Senin, 10 September 2012

Rumah Susun Sebelum Undang undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun

           

LATAR BELAKANG

Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan upaya untuk memenuhi salah satu kebutuhan dasar manusia, sekaligus juga untuk meningkatkan mutu lingkungan kehidupan, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas lapangan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Dalam rangka peningkatan daya guna tanah bagi pembangunan perumahan dan pemukiman, serta mengefektifkan penggunaan tanah terutama didaerah-daerah berpenduduk padat, maka perlu dilakukan penataan atas tanah sehingga pemanfaatannya betul-betul dapat dirasakan oleh masyarakat banyak. Di kota-kota besar yang lahan tanahnya sudah terbatas perlu diarahkan pembangunan perumahan dan pemukiman diutamakan pada pembangunan rumah susun.

Pembangunan rumah susun merupakan salah satu alternatif pemecahan masalah kebutuhan perumahan dan pemukiman terutama didaerah perkotaan yang jumlah penduduknya terus meningkat, karena dengan pembangunan rumah susun dapat mengurangi penggunaan tanah dan sebagai salah satu cara peremajaan kota  bagi daerah kumuh.

Perlu diketahui bahwa pada tanggal 10 November 2011 telah dibentuk Undang-undang mengenai Rumah Susun yaitu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, namun dalam tulisan ini penulis hanya akan menjelaskan mengenai rumah susun sebelum terbentuknya undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, yaitu Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun.

DASAR HUKUM

Hal-hal mengenai pembangunan rumah susun dan pemilikan satuan rumah susun diatur dalam Undang-undang No. 16 tahun 1985 tentang rumah susun yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Desember 1985. Berbagai ketentuan lain yang mengatur mengenai rumah susun antara lain adalah:

  • Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 1988 tentang Rumah Susun diundangkan pada tanggal 26 April 1988.
  • Peraturan Kepala BPN nomor 2 tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pengisian serta Pendaftaran Akta Pemisahan Rumah Susun ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989.
  • Peraturan Kepala BPN nomor 4 tahun 1989 tentang Bentuk dan Tata Cara Pembuatan Buku Tanah Serta Penerbitan Sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun ditetapkan pada tanggal 27 Maret 1989.
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 tahun 1992 tentang Penyusunan Peraturan Daerah tentang Rusun ditetapkan pada tanggal 17 Maret 1992.
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 60/PRT/1992 tentang Persyaratan Teknis Tentang Pembangunan Rusun ditetapkan pada tanggal 27 Mei 1992.
  • Surat keputusan MENPERA Nomor 17/KPTS/1994 tanggal 17 Nopember 1994 tentang Pedoman Perikatan Jual Beli Satuan Rusun.
  • Keputusan Menpera nomor 06/KPTS/BKPUN/1995 tanggal 26 Juni 1995 tentang Pedoman Pembuatan Akta Pendirian, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Penghuni Rusun.


PENGERTIAN RUMAH SUSUN DAN BAGIAN-BAGIANNYA

1. Rumah Susun

Menurut Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985, Rumah Susun adalah Bangunan Gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horisontal dan vertikal merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan dihuni secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama.

2. Satuan Rumah Susun

Bagian dari sistem rusun yang utama bagi pemilik adalah satuan rumah susun, yang merupakan bagian dari rumah susun yang tujuan peruntukkannya digunakan secara terpisah sebagai tempat hunian yang syaratnya harus mempunyai sarana ke jalan umum sehingga pemiliknya dapat leluasa untuk menggunakannya secara individu tanpa mengganggu orang lain (pasal 1 ayat 2 UURS).

Satuan Rumah Susun merupakan dimensi dan volume ruang tertentu yang mempunyai batas-batas yang jelas. Batas-batas satuan rumah susun sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun1988 tidak selalu dibatasi oleh dinding ( imaginer ), dalam hal dibatasi oleh dinding batas-batasnya adalah permukaan bagian dalam dari dinding pemisah, permukaan bagian bawah dari langit-langit struktur, permukaan bagian atas dari lantai struktur.

Hubungan antara satuan-satuan rusun dengan benda bersama, bagian bersama dan tanah bersama dilihat pada nilai perbandingan proporsional (NPP). Angka NPP menunjukkan seberapa besar hak dan kewajiban dari seorang pemegang hak milik atas satuan rumah susun terhadap hak bersamanya.

NPP dihitung berdasarkan luas atau nilai satuan rusun terhadap jumlah luas bangunan atau nilai rumah secara keseluruhan pada waktu penyelenggara pembangunan pertama kali memperhitungkan biaya pembangunan secara keseluruhan untuk menentukan harga jualnya (pasal 1 ayat 7 PP No. 4 ahun 1988).

3. Tanah bersama

Tanah bersama adalah sebidang tanah yang digunakan atas dasar hak bersama secara tidak terpisah yang diatasnya berdiri rumah susun yang ditetapkan batasnya dengan persyaratan izin bangunan.

Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah yang dikuasai dengan Hak Milik, Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas Tanah Negara atau Hak Pengelolaan.

Hak atas tanah bersama ini sangat menentukan dapat tidaknya seseorang memiliki Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.

Hak Pengelolaan hanya dapat diberikan kepada Badan Hukum yang modalnya dimiliki oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah, jika rusun dibangun diatas Hak Pengelolaan maka Penyelenggaraan Rusun wajib menyelesaikan status Hak Guna Bangunan terlebih dahulu sebelum satuan-satuan Rusun tersebut terjual. Tanah bersama yang jelas batas-batasnya dimana berdiri Rusun dan sarana fasilitasnya disebut dengan Lingkungan Rumah Susun.

4. Bagian Bersama

Bagian bersama adalah bagian rumah susun yang dimilki secara tidak terpisah untuk pemakaian bersama dalam satu kesatuan fungsi dengan satuan rumah susun.

Bagian bersama merupakan struktur bangunan di rumah susun yang terdiri atas:

-         pondasi
-         kolom-kolom
-         sloop
-         balok-balok luar
-         korodor
-         selasar
-         jalan masuk dan jalan keluar
-         dari rusun
-         ruang untuk umum
-         penunjang
-         dinding-dinding struktur utama
-         atap
-         ruang masuk
-         Pintu-pintu dan tangga darurat

Bagian-bagian bersama ini tidak dapat dihaki atau dimanfaatkan sendiri oleh pemilik satuan rumah susun tetapi merupakan hak bersama yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satuan rumah susun yang bersangkutan.

5. Benda Bersama

Benda bersama adalah benda-benda yang bukan merupakan bagian rumah susun tetapi dimiliki bersama serta tidak terpisah untuk pemakaian bersama. Benda bersama terdiri atas:

-         saluran pembuangan air hujan
-         saluran pembuangan air limbah
-         pembuangan sampah
-         tempat pemasangan jaringan telepon
-         generator listrik
-         pertamanan yang ada diatas tanah bersama
-         pelataran parkir
-         penangkal petir
-         fasilitas olahraga dan rekreasi diatas tanah bersama

6. Pertelaan

Untuk dapat melihat keseluruhan sistem rumah susun dari segi hak dan kewajiban dari pemegang hak atas satuan rumah susun sebagaimana diatur pada pasal 39 PP nomor 4/1988 Penyelenggara pembangunan rumah susun wajib memisahkan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun dengan apa yang dinamakan pertelaan yang berisi uraian dalam bentuk uraian dan gambar yang jelas batas masing-masing satuan rumah susun, baik batas vertikal maupun batas horisontal, bagian bersamanya, benda-benda bersamanya serta uraian nilai perbandingan proporsionalnya masing-masing satuan rumah susun.

Pertelaan ini harus disahkan oleh Pemda tk II, khusus DKI Jakarta disahkan oleh Wagub bidang pemerintahan.

Pertelaan ini sangat penting dalam rumah susun karena dari sinilah titik awal dimulainya proses lahirnya hak milik atas satuan rumah susun. Dari pertelaan muncul satuan-satuan rumah susun yang terpisah secara hukum melalui proses pembuatan akta pemisahan.

7. Akta Pemisahan

Pemisahan rumah susun atas satuan-satuan rumah susun dilakukan dengan akta pemisahan yang bentuk dan isinya ditetapkan dengan peraturan Kepala BPN nomor 2 tahun 1989 tentang bentuk dan tata cara pengisian serta pendaftaran akta pemisahan rumah susun.

Akta pemisahan ini harus disahkan oleh Pemda tk II, khusus DKI Jakarta oleh wagub bidang pemerintahan. Akta yang disahkan tersebut wajib diDaftarkan pada Kantor Pertanahan dengan melampirkan:

-         sertifikat hak atas tanah bersama
-         ijin layak huni (ilh)
-         ijin mendirikan bangunan (imb)
-         warkah-warkah lainnya

Akta pemisahan dan warkah lainnya merupakan dasar (semacam surat keputusan hak) bagi penerbitan sertifikat Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.


TUJUAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

Konsep dasar arah kebijaksanaan rumah susun di Indonesia tercantum dalam undang-undang nomor 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun yang berisi tiga unsur pokok yaitu:

  • Konsep tata ruang dan pembangunan perkotaan dengan mendayagunakan tanah secara optimal dan mewujudkan pemukiman dengan kepedulian tinggi.
  • Konsep pengembangan hukum, menciptakan hak kebendaan baru yaitu satuan rumah susun yang dapat dimiliki secara perorangan dengan pemilikan bersama atas benda, bagian dari tanah dan menciptakan badan hukum baru yaitu Perhimpunan Penghuni. Dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya dapat bertindak keluar maupun kedalam atas nama pemilik satuan rumah susun,  berwenang mewujudkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan di rumah susun.
  • Konsep pembangunan ekonomi dan kegiatan usaha, dengan dimungkinkannya kredit konstruksi dengan pembebanan hipotik atau fiducia atas tanah beserta gedung yang masih akan dibangun.

Berdasarkan konsep dan arah kebijaksanaan tersebut, maka tujuan pembangunan rumah susun adalah

  • Pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak.
  • Mewujudkan pemukiman yang serasi, selaras dan seimbang.
  • Meremajakan daerah-daerah kumuh.
  • Mengoptimalkan sumber daya tanah perkotaan.
  • Mendorong pemukiman yang berkepadatan penduduk.


PENYELENGGARA PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

Penyelenggara pembangunan rumah susun sebagaimana disebutkan dalam pasal 5 ayat 2 UU nomor 16 tahun 1985 pembangunan rumah susun diselenggarakan oleh:

  • Badan Usaha Milik Negara atau daerah (BUMN/BUMD)
  • Koperasi
  • Badan usaha milik swasta (BUM Swasta)

BUM Swasta harus memenuhi syarat sebagai Badan Hukum Indonesia


TANAH UNTUK PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

Rumah susun hanya dapat dibangun di atas tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara atau Hak Pengelolaan (pasal 7 No. 16/1985).

Ketentuan khusus dalam rangka melindungi konsumen jika tanah yang digunakan berstatus. Hak pengelolaan yaitu penyelenggara pembangunan wajib menyelesaikan Hak Guna Bangunan di atas hak pengelolaan yang bersangkutan sebelum mulai menjual satuan-satuan rusun yang dibangunnya. Tanah hak apa yang digunakan tergantung pada status hukum penyelenggara pembangunan dan kepada siapa satuan-satuan rumah susun yang digunakan akan dijual.

1.  Hak milik

Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai oleh Warga Negara Indonesia dan badan-badan hukum tertentu yang ditunjuk dalam peraturan pemerintah No. 38 tahun 1963 (Bank Pemerintah, Koperasi Pertanian, Badan-Badan Keagamaan, Badan-Badan Sosial). Mengingat bahwa pemilik rumah susun dan pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah diatas mana rumah susun didirikan, maka satuan rumah susun yang dibangun atas tanah dengan hak milik, hanya terbatas pemilikannya pada perseorangan WNI dan badan-badan hukum yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 th 1963.

2.  Hak Guna Bangunan

Hak Guna Bangunan (HGB) adalah Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, untuk jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun. Subjek HGB adalah WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Keuntungan mendirikan rusun dengan HGB adalah:

  • HGB jangka waktu relatif lama
  • Dapat digunakan sebagai agunan berupa hipotek
  • Dapat dipunyai WNI dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
  • Modal Nasional, Modal Campuran, Modal Asing

3.  Hak Pakai

Hak Pakai adalah Hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atas tanah milik orang lain yang memberi kewenangan dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah. Yang dapat mempunyai tanah dengan hak pakai:

  • Warga Negara Indonesia
  • Warga Negara Asing yang bertempat tinggal di Indonesia
  • Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
  • Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan diIndonesia.

Jangka waktu yang diberikan untuk Hak Pakai 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Hak Pakai diatas hak milik dapat diberikan jangka waktu 25 tahun dan tidak diperpanjang lagi tetapi dapat diperbaharui. Hak pakai dapat dipakai sebagai jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

4.  Hak Pengelolaan

Hak Pengelolaan Tanah adalah hak yang berisikan wewenang untuk:

  • Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah
  • Menggunakan tanah untuk keperluan pelaksanaan usaha sendiri
  • Menyerahkan bagian-bagian tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan pemerintah yang memegang hak itu yang meliputi segi-segi peruntukan, bahwa pemberian penggunaan jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga yang bersangkutan dilakukan oleh pejabat yang berwenang.

Hak pengelolaan atas tanah negara diberikan kepada perusahaan pembangunan perumahan yang seluruh modalnya berasal dari Pemerintah/Pemerintah Daerah. Rumah susun yang dibangun diatas tanah dengan hak pengelolaan, penyelenggara pembangunan wajib menyelesaikan status Hak Guna bangunannya dan menentukan batas status tanah yang bersang-Kutan. Status Hak Guna Bangunan harus sudah selesai sebelum satuan rumah susun dijual, hal ini dimaksud untuk melindungi konsumen/pembeli rumah susun.

PERSYARATAN PEMBANGUNAN RUSUN

Pembangunan rumah susun memrlukan persyaratan teknis dan administratif yang lebih berat dibandingkan dengan perumahan biasa. Rumah susun merupakan bangunan gedung bertingkat yang akan dihuni banyak orang sehingga perlu dijamin keamanan, keselamatan, kenikmatan dalam penghuniannya.

Dalam penjelasan pasal 6 UURS persyaratan teknis antara lain mengatur mengenai:

-        struktur bangunan, komponen dan bahan bangunan
-        keamanan, keselamatan, kesehatan
-         kenyamanan rancang bangunan
-         kelengkapan prasarana, fasilitas lingkungan satuan rumah susun, bagian dan benda bersama

Sedangkan yang dimaksud dengan persyaratan administrasi antara lain mengenai:

-         ijin lokasi (di DKI Jakarta SP3L & SIPPT)
-         advis planning
-         ijin mendirikan bangunan (IMB)
-         ijin layak huni (ILH)
-         sertipikat tanah bersamanya

Berdasarkan persyaratan administrasi, maka pembangunan rusun dan lingkungannya harus dilaksanakan berdasarkan perijinan yang dikeluarkan oleh Pemda sesuai dengan peruntukkannya pasal 30 PP No. 4 tahun 1988 dicantumkan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pembangunan pada permohonannya:

  • Sertipikat Hak atas Tanah (tanah bersama)
  • Fatwa peruntukan tanah
  • Rencana tapak/Site plan
  • Gambar rencana arsitektur yang memuat denah dan potongan beserta pertelaannya yang menunjukkan dengan jelas batassecara vertikal dan horisontal dari satuan rumah susun
  • Gambar rencana struktur beserta perhitungannya
  • Gambar rencana yang menunjukan dengan jelas bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama
  • Gambar rencana jaringan dan instalasi beserta perlengkapannya

Pasal 11 sampai dengan 28 PP nomor 4 tahun 1988 mengatur mengenai persyaratan teknis yang harus dipenuhi dalam pembangunan rumah susun dimana ketentuan-ketentuan teknis tersebut diatur oleh pekerjaan umum (pasal 29 PP nomor 4 tahun 1988). Persyaratan teknis dan administratif sebagaimana dimaksud dalam PP nomor 4 tahun 1988 wajib dipenuhi oleh penyelenggara pembangunan rusun dalam rangka pembangunan rumah susun. Penjualan satuan rumah susun boleh dilakukan setelah dipenuhi syarat-syarat:

  • Memperoleh ijin layak huni (ILH)
  • Mengadakan pemisahan satuan-satuan rusun yang meliputi bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama dalam bentuk pertelaan berupa gambar, uraian pertelaan
  • Membuat sertipikat satuan rumah susun



KEBIJAKSANAAN PEMBANGUNAN RUMAH SUSUN

Bahwa kebijakan dalam pembangunan rumah susun dibeberapa daerah berbeda-beda, namun secara garis besar penerapan kebijakan tersebut, yaitu :

1.  Kebijaksanaan lokasi

Pemilihan lokasi dalam pembangunan rumah susun dijabarkan dengan:
-  harus disesuaikan dengan rbwk/rutrk
- memiliki kepadatan cukup tinggi, direncanakan untuk konsentrasi wilayah pengembangan
- memiliki aksesibilitas yang baik dan mudah dijangkau oleh kendaraan umum dan diharap dekat dengan lokasi kerja
- memungkinkan terjangkau pelayanan jaringan utilitas, fasilitas.

2.  Kebijaksaan Penyuluhan

Kebijaksanaan penyuluhan ditempuh dalam memenuhi kebutuhan perumahan untuk mencapai tujuan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan perumahan yaitu memasyarakatkan perumahan rumah susun.

3.  Kebijaksanaan Pembinaan Masyarakat

Pembinaan ini menyangkut pembinaan sosial yang berkaitan dengan pembinaan perilaku, perubahan dari kebiasaan dari tinggal dirumah horisontal menjadi menghuni rumah vertikal/susun.

·        Kebijaksanaan berdasarkan Sk Gubernur. Kebijaksanaan ini menetapkan  bahwa pengembang perumahan diwajibkan menyediakan lahan seluas 20% dari areal yang dimohon dan membangun rumah susun  murah beserta fasilitasnya pada lahan tersebut.
   
·        Kebijaksanaan Penghunian

Penghunian rumah susun sederhana / murah diproritaskan pada:

-  Masyarakat yang terkena langsung peremajaan dan pembangunan .
- Masyarakat sekitar yang berada dilingkungan rumah susun yang akan dibangun .
-  Pegawai negeri / karyawan Pemda dengan kriteria yang telah ditentukan misalnya masa kerja lebih dari 10 tahun dan berdedikasi baik.
- Masyarakat umum yang berpenghasilan tetap, belum mempunyai rumah sendiri.

Jumat, 07 September 2012

Kepemilikan Tanah ABSENTEE dan LANDREFORM di Indonesia


Dalam melakukan perbuatan hukum tertentu terhadap hak atas tanah, biasanya calon penerima hak diwajibkan membuat pernyataan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 99 PMNA/KBPN No. 3 Tahun 1997. Surat Pernyataan itu antara lain memuat masalah kepemilikan tanah absentee dan landreform. Namun ternyata tidak sedikit yang kurang paham mengenai absentee dan landreform. Bahkan saya pernah membaca ada akta Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah sawah, dan Pembelinya berstatus absentee.
Pelaksanaan landreform diatur oleh Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagaimana dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961 telah disahkan menjadi Undang-Undang. Landreform dalam arti sempit adalah upaya penataan ulang struktur pemilikan dan penguasaan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep agrarian reform (pembaruan agraria). Landreform di Indonesia berinduk kepada UUPA, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 UUPA sebagai berikut:
“Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”.
Di dalam konsep hukum agraria nasional, bahwa landreform merupakan bagian dari struktur pembaruan agraria (agrarian reform). Maka dapat dikatakan landreform adalah agrarian reform dalam arti sempit yaitu hanya mencakup tanah, sedangkan agrarian reform dalam arti luas mencakup bumi, air dan ruang angkasa.
Sebenarnya pembaruan agraria bukanlah gagasan baru. Usianya sudah lebih dari 2500 tahun. Landreform yang pertama di dunia, terjadi di Yunani Kuno, 594 tahun Sebelum Masehi. Slogan land-to-the-tillers (tanah untuk penggarap), itu sudah berkumandang 565 tahun Sebelum Masehi. Selanjutnya, melalui tonggak-tonggak sejarah: landreform di jaman Romawi Kuno (134 SM), gerakan pencaplokan tanah-tanah pertanian oleh peternak biri-biri di Inggris selama ± 5 abad, dan Revolusi Perancis (1789-1799), maka sejak itu hampir semua negara-negara di Eropa melakukan landreform. Apalagi setelah Perang Dunia Kedua, pembaruan agraria dilakukan dimana-mana (Asia, Afrika, dan Amerika Latin). [1]
Menurut Boedi Harsono, Program landreform di Indonesia meliputi :
1.    Pembatasan luas maksimum penguasaan tanah.
2.    Larangan pemilikan tanah secara apa yang disebut ‘absentee’ atau ‘guntai’.
3.    Redistribusi tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum, tanah-tanah yang terkena larangan ‘absentee’, tanah-tanah bekas Swapraja dan tanah-tanah negara.
4.    Pengaturan soal pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.
5.    Pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian.
6.    Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. [2]
Adapun larangan pemilikan tanah secara absentee berpangkal pada dasar hukum yang terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) UUPA, yaitu sebagai berikut :
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan”.
Untuk melaksanakan amanat UUPA, maka Pasal 3 ayat (1) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan sebagai berikut :
“Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di Kecamatan tempat letak tanah itu atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut”.

Selanjutnya Pasal 3d PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964 menentukan :
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk memindahkan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal”.
Dengan demikian, terdapat beberapa esensi yang merupakan ketentuan dari absentee, antara lain :
1.    Tanah-tanah pertanian wajib dikerjakan atau diusahakan sendiri secara aktif.
2.    Pemilik tanah pertanian wajib bertempat tinggal di Kecamatan tempat letak tanahnya.
3.    Pemilik tanah pertanian yang bertempat tinggal di luar Kecamatan tempat letak tanahnya, wajib mengalihkan hak atas tanahnya atau pindah ke Kecamatan letak tanah tersebut.
4.    Dilarang memindahkan atau mengalihkan hak atas tanah pertanian kepada orang atau badan hukum yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Kecamatan tempat letak tanahnya.
5.    Larangan pemilikan tanah secara absentee hanya mengenai tanah pertanian.
Pengecualian terhadap ketentuan penguasaan dan pemilikan tanah secara absentee, bahwa “Pemilik tanah yang bertempat tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan tempat letak tanahnya, asalkan masih memungkinkan tanah pertanian itu dikerjakan secara efisien” (vide Pasal 3 ayat (2) PP No. 224/1961 jo. PP No. 41/1964).

Kemudian masih dalam Pasal 3 ayat (2) tersebut, penilaian tentang  apa yang dimaksud “mengerjakan tanah itu secara effisien”, pertimbangannya dipercayakan kepada Panitya Landreform Daerah Tingkat II. Jadi sah-sah saja jika misalnya Panitya Landreform Daerah Tingkat II menetapkan bahwa perkecualian Kecamatan yang berbatasan itu ditetapkan dalam radius 10 km. Namun yang perlu dipertanyakan, apakah radius tersebut effektif diterapkan dalam era sekarang, mengingat saat ini transportasi sudah sangat mudah. Kita harus melihat ke belakang saat Peraturan tersebut diterbitkan, yaitu pada era dimana transportasi masih sulit. Maka di sini, perlu kebijaksanaan yang matang dari Panitya Landreform Daerah Tingkat II untuk menetapkan batas-batas ke-effisienan tersebut. Jangan asal ngomong… Sehingga Notaris/PPAT mempunyai patokan (dasar) untuk membuat Akta Jual Beli jika objeknya tanah sawah tetapi calon pembeli bertempat tinggal di Kecamatan yang berbatasan dengan Kecamatan letak objek, dan tidak mengalami kendala jika diproses balik nama di Kantor Pertanahan setempat.
Mengenai pengertian bahwa pemilik atau calon pemilik bertempat tinggal atau pindah di Kecamatan tempat letak tanah dimaksud, telah ditegaskan oleh Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria No. III Tahun 1963 tentang Pencegahan Usaha-Usaha Untuk Menghindari Pasal 3 PP No. 224/1961, yaitu sebagai berikut :
“Pindah ke Kecamatan letak tanah” sebagai dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 Tahun 1961 haruslah diartikan bahwa mereka yang pindah ke tempat letak tanah benar-benar berumah tangga dan menjalankan kegiatan-kegiatan hidup bermasyarakat dalam kehidupan sehari-hari di tempat yang baru, sehingga memungkinkan penggarapan tanah secara efisien”.

Mengamati Pedoman Menteri Pertanian dan Agraria tersebut, maka secara nyata yang bersangkutan pindah ke tempat letak tanah dimaksud, berumah tangga, dan menjalankan kegiatan hidup bermasyarakat, bukan sekedar pernyataan KTP. Maka kepada PPAT perlu memperhatikan Pasal 39 ayat (1) huruf g PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi :
PPAT menolak untuk membuat akta, jika : tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan”.

Sanksi bila PPAT mengabaikan ketentuan dimaksud terdapat dalam Pasal 62 PP 24/1997 tersebut.
Sementara di dalam UUJN tidak ditentukan secara eksplisit seperti pada PP 24/1997. Bahkan dalam Pasal 17 UUJN tentang larangan pun tidak ada ketentuan tersebut. Namun secara implisit ketentuan itu terdapat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d, yaitu :
“Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban : memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya”.

Sementara di dalam Penjelasannya dikatakan: “Yang dimaksud dengan “alasan untuk menolaknya” adalah alasan yang mengakibatkan Notaris tidak berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan Notaris sendiri atau dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan bertindak untuk melakukan perbuatan, atau hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang”.

Yang dimaksud dengan “hal lain yang tidak dibolehkan oleh undang-undang” tentunya tidak terbatas pada UUJN, tetapi pengertiannya luas, termasuk larangan tentang kepemilikan tanah secara absentee sebagaimana diuraikan di atas. Kalau tidak, maka Notaris yang bersangkutan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Jadi, tidak dapat dibenarkan bila ada Perjanjian Ikatan Jual Beli yang objeknya adalah tanah pertanian (sawah) tetapi pembelinya berkedudukan absentee. Perjanjian Ikatan Jual beli sekalipun merupakan perjanjian permulaan, tetapi pada hakikatnya adalah jual-beli. Tidak ada satu pasal pun dalam peraturan perundang-undangan  yang mengecualikan diperbolehkan dibuat Perjanjian Ikatan Jual Beli terhadap kepemilikan tanah absentee. Dibuat Perjanjian Ikatan Jual beli karena ada beberapa syarat yang belum bisa dipenuhi, tetapi bukan berarti belum dipenuhinya syarat itu (misalnya status objek masih berupa tanah sawah) maka dibuat perjanjian yang isinya justru melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan (larangan pemilikan tanah absentee). Hal ini akan menjadi problem di kemudian hari apabila si Pembeli hendak menindaklanjuti dengan pembuatan Akta Jual Beli. Sesuai dengan amanat Pasal 15 ayat (2) huruf e UUJN, seharusnya Notaris menjelaskan (memberikan penyuluhan hukum) kepada para pihak tentang larangan tersebut.

Ada dua cara untuk mengatasi masalah kepemilikan tanah secara absentee bagi calon pembeli, yaitu:
1.    Pemohon (calon penerima hak) bertempat tinggal secara nyata di Kecamatan tempat letak objek (lihat uraian di atas).
2.    Status tanah sawah (pertanian) tersebut diubah dahulu menjadi tanah pekarangan. Hal ini biasa dikenal dengan Ijin Pengeringan.

Apabila tanah sawah yang dimaksud sudah tidak produktif, maka tidak ada masalah jika diberikan Ijin Pengeringan. Namun apabila ternyata tanah pertanian (tanah sawah) itu masih produktif tetapi dapat diberikan Ijin Pengeringan, maka program landreform – untuk kesekian kalinya akan kandas di tengah jalan. Padahal Bung Karno dalam Pidato JAREK (Jalannya Revolusi Kita, yaitu Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960), menyatakan bahwa : “Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi…. Gembar-gembor tentang Revolusi, Sosialisme Indonesia, Masyarakat Adil dan Makmur, Amanat Penderitaan Rakyat, tanpa melaksanakan Landreform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di pasar Tanah Abang atau di Pasar Senen”. [3]
Salam, denbagusRasjid


* Materi merupakan cuplikan dari Tesis penulis, 2007.
[1] Gunawan Wiradi, Dampak Land Reform terhadap Perekonomian Negara, http://rumahkiri.net/index.php?option=com_content&view=article&id=165:dampak-land-reform-terhadap-perekonomian-negara&catid=38:diskursus&Itemid=97
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi Dan Pelaksanaannya, Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta, Cet. ke-8, 1999, h. 353.
[3] Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jilid 2, Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, Cet. ke-2, 1965, h. 419.

PEMBAGIAN HAK MENGGUNAKAN APHB ATAU APHW




Ada seorang ibu yang mempunyai 3 (tiga) orang anak kandung: A, B dan C. Sertipikat Hak Atas Tanah tertulis atas nama suaminya yang sudah meninggal dunia. Atas kesepakatan bersama, mereka hendak menyerahkan hak atas tanah dimaksud kepada ibu tersebut. Pertanyaannya, akta apa yang harus dibuat, Akta Pembagian Hak Barsama (APHB = akta PPAT), ataukah Akta Pembagian Harta Warisan (APHW = akta Notaris)..?Selama ini, di beberapa Kantor Pertanahan minta agar dibuat APHB, jika dibuat APHW maka resikonya akta tersebut akan ditolak.

Untuk menjawab ini, mari kita melihat Pasal 111 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) PerMenAg/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997, yaitu sebagai berikut :

(3)    Akta mengenai pembagian waris sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan oleh semua ahli waris dengan disaksikan oleh 2 orang saksi atau dengan akta notaris.
(4)    Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan belum ada pembagian warisan, maka pendaftaran peralihan haknya dilakukan kepada para ahli waris sebagai pemilikan bersama, dan pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

(5)    Apabila ahli waris lebih dari 1 (satu) orang dan pada waktu pendaftaran peralihan haknya disertai dengan akta pembagian waris yang memuat keterangan bahwa hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun tertentu jatuh kepada 1 (satu) orang penerima warisan, maka pencatatan peralihan haknya dilakukan kepada penerima warisan yang bersangkutan berdasarkan akta pembagian waris tersebut.

Sementara itu, ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) di atas, berbunyi sebagai berikut :

(1)    Pembagian hak bersama atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun menjadi hak masing-masing pemegang hak bersama didaftar berdasarkan akta yang dibuat PPAT yang berwenang menurut peraturan yang berlaku yang membuktikan kesepakatan antara para pemegang hak bersama mengenai pembagian hak bersama tersebut.

Dengan demikian, Pasal 111 ayat (4) PerMenAg/Ka.BPN Nomor 3 Tahun 1997, merujuk kepada pembuatan APHB yang dibuat PPAT (akta PPAT) apabila dikemudian hari terjadi pembagian hak. Pengertian ayat (4) tersebut, bahwa oleh karena terjadi ‘peristiwa hukum’ akibat meninggalnya ‘Pewaris’ sebagai pemegang hak atas tanah, maka sertipikat hak atas tanah dibalik-nama ke atas nama para ahli waris (misalnya atas dasar Surat Keterangan Ahli Waris). Setelah sertipikat hak atas tanah tertulis atas nama para ahli waris, lalu di kemudian hari terjadi pembagian hak, maka dibuatlah APHB (perhatikan penekanan kalimat “…dan pembagian hak selanjutnya dapat dilakukan sesuai ketentuan Pasal 51 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997”). Pasal 51 PP 24/1997 itu berbicara tentang APHB. Maka pembagian hak selanjutnya itu baru dilakukan dengan pembuatan APHB.

Sedangkan ayat (5) merujuk kepada APHW yang dibuat Notaris (akta notariil). Pengertiannya, bahwa jika sertipikat hak atas tanah masih tertulis atas nama ‘Pewaris’ yang telah meninggal dunia, tetapi para ahli waris sepakat melakukan pembagian hak, maka yang harus dibuat adalah APHW, bukan APHB.
Jadi logika hukumnya adalah :

1.    Apabila sertipikat hak atas tanah masih tertulis atas nama ‘Pewaris”, tetapi para ahli waris sepakat menyerahkan hak bagiannya kepada salah seorang penerima warisan, maka harus dibuat Akta Pembagian Harta Warisan (APHW).

2.    Apabila sertipikat hak atas tanah sudah tertulis atas nama para ahli waris, tetapi selanjutnya di antara mereka sepakat menyerahkan hak bagiannya kepada salah seorang atau lebih, maka harus dibuat Akta Pembagian Hak Bersama (APHB).

Jawaban atas kasus seorang ibu dan tiga anaknya di atas, seharusnya dibuat APHW, bukan APHB.
Menurut informasi, APHW sudah dapat diterima dan diproses oleh Kantor Pertanahan Kota Surabaya. Nah, bagaimana dengan Kantor Pertanahan yang lainnya..? Semoga saja dapat dilaksanakan, karena toh PP 24/1997 dan PerMenAg/Ka.BPN No. 3/1997 notabene adalah peraturannya BPN…