan KP2LN dan hambatan-hambatan serta upaya-upaya apa saja yang dilakukan dalam mengatasi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan peranan Notaris dalam kaitan dengan KP2LN.

Untuk menjawab hal tersebut, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis sosiologis, yaitu : pendekatan terhadap masalah dengan cara melihat dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kenyataan yang terjadi dilapangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang mendukung terlaksananya peranan Notaris dalam kaitan dengan KP2LN. Penelitian ini didukung oleh data primer yang diperoleh dari studi iapangan dengan alat pengumpulan data pedornan wawancara dan pengamatan, dan data sekunder dari studi kepustakaan. Kemudian keseluruhan data diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis, sistematis dengan menggunakan metode induktif dan deduktif.

Berdasarkan penelitian dengan menggunakan metode tersebut di atas dapaty diambil kesimpulan bahwa peranan Notaris dalam kaitan dengan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara sebagai berikut

1.      Peranan Notaris pada tahap pengikatan jaminan yaitu notaris berperan dalam pembuatan akta perjanjian kredit yang didalamnya berisikan jaminan atau agunan yang dijaminkan kepada bank.

2.      Peranan Notaris pada tahap pengurusan piutang negara yaitu notaris berperan dalam pembutan akta perjanjian kredit, jika perjanjian kredit perlu di legalisir/disahkan oleh notaris.

3.      Peranan Notaris pada Tahap Pasca Lelang yaitu notaris berperan dalam pembutan akta surat kuasa, jika pembeli/peminat lelang tidak dapat hadir dalam lelang. Akhirnya disarankan agar pemerintah mengoptimalkan upaya hukum agar notaris dapat berperan sebagai pembut akta risalah lelang dan sebagai pejabat lelang kelas II, dengan segera menyelenggarakan latihan dan pendidikan bagi notaries sehingga dapat memahami akan tugas dan wewenang sebagai pejabat Ielang kelas II.

Sabtu, 19 Februari 2011

PENEGAKAN HUKUM DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA


PENEGAKAN HUKUM DAN
TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK[1]
Oleh: Moh. Mahfud MD[2]

Hukum dan Pemerintahan dalam Kehidupan Bernegara
Di era modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya dipahami sebagai hasil bentukan masyarakat melalui proses perjanjian sosial antara warga masyarakat. Keberadaan negara menjadi kebutuhan bersama untuk melindungi dan memenuhi hak-hak individu warga negara serta menjaga tertib kehidupan sosial bersama. Kebutuhan tersebut dalam proses perjanjian sosial termanifestasi menjadi cita-cita atau tujuan nasional yang hendak dicapai sekaligus menjadi perekat antara berbagai komponen bangsa. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan tersebut, disepakati pula dasar-dasar organisasi dan penyelenggaraan negara. Kesepakatan tersebutlah yang menjadi pilar dari konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh William G. Andrew bahwa terdapat tiga elemen kesepakatan dalam kontitusi, yaitu (1) tentang tujuan dan nilai bersama dalam kehidupan berbangsa (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government); (2) tentang aturan dasar sebagai landasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan (the basis of government); dan (3) tentang institusi dan prosedur penyelenggaraan negara (the form of institutions and procedure).[3]
Agar negara yang dibentuk dan diselenggarakan dapat berjalan untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasional, dibentuklah organisasi negara yang terdiri dari berbagai lembaga negara, yang biasanya dibedakan menjadi cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian, saat ini organisasi negara telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sesuai dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pelayanan kepada masyarakat, kelembagaan dalam organisasi negara berkembang sedemikian rupa baik dari sisi jumlah, maupun dari sisi jenis wewenang yang dimiliki. Untuk menangani urusan Pemilihan Umum misalnya, sesuai dengan proses demokratisasi tidak lagi dapat diserahkan kepada pemerintah, tetapi harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri. KPU sebagai penyelenggara Pemilu tentu tidak dapat disebut sebagai lembaga eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.
Setiap lembaga negara memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksudkan agar negara dapat memenuhi tugas yang menjadi alasan pembentukannya, serta untuk mewujudkan tujuan nasional. Dalam sistem komputerisasi, organisasi negara dapat diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware) yang bekerja menjalankan roda organisasi negara.
Untuk menjamin kekuasaan yang dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats maupun rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (soft ware) yang mengarahkan, membatasi, serta mengontrol penyelenggaraan negara.

Tujuan Hukum dan Pemerintahan
Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.
Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum positif.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Namun demikian antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.
Di sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara. Di samping untuk menegakkan keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering. Dalam konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan nasional di atas tentu saja juga harus menjadi tujuan penyelenggaraan pemerintahan karena pada hakikatnya organisasi negara penyelenggara pemerintahan dibentuk untuk mencapai tujuan dimaksud. Tujuan nasional tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi, wewenang, dan program dari setiap organisasi penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian antara tujuan hukum dan tujuan pemerintahan berjalan beriringan. Hukum menjadi piranti lunak yang mengarahkan pencapaian tujuan nasional, sedangkan pemerintahan yang menggerakkan agar tujuan tersebut dapat dicapai.

Hubungan Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik
Walaupun organisasi negara pada hakikatnya dibentuk untuk melindungi hak warga negara dan mencapai tujuan nasional yang disepakati bersama, namun dalam sejarah perkembangan negara banyak terjadi penyimpangan. Organisasi negara yang menyelenggarakan pemerintahan, terutama eksekutif, seringkali menjadi organisasi yang memiliki kepentingan sendiri dan melalaikan bahkan menindas kepentingan warga negara. Hal itu telah dialami oleh bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru hingga lahirnya reformasi. Hukum yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengarahkan, membatasi dan mengontrol pemerintahan, justru menjadi legitimasi atau pembenar bagi tindakan negara yang melanggar hak warga negara serta mengkhianati pencapaian tujuan nasional.
Bersamaan dengan datangnya era reformasi, tuntutan perubahan penyelenggaraan pemerintahan pun menguat. Organisasi pemerintahan yang korup, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus diubah dan dikembalikan kepada jati diri pembentukannya, yaitu untuk melindungi dan memenuhi hak dan kepentingan rakyat serta untuk mencapai tujuan nasional. Prinsip-prinsip negara hukum dan pemerintahan yang demokratis menjadi arus utama reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang melahirkan paradigma baru yang dikenal dengan istilah good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik.
Tugas dan fungsi pemerintahan didefinisikan kembali untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada negara melalui pemilahan tugas-tugas yang lebih tepat ditangani pemerintah dengan tugas-tugas yang sewajarnya diserahkan kepada pasar dan masyarakat sipil. Tujuan dari upaya tersebut adalah: (a) mendudukan peran pemerintah lebih sebagai katalisator, regulator, fasilitator, pengarah, pembina, dan pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan, (b) perlindungan HAM dan pelaksanaan demokrasi, (c) pemerataan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan, dan (d) penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin kepastian hukum, keterbukaan, profesionalitas dan akuntabilitas.[4]
Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menyebutkan 10 prinsip yang harus dilaksanakan, yaitu:
  1. Partisipasi, menjamin kerjasama dan partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
  2. Penegakan Hukum, dilaksanakan secara konsekuen, konsisten, memperhatikan HAM, termasuk pemberian insentif.
  3. Transparansi, informasi yang terbuka bagi setiap pihak untuk setiap tahap pemerintahan.
  4. Daya tanggap, respon yang tepat dan cepat terhadap permasalahan atau perubahan yang terjadi.
  5. Kesetaraan, persamaan kedudukan bagi warga negara tanpa diskriminasi.
  6. Visi strategis, tersedianya kebijakan dan rencana yang terpadu serta jangka panjang.
  7. Efisiensi dalam penggunaan sumber daya.
  8. Profesionalisme, ketrampilan dan komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik.
  9. Akuntabilitas, bertanggungjawab kepada publik atas keputusan dan tindakan penyelenggara.
  10. Pengawasan, tersedianya pengawasan yang efektif dengan keterlibatan masyarakat.

Terdapat empat syarat untuk menciptakan “good governance”, yaitu: Pertama, menciptakan efisiensi dalam manajemen sektor publik dengan memperkenalkan model-model pengelolaan perusahaan di lingkungan administrasi pemerintahan, melakukan kontrak-kontrak dengan pihak swasta atau NGOs untuk menggantikan fungsi yang ditangani pemerintahan sebelumnya, dan melakukan desentralisasi administrasi pemerintahan; Kedua, menciptakan akuntabilitas publik, dalam arti apa yang dilakukan oleh pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik; Ketiga, tersedianya infrastruktur hukum yang memadai dan sejalan dengan aspirasi masyarakat dalam rangka menjamin kepastian sistem pengelolaan pemerintahan; Keempat, adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap instrumen hukum dan berbagai kebijakan pemerintah; Kelima, adanya transparansi dari berbagai kebijakan mulai dari proses perencanaan hingga evaluasi sebagai pelaksanaan hak dari masyarakat (rights to information).[5]
Sesuai dengan konstruksi hubungan antara hukum dan penyelenggaraan pemerintahan, maka terwujudnya penegakan hukum dengan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik pun berkaitan erat. Penegakan hukum hanya dapat dilakukan apabila lembaga penegak hukum dan peradilan menerapkan prinsip good governance. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa good governance tidak hanya perlu diterapkan pada cabang kekuasaan eksekutif, tetapi termasuk juga pada cabang kekuasaan yudikatif dan lembaga penegak hukum. Suramnya dunia hukum kita saat ini salah satu faktornya adalah belum diterapkannya good governance. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan pengawasan sebagai inti dari good governance belum berjalan dengan baik di institusi penegak hukum dan lembaga peradilan. Dalam kondisi yang demikian, hukum masih sangat berpotensi untuk disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan dan kekayaan orang perorang sembari mengesampingkan aspek keadilan sebagai tujuan hukum serta menelantarkan upaya pencapaian tujuan nasional.
Di sisi lain, sesuai dengan prinsip negara hukum, maka prinsip-prinsip good governance hanya mungkin terwujud dan terlaksana apabila diterjemahkan dalam aturan hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan dan ditegakkan dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain, good governance hanya mungkin terwujud jika penegakan hukum dilakukan, khususnya hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law of the Constitution. Tenth Edition. London: Macmillan Education LTD, 1959.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik. Jakarta 2005,
Laode Ida. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, Dan Clean Governement. Jakarta: PSPK, 2002.
Moh. Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.
_______________ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007.
Prakash, Aseem and Jeffrey A. Hart (eds.). Globalization And Governance. London and New York: Routledge, 2000.


[1] Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 12 – 13.
[4] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik, Jakarta 2005, hal. 2
[5] Laode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, Dan Clean Governement, (Jakarta; PSPK, 2002), hal. 41-42.

TINJAUAN UU NO 32 TAHUN 2004 DIHUBUNGKAN DENGAN ASAS OTONOMI DAERAH


 A. Pendahuluan
Pemerintah daerah yang selanjutnya menjadi pembeda dari pemerintah pusat adalah penyelenggara urusan pemerintahan yang dilakukan oleh perintah daerah dan DPRD menurt asas otonomi dan tugas pembantu dengan prinsip otonomi seluas-luasnya Dalam sistem dan prinsip negara kesatuan seperti yang disebutkan dalam UUD 1945, Asas otonomi dan tugas pembantu kelahiranya memiliki makna tersendiri, yaitu makna yang dilahirkan dari sejarah pembentukan karakter bernegara di Indonesia. Pemebentukan karakter tersebut bisa dilihat dari naik turunya tensi penggunaan prinsip otonomi daerah . Mahfud MD mengatakan Otonomi daerah berkembang seiring dengan konfigurasi politik yang ada di Indonesi. Beliau membagi perkembangan otonomi daerah menajadi tiga fase:
Fase antara tahun 1945-1959 yaitu otonomi daerah dalam bingkai demokrasiliberal.
Fase antara tahun 1959-1966 yaitu otonomi daerah dalam bingkai demokrasi terpimpin.
Fase antara tahun 1959-1998 yaitu otonomi daerah dalam bingkai ordebaru..
Bagi penulis pandangan mahfud tersebut harus ditambah sedikit lagi, yaitu dengan dimasukkanya kosfigurasi olitik otonomi daerah orde reformasi yang terjadi pada tahun 1998-sampai sekarang. Dari ke emepat periode yang terjadi periode pertama sampai ke tiga saya kira sudah tidak perlu dibahas kembali mengingat ketiga periode tersebut telah berlalu. Pembahasan kali akan lebih ditekankan pada periode terakhir yaitu orde reformasi. Pada periode ini telihat banyak sekali prinsip-prinsip otonomi daerah yang pada awalnya belum ada kemudian dimunculkan kepermukaan. Prinsip prinsip tersebut antara lain diterimanaya asas otonomi dan tugas pembantu dalam melaksakan pemerintahan daerah dalam UUD 1945 hasil amandemen. Didimasukkanya asas dekonsentrasi dalam UU yang baru menyangkut persoalan daerah.
Perubahan format otonomi tersebut tidak sepenuhnya membawa berkah bagi masyaratak daerah, akan tetapi banyak persoalan yang muncul kemudian akibat ditemanya asas tersebut. Ini terbukti sejak reformasi hingga sekarang terjadi dua kali perubahan dalam peraturan yang mengatur otonomi daerah, yaitu UU No 22 1999 diubah dengan UU No 32 tahun 2004. Dalam rangka untuk kajian masalah tersebut maka tulisan ini dimunculkan

B. Pembahasan
1. Asas Dekonsentrasi
Indonesia sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 UUD 1945 dinyatakan bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik dan sekaligus Bentuk Negara kesatuan adalah bentuk negara yang bersifat final yang diharapkan oleh rakyat Indonesia secara menyeluruh, disamping bentuk-bentuk Negara alternatif lain. Hal ini diatur secara rigit dalam pasal 37 ayat 5 UUD 19451. Hubungan yang muncul dalam Negara kesatuan adalah hubungan yang bersifat hirarkis-vertical antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota. Sehingga, otonomi daerah yang yang dilaksanakan tidak boleh keluar dari pakem tersebut.
Agar tidak keluar dari pakem maka otonomi daerah menganut asas dekonsentrasi. Asas Dekonsentrasi ini mengandung pengertian pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. Jadi gubernur adalah sebagai mandatris pemerintah pusat untuk melaksanakan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yang diberikan. Sehingga kekuasaan memberikan dan mencabut tugas dan fungsi tetap berada dipemerintah pusat. Akan tetapi kemudian asas ini menjadi tidak berfungsi karena terjadinya pembagian urusan yang diatur kemudian dalam UU No 32 tahun 2004.
Pembagian urusan tersebut bisa dilihat dari bab III pasal 10 UU No 32 tahun 2004. klausa yang ada dalam pasal 1 tersebut mengatakan bahwa Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. Kemudia pada pasal selanjutnya Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Dari klausa “Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah”. Secara substansial klausa ini mengatakan bahwa kwenangan yang dimiliki pemerintah pusat dan pemerintah daerah sudah diatur secara jelas dan rigid. Pembagian tersebut memang terbukti demikian dengan meninjau pasal selanjutnya maka akan terlihat betapa kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah menjadi sejajar dalam mengelelola daerah. Pasal 10 ayat 4 megatur kewenangan pemerintah pusat tersebut sebagai berikut:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.
Dan kewenangan pemerintah diluar 6 poin tersebut dilaksanakan dengan ,
a.menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan;
b.melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil Pemerintah; atau
c.menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan.
Sedangkan klausa yang mengatur mengenai kewenangan daerah diatur dalam pasal 13 ayat 1 dan pasal 14 ayat 1 UU No 32 tahun 2004.
Dari penjelasan diatas susunan, komposisi peraturan menurut penulis bertentangan satu sama lain denganasas dekonsentrasi. Asas dekonsentrasi menyatakan bahwa keberadaan kewenangan berada dipemerintah pusat kemudian kewengan tersebut didistribusikan keperintah daerah. Sedangkan pada klausa-klausa aturan diatas tidak demikian adanya pengaturan-pengaturan secara jelas hak dan wewenang baik pemerintah pusat maupun daerah membuktikan bahwa keberadaan asas dekonsentrasi tidak bermakna, itu yang pertama. Yang kedua, asas dekonsentrasi merupakan asas perekat bentuk negara kesatuan akan tetapi akibat pembagian kewenangan tersebut akhirnya konsep kesatuan diciderai. Karena, Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah secara ketat merupakan sebuah konsep negara ferderal, dan ini sejak semula tidak diinginkan oleh masyarakat indonesia..
2. Asas Desentralisasi
Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam Sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Asas ini memiliki semangat bahwa pemerintah daerah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri, ini terbukti dari kata penyerahan. Kata ini juga membuktikan bahwa kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus dibagi karena daerah sudah dianggap mampu untuk melaksanakan pemerintahan sendiri. Secara pengertian antara dekonsentrasi dan desentralisasi seakan-akan tidak ada masalah akan tetapi apabila ditinjau lebih mendalam kepada peraturan yang mengatur persoalan tersebut, maka akan terlihat betapa benturan tersebut terjadi. Benturan tersebut berasal dari tujuan dasar keberadaan asas desentralisasi dan dekonsentrasi. Asas desentralisasi lebih bermuatan federalistik sedangkan asas dekonsentrasi lebih bermuatan keasatuan. Hal ini bisa dilihat dari pemebagian-pembagian kewenangan yang ada dalam UU otonomi daerah lebih mendekati kepa prinsip desentralisasi.
3.Asas tugas pembantu
Mengiringi kedua asas diatas terdapat satu asas lagi yaitu asas tugas pembantu. Asas ini mengandung pengertian, adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Asas ini dalam UU 32 tahun 2004 ditempatkan pada pasal 10 ayat 5 poin c, dalam sebuah klausal “menugaskan sebagian urusan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan asas tugas pembantuan”. Ketentuan ini dilaksanakan untuk mengatisipasi pabila terjadi hal-hal yang tidak di inginkan dalam sebuah pemerintahan, sedangkan penangananya harus segera dilaksanakan.
keberadaan ketentuan ini sangat minim dalam peratuaran, akan tetapi dibandingkan dengan asas desentralisasi, asas ini lebih dapat diterima oleh prinsip pemrintahan daerah dalam negara kesatuan. karena asas ini tetap menempatkan pemerintah pusat sebagai tolak ukur dalam sebuah kebijakan. Dan pemerintah daerah merupakan subdivisi dari pemerintah pusat untuk melaksanakan fungsi-fungsi dan kebijakan-kebijkan yang dibuat oleh pemerintah pusat.
C. Penutup
C.1 Kesimpulan
Didalam sebuah negara yang amat luas seperti di Indonesia ini tidak mungkin pemerintah pusat bisa menghendel secara keseluruhan pemerintahan. Pembagian pemerintahan secara vertikal merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditinggalkan apabila tujuan bernegara ini ingin segera tercapai. Bahwa tujuan negara untuk mensejahterakan rakyat, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan rasa aman bagi seluruh rakyat indonesia dengan jalan melindungi segenap bangsa indonesia merupakan sesuatu yang mendesak, maka otonomi daerah tidak bisa dihindari. Otonomi sebagai sebuah alternatif pemerintahan merupakan sebuah cara yang diambil demi melaksanakan tujuan-tujuan tersebut. Akan tetapi bagaimanapun cara tersebut tidak bisa juga bertentangan dengan cara/ prinsip-prinsip yang lain yang telah disepakati secara bersama.

C. 2 Saran
1. Keberadaan otonomi daerah harus tetap ditempatkan dalam kerangka negara kesatuan. Prinsip-prinsip yang bertentangan dengan itu sebisa mungkin harus dihindari.
2. Peguatan terhadap keberadaan asas dekonsentrasi dan tugas pembantu dalam konsep otonomi daerah.
3.Seharusnya asas dekonsentrasi tidak hanya mengatur pelimpahan wewenang antara pemerintah dengan pemerintahan provinsi, akan tetapi asas tersebut juga diterapkan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabu paten kota. Sehingga hirarkisitas negara keasatuan bisa berjalan
4. Seandainya ada kekhawatiran terhadap berkembangnya sistem sentralistik, maka hal itu sekarang tidak cukup beralasan. Mahkamah konstitusi bisa dijadikan rujukan untuk mengatisipasi kecenderungan tersebut.
1 Khusus mengenai Negara kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan,UUD 1945.

Jumat, 18 Februari 2011

TINJAUAN MENGENAI PROSES PENGESAHAN PERSEROAN TERBATAS SECARA ON-LINE MELALUI SISTEM ADMINISTRASI BADAN HUKUM (SISMINBAKUM)


 

ABSTRAK
Perkembangan IT (Information Technology) yang menjanjikan proses pelayanan dan pendaftaran online secara mudah dan cepat telah mendorong Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia menerapkan komputerisasi dalam proses pengesahan pendirian suatu badan hukum yang disebut dengan Sistem Administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM) dalam rangka peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Perseroan Terbatas merupakan salah satu bentuk badan hukum yang terdapat di Indonesia dimana dalam tahap pengesahan permohonan diajukan secara tertulis kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan melampirkan Akta Pendirian Perseroan. Dengan memperhatikan fakta yang ada maka penting kiranya untuk mengetahui bagaimana proses pengesahan pendirian suatu Perseroan Terbatas melalui Sistem Administrasi Badan Hukum secara secara online.

The development of IT (information technology) that gurantee the easy fast on line service and registration has encouraged the Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia to apply the computerize system in the process of legitimation of legal entity establishment with the system of (SISMINBAKUM) in orde to improve the service to society. Limited Company is one of the legal entities in Indonesia where the step of legitimation is proposed in written form to the Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia by going the attachment of the certificate of company establishment. By considering the real fact, therefore, it is essential to find out how the process of the legatimation of limited company establish with of SISMINBAKUM both manually or by on line.




A. PENDAHULUAN

Dalam Pasal 1 ayat (1) UUPT menegaskan bahwa Perseroan merupakan badan hukum yang terjadi karena undang-undang. Hal ini berbeda dengan KUHD yang tidak tegas menyebutkan suatu Perseroan merupakan badan hukum. Dimana suatu badan hukum mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1
(1).  Adanya harta kekayaan yang terpisah;
(2).  Mempunyai tujuan tertentu;
(3).  Mempunyai kepentingan sendiri; dan
(4).  Ada organisasi yang teratur.
Ciri yang pertama dari Perseroan adalah adanya kekayaan yang terpisah, hal ini mengandung pengertian bahwa Perseroan mempunyai harta kekayaan yang terpisah dari harta para pemegang sahamnya. Dan didapat dari pemasukan para pemegang saham yang berupa modal dasar, modal yang ditempatkan dan modal yang disetor. Kekayaan yang terpisah itu membawa akibat sebagai berikut:2
(1).           Kreditur pribadi dari para persero dan atau para pengurusnya tidak mempunyai hak untuk menuntut harta kekayaan badan hukum itu;
(2).           Para persero dan juga para pengurusnya secara pribadi tidak dapat menagih piutang badan hukum dari pihak ketiga;
(3).           Kompensasi antara hutang pribadi dan hutang badan hukum tidak diperkenankan;
(4).           Hubungan hukum, baik perikatan maupun proses-proses antara para persero dan atau para pengurusnya dengan badan hukum dapat saja terjadi seperti halnya antara badan hukum dengan pihak ketiga; dan
(5).           Pada kepailitan, hanya para kreditur badan hukum itu saja yang dapat menuntut harta kekayaan yang terpisah itu.

Ciri yang kedua dari Perseroan adalah mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tertentu dari suatu Perseroan dapat diketahui dalm anggaran dasarnya sebagaimana dalam Pasal 12 huruf b UUPT menyebutkan bahwa Anggaran Dasar memuat sekurang-kurangnya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ciri yang ketiga dari Perseroan adalah mempunyai kepentingan tersendiri, adalah hak-hak subyektif sebagai akibat dari peristiwa hukum yang dialami yang merupakan kepentingan yang dilindungi hukum dan dapat menuntut serta mempertahankan kepentingannya terhadap pihak ketiga.
Ciri yang keempat dari Perseroan adalah badan hukum mempunyai organisasi yang teratur, demikian pula dengan Perseroan mempunyai anggaran dasar yang terdapat dalam akta pendiriannya yang menandakan adanya organisasi yang teratur.
Terdapat beberapa teori mengenai badan hukum diantaranya yaitu teori fictie, teori harta kekayaan bertujuan, teori organ, teori propriete collective, teori kenyataan yuridis, teori dari Leon Duguit, teori hukum kodrat tentang hak milik pribadi dan Leer van het ambtelijk vermogen. Menurut teori Teori Fictie dari Von Savigny, badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subyek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia3. Menurut Teori Harta Kekayaan Bertujuan dari Brinz, yang menyatakan bahwa terdapat kekayaan yang tidak ada pemiliknya tetapi terikat pada tujuan tertentu kemudian diberi nama badan  hukum.
Menurut Teori Organ dari Otto van Gierke, menyatakan bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada di dalam pergaulan hukum4. Dimana badan hukum itu mempunyai kehendak dan kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya yaitu pengurus dan anggota-anggotanya. Kemudian Teori Kekayaan Bersama dari Planiol menyatakan bahwa hak dan kewajiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggotanya bersama-sama, dengan demikian badan hukum hanya merupakan kontruksi yuridis saja.
Teori Kenyataan Yuridis yang menyatakan bahwa badan hukum merupakan suatu realita yang kongkrit dan riil meskipun tidak bisa diraba tetapi merupakan kenyataan yuridis. Maijers menyebut teori tersebut, teori kenyataan yang sederhana, sederhana karena menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja5.
Teori yang keenam yaitu teori dari Leon Duguit. Menurut Duguit, tidak ada persoon-persoon lainnya daripada manusia-manusia individual. Akan tetapi manusiapun sebagaimana perhimpunan dan yayasan tidak dapat menjadi pendukung dari hak subjektif.
Teori yang ketujuh adalah Teori Hukum Kodrat tentang hak milik pribadi yang menyatakan bahwa menurut Thomas Aquino, hak milik pribadi terdiri dari hak atas barang milik, hak atas pendapatan dan hak untuk mengelola, melepaskan dan menggunakan barang milik pribadi.
John Locke serta Pufendorf beranggapan, bahwa hak milik pribadi adalah hak alamiah yang digariskan oleh hukum kodrat.  Hukum kodrat mempunyai prinsip moral keadilan yang menghargai kehidupan manusia dan hak-hak yang melekat padanya, demikian pendapat Aristoteles.
John Locke  seorang ahli pikir besar dari Inggris menganut ajaran hukum kodrat.  John Locke mengakui manusia mempunyai hak alami, yaitu hak-hak yang dimiliki secara pribadi (hak asasi), hak untuk hidup, hak kebebasan atau kemerdekaan, hak milik dan hak untuk memiliki sesuatu.6  Hukum kodrat mengajarkan kepada manusia, bahwa semua mahluk yang sederajat dan mandiri tidak boleh merugikan yang lain dalam hak hidup, kesehatan, kebebasan atau miliknya7.
Pufendorf yang menganut hukum kodrat menyatakan, bahwa hak milik pribadi adalah hak atas sesuatu barang yang telah dimiliki melalui ketentuan khusus dan telah diperolehnya dengan cara perolehan sendiri, sehingga barang tersebut tidak dapat dimiliki oleh orang lain8. Hak milik pribadi berupa saham yang merupakan bukti penyertaan modal dalam Perseroan terbatas9, bila didasarkan pada teori hak milik pribadi adalah hak asasi manusia yang dapat dipertahankan berdasarkan hak perseorangan  maupun hak kebendaan.
Hukum perdata Indonesia menerima dan mengenal hak milik, dalam KUH Perdata, hak milik dijelaskan sebagai hak untuk menikmati suatu barang secara leluasa dan bebas sepenuhnya untuk berbuat terhadap barang tersebut, asal tidak bertentangan dengan UU atau peraturan umum dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Teori yang kedelapan yaitu Leer van het ambtelijk vermogen atau ajaran tentang harta kekayaan yang dimiliki seseorang dalam jabatannya yang dipelopori oleh Holder dan Bilder. Penganut ajaran ini menyatakan: tidak mungkin mempunyai hak jika tidak dapat melakukan hak itu. Dengan lain perkataan, tanpa daya berkehendak (wilsvermogen) tidak ada kedudukan sebagai subjek hukum. Untuk badan hukum yang berkehendak ialah para pengurus, maka pada badan hukum semua hak itu diliputi oleh pengurus. Dalam kapasitasnya sebagai pengurus mereka adalah berhak, maka disebut ambtelijk vermogen.
Dengan demikian dari berbagai teori itu dapat dibagi menjadi dua kelompok teori yaitu sebagai berikut : 10
(1). Mereka yang menganggap bahwa badan hukum itu sebagai wujud yang nyata, dianggap mempunyai “panca indera” sendiri seperti manusia, akibatnya badan hukum itu disamakan dengan orang atau manusia;
(2). Mereka yang menganggap badan hukum itu tidak sebagai wujud yang nyata. Di belakang badan hukum itu sebenarnya berdiri manusia. Akibatnya, kalau badan hukum itu membuat kesalahan maka kesalahan itu adalah kesalahan manusia yang berdiri di belakang badan hukum itu secara bersama-sama.

Menurut Maijers badan hukum itu seperti organisme biasa seperti pada manusia, tetapi mekanisme dalam badan hukum tidak ada, misalnya jika manusia merasa susah itu terlihat dan dapat dirasakan, tetapi pada badan hukum hal itu tidak mungkin, hanya pada orang-orang atau pengurusnya.
Perkumpulan manusia yang mempunyai kepentingan bersama dan terbentuk dalam organisasi merupakan suatu kesatuan yang mempunyai hak-hak tersendiri, terpisah dari hak-hak para anggotanya dan mempunyai kewajiban sendiri yang terpisah dari kewajiban para anggotanya dan dapat melakukan perbuatan hukum sendiri di dalam maupun di luar hukum, subyek hukum yang baru dan berdiri sendiri inilah yang dimaksudkan dengan badan hukum.
Berdasarkan UUPT bahwa badan usaha yang berbentuk Perseroan merupakan badan hukum. Namun bukan berarti setiap badan hukum adalah Perseroan. Di sini UUPT secara tegas menyatakan bahwa Perseroan terbatas merupakan suatu badan hukum , yaitu suatu badan yang dapat bertindak dalam lalulintas hukum sebagai subjek hukum dan memiliki kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pribadi pengurusnya. Karena itu, Perseroan juga merupakan subjek hukum, yaitu subjek hukum mandiri atau personastandi in judicio11. Dia bisa mempunyai hak dan kewajiban dalam hubungan hukum sama seperti manusia biasa atau natural person atau natuurlijke persoon, dia bisa menggugat ataupun digugat, bisa membuat keputusan dan bisa mempunyai hak dan kewajiban, utang-piutang, mempunyai kekayaan seperti layaknya manusia.  

B. Kedudukan Hukum Perseroan
Berdasarkan kepada UUPT bahwa status badan hukum suatu Perseroan baru diperoleh setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menhum dan HAM RI. Pengesahan dari Menhum dan HAM ini merupakan satu-satunya syarat memperoleh status badan hukum bagi Perseroan.
            Selama status Perseroan sebagai badan hukum belum diperoleh, Perseroan yang bersangkutan tidak berbeda dengan firma, persekutuan komanditer atau persekutuan perdata, karena para pemegang saham bertanggung jawab secara pribadi terhadap segala perikatan yang dilakukan oleh Perseroan tersebut.
            Dalam Pasal 7 Ayat (6) UUPT ditentukan bahwa Perseroan memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian disahkan oleh Menhum dan HAM RI, selanjutnya dalam Pasal 3 Ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995, sebelum Perseroan memperoleh pengesahan dari Menhum dan HAM RI atau tidak dipenuhinya persyaratan Perseroan sebagai badan hukum, tanggung jawab para pemegang saham, Direksi dan Komisaris berubah menjadi tidak terbatas. Artinya, para pemegang saham, Direksi dan Komisaris ikut bertanggung jawab secara pribadi bila Perseroan mengalami kerugian sepanjang belum memperoleh status sebagai badan hukum.
            Setelah Perseroan memperoleh status sebagai badan hukum atau telah disahkan oleh Menhum dan HAM RI sebagai badan hukum, tanggung jawab pemegang saham dan Komisaris menjadi terbatas, sedangkan tanggung jawab Direksi masih tidak terbatas.
            Selanjutnya dalam Pasal 23 UUPT ditentukan bahwa selama pendaftaran dan pengumuman sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 21 dan Pasal 22 UUPT belum dilakukan, Direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas segala perbuatan hukum yang dilakukan. Selanjutnya dalam Penjelasan Pasal 23 UUPT dinyatakan bahwa selain sanksi pidana yang diatur dalam Undang-Undang tentang Wajib Daftar Perusahaan, Pasal ini juga mengatur mengenai sanksi perdata dala hal apabila kewajiban yang dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 22 tidak dipenuhi.
            Sejak dimulainya persiapan-persiapan untuk mendirikan suatu Perseroan sampai dengan mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum kedudukan dan tanggung jawab para pendiri atau para pemegang saham senantiasa berubah. Pada tahap persiapan, para pendiri Perseroan belum mempunyai kedudukan apapun karena Perseroan belum berdiri, para pendiri bertanggung jawab secara pribadi atas segala perbuatan hukum yang telah dilakukan dalam rangka pendirian Perseroan tersebut. Tanggung jawab atas akibat perbuatan hukum yang telah dilakukan ini, yaitu perbuatan hukum yang berkaitan dengan susunan dan penyertaan modal serta susunan saham Perseroan akan menjadi tanggung jawab pribadi dari para pendiri Perseroan, kecuali sebagaimana yang diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) UUPT perbuatan hukum tersebut dicantumkan dalam akta pendirian Perseroan tersebut, maka Perseroan akan terikat pada hak dan kewajiban yang timbuk akibat dari perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pendiri Perseroan, tetapi apabila hal ini tidak dilakukan maka perbuatan hukum dari para pendiri Perseroan tersebut tidak menimbulkan hak dan kewajiban bagi Perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (3) UUPT.
            Pada tahap setelah Perseroan berdiri yaitu ketika akta pendirian telah dibuat oleh Notaris namun belum belum disahkan sebagai badan hukum, kedudukan para pendiri Perseroan adalah sebagai pemegang saham sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 Ayat (2) UUPT yang menyatakan bahwa setiap pendiri wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. Jadi, pada saat pendirian para pendiri adalah pemegang saham pada Perseroan yang didirikannya itu, namun belum dapat diberlakukan ketentuan dalam Pasal 3 Ayat (1) UUPT yang menyatakan bahwa pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas segala perikatan yang dibuat oleh Perseroan, karena Perseroan belum berbadan hukum. Dengan demikian para pendiri Perseroan pada tahap ini masih harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukannya walaupun perbuatan hukum itu dilakukan untuk kepentingan Perseroan. Tanggung jawab para pendiri Perseroan menurut Pasal 11 Ayat (1) UUPT dapat dialihkan pada Perseroan dengan syarat bahwa Perseroan harus terlebih dahulu mendapat pengesahan sebagai badan hukum dari Menhum dan HAM RI dan Perseroan melakukan tindakan secara tegas untuk menerima semua perjanjian yang dibuat oleh para pendiri Perseroan, mengambil alih semua hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian yang dibuat oleh para pendiri Perseroan. Apabila Perseroan tidak melakukan hal-hal tersebut, maka masing-masing pendiri Perseroan yang melakukan perbuatan hukum tersebut bertanggung jawab secara pribadi atau segala akibat yang timbul.
            Pada tahap berikutnya, yaitu pada saat Perseroan telah disahkan sebagai badan hukum, para pendiri Perseroan berkedudukan sebagai pemegang saham dengan menyetor penuh saham yang menjadi bagiannya karena berdasarkan Pasal 26 Ayat (3) UUPT pada saat pengesahan seluruh saham yang dikeluarkan harus sudah disetor penuh pada saat pengesahan Perseroan dengan bukti penyetoran yang sah. Pada tahap ini kedudukan para pendiri Perseroan adalah pemegang saham dan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi nilai saham yang diambilnya sebagaimana ditentuka dalam Pasal 3 Ayat (1) UUPT.

C. Mekanisme Pengesahan Perseroan
            Hadirnya masyarakat informasi (information society) yang diyakini sebagai salah satu agenda penting masyarakat dunia pada era globalisasi antara lain ditandai dengan pemanfaatan internet yang semakin marak dalam berbagai aktivitas kehidupan manusia, bukan saja di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia. Internet merupakan jaringan besar yang dibentuk oleh interkoneksi jaringan komputer dan komputer tunggal diseluruh dunia, melalui saluran telepon, satelit dan sistem telekomunikasi lainnya.
            Terlepas dari manfaatnya, kehadiran internet juga akan mempengaruhi tugas dan kewajiban Notaris. Notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik berbagai perbuatan, perjanjian dan penetapan termasuk akta autentik pendirian suatu Perseroan. Dimana dalam proses pengesahan suatu Perseroan menjadi badan hukum oleh Notaris di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dapat dilakukan secara online melalui Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum).
            Sisminbakum merupakan situs resmi yang merupakan sistem komputerisasi dalam proses pengesahan pendirian suatu badan hukum yang dimiliki Direktorat Jenderal Administrasi Badan Hukum Umum (Ditjen AHU) Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang dapat diakses pada alamat http://www.sisminbakum.com. Sistem ini diresmikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia yang pada saat itu dijabat oleh Megawati Soekarnoputri pada tanggal 31 januari 2001, yang pelaksanaanya dimulai pada tanggal 1 Maret 2001. sistem ini merupakan bentuk pelayanan pemerintah dalam bidang jasa hukum yaitu terutama dalam hal pengesahan badan hukum.
            Sisminbakum dibuat berdasarkan kebutuhan masyarakat dan dunia usaha yang semakin berkembang sehingga membutuhkan pelayanan terutama dalam pengesahan suatu badan hukum yang cepat dan akurat. Sebelumnya proses pengesahan Perseroan sebagai badan hukum dilakukan secara manual yang tentunya memerlukan waktu relatif lama dimana untuk sebuah Surat Keputusan (SK) pengesahan Perseroan menjadi badan hukum dibutuhkan waktu sekitar 4 (empat) sampai 6 (enam) bulan atau bahkan lebih.
            Pada sistem manual atau sistem lama, seluruh pekerjaan dilakukan secara manual, mulai dari penerimaan berkas dari pihak Notaris yang meliputi pengecekan kelengkapan dan nama, pembayaran dan pembuatan kartu kendali. Dokumen-dokumen pada proses manual ini seluruhnya masih berbentuk kertas laporan, baik pendirian, persetujuan maupun laporannya.
            Selanjutnya Korektor yang bertugas memeriksa kelengkapan dokumen-dokumen tersebut yang merupakan surat permohonan pengesahan Perseroan beserta kelengkapan dokumen lainnya yang disampaikan oleh para pendiri atau kuasanya dalam hal ini adalah Notaris12.
            Selanjutnya dokumen-dokumen tersebut akan kembali diperiksa oleh Kepala seksi (Kasi) teknis, dan Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) Badan Hukum yang nantinya akan diklarifikasi lagi oleh Direktur perdata, dimana Tata Usaha merupakan bagian akhir dari proses ini, pembuatan draft Surat Keputusan (SK) Perseroan dan laporan, klarifikasifinal surat Direktur Perdata yang dilanjutkan ke pencetakan SK yang akan ditandatangani oleh Ditjen, terakhir Notaris akan mengambil SK Perseroan dan akta Notaris akan didokumentasikan di bagian Tata Usaha.
            Cara kerja manual pada sistem lama, sering menimbulkan masalah keterlambatan. Hal ini dapat terjadi karena para petugas harus memeriksa satu-persatu permohonan yang masuk, sedangkan jumlah jumlah permohonan yang masuk jauh lebih banyak dari jumlah petugas yang ada. Dalam hal ini seringkali human error tidak dapat dihindari sehingga dapat terjadi data yang ada tidak akurat. Selain itu juga pelaksanaan cara kerja manual juga dapat menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di kalangan pegawai Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia terutama bila pihak Notaris membutuhkan secepatnya pengesahan atas badan hukum yang sedang diurusnya13.
            Dari sisi Notaris sistem manual akan membuat proses menjadi tidak efisien, dimana Notaris harus memeriksa hasil dari pembuatan dan pengesahan SK Perseroan yang mereka ajukan langsung ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indoneisa di Jakarta. Hal ini terjadi karena seluruh proses hanya akan dapat dilakukan di Jakarta. Hal ini tentu saja menyulitkan bagi para Notaris yang berada dan berkedudukan di luar Jakarta. Sedangkan dari sisi pegawai Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indoneisa dapat menimbulkan banyaknya permohonan yang tertunda penyelesaiannya karena sejak pemeriksaan nama hingga pemeriksaan dokumen menbutuhkan waktu dan kecermatan yang tinggi sedangkan dokumen yang masuk tidak sebanding dengan jumlah pegawai yang ada.
Untuk menghadapi kendala tersebut, maka dengan memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang dibuatlah sistem online yang dapat diakses oleh Notaris di seluruh Indonesia yaitu melalui Sisminbakum.
            Melalui Sisminbakum seluruh proses pembuatan dilakukan secara online melalui jaringan internet yang dapat diakses oleh setiap Notaris yang mengikuti Sisminbakum dari seluruh wilayah Indonesia. Masing-masing Notaris yang terdaftar pada Sisminbakum akan diberikan user id dan password untuk menjaga keamanan selama pemrosesan14
            Notaris dapat melakukan pengawasan langsung melalui jaringan internet 24 jam sehingga dapat mengetahui kemajuan dari pemrosesan dan jika ada kesalahan dapat dilakukan perbaikan secara langsung serta komunikasi antara Ditjen AHU dan Notaris dapat dilakukan melalui e-mail.
            Pembayaran biaya dilakukan melalui Bank yang ditunjuk sehingga terjadinya pungutan liar dapat diminimalkan.
            Dengan dilaksanakannya Sisminbakum ini terdapat beberapa kemudahan yaitu dari sisi Notaris, dengan sistem ini maka Notaris di seluruh indonesia dapat mengakses langsung dari tempat kedudukannya masing-masing dimana dalam hal ini tentu saja dapat mempersingkat waktu serta jarak yang harus ditempuh dan data-data Perseroan yang dimasukkan pun tersimpan dengan baik dan akurat dalam database Sisminbakum sehingga terjadinya human error dapat dihindarkan, sedangkan dari sisi pegawai Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, dengan Sisminbakum ini dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang ada yaitu sumber daya manusia yang sadar teknologi, selain dapat membentuk sikap dan perilaku kerja yang efisien dan efektif dan juga dengan sisminbakum ini maka praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dapat dihindari karena semuanya diatur melalui sebuah sistem.
            Terdapat beberapa keuntungan yang dihasilkan dari penggunaan Sisminbakum ini yang antara lain yaitu adanya peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Pembuatan dan pengesahan SK badan hukum Perseroan yang awalnya menbutuhkan waktu sampai 60 (enam puluh) hari atau lebih menujadi paling lama 1 (satu) minggu dan paling cepat 3 (tiga) hari.
            Kualitas sumber daya manusia di lingkungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia khususnya Ditjen AHU semakin meningkat. Dengan terjadinya perubahan sikap dan perilaku kerja dapat mendorong pegawai menjadi penyedia jasa yang profesional.
            Dengan diberlakukannya Sisminbakum ini memungkinkan akses publik baik dari dalam negeri maupun di luar negeri ke dalam situs Ditjen AHU, sehingga dapat memasuki era transparansi dalam usaha yang dapat memberikan keuntungan timbal balik antara stakeholder dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
Selain itu dengan diberlakukannya Sisminbakum ini fungsi kontrol dan kendali dapat dilaksanakan tanpa memerlukan banyak tenaga melainkan cukup dengan sistem yang terkendali dan juga dengan Sisminbakum ini dapat mencegah dan meminimalisasi korupsi kolusi dan Nepotisme (KKN) dan praktek suap dan pungutan liar
Pada masa sekarang yang dapat menjadi anggota sisminbakum hanyalah Notaris yaitu sebagai pihak yang akan memproses pengesahan Perseroan sebagai badan hukum. Pada tahap awal Notaris melakukan pendaftaran di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Pendaftaran ini tidak dipungut biaya, Notaris hanya mengisi formulir pendaftaran yang disediakan oleh Sisminbakum dan untuk selanjutnya setelah formulir diproses Notaris akan mendapatkan user id serta password untuk dapat mengakses ke alamat sisminbakum di http://www.sisminbakum.com.
            Sisminbakum merupakan sebuah aplikasi khusus yang diperuntukkan bagi Notaris, untuk itu diperlukan suatu pengamanan berupa password untuk dapat mengakses Sisminbakum. Maka dari itu untuk memulai proses pendirian suatu Perseroan Notaris diharuskan mengisi user id dan password yang bersangkutan pada menu login. User id dan password diberikan hanya kepada Notaris yang telahmengajukan permohonan serta telah mengisi formulir yang disediakan oleh Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.
            Setelah login pada aplikasi Sisminbakum maka hal yang pertama kali harus  dilakukan yaitu cek nama Perseroan yang akan didaftarkan. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 Tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas yang pada dasarnya dibuat untuk mengatur tata cara pengajuan permohonan persetujuan pemakaian nama Perseroan serta pedoman pedoman penolakan permohonan persetujuan pemakaiana nama Perseroan, maka setiap pemakaian nama Perseroan harus mendapat persetujuan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
            Bila nama Perseroan yang diajukan tersebut belum terdaftar, maka yang harus dilakukan adalah melakukan pemesanan nama Perseroan yang akan didaftarkan tersebut. Secara otomatis oleh sistem maka pemesanan nama Perseroan tersebut dikenakan biaya akses fee.
Setelah anda memilih pemesanan nama Perseroan untuk pendirian Perseroan maka selanjutnya adalah mengisikan data-data seperti jenis Perseroan dan tempat kedudukan Perseroan serta singkatan dari Perseroan tetapi bila tidak ada dapat diabaikan. Bila data-data tersebut telah selesai dimasukkan maka selanjutnya adalah memonitoring proses pemeriksaan nama Perseroan tersebut, oleh pihak Dephum dan HAM RI mulai dari tahap pemeriksaan Korektor, Kepala Seksi serta Kasubdit Badan Hukum beserta tanggal, jam pemeriksaannya dan keterangan proses tersebut.
Bila pemesanan nama diterima maka langkah selanjutnya adalah pengajuan nama. Apabila nama yang dipesan tidak diterima oleh Dephum dan HAM RI, maka pada halaman pemesanan nama Perseroan diharuskan memilih point No. 4  yaitu Penggantian Pemesanan Nama Perseroan Karena Ditolak agar nomor kendali sama dan Billing atas nama Perseroan tidak ditagih lagi. Pilihlah nama Perseroan yang akan digantikan nama Perseroannya dengan cara memilih nama Perseroan yang dimaksud, selanjutnya periksa kembali jenis Perseroan, tempat kedudukan apakah telah sesuai dengan data yang tertera diakta Perseroan tersebut. Sama seperti proses diawal, langkah selanjutnya adalah memonitoring proses penggantian nama yang telah dilakukan, apakah nama Perseroan tersebut dapat diterima atau ditolak oleh Dephum dan HAM RI. Bila nama Perseroan yang dipesan diterima maka langkah selanjutnya adalah pengajuan nama Perseroan.
Pengajuan nama Perseroan adalah tahapan yang harus dilakukan untuk melanjutkan proses pemesanan nama Perseroan yang telah diterima sebelum batas waktu 60 (enam puluh) hari sejak nama Perseroan tersebut diterima. Nama Perseroan akan terhapus dengan sendirinya oleh sistem apabila telah melewati masa berlakunya.
Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam pengajuan nama Perseroan yaitu pertama-tama memilih menu cek nama kemudian pilih Pengajuan Nama Perseroan setelah itu masukkan nama Perseroan yang akan diajukan prosesnya. Untuk mengajukan nama Perseroan terlebih dahulu harus sudah membayarkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan mengisikan tanggal pembayaran PNBP pada kolom yang telah disediakan. Setelah data-data tersebut selesai dimasukkan maka selanjutnya adalah melangkah pada proses selajutnya yaitu Pra Fian 1.
Pra Fian 1 (Prasyarat Fian 1) adalah proses lanjutan yang harus dilalui setelah pengajuan nama Perseroan dan sebelum tahap Fian 1. Pada tahap ini diharuskan mengisikan tanda “Ya” pada dokumen-dokumen yang harus diserahkan ketika memasukkan dokumen fisik.  Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam untuk pengisian Pra Fian 1 yaitu pertama-tama pilih menu Pra Fian 1 kemudian pilih nama Perseroan yang akan diajukan dalam proses Fian 1, dalam tahap ini data-data yang harus dilengkapi diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu Prasyarat Kondisional, Prasyarat Wajib dan Prasyarat Opsional.
Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa, Prasyarat Wajib terdiri dari Nomor Pajak Wajib Pajak (NPWP) atas nama Perseroan, bukti pembayaran Tambahan Berita Negara (TBN) dari Perum Percetakan Negara RI dan bukti pembayaran PNBP, sedangkan Persyaratan Opsional terdiri dari Surat Rekomendasi Yayasan (apabila salah satu pendiri adalah Yayasan), Rekomendasi Departemen Koperasi, Surat Perjanjian Kompensasi Piutang Pemegang Saham dan Rancangan Penggabungan Usaha (Merger).
Prasyarat Wajib, Prasyarat Kondisional dan Prasyarat Opsional berbeda-beda untuk setiap jenis Perseroan. Untuk jenis Perseroan Non Fasilitasi Umum, Prasyarat Wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN dan bukti pembayaran PNBP. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari surat rekomendasi yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham, dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Untuk jenis Perseroan PMA (Penanaman Modal Asing), Prasyarat Wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN, bukti pembayaran PNBP dan surat persetujuan PMA dari BKPM/BKPMD/Kawasan Berikat. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari Bank, Neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari surat rekomendasi yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Untuk jenis Perseroan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri), Prasyarat Wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN, bukti pembayaran PNBP dan surat persetujuan PMDN dari BKPM/BKPMD/Kawasan Berikat. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari surat rekomendasi Yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah Yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Untuk jenis Perseroan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Prasyarat Wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN, bukti pembayaran PNBP, Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar pendirian Perseroan, Surat Keputusan Menteri yang membina BUMN mengenai penetapan modal Perseroan dan Surat Keputusan Menteri mengenai pengangkatan anggota Direksi dan Komisaris. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari surat rekomendasi yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Untuk jenis Perseroan perbankan, prasyarat wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN, bukti pembayaran PNBP dan Surat Izin Operasional Bank Indonesia. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari surat rekomendasi Yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah Yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Untuk jenis Perseroan Lembaga Keuangan Non Perbankan, prasyarat wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN dan bukti pembayaran PNBP.. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari Surat Izin Operasional dari Bank Indonesia apabila kegiatan Perseroan tersebut harus memiliki izin dari Bank Indoenesia atau Lembaga Keuangan yang terkait, surat rekomendasi yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Terakhir untuk jenis Perseroan Usaha Khusus, Prasyarat Wajib terdiri dari NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN danbukti pembayaran PNBP. Untuk Prasyarat Kondisional terdiri dari bukti setor modal dari bank, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham dalam bentuk barang, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa. Sedangkan untuk Prasyarat Opsional terdiri dari Surat Izin Usaha Khusus apabila kegiatan Perseroan tersebut harus memiliki izin usaha khusus dari instansi atau lembaga yang terkait, surat rekomendasi yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Setelah selesai pada tahap Pra Fian 1 selanjutnya memasuki proses Fian 1 yang merupakan tahapan terakhir untuk pengisian data-data Perseroan. Bila data-data yang telah diisikan sesuai menurut Ditjen AHU maka hanya tinggal memasukan dokumen fisik atau mengirimkan dokumen fisik Perseroan ke Dephum dan HAM RI dan tinggal menunggu proses klarifikasi data-data yang telah dimasukan dengan dokumen fisik.
Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk pengisian data Fian 1yaitu pertama-tama masuk ke dalam menu Fian 1, pada halaman Fian 1 diharuskan untuk mengisi data-data dari Perseroan seperti data pokok Perseroan, akta Perseroan, modal Perseroan, pendiri Perseroan dan maksud tujuan Perseroan.
Bila data-data yang telah diisikan telah sesuai dengan akta dan semua persyaratannya, maka selanjutnya adalah memilih Fian 1-Selesai. Pada halaman ini diharuskan memilih kata “YA” apabila yakin dengan pengisian data-data Fian 1 dan semua persyaratannya, sehingga data-data tersebut dapat diperiksa oleh Ditjen AHU atau memilih kata “TIDAK” jika belum yakin untuk menyelesaikan pengisian data-data pada Fian 1.
Setelah menyelesaikan tahap Fian 1 maka proses selanjutnya adalah memonitoring atau melihat proses pengesahan Perseroan tersebut. Pada proses monitoring seluruh proses transaksi yang telah dilakukan sejak pemesanan nama Perseroan sampai dengan proses Surat Keputusan (SK) dapat diketahui prosesnya. Transaksi-transaksi yang dilakukan akan tercatat dalam bentuk tanggal dan jam saat transaksi tersebut dilakukan.
Bila data-data yang telah dimasukan mendapat koreksi atau sesuatu yang harus diperbaiki dapat dilihat dengan detail kesalahannya melalui menu monitoring. Apabila data-data yang dimasukan diterima maka pada halaman monitoring telah terdapat tanggal dan jam pada status Fian Tidak Keberatan Menteri dan diharuskan menyerahkan dokumen fisik Perseroan tersebut selambat-lambatnya 30 hari sejak terdapatnya tanggal dan jam Tidak Keberatan Menteri.
Koreksi terjadi apabila dalam halaman monitoring pada tahapan pemeriksaan korektor, klarifikasi Kasi dan Kasubdit terdapat tanggal dan jam disertai kalimat dikoreksi atau permohonan ditolak disertai dengan keterangan tentang kesalahan yang harus diperbaiki.
Tahap Dokumen Fisik merupakan proses terakhir yang harus dipenuhi untuk melengkapi seluruh rangkaian proses pengesahan badan hukum Perseroan sejak pemesanan nama, Pra Fian, pengisian Fian hingga penyerahan dokumen fisik.
Dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pernyataan Tidak Keberatan Menteri Hukum dan HAM RI, notaris yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik surat permohonan pengesahan akta pendirian atau persetujuan beserta dokumen pendukung yang meliputi NPWP atas nama Perseroan, bukti pembayaran TBN, bukti pembayaran PNBP, bukti setor dari Bank, surat persetujuan PMA dari BKPM/BKPMD/Kawasan Berikat untuk jenis Perseroan PMA, surat persetujuan PMDN dari BKPM/BKPMD/Kawasan Berikat untuk jenis Perseroan PMDN, Peraturan Pemerintah yang menjadi dasar pendirian Perseroan untuk jenis Perseroan BUMN, SK Menteri yang membina BUMN mengenai penetapan modal Perseroan untuk jenis Perseroan BUMN, SK Menteri mengenai pengangkatan anggota Direksi dan Komisaris untuk jenis Perseroan BUMN, surat izin operasional Bank Indonesia untuk jenis Perseroan Perbankan, surat izin usaha khusus untuk jenis Perseroan Usaha Khusus, neraca akhir perusahaan, penyetoran modal dan saham, appraisal dan pengumuman dalam dua media massa, surat rekomendasi yayasan apabila salah satu pendiri Perseroan adalah yayasan, rekomendasi Departemen Koperasi apabila salah satu pendiri Perseroan adalah koperasi, surat perjanjian kompensasi piutang pemegang saham dan rancangan penggabungan usaha (Merger).
Dokumen tersebut dikirimkan ke loket Sisminbakum yang beralamat di Gedung Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Lantai 1 Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia atau pada PO BOX 4020 JKTM 12700.
Selanjutnya setelah Perseroan didaftarkan pada Ditjen AHU melalui Sisminbakum, maka kemudian Perseroan tersebut diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 22 UUPT dan untuk selanjutnya maka Perseroan tersebut telah berbadan hukum secara penuh.

D.  Permasalahan Hukum Yang Timbul Dalam Pengesahan Melalui Sisminbakum
            Proses pengesahan badan hukum Perseroan dalam Sisminbakum melalui sarana internet yang dilakukan oleh Notaris dimana Notaris cukup mengakses program aplikasi Sisminbakum melalui  internet dalam rangka melakukan proses pendaftaran Perseroan menjadi badan hukum dapat menimbulkan berbagai masalah hukum. Permasalahan hukum yang dapat timbul dalam proses ini seperti sah atau tidaknya proses sisminbakum ini, persyaratan hukum yang harus dipenuhi dalam proses elektronik, diperlukan atau tidaknya suatu tanda tangan dalam proses secara elektronik dan sah tidaknya tanda tangan elektronik tersebut, serta mencakup juga pmasalah penyelesaian dan perlindungan hukum apabila terjadi perselisihan dalam proses pengesahan badan hukum Perseroan melalui Sisminbakum tersebut.
            Perjanjian dinyatakan sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat yang datur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, cakap untuk membuat suatu perikatan, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam hal syarat sahnya perjanjian cakap untuk membuat suatu perikatan, pada dasarnya semua orang adalah cakap untuk membuat perikatan, kecuali berdasarkan Undang-Undang adalah mereka yang belum dewasa dan mereka yang berada di bawah pengampuan.
            Dalam transaksi elektronik seperti halnya dalam Sisminbakum sangat sulit menentukan seseorang yang melakukan transaksi dan menyatakan dirinya sebagai Notaris apakah orang tersebut cakap untuk melakukan suatu perikatan, karena proses aplikasi yang terjadi tidak secara langsung dilakukan tetapi melalui media internet yang tidak dapat dilihat orang yang melakukan transaksi tersebut. Apabila terbukti orang yang melakukan transaksi tersebut tidak cakap hukum untuk melakukan suatu transaksi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.
Dalam sistem hukum, keberadaan suatu arsip adalah sebagai alat bukti yang dapat menerangkan keberadaan suatu informasi tertentu atau dengan kata lain merupakan sebagai pembuktian terhadap telah terjadinya suatu peristiwa hukum yang mempunyai akibat hukum tertentu bagi hak dan kewajiban para pihak yang bersangkutan. Demikian juga dengan keberadaan arsip elektronik, walaupun sebenarnya memiliki beberapa keunggulan tertentu ternyata tidak dapat dengan mudah ditangkap oleh panca indera sehingga kekuatan pembuktiannya menjadi lemah.
            Proses transaksi data secara elektronik seperti halnya aplikasi Sisminbakum harus diperhatikan aspek persyaratan hukumnya karena tidak tertutup kemungkinan akan timbul suatu sengketa dalam proses tersebut yang sulit untuk diselesaikan karena persyaratan-persyaratan hukum yang tidak dapat dipenuhi.
            Terdapat beberapa persyaratan hukum yang harus dipenuhi dalam melakukan transaksi atau proses secara elektronik, yaitu :15
1.   Autentisitas (Authenticity)
Para pihak yang terlibat dalam transaksi elektronik harus percaya bahwa autentisitas dan komunikasinya diterima. Autentisitas dibutuhkan agar dapat dijadikan alat pembuktian di pengadilan.
2.   Integritas (Integrity)
Seorang recipient membutuhkan kepercayaan terhadap keutuhan komunikasi sebelum bertindak untuk melakukan transaksi atau yakin bahwa pesan yang disampaikan tidak diubah. Persyaratan ini juga dibutuhkan oleh hukum sebagai alat pembuktian.
3.   Tidak Dapat Disangkal (Non Repudation)
Non repudation menjadi persyaratan hukum ketika pengirim pesan tidak dapat menyangkal bahwa pengirim pesan tersebut tidak pernah mengirimkan pesan.
4.  Tertulis dan Tanda Tangan
Hukum mensyaratkan bahwa persetujuan harus memuat dua hal, yaitu dokumen tertulis dan ditandatangani. Jika para pihak masuk dalam kontrak online, maka persyaratan tertulis dan ditandatangani harus dapat diterapkan.
5.   Kerahasiaan (Confidentiality)
Kerahasiaan diperlukan untuk melindungi hak kekayaan terhadap informasi. Kerahasiaan sangat diperlukan untuk mencegah akses dan penggunaan informasi yang dapat menyebabkan bahaya bagi pemilik informasi, seperti nomor rekening bank.
           
Dalam transaksi data elektronik seperti halnya Sisminbakum banyak diperdebatkan mengenai dapatkah data elektronik seperti misalnya e-mail dijadikan sebagai alat pembuktian dalam sistem hukum. Dalam Pasal 164 HIR dan Pasal 1866 KUH Perdata diatur mengenai alat bukti yang dapat diajukan dalam proses persidangan, yaitu bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah. Berdasarkan kepada pasal tersebut, tidak ada aturan yang secara pasti menegaskan mengenai data elektronik.
            Tanda tangan elektronik atau Digital Signature mengandung prinsip yang berkaitan dengan jaminan bahwa seseorang yang melakukan proses melalui Sisminbakum betul-betul pihak yang berhak dan bertanggung jawab untuk itu dalam hal ini adalah Notaris. Permasalahan hukum yang timbul dalam tanda tangan elektronik ini adalah berkaitan dengan fungsi dan kekuatan hukum sebagai persyaratan tertulis dan tanda tangan serta dapatkah dijadikan bukti dalam persidangan apabila terjadi suatu sengketa.
            Permasalan hukum yang dapat timbul dalam proses Sisminbakum adalah berkaitan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang kemungkinan timbul dalam proses Sisminbakum ini. Hingga saat ini belum adanya suatu mekanisme yang benar-benar memadai dalam sistem peradilan di Indonesia.
            Oleh karena itu, cara yang harus ditempuh dalam menemukan penyelesaian hukum apabila terjadinya suatu sengketa dalam proses Sisminbakum yaitu melalui penemuan hukum oleh hakim hal ini berdasarkan kepada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa seorang hakim tidak dapat mengadili perkara yang diajukan dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang ada ternyata tidak jelas atau tidak lengkap, melainkan hakim harus tetap mengadili perkara yang diajukan tersebut dan juga hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

E. Keabsahan Pengesahan Perseroan Melalui Sisminbakum
            Perseroan dibentuk berdasarkan suatu perjanjian dimana suatu perjanjian harus terdapat minimal 2 (dua) orang atau lebih yang mengikatkan dirinya dan dituangkan dalam suatu akta otentik yang dibuat oleh Notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia.
            Maksud adanya dua orang atau lebih dalam pendirian Perseroan adalah karena Perseroan adalah sebuah perjanjian, sehingga tidak mungkin dalam suatu Perseroan hanya dibuat oleh satu orang saja. Dalam hal ini arti “orang” harus diartikan secara luas bukan hanya orang dalam arti sebenarnya atau natural person tetapi juga pada orang atau manusia dalam arti badan hukum atau rchts person16.
            Kemudian Perseroan tersebut harus dibuat dalam suatu akta otentik atau akta Notaris, jadi segala hal yang dibuat oleh para pihak dalam perjanjian untuk membentuk suatu Perseroan haruslah otentik dan tidak boleh dibuat dibawah tangan, harus dibuat oleh pejabat umum, dan harus dalam bahasa Indonesia tidak dengan bahasa-bahasa negara lain, namun bukan berarti tidak boleh diterjemahkan  dalam bahasa lainnya.
            Setelah hal-hal tersebut terpenuhi maka langkah selanjutnya adalah pengajuan permohonan pemgesahan sebagai badan hukum kepada Dephum dan HAM RI yang dalam hal ini permohonan ditujukan kepada Menhum dan HAM RI melalui Ditjen AHU yang dilakukan secara online melalui Sisminbakum yang merupakan sistem komputerisasi dalam proses pengesahan pendirian suatu badan hukum oleh Ditjen AHU.
Dalam Pasal 9 Ayat 2 UUPT ditentukan bahwa pengesahan diberikan dalam waktu 60 (enam puluh hari) terhitung sejak permohonan diterima. Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa permohonan tersebut harus diterima oleh pejabat yang bersangkutan dalam hal ini Menhum dan HAM RI dan sudah memenuhi syarat serta kelengkapan yang diperlukan.
Selanjutnya dalam UUPT tidak dijelaskan mengenai bagaimana tata cara atau prosedur yang harus dilakukan dalam rangka proses pengajuan permohonan pengumuman agar Perseroan berbadan hukum pada Ditjen AHU sebagaimana disebutkan dalam Pasal 22 Ayat 3 UUPT bahwa tata cara pengajuan permohonan pengumuman dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
            Maka dari pada itu dalam rangka pengajuan permohonan pengumuman dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia mengacu berdasarkan kepada Keputusan Menteri  Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No : M-01.Ht.01.01 Tahun 2001 Tentang Pemberlakuan Sisminbakum dan Keputusan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum No. C-01.Ht.01.01.Tahun 2001 Tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengesahan Akta Pendirian Persetujuan Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas Melalui Sisminbakum Dan Sistem Manual Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum.
Dalam proses pengajuan permohonan pengumuman Perseroan melalui Sisminbakum sampai dengan diumumkannya dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang berarti Perseroan tersebut telah berbadan hukum secara penuh dapat dikatakan abasah sepanjang proses tersebut berjalan sebagaimana mestinya seperti yang diatur dalam Keputusan Menteri  Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia No : M-01.Ht.01.01 Tahun 2001 Tentang Pemberlakuan Sisminbakum dan juga Keputusan Direktur, karena proses tersebut telah mendapat legalisasi atau dijamin oleh pihak yang berwenang dalam hal ini Menhun dan HAM RI dan telah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dari para pihak tersebut.

F. Penutup
1.      Para pendiri Perseroan bertanggung jawab secara pribadi terhadap perbuatan hukum yang dilakukan pada waktu Perseroan belum mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai badan hukum. Pada proses pengesahan Perseroan menjadi badan hukum, Permasalahan hukum yang mungkin timbul dalam proses ini seperti sah atau tidaknya proses sisminbakum ini, persyaratan hukum yang harus dipenuhi dalam proses elektronik, diperlukan atau tidaknya suatu tanda tangan dalam proses secara elektronik dan sah tidaknya tanda tangan elektronik tersebut, serta mencakup juga permasalah penyelesaian dan perlindungan hukum apabila terjadi perselisihan dalam proses pengesahan badan hukum Perseroan melalui Sisminbakum tersebut. Dalam transaksi elektronik seperti halnya dalam Sisminbakum sangat sulit menentukan seseorang yang melakukan transaksi dan menyatakan dirinya sebagai Notaris apakah orang tersebut cakap untuk melakukan suatu perikatan, karena proses aplikasi yang terjadi tidak secara langsung dilakukan tetapi melalui media internet yang tidak dapat dilihat orang yang melakukan transaksi tersebut. Apabila terbukti orang yang melakukan transaksi tersebut tidak cakap hukum untuk melakukan suatu transaksi, maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Apabila terjadi pelanggaran terhadap isi perjanjian pendirian suatu Perseroan, maka dapat dilakukan beberapa tindakan hukum. Pelanggaran terhadap syarat kesepakatan karena adanya kekhilafan, paksaan atau penipuan dan syarat kecakapan, maka tindakan hukum yang dapat dilakukan adalah membatalkan perjanjian pendirian Perseroan tersebut, pembatalan ini dilakukan oleh hakim atas permintaan pendiri atau orang yang menurut undang-undang tidak atau belum cakap hukum, atau dapat juga oleh pendiri yang menurut undang-undang dinyatakan cakap hukum dan diperkenankan untuk mengemukakan ketidakcakapan pendiri yang tidak atau belum cakap hukum tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 1331 KUH Perdata. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran syarat suatu hal tertentu, serta pelanggaran syarat suatu sebab yang halal, maka perjanjian pendirian Perseroan tersebut batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian atau tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian atau perikatan mengenai pendirian Perseroan.

2.      Sebagai badan hukum Perseroan merupakan subyek hukum yang bertanggung jawab secara mandiri terhadap segala perbuatan hukum yang dilakukannya terlepas dari para pendiri atau para pemegang sahamnya.Diharapkan pihak yang berwenang untuk segera membentuk serta mengesahkan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Cyber Law khususnya dalam hal perikatan atau perjanjian secara elektronik atau melalui internet untuk kepentingan penanggulangan permasalahan hukum yang mungkin timbul, sehingga dapat terciptanya suatu kepastian hukum. Apabila timbul suatu permasalahan hukum yang terjadi ketika proses pendaftaran dan pengesahan Perseroan melalui sisminbakum, maka berdasarkan kepada Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, begitu juga dengan hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara di pengadilan, maka berdasarkan kepada Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.




1 Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Alumni, 2000,hlm.61.
2 Agus Budiarto, Seri Hukum Perusahaan: Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 30.
3 Syahrani, Op. Cit,  hlm. 56.
4 Agus Budiarto, Seri Hukum Perusahaan: Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab Pendiri Perseroan Terbatas, Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002.., hlm 28.
5 Chidir Ali, Badan Hukum, Bandung: Alumni, 1999. hlm. 35
6 May Boli Sabon, Ilmu Negara, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1994 hlm.58.
7 ibid, hlm. 38
8 ibid, hlm. 63
9 Lihat: Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1548/ KMK. 013/ 1990.
10 Budiarto, Op. Cit., hlm 28.
11 Rachmadi Usman, Dimensi Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas,Bandung: Alumni, 2004, hlm. 50.
12 “Sisminbakum Sebagai Sarana Pembantu Kinerja Notaris Dan Keabsahan Dokumen Yang Dihasilkan”, Jurnal Renvoi, No 24, Mei-Juni, 2005, hlm. 35-36.
13 “Pedoman Penggunaan Sistem administrasi Badan Hukum (SISMINBAKUM)”, Yayasan Kesejahteraan Direktorat jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, hlm. 1.
15 Budi Agus Riswandi, Hukum dan Internet di Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2003, hlm. 43-44.
16 Jurnal Renvoi, Nomor 24, Mei-Juni, 2005, hlm. 34.


Sumber : BUDI F. SUPRIADI