Latar belakang: Konteks sejarah
Lahirnya UUP No. 1/1974 pada hakekatnya telah melewati suatu proses panjang dari rentetan perjuangan kaum perempuan di Indonesia menuntut keadilan dan pengakuan atas hak-hak asasinya. Setidaknya kita bisa mencatat sejak perjuangan R.A. Kartini baik melalui surat-suratnya yang menceritakan kegelisahan beliau terhadap kondisi kaumnya maupun melalui pengalamannya sendiri dalam keluarganya. Sepanjang hidupnya beliau menentang kungkungan tradisi yang ditanamkan lewat institusi keluarga dan perkawinan, termasuk ketika beliau pada akhirnya tidak berdaya menolak poligami, bentuk kekerasan yang paling nyata atas harkat dan martabatnya sebagai manusia.
Isu persamaan atau ‘emansipasi’ yang digulirkan Kartini selanjutnya memberi inspirasi pada perempuan-perempuan sesudahnya yang percaya bahwa tidak mungkin menghapus masalah perempuan tanpa berorganisasi dan melakukan aksi perubahan yang nyata. Sejak itu muncullah organisasi-organisasi perempuan dan gerakan perempuan yang mengkritisi berbagai kondisi ketidakadilan yang dialami perempuan sampai kemudian menggiring pada upaya lahirnya UUP.
Jelas kaum perempuan berkepentingan dengan adanya UUP. Mewujudkan UUP yang mengangkat harkat dan martabat perempuan merupakan harapan dari semua kelompok perempuan saat itu. Tambah lagi menjelang tahun-tahun lahirnya UUP, berbagai masalah di seputar perkawinan semakin menguat dan menjadi keprihatinan organisasi-organisasi perempuan, antara lain kasus poligami, kawin paksa, kawin anak-anak, perceraian dan perkawinan sewenang-wenang.
Substansi UUP: Sebuah Ambivalensi yang mengukuhkan subordinasi perempuan.
Meskipun UUP dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan, namun bila melihat dari substansi pasal-pasalnya, terdapat ambivalensi yang cukup mendasar dan kembali mempertegas subordinasi perempuan (istri) terhadap laki-laki (suami). Di satu sisi misalnya, pasal 31 ayat 2 menjelaskan adanya kapasitas dan kemampuan yang sama antara perempuan dan laki-laki baik dalam mengelola rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Mereka juga sama-sama berhak melakukan perbuatan hukum. Namun di dalam pasal 31 ayat 3 terdapat ketentuan yang mendudukkan laki-laki sebagai sentral figur keluarga, yaitu sebagai kepala rumah tangga. Selain itu mengukuhkan stereotype peran seksual perempuan sebagai pekerja domestik. Lewat UUP jugalah privilis seksual laki-laki untuk menikahi perempuan lebih dari satu, dilegitimasi dan diatur.
Melihat kenyataan ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa UUP adalah respon dari pemerintah dalam hal ini ditujukan untuk mengubah status hukum perempuan, tidak sepenuhnya benar. UUP yang dilahirkan dalam era orde baru dengan strategi pertumbuhan ekonomi itu justru membakukan domestikasi perempuan. Domestikasi ini mengarah pada penjinakan, segregasi dan upaya depolitisasi perempuan. Domestikasi juga menghasilkan kepatuhan pekerja perempuan dengan bayaran rendah (karena dianggap bukan pencari nafkah utama) untuk menunjang industri terutama industri ringan yang berorientasi eksport.
Tidak terlalu mengejutkan bahwa UUP sejauh ini terlihat masih jauh dari harapan kelompok perempuan. Kerna bila kita simak dari proses pembentukannya, UUP pada dasarnya merupakan cerminan pertarungan dari tiga kelompok kepentingan yang ada saat itu. Pertama, adalah negara/pemerintahan Orde Baru yang berkepentingan untuk menyelamatkan strategi pembangunannya (Ideologi pembangunanisme). Kedua, agama dengan kepentingan pengukuhan kekuasaan dan kewenangannya. Terakhir, perempuan, meskipun merupakan kelompok yang paling awal mengambil momentum pembahasan RUU sebagai sebuah kesempatan untuk memperjuangkan perbaikan nasib, secara perlahan-lahan tersingkir ke pinggir arena dan menyerah terhadap kepentingan pihak lain yang semakin melanggengkan struktur yang tidak adil tersebut.
Perkembangan Situasi Perempuan dan Wacana Hak-hak Asasi Manusia : Pentingnya Amandemen UUP
Sudah 29 tahun, masa yang dilewatkan oleh UUP ini sejak tahun lahirnya 1974. Dalam rentang waktu yang sedemikian lama dan panjang tersebut, adalah wajar bila banyak perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat khususnya berkaitan dengan situasi perempuan. Misalnya, fenomena perempuan sebagai kepala rumah tangga yang dari tahun ke tahun terus meningkat, hal mana tidak bisa dijelaskan melalui UUP yang membatasi hanya suami yang menjadi kepala rumah tangga.
Selain itu, perkembangan wacana hak-hak asasi manusia secara internasional telah mendorong banyak pihak untuk mewujudkan pengakuannya secara konkret di tingkat nasional dalam berbagai bentuk pengakuan hukum (legal instrument). Sejak dari UU HAM, UU Pengadilan HAM sampai pada UU Perlindungan Anak yang membatasi usia anak adalah di bawah 18 tahun. UUP yang masih menetapkan batas usia perkawinan bagi perempuan adalah 16 tahun jelas tertantang dengan adanya perkembangan terakhir ini. Artinya UUP bisa dikategorikan melegitimasi pernikahan anak-anak menurut wacana terakhir HAM ini.
Instrumen-instrumen hukum yang menjadi landasan usulan Amandemen UUP
Berbagai instrumen hukum yang mengkerangkai usulan amandemen UUP ini sebagai berikut:
1. Amandemen UUD 1945, khususnya amandemen kedua Pasal 28 UUD 1945 yang mencantumkan ketentuan bahwa setiap orang harus bebas dari diskriminasi atas dasar apapun.
2. GBHN Tahun 1999-2004, BAB IV mengenai arah kebijakan tentang kedudukan dan peranan perempuan: “meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui kebijakan yang diemban oleh lembaga yang mampu memperjuangkan terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.’
3. UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Pasal 51 menyebutkan hak dan tanggungjawab yang sama dalam kehidupan perkawinan.
4. UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Perempuan (CEDAW). Pasal 16:
· Hak dan tanggung jawab yang sama dalam semua urusan yang berhubungan dengan perkawinan dan hubungan kekeluargaan atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan;
· Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, memilih suami/pasangan yang bebas;
· Hak dan tanggung jawab yang sama selama perkawinan dan pemutusan perkawinan;
· Hak dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan dan pengangkatan anak;
· Hak yang sama sebagai suami isteri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi, jabatan.
5. UU No. 23 Tahun 2002
Pasal 1 (Ketentuan Umum) : Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pasal 7 (ayat 1) : Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
6. Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan
Pasal 1:
“Kekerasan terhadap perempuan” adalah setiap perbuatan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman perbuatan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum maupun dalam kehidupan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar