A. Latar Belakang Masalah
Berdasarkan Evaluasi Perekonomian Tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagaimana diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat (2005 : 9) yang menyebutkan bahwa :
Perekonomian Indonesia tahun 2005 diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 5-6 %, dengan disertai perbaikan komposisi komponen pendorong pertumbuhan ekonomi. Kegiatan investasi diperkirakan akan menjadi faktor pendorong terbesar, sementara konstribusi komsumsi rumah tangga diperkirakan akan sedikit melambat meskipun masih tetap tumbuh tinggi. Dinamisnya permintaan domestik ini juga diperkirakan juga akan mampu direspon oleh dunia usaha dengan meningkatkan utilisasi kapasitas produksinya. Hal ini dindikasikan dari pesatnya kegiatan impor bahan baku dan modal yang telah berlangsung sejak tahun sebelumnya. Investasi baru yang mampu meningkatkan kapasitas produksi diperkirakan juga semakin meningkat sebagaimana yang diindikasikan oleh naiknya pemberian ijin usaha terbatas (IUT) baik oleh PMDN maupun PMA. Sementara itu, sejalan dengan situasi perekonomian dunia yang tidak secerah tahun sebelumnya, sumbangan kegiatan ekspor barang dan jasa diperkirakan juga akan semakin melambat meskipun masih tumbuh cukup tinggi.
Adanya indikasi tersebut diatas sangat memungkinkan prospek pengembangan lelang di masa depan lebih menguntungkan dalam era globalisasi. Hal ini juga yang telah diungkapkan oleh Sutardjo (1997 : 10) bahwa mengenai berbagai hal kondusif prospek pengembangan lelang yaitu antara lain sebagai berikut :
(a) tersedianya berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan penyelenggaraan lelang, seperti jaringan telekomunikasi yang memadai, jaringan perbankan yang luas dan lain sebagainya, akan mempermudah akses lelang swasta untuk mewujudkan lelang yang professional ;
(b) Di Indonesia, tersedia berbagai barang dan berbagai macam industri barang dan jasa yang dapat memanfaatkan sistem lelang. Bahkan industri perbankan juga sangat memerlukan bantuan lelang, terlebih setelah merebak dan meningkatnya kasus kredit bermasalah ;
(c) Stabilitas politik dan perkembangan laju perekonomian yang mantap juga akan menjamin kelangsungan pertumbuhan lelang di Indonesia. Sifat lelang yang cocok untuk menjual berbagai jenis barang termasuk barang seni yang banyak tersedia di Indonesia, daya beli masyarakat yang semakin meningkat sangat menguntungkan bagi perkembangan lelang ;
(d) Dalam kaitannya dengan perkembangan peraturan perundangandi bidang ekonomi nampaknya cukup kondusif dan memungkinkan terjadinya perluasan kegiatan di bidang lelang, terbukti antara lain dalam Undang-undang Hak Tanggungan memilih cara lelang sukarela sebagai satu prinsip dalam penjualan aset debitornya. Apabila konsep lelang sukarela benar-benar dapat diterapkan dengan baik, bukan tidak mungkin akan meringankan penanganan kredit macet yang jumlahnya makin besar itu ;
(e) Sejalan dengan akan diterapkan perdagangan bebas di Indonesia , baik dalam taraf regional (Asean Free Trade Area) maupun internasional (World Trade Organization), di masa yang akan datang usaha jasa di bidang lelang kiranya akan semakin berkembang. Pada saat itu akan semakin terbuka hak pengusaha asing untuk membuka perwakilannya di negara tujuan investasi diberbagai bidang usaha termasuk bidang lelang. Dengan demikian di dalam era globalisas, akan terbuka perdagangan antar negara yang semakin bebas. Peranan lelang dalam perekonomian Indonesia akan semakin meningkat.
(f) Political will pemerintah untuk mendorong berdirinya balai lelang kiranya tidak diragukan lagi dan dapat menjadi indikasi prospek yang baik dari bisnis ini ;
(g) Keberadaan balai lelang melalui kebijaksanaan deregulasi kiranya merupakan faktor pendukung pengembangan lelang di Indonesia. Dengan penyelenggaraan lelang yang professional , Balai lelang dapat memberikan bukti bahwa sistem lelang benar-benar merupakan cara penjualan barang yang aman, efisien dan transparan. Dengan demikian diharapkan balai lelang juga dapat turut serta mendidik masyarakat untuk mencintai lelang.
Lelang merupakan sarana perekonomian yang keberadaannya telah sejak lama berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam literatur Yunani yang menyebutkan bahwa lelang telah lama dikenal dalam sejarah manusia, yaitu sejak 450 tahun sebelum Masehi. Pada saat itu, penjualan lelang untuk hasil-hasil karya seni, tembakau dan kuda. Namun demikian dalam perkembangannya, pelaksanaan lelang tidak lagi terbatas pada jenis barang yang disebut di atas, karena penjualan harta jarahan perang, termasuk para budak di jaman Romawi, juga dilakukan secara lelang (Sutardjo, 1997 : 7).
Perkembangan selanjutnya di mana lelang juga telah lama dikenal oleh beberapa negara maju yaitu Inggris, Belanda, Australia, Swiss dan Amerika Serikat sebagai suatu alternatif penjualan barang yang menguntungkan, efisien dan efektif. Hal ini disebabkan oleh karena penjualan barang melalui lelang dianggap mempunyai beberapa kelebihan sebagaimana yang diungkapkan oleh Sutardjo (1997 : 8) sebagai berikut :
lelang mengandung berbagai hal yang positif, yaitu :
a) adil, karena lelang bersifat terbuka atau transparan dan obyektif, sehingga dalam pelaksanaannya ada social control ;
b) aman, karena lelang disaksikan, dipimpin, dan/atau dilaksanakan oleh pejabat lelang selaku pejabat umum yang professional dan independent serta diangkat oleh pemerintah ;
c) cepat, karena lelang selalu didahului dengan pengumuman lelang sehingga peserta/calon pembeli lelang dapat berkumpul pada satu hari yang telah ditentukan dan transaksi pembayaran dapat langsung terjadi dengan yang umumnya dilakukan secara tunai ;
d) mewujudkan harga yang wajar, karena sistim penawaran lelang yang bersifat kompetitif dan transparan. Dalam hal ini kepentingan pemilik barang/penjual terlindungi karena yang menentukan harga limit/harga minimal adalah pemohon lelang/pemilik barang. Para peminat bersaing mengajukan penawaran barang yang semakin meningkat, sehingga pemenang nya adalah penawar dengan penawaran yang tinggi ;
e) kepastian hukum, karena atas pelaksanaan lelang tersebut oleh pejabat lelang dibuat akta otentik yang disebut Risalah Lelang. Dengan Risalah Lelang pihak pembeli dapat mempertahankan haknya, dapat digunakan untuk balik nama.
Sebagaimana diketahui selama ini bahwa penjualan suatu barang dapat dilakukan melalui tiga cara penjualan yaitu :
(a) penjualan konvensional yaitu penjualan non lelang (penjualan yang dilakukan pada umumnya di masyarakat),
(b) penjualan secara tender dengan amplop tertutup (sebagaimana yang terjadi dalam pembangunan suatu proyek)b dan
(c) penjualan secara lelang yang dilakukan secara terbuka dan lisan yang mana negara maju dikenal dengan nama auction.
Cara penjualan melalui lelang di Indonesia telah lama dikenal secara resmi sejak tahun 1908 yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement (Peraturan Lelang , Stb. 1908 No.189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang, Stb. 1908 No. 190), namun pada perkembangan belum menunjukkan hasil yang maksimal, padahal menurut Bachtiar Sibarani (2003 : 71) bahwa :
Indonesia adalah salah satu negara yang telah lama meresmikan penggunaan lelang baik pada penjualan barang swasta maupun pada pencairan inventaris negara dan barang sitaan dalam proses peradilan. Akan tetapi pelaksanaan lelang di Indonesia masih sangat rendah dan relatif tidak berkembang. Jika melihat hasil pelaksanaan lelang dibandingkan dengan perkembangan perekonomian nasional pada umumnya, maka hasil lelang relatif statis.
Hal tersebut diakibatkan oleh karena pelaksanaan lelang yang berlaku di Indonesia lebih dominan pada penjualan lelang eksekusi atau sebagai sarana untuk melaksanakan suatu keputusan yaitu sebagai contohnya putusan Hakim Pengadilan Negeri dan putusan PUPN, sehingga kesannya seolah-olah lelang hanya merupakan pelaksanaan suatu eksekusi dan pelaksanaan penjualan barang-barang pemerintah saja. Disamping itu, juga seringkali muncul asumsi di dalam masyarakat bahwa penjualan melalui lelang merupakan penjualan yang menakutkan karena barang yang dilelang biasanya berasal dari barang sitaan atau barang yang berasal dari orang yang bermasalah.
Mengingat keterbatasan dari Kantor Lelang Negara dalam mengembangkan lelang di Indonesia dan upaya pemerintah untuk menghilangkan kesan tersebut diatas maka pemerintah melakukan penyempurnaan peraturan lelang yang mana dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia (SK.MENKEU RI) No.304/KMK.01/2002 dan No.305/KMK.01/2002 yang mengatur mengenai Pelaksanaan Lelang dan Pejabat Lelang.
Pengaturan Balai Lelang untuk pertama kalinya diatur dalam SK.MENKEU RI No.47/KMK.01/1996 yang berlaku sejak ditetapkan pada tanggal 25 Januari 1996. Pengaturan mengenai Balai Lelang sebelumnya tidak diatur dalam Vendu Reglement (VR) dan Vendu Instructie (VI). Ketentuan tersebut memberikan “angin segar” bagi pihak swasta untuk membuka dan mengelola usaha di bidang lelang sukarela. Langkah ini diambil karena lelang sebagai sarana perekonomian belum berfungsi secara optimal yang mana kebutuhan masyarakat dalam memanfaatkan lelang secara sukarela sangat potensial untuk dikembangkan. Selanjutnya ketentuan tersebut mengalami penyempurnaan yaitu dengan dikeluarkannya SK. MENKEU RI No. 299/KMK.01/1997. Salah Satu penyempurnaannya berupa dihapuskannya Bea Lelang dengan demikian maka dunia usaha mulai tertarik, sehingga banyak didirikan Balai Lelang swasta dan penyempurnaan terakhir yaitu SK.MENKEU RI No.306/KMK.01/2002. Penyempurnaan dalam ketentuan tersebut berupa perubahan yang mendasar mengenai definisi Balai Lelang, modal dan bentuk usaha Balai Lelang serta permohonan ijin operasional Balai Lelang.
Perkembangan situasi sebelum tahun 1996 yang semakin pesat menyebabkan Kantor Lelang Negara dalam memenuhi permintaan lelang di Indonesia tidak dapat secara optimal sehingga menyebabkan banyak pelaksanaan lelang di Indonesia mengalami penundaan dan hasilnya kurang maksimal. Salah satu keterbatasan yang dimiliki oleh Kantor Lelang Negara pada waktu itu, dimana lelang hanya dapat dilaksanakan melalui Kantor Lelang Negara atau Kantor Lelang Juru Lelang Kelas II. Oleh karenanya permintaan lelang tidak bisa ditampung oleh dua instansi tersebut, mengingat dalam kenyataannya Kantor Lelang Juru Lelang Kelas II hanya ada di Bogor.
Upaya lebih lanjut dari pemerintah untuk meningkatkan pelayanan di bidang lelang yaitu dengan mempertimbangkan perlunya pengembangan profesi Pejabat Lelang maka pemerintah mengeluarkan SK.MENKEU RI No.338/KMK.01/2000 yang mengatur mengenai Pejabat Lelang yang mulai berlaku tanggal 18 Nopember 2000.
Selanjutnya segala ketentuan yang mengatur mengenai hal yang sama dinyatakan tidak berlaku. Menurut Bachtiar Sibarani (2003 : 74) bahwa :
Ada beberapa ketentuan dalam SK.MENKEU RI tersebut di atas yang merupakan aturan lelang yang baru dan berkaitan dengan Balai Lelang yaitu :
1. Pejabat Lelang Kelas II hanya dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya selama berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II atau Balai Lelang dalam wilayah kerjanya ;
2. Penempatan Pejabat Lelang Kelas II pada Balai Lelang dilakukan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya SK.MENKEU RI tersebut ;
3. Sambil menunggu penempatan Pejabat Lelang Kelas II, Balai Lelang dapat meminta bantuan dari KLN.
Perkembangan selanjutnya dalam Pasal 5 SK.MENKEU RI tersebut telah diubah dengan diterbitkannya SK.MENKEU RI No.508/KMK.01/2000 yang mana dalam Pasal 5 ayat 3 menyebutkan bahwa Penempatan Pejabat Lelang Kelas II pada Balai Lelang dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya SK.MENKEU tersebut. Ketentuan tersebut jelas sangat menghilangkan kemandirian Balai Lelang dalam jangka 5 (lima) tahun ke depan.
Setelah 2 (dua) tahun berlakunya SK.MENKEU tersebut maka dalam rangka reorganisasi Departemen Keuangan dan peningkatan pelayanan di bidang lelang, selanjutnya pemerintah menyempurnakan ketentuan tersebut di atas dengan menerbitkan SK.MENKEU RI No.305/KMK.01/2002 yang mengatur mengenai Pejabat Lelang. Ketentuan di dalam SK.MENKEU tersebut menyatakan bahwa segala ketentuan yang mengatur hal yang sama dalam SK.MENKEU RI No.338/KMK.01/2000 dan diubah dengan SK.MENKEU RI No.508/KMK.01/2000 dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya dalam SK.MENKEU No. 305/KMK.01/2002 terdapat beberapa ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan mengenai Pejabat Lelang yaitu :
1. Pejabat lelang dibedakan dalam dua tingkat yaitu : Pejabat lelang kelas I dan kelas II, yang berkedudukan di Kantor Pejabat lelang kelas II atau Balai Lelang ; khusus Pejabat lelang kelas II yang berkedudukan di Balai lelang diangkat untuk masa jabatan 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali ;
2. Penempatan pejabat lelang kelas II pada balai lelang dilakukan paling lambat dalam waktu 4 (empat) tahun sejak berlakunya SK MENKEU ini. Sambil menunggu penempatan Pejabat lelang kelas II, Balai Lelang dapat meminta bantuan Pejabat Lelang dari KP2LN ;
3. Pejabat lelang kelas II yang berkedudukan di Balai lelang hanya berwenang melaksanakan lelang sukarela, lelang aset milik bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1997.
Ketentuan SK MENKEU tersebut di atas memberi harapan bagi Balai Lelang untuk dapat hidup tanpa ketergantungan pada KLN dalam waktu 4 (empat) tahun yang akan datang. Meskipun demikian, waktu yang dimaksud masih sangat lama dan masih merupakan manifestasi persaingan tidak sehat oleh jajaran KP2LN/DJPLN sebab sesuai dengan ketentuan pasal 1 huruf b SK MENKEU No. 47/KMK.01/1996 sudah sejak tanggal 25 Januari 1996 MENKEU memungkinkan pengangkatan Pejabat Lelang pada Balai Lelang yang bukan berasal dari pegawai BUPLN (Bachtiar Sibarani, 2003 : 74).
Adanya ketentuan tersebut di atas maka menjadi hal yang menarik untuk diteliti mengingat hingga saat ini penempatan Pejabat Lelang Kelas II di Balai Lelang Swasta seharusnya berasal dari kalangan profesi sebagai contohnya Notaris, belum dapat direalisasikan dan masih meminta bantuan dari Pejabat Lelang Kelas I KP2LN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar