Dalam usianya yang ke 45 tahun ini, UUPA telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan dengan tanah. Namun, UUPA juga menunjukan kelemahan dalam kelengkapan isi dan rumusannnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah dimanfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari azas dan tujuan ketentuan yang bersangkutan. Pada masa orde baru, orientasi kerakyatan ditinggalkan, orientasi agraria lebih ditekankan pada pemberian kesempatan investor-investor dan pemodal-pemodal besar untuk dapat memiliki tanah guna kepentingan pembangunan.
Akibatnya adalah berupa warisan konflik pertanahan yang tampak sekarang ini. Oleh sebab itu perangkat-perangkat hukum yang ada dalam UUPA perlu di perbaiki, bila perlu dengan melakukan perobahan ketentuan dan rumusan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturannya, agar tersedia perangkat hukum yang lengkap dan jelas, untuk menghindari penafsiran yang keliru dalam pelaksanaannya. Dengan demikian akan tercipta kepastian hukum dan memberikan perlindungan hukum yang seimbang kepada semua pihak dalam pelaksanaan pembangunan dan kehidupan sehari-hari.
Banyaknya konflik-konflik pertanahan yang seringkali merugikan masyarakat, mendorong perlunya dilakukan pembaruan agraria di negeri ini. Pembaruan agraria itu adalah sesuai dengan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pembaruan agraria itu hanya akan berhasil, apabila pembaruan hukum agraria itu mengutamakan petani sebagai pilar utama pembangunan ekonomi nasional, dengan tidak mengabaikan kepentingan investor-investor dan pemodal-pemodal besar sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan.
Mengapa harus petani?, sebab sebagaimana dikatakan oleh Samuel Huntington, jika syarat-syarat penguasaan tanah itu adil, hingga memungkinkan para petani hidup layak, kecil kemungkinannya akan terjadi suatu revolusi. Sebaliknya, apabila tidak demikian dimana para petani hidup miskin dan menderita, revolusi mungkin akan terjadi, kalau tidak dapat dikatakan revolusi tidak akan dapat dihindarkan, kecuali jika pemerintah segera mengambil tindakan-tindakan untuk memperbaiki keadaan itu. Tidak ada kelompok masyarakat yang lebih konservatif dari pada para petani pemilik tanah dan tidak ada pula kelompok yang lebih revolusioner dari pada mereka, jika memiliki tanah yang terlalu sempit, dengan pembayaran sewa yang terlalu tinggi.
Untuk mencegah terjadinya peringatan tersebut, salah satunya adalah dengan program landreform. Landreform dapat dipergunakan sebagai konsep dasar, baik untuk memenuhi beberapa langkah menuju kearah keadilan sosial maupun untuk mengatasi rintangan dalam rangka pembangunan ekonomi.
Dalam perjalanan sejarah bangsa ini, landreform pernah menjadi primadona dipanggung politik negara, namun kemudian landreform menghilang dari panggung politik, dan digantikan oleh kepentingan-kepentingan pemodal besar.
Secara harfiah, perkataan landreform berasal dari bahasa Inggris yaitu; Land artinya Tanah dan Reform artinya Perubahan, perombakan. Namun menurut Prof. Arie Sukanti Hutagalung, bila kita mencoba menerjemahkan definisi landreform secara harfiah, kita akan menghadapi suatu hal yang membingungkan, karena istilah Land itu sendiri mempunyai arti yang berbagai macam. Sedangkan istilah Reform berarti mengubah dan terutama mengubah kearah yang lebih baik. Jadi landreform berkaitan dengan perubahan struktur secara institusional yang mengatur hubungan manusia dengan tanah.
Jika dilihat dari pengertian tersebut, pada dasarnya landreform memerlukan program redistribusi tanah untuk keuntungan pihak yang mengerjakan tanah dan pembatasan dalam hak-hak individu atas sumber-sumber tanah. Jadi landreform lebih merupakan sebuah alat perubahan sosial dalam perkembangan ekonomi, selain merupakan manifestasi dari tujuan politik, kebebasan dan kemerdekaan suatu bangsa.
Dalam kasus-kasus tanah, landreform dikenal sebagai agrarian reform sekedar untuk memberikan pengertian perubahan dalam gambaran menyeluruh. Sebaliknya, beberapa pihak menerjemahkan landreform secara sempit dan tradisionil, yaitu sebagai alat untuk mengadakan penyediaan tanah bagi para penggarap, yang biasanya dikenal sebagai redistribusi tanah atau dianggap sebagai landreform in practice.
Prof. Boedi Harsono, memberikan perbedaan landreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria, melainkan memuat juga lain-lain pokok persoalan agraria serta penyelesaiannya. Penyelesaian persoalan-persoalan tersebut pada waktu terbentuknya UUPA, merupakan program revolusi dibidang agraria, yang disebut Agrarian Reform Indonesia.
Agrarian reform Indonesia itu meliputi 5 program (Panca Program), yaitu:
1. Pembaharuan hukum agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum;
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur-angsur;
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan;
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaanya secara terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
Program yang ke-empat, lazim disebut program landreform. Bahkan keseluruhan program landreform tersebut seringkali disebut program landreform. Maka ada sebutan lendreform dalam arti luas dan landreform dalam arti sempit.
Landreform dalam arti sempit, adalah merupakan serangkaian tindakan dalam rangka Agrarian Reform Indonesia. Dalam tulisan ini, yang dipergunakan adalah pengertian landreform dalam arti sempit, yaitu meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaanya.
Sejak awal diperkenalkannya program landreform di Indonesia, telah muncul berbagai tanggapan dan pendapat mengenai tujuan landreform tersebut. Salah satunya sebagaimana dikemukakan oleh Kuntowijoyo, yaitu landreform menurut Partai Komunis Indonesia (PKI). Isu landreform telah dipakai oleh PKI untuk mempolarisasikan penduduk desa menjadi dua kelas yang bertentangan, yaitu Tuan Tanah Setan Desa dan Petani. Masyarakat dan birokrasi desa memang tidak siap untuk melaksanakan landreform. Perangkat desa bukanlah alat yang efektif untuk tujuan itu.
Latar belakang dan tujuan landreform tergantung kepada faktor-faktor yang memungkin adanya suatu landreform, termasuk didalamnya adalah tekanan demografi penduduk, system-sistem sosial yang tidak seimbang, tekanan nasionalisme, kegelisahan masyarakat desa dan kekerasan dari luar. Beberapa negara mempergunakan landreform untuk mencapai atau mempertahankan kekuatan dan lainnya menganggap ini sebagai gerakan politik untuk menghindari revolusi yang akan terjadi melawan suatu rezim.
Dalam prakteknya, landreform dijalankan untuk menunjukan reaksi terhadap tekanan politik dari perubahan social ekonomi, yang ditimbulkan oleh faktor-faktor seperti tekanan pertambahan penduduk disuatu daerah, baik distribusi tanah maupun pendapatan.
Dengan demikian tujuan landreform itu sesungguhnya adalah untuk melakukan perubahan terhadap taraf hidup rakyat, khususnya petani, agar menjadi lebih baik, dengan meningkatkan hasil produksi dan memberikan kepemilikan terhadap tanah bagi petani kecil dan penggarap, yang pada akhirnya akan menuju masyarakat adil dan makmur.
Dalam hal-hal tertentu, istilah landreform dipakai dalam pengertian yang sempit, yaitu sebagai perubahan dalam pemilikan dan penguasaan tanah, khususnya redistribusi tanah. Tetapi, menurut Erich Jacoby, redistribusi tanah tidaklah sama dengan landreform. Namun redistribusi tanah melalui landreform khususnya, telah mencapai target selama 20 tahun terakhir, pada saat prioritas perubahan social ekonomi telah diberikan terhadap daerah-daerah yang masyarakatnya sangat peka terhadap perubahan-perubahan.
Pada dasarnya hal yang menimbulkan perlunya redistribusi tanah adalah ketidak seimbangan dalam penguasaan dan pemilikan tanah. Disatu pihak ada sedikit petani yang mempunyai sejumlah besar atau sangat besar tanah pertanian, pada sisi lainnya sejumlah besar petani hanya mempunyai tanah yang sangat kecil atau bahkan sama sekali tidak mempunyai tanah pertanian untuk digarap.
Menurut penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 224 tahun 1961, tanah-tanah yang diambil oleh Pemerintah untuk selanjutnya dibagikan kepada petani yang membutuhkan itu tidak disita, melainkan diambil dengan disertai pemberian ganti kerugian. Hal ini merupakan perwujudan dari azas yang terkandung dalam hukum agraria Indonesia, yang mengakui adanya hak perorangan atas tanah. Pemberian ganti kerugian itu, juga merupakan ciri pokok landreform Indonesia.
Jadi yang dimaksud dengan redistribusi tanah yang menjadi objek landreform, adalah pembagian tanah-tanah pertanian yang telah diambil alih oleh Pemerintah karena terkena ketentuan larangan pemilikan tanah secara maksimum, absentee, tanah swapraja atau bekas swapraja, kepada para petani yang memenuhi syarat untuk menerima distribusi tanah tersebut.
Ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah yang menjadi objek landreform tersebut dimulai pada tanggal 24 September 1963. Pelunasan Surat Hutang Landreform akan dilakukan dalam waktu 12 tahun, terhitung sejak diterimakan kepada bekas pemilik tanah yang bersangkutan, yaitu untuk pertama kalinya pada tanggal 24 September 1965. Tetapi dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September (G30 S) PKI pada tahun 1965 itu, dan diikuti dengan perubahan-perubahan moneter kemudian, pengeluaran Surat Hutang Landreform yang sudah selesai disiapkan, terpaksa ditangguhkan dan bahkan kemudian ditiadakan.
Sehubungan dengan apa yang dikemukakan diatas, kiranya dapat dipahami betapa pentingnya program landreform tersebut dimasukan sebagai salah satu agenda dalam pembaruan hukum agraria nasional kita, agar program landreform yang telah lama hilang dan bahkan hampir dilupakan itu, kembali dilaksanakan. Pentingnya program landreform tersebut antara lain dapat dilihat dari pidato Soekarno, dalam amanatnya pada ulang tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960, yang berjudul “Laksana Malaikat Yang Menyerbu Dari Langit! Jalannya Revolusi Kita” menyatakan; “Tanah, untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah!. Tanah, tidak untuk mereka yang dengan duduk ongkang-ongkang menjadi gemuk, gendut, karena mengisap keringatnya orang-orang yang diserahi menggarap tanah itu………….!.
Dengan demikiakn keberhasilan pembaruan hukum agraria itu, hanya akan berhasil apabila pembaruan hukum agraria itu benar-benar mengutamakan kepentingan petani sebagai golongan terbanyak dari bangsa ini yang antara lain adalah melalui program landreform, tentunya dengan tidak mengabaikan peranan investor-investor dan pemodal besar.
Pemikiran ini sengaja menggunakan pengertian dan sebutan pembaruan hukum agraria dan bukan penyempurnaan sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Boedi Harsono. Penyempurnaan menurutnya, mengandung pengertian membikin sesuatu yang sudah baik, menjadi lebih baik. Pembaruan mengandung arti perubahan atau penggantian sesuatu yang dinilai kurang atau tidak baik. Beliau berkeyakinan bahwa hukum tanah nasional kita sekarang ini sudah baik, sehingga penyempurnaan akan dilaksanakan dengan melengkapi isi UUPA, yang merupakan peraturan dasar hukum tanah nasional kita dan memperbaiki rumusan ketentuan-ketentuannya dengan suatu peraturan perundang-undangan yang berbentuk undang-undang.
Penulis, berpemikiran bahwa sebutan yang tepat adalah pembaruan hukum agraria, sesuai dengan Ketetapan MPR RI IX/MPR/2001 bukan penyempurnaan hukum agraria, karena kita tidak boleh takut untuk mengakui bahwa hukum tanah nasional kita masih banyak mengandung kelemahan-kelemahan yang perlu diperbaiki. Untuk itu perlu dilakukan revisi yang tidak hanya berupa penyempurnaan, tetapi jika perlu dengan melakukan perubahan-perubahan atau pengantian terhadap beberapa ketentuan UUPA yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan saat ini.
Namun demikian, dengan pembaruan hukum tanah nasional itu, diharapkan tidaklah menghapuskan keberadaan hukum adat sebagai sumber utama hukum tanah nasional kita, karena pembaruan yang dimaksud bukan berarti merubah secara total, melainkan memperbaiki dengan melakukan perubahan atau penggantian isi UUPA yang dianggap kurang atau tidak baik, dengan tetap berpedoman kepada hukum adat sebagai sumber utamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar