Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH
GAGASAN KONSTITUSI SOSIAL UUD 1945
Dalam disertasi saya di Universitas Indonesia pada tahun 1990/91, saya telah mengemukakan gagasan mengenai pengertian konstitusi politik, konstitusi ekonomi, dan konstitusi sosial. Gagasan ini muncul karena paradigma berpikir model lama yang melihat konstitusi hanya sebagai dokumen politik, menurut saya, sudah tidak lagi memadai untuk menghadapi tantangan abad ke-21. Karena itu, dalam buku “Konstitusi Ekonomi” (2009), saya pun secara khusus telah menguraikan ide konstitusi ekonomi dalam kaitannya dengan UUD 1945. Sekarang, saya ingin memulai suatu perdebatan intelektual mengenai konstitusi sosial dengan harapan pada saatnya nanti, pandangan-pandangan yang lebih lengkap mengenai hal tersebut dapat saya tuangkan dalam satu buku yang tersendiri, yaitu Konstitusi Sosial UUD 1945.
Gagasan Konstitusi Sosial itu pada pokoknya berkaitan dengan sifat-sifat sosialistis dari sistem kekuasaan yang diatur dalam UUD sebagai dokumen hukum tertinggi. Aktor kekuasaan yang berperan menentukan dalam perkembangan masyarakat, pada abad modern dewasa ini, bukan lagi merupakan monopoli negara. Di samping negara, ada aktor lain yang juga berperan sama pentingnya, yaitu pasar (market) dan masyarakat warga (civil society). Adanya ketiga ranah tersebut mengharuskan adanya pembagian peran di antara ketiga, sehingga tidak semua hal dan urusan dapat dan harus dimonopoli oleh negara. Corak pembagian tugas dan derajat intervensionisme negara ke dalam dinamika pasar dan masyarakat sangat menentukan corak sistem kekuasaan yang diterapkan antara liberalisme-kapitalisme versus sosialisme-etatisme.
Semakin besar dan banyak peran intervensionis yang dijalankan oleh negara dalam dinamika kegiatan pasar dan kegiatan masyarakat, niscaya makin sosialistis atau neo-sosialistis lah sistem kekuasaan yang dianut atau yang diterapkan oleh organisasi negara yang bersangkutan dalam praktik. Sebaliknya, semakin sedikit intervensi yang dilakukan, semakin liberal atau neo-liberal lah corak sistem kekuasaan yang dikembangkan. Secara positif dapat dikatakan bahwa luas dan banyaknya intervensi negara itu justru mencerminkan derajat tanggungjawab sosial negara untuk secara langsung menangani dan mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sebaliknya, semakin besar kepercayaan kepada pasar dan semakin sedikit intervensi negara ke dalam kegiatan masyarakat, semakin mencerminkan nilai-nilai demokrasi politik (political democracy) dan ekonomi pasar bebas (free market economy) yang diagungkan dalam doktrin liberalisme atau neoliberalisme.
Yang manakah dari keduanya yang paling baik dan benar, terpulang kepada relevansinya bagi kebutuhan kita kini dan disini. Dalam praktik, tidak akan ada jawaban yang paling baik dan paling benar di antara kedua kutub pilihan tersebut di atas. Yang penting adalah bahwa kebutuhan riel bangsa dan negara kita pada tingkat perkembangannya dewasa ini lah yang menentukan dimana batas-batas keseimbangan di antara kedua kutub pandangan itu yang sungguh-sungguh kita perlukan untuk dijadikan alternatif kebijakan dalam membina kebebasan, menegakkan keadilan, dan membangun kesejahteraan masyarakat. Karena itu, sesuai dengan tingkat kebutuhannya, negara harus dipandang mempunyai tugas dan tanggungjawab sosialistis untuk melakukan intervensi yang diperlukan untuk membina kebebasan, menegakkan keadilan, dan membangun kesejahteraan itu. Organisasi kekuasaan negara haruslah mempunyai fungsi sosial, dan karena itu konstitusinya juga harus dipandang bercorak dan bersifat sosialistis.
Apalagi, UUD 1945 dewasa ini telah begitu lengkap memuat ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia. Fungsinya sebagai sumber rujukan normatif tertinggi, haruslah dijadikan pegangan tidak saja bagi para penyelenggara negara, tetapi juga bagi para pelaku ekonomi dan bagi pola-pola perilaku sosial dalam masyarakat sendiri. Dengan perkataan lain, sikap saling menghormati hak-hak asasi sesama manusia dan sesama warga negara haruslah menjadi pegangan bersama oleh semua warga masyarakat dalam berinteraksi. Di samping negara tidak boleh melanggar hak asasi warganya, para pelaku ekonomi, dan aktor-aktor organik dalam masyarakat sendiri juga tidak boleh melanggar hak asasi orang lan. Tidak boleh dibiarkan adalah kelompok dominan dalam satu komunitas melanggar hak-hak asasi warga pada umumnya atau warga dari komunitas marginal yang ada di sekitarnya. UUD 1945 di samping harus difungsikan sebagai konstitusi politik dan konstitusi ekonomi, juga harus difungsikan sebagai konstitusi sosial. Sebagai konstitusi sosial, di satu pihak UUD 1945 dapat dijadikan sumber rujukan tertinggi dalam pergaulan bermasyarakat, dan pada saat yang sama, UUD 1945 juga dapat dikatakan memberikan nuansa sosialistis kepada peran negara, organisasi kemasyarakatan, dan organisasi usaha.
Dalam perspektif konstitusi politik-ekonomi-sosial itu, baik negara, organisasi masyarakat, dan korporasi dipandang sama-sama mempunyai fungsi-fungsi yang bersifat sosial, di samping fungsi politik dan administrasi. Negara berfungsi sosial, ormas berfungsi sosial, dan perusahaan juga berfungsi sosial. Di tengah dinamika ketigaranah negara, masyarakat, dan dunia usaha itu, terdapat konstitusi sebagai sumber hukum tertinggi yang mengatur mekanisme kerja di lingkungan internalnya masing-masing dan juga mekanisme hubungan di antaranya satu sama lain. Konstitusi pada aspek sosial kehidupan bersama itulah yang saya namakan Konstitusi Sosial sebagai pedoman hukum tertinggi bagi semua aktor organik dari ketiga ranah negara, masyarakat, dan dunia usaha itu untuk berhubungan dengan masyarakat, dan sebagai panduan nilai dan norma bagi segenap warga masyarakat untuk saling berinteraksi sosial satu sama lain dalam kehidupan bersama.
Bersamaan dengan itu, UUD 1945 juga merupakan konstitusi ekonomi yang dapat dijadikan rujukan oleh semua aktor pelaku ekonomi dalam menjalankan perannya dalam dinamika perekonomian negara dan masyarakat. Sebagai konstitusi ekonomi, UUD 1945 dapat dipakai sebagai rujukan tertinggi oleh negara, dunia usaha, dan masyarakat dalam mengembangkan kegiatan ekonomi. Demikian pula para pelaku ekonomi haruslah menjadikan UUD 1945 sebagai rujukan tertinggi dalam pergaulan antar sesama pelaku ekonomi. Semua peraturan perundang-undangan di bidang ekonomi harus tunduk kepada ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi di semua bidang, termasuk bidang ekonomi. Norma-norma hukum yang hidup dan tumbuh dalam praktik ekonomi pasar diakui keberadaannya sebagai rujukan praktik dengan tetap tunduk kepada ketentuan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi.
Dalam kaitan dengan hal itu, setiap organisasi perusahaan, seperti halnya negara dan organisasi kemasyarakatan, juga harus tunduk kepada ketentuan UUD 1945 sebagai konstitusi sosial dan konstitusi ekonomi. Dalam perspektif yang demikian, sesuai dengan pesan-pesan sosalistis dalam UUD 1945 sebagai konstitusi sosial, setiap organisasi perusahaan harus lah dipandang memiliki tanggungjawab sosial yang penting dalam masyarakat. Keberadaan suatu korporasi tidak boleh hanya menguntungkan pemiliknya sendiri ataupun hanya karyawannya sendiri. Keberadaan perusahaan tersebut juga tidak boleh hanya sekedar menguntungkan negara melalui kebijakan perpajakan dan retribusi dan penghasil devisa negara. Keberadaan organisasi usaha itu juga harus menguntungkan semua warga masyarakat yang terkait kepentingannya atau yang biasa disebut sebagai pemangku kepentingan (stakeholders).
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY
Konsep Corporate Social Responsibility (CSR) mulai diperkenalkan pada awal tahun 1970-an, ketika banyak bermunculan perusahaan-perusahaan swasta besar yang terus meluaskan pengaruh dan kegiatan usahanya ke banyak negara di dunia, sehingga dikenal sebagai “multi-national corporations” (MNC’s). Bersamaan dengan itu berkembang pula penggunaan istlah ‘stake-holder’ untuk melengkapi pengertian yang sudah ada sebelumnya, yaitu ‘share-holder’. Dalam perspektif tanggungjawab sosial perusahaan, yang harus diuntungkan dengan adanya perusahaan, tidak hanya pemegang atau pemilik saham (share-holders) perusahaan yang bersangkutan, tetapi juga para pemangku kepentingan terkait yang lebih luas cakupannya yang disebut ‘stake-holder’ (R.Edward Freeman, Strategic Management: A Stakeholder Approach, 1984).
Sekarang, konsep CSR ini sudah dikenal dan dipraktikkan secara luas di dunia dan menjadi ciri baru perusahaan-perusahaan yang dapat dianggap sehat dan baik keberadaannya. Perusahaan yang tidak memiliki visi tanggungjawab sosial dapat dipandang belum sehat dan maju sebagai aktor ekonomi yang berkelanjutan. Perusahaan yang hanya berorientasi mencari dan menikmati keuntungan untuk kepentingan pribadi pemilik sahamnya (shareholder) saja, dipandang tidak lagi cukup untuk diidealkan sebagai ‘icon’ perkembangan perekonomian satu bangsa. Untuk menjamin kesinambungan kemajuan ekonomi, diperlukan hubungan yang saling mendukung antara faktor-faktor ekonomi, sosial, politik, dan bahkan budaya masyarakat yang menjadi pasar atau lingkungan kerja perusahaan yang bersangkutan.
Pada umumnya, pendekatan yang dikembangkan dalam praktik CSR ini adalah ‘philantrophy’ dan ‘charity’, seperti dalam bentuk sumbangan-sumbangan dana untuk kegiatan sosial masyarakat. Namun, lama kelamaan, pendekatan karitas seperti demikian dipandang tidak lagi mencukupi dan perlu pendekatan yang lebih luas dengan melibatkan perusahaan ke dalam tanggungjawab yang lebih intens dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat di sekitar perusahaan, masyarakat yang terkait kepentingannya atau terkena dampak atau pengaruh dari kehadiran perusahaan beserta produk-produk perusahaan tersebut. Karena itu, pendekatan yang dikembangkan kemudian adalah pendekatan ‘community development’ atau pengembangan masyarakat. Perusahaan dipandang bertanggungjawab untuk mengembangkan masyarakat di sekitar perusahaan atau pun masyarakat lain yang terkena dampak akibat kehadiran ataupun penggunaan dan pengkonsumsian produk-produk perusahaan yang bersangkutan.
Bahkan, perusahaan juga dipandang merupakan salah satu organ pelaku kegiatan bermasyarakat yang penting dan turut menentukan perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, bersama-sama aktor lainnya, yaitu negara dan organ-organ masyarakat itu sendiri. Inilah yang kemudian dikenal sebagai trias politika baru, yaitu ‘state’, ‘civil society’, dan ‘market’. Masing- masing mempunyai aktor organiknya sendiri-sendiri, yaitu organ atau lembaga-lembaga negara, perusahaan-perusahaan, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena itu, organisasi negara, organisasi masyarakat, dan juga organisasi perusahaan dipandang mempunyai tanggungjawab sosial yang lebih luas, yang kita sebut tanggungjawab sosial korporasi atau perusahaan (corporate social responsibility).
Sebenarnya, konsepsi ‘corporate social responsibility’ itu di Indonesia bukanlah sesuatu yang sama sekali asing. Ke dalam konsep hak milik, kebudayaan hukum kita mengenal adanya prinsip tanggungjawab sosial atau pun konsep fungsi sosial. Menurut tradisi hukum yang kita kenal sejak dulu, hak milik itu berfungsi sosial. Hak milik atas tanah juga dipandang mempunyai fungsi sosial, sehingga apabila tanah itu diperlukan untuk kepentingan umum, maka negara dapat saja diambil alih oleh negara, asalkan dilakukan tidak dengan sewenang-wenang. Karena itu, dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 dinyatakan, “Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak dapat diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun”. Namun, apabila pengambil-alihan dimaksud dilakukan dengan sah dan dengan disertai ganti kerugian yang pantas, maka tentu negara dapat memaksakan pengambil-alihan itu semata-mata untuk kepentingan umum atau kepentingan sosial. Inilah yang dinamakan sebagai fungsi sosial hak milik atas tanah.
Dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, semua jenis hak milik, baik hak-hak milik pribadi (natuurlijk persoon) atau pun hak-hak milik suatu badan hukum (rechtspersoon) mendapat perlindungan konstitusional yang kuat. Hak-hak itu tidak boleh dicuri, dijarah, dirampok, atau pun diambil-alih kepemilikannya dengan sewenang-wenang. Pengambilalihan hanya dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan tidak merugikan hak-hak pemiliknya atau dengan tidak mengabaikan haknya untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
Demikian pula perusahaan sebagai badan hukum yang pada pokoknya merupakan persekutuan modal atau perkumpulan kekayaan dengan sendirinya juga harus dipahami berfungsi sosial. Bukankah perusahaan memang merupakan perkumpulan yang terbagi atas saham-saham kekayaan yang dimiliki oleh perorangan atau pun oleh badan hukum lain yang masing-masing sebagai bentuk-bentuk hak milik juga harus berfungsi sosial. Secara hukum, perusahaan –terutama perseroan– memang dapat disebut sebagai perkumpulan modal yang sangat berbeda dari koperasi yang merupakan persekutuan orang. Yang memegang kekuasaan tertinggi atau kedaulatan dalam koperasi adalah anggota koperasi secara orang per orang, sedangkan pemegang kedaulatan dalam perseroan adalah pemilik saham berdasarkan jumlah dan nilai saham yang dimilikinya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perusahaan perseroan itu tidak lebih daripada persekutuan kekayaan yang secara tradisional memang dipahami berfungsi sosial. Oleh karena itu, setiap perusahaan perseroan Indonesia sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 memang diharuskan memiliki tanggungjawab sosial yang biasa dikenal sebagai corporate social responsibility. Pengertian tentang tanggungjawab sosial atau CSR ini tidak saja merupakan fenomena baru di dunia usaha pada umumnya, tetapi juga mempunyai akar sejarah dalam tradisi hukum Indonesia sendiri. Karena itu, pengaturannya dalam Undang-Undang yang bersifat mengikat dan memaksa bagi setiap perusahaan Indonesia hendaklah diterima dengan baik oleh semua kalangan dunia usaha. CSR itu perlu ditradisikan dalam praktik untuk kepentingan semua pemangku kepentingan (stake-holders), termasuk juga untuk kepentingan para pengusaha sendiri secara berkelanjutan.
KEUNTUNGAN DAN KERUGIAN SOSIAL DAN POLITIK
Dalam perspektif sosial yang lebih luas tersebut di atas, kita harus memahami pengertian yang mengenai apa yang kita maksud dengan keuntungan (profit), kerugian (lost), dan biaya (cost) secara lebih luas pula. Konsep kita tentang neraca (balance) di dunia usaha, dengan sendirinya, juga harus berubah. Ke dalam pengertian kita tentang neraca itu, tidak hanya terkandung aspek-aspek penerimaan dan pengeluaran atau pembayaran secara finansial yang perlu diperhitungkan, tetapi juga biaya sosial (social costs) dan biaya politik (political costs), kerugian sosial (social lost) dan kerugian politik (political lost), serta keuntungan sosial (social profit) dan keuntungan politik (potical profit) tidak boleh diabaikan, apabila perusahaan diharapkan berkembang secara berkelanjutan (sustainable growth).
Misalnya, biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan untuk keperluan ‘public relation’, iklan, dan sebagainya dapat dipandang tidak lain daripada upaya membayar harga citra dan nama baik perusahaan (corporate branding) dan daya terima masyarakat konsumen terhadap produk dan merk dagang perusahaan (trade mark). Manfaat yang diperoleh dari pembayaran semacam itu, tentu tidak hanya berguna sekarang, tetapi juga di masa depan (future gains). Demikian pula, jika dukungan sosial terhadap perusahaan dari masyarakat sekitar sangat buruk, dapat saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan perusahaan, misalnya, munculnya demonstrasi, unjuk rasa, atau bahkan kerusuhan yang merugikan dan bahkan dapat merusak kekayaan perusahaan. Ketika terjadi kerusuhan Mei 1998, berapa banyak gedung-gedung perkantoran dan perusahaan yang hancur dilempari atau dibakar oleh massa. Semua itu mau tidak mau harus dilihat sebagai bentuk-bentuk kerugian yang nyata yang timbul karena alasan-alasan yang tidak terkait dengan bisnis, melainkan bersifat politik. Jika semua ini terjadi, maka biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dapat disebut sebagai biaya politik (political costs) yang tentu saja harus diperhitungkan dalam neraca perusahaan.
Untuk mencegah kerugian semacam itu, memang dapat ditempuh melalui sistem perasuransian. Akan tetapi, daya tahan yang lebih sejati atas segala potensi kerugian semacam itu dapat lebih efektif dicegah melalui pembinaan nama baik perusahaan (branding) yang kehadirannya dikenal akrab, bersahabat, dan dirasakan memberi manfaat dan menguntungkan bagi masyarakat.
Dengan demikian, ke dalam dunia usaha dewasa ini, kita harus juga memperkenalkan adanya pengertian-pengertian baru mengenai biaya sosial dan biaya politik, kerugian sosial dan kerugian politik, serta keuntungan sosial dan keuntungan politik. Perusahaan, dengan demikian, harus dipandang tidak hanya dari segi ekonomi dan finansial, tetapi juga harus dilihat sebagai salah satu aktor sosial yang akan berkelanjutan perannya di masa depan untuk bersama-sama dengan negara (state) dan masyarakat (civil society) memperkembangkan tingkat peradaban bangsa menjadi semakin maju, sejahtera, dan berkeadilan di masa depan.
Dengan perkembangan pengertian yang demikian itu, maka dimensi tanggungjawab perusahaan juga berkembang sehingga mencakup kepentingan-kepentingan masyarakat yang lebih luas. Perusahaan tidak hanya bertanggungjawab atas kepentingan-kepentingan pemiliknya ataupun karyawannya, dan bahkan negaranya, tetapi juga masyarakat pemangku kepentingan yang lebh luas. Inilah yang dicakup dalam pengertian konsep “corporate social responsibility” yang dibahas dalam seminar ini.
DARI TANGGUNG JAWAB KE KEWAJIBAN HUKUM
Adanya fungsi sosial dan prinsip tanggungjawab sosial perusahaan tersebut di atas, semula berkembang sebagai konsep moral perusahaan dan etika dunia bisnis. Gagasan CSR ini tumbuh dari kesadaran kaum pengusaha dan enterprneur yang menyadari pentingnya perkembangan dan keberlanjutan usaha mereka sendiri dalam menghadapi tantangan sosial di masa depan. Namun demikian, konsepsi tanggungjawab moral yang bersifat sukarela ini lama kelamaan berkembang menjadi kewajiban hukum, ketika konsep tanggungjawab sosial itu dituangkan ke dalam sistem norma hukum.
Dengan dituangkan dalam norma hukum, tanggungjawab sosial yang bersifat voluntary itu berubah menjadi sesuatu yang dapat dipaksakan dari luar. Tanggungjawab sosial yang berisi kewajiban moral yang didasarkan atas kesadaran sendiri (imposed from within) berubah menjadi kewajiban hukum yang dipaksakan dari luar (mposed from without). Itulah yang tercermin dalam diadopsikannya ketentuan mengenai ‘corporate social responsibility’ ini dalam Pasal 74 UU No.40 Tahun 2007.
Ketentuan normatif seperti ini sering dipertanyaan orang, terutama di kalangan pengusaha yang merasa terbebani oleh adanya kewajiban hukum yang dipaksakan berlakunya oleh UU No.40 Tahun 2007 itu. Namun demikian, kewajiban hukum demikian bukanlah merupakan sesuatu yang tabu dalam sistem konstitusi negara kita, bahkan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi di negara kita merupakan konstitusi sosial yang memberikan tempat bagi dikembangkannya fungsi sosial dan nilai-nilai sosialistis dalam upaya pengembangan perusahaan dan dunia usaha di Indonesia. Secara konstitusional, perusahaan-perusahaan Indonesia sudah seharusnya dikembangkan sebagai organisasi-organisasi usaha yang berfungsi sosial, yaitu organisasi yang memiliki tanggungjawab sosial (CSR atau corporate social responsibility) untuk kepentingan masyarakat luas yang terkait kepentingannya dengan eksistensi dan produk perusahaan tersebut.
PENTINGNYA INTEGRASI DAN KOORDINASI
Tanggungjawab sosial (CSR) itu, seperti dikemukakan di atas, haruslah dikembangkan tidak sekedar bersifat karitas, melainkan haruslah dengan pendekatan pengembangan masyarakat (community development). Namun, karena banyaknya badan usaha yang seharusnya menerima tanggungjawab ini dan kompleksnya permasalahan sosial yang mesti dijadikan sasaran oleh program CSR itu dalam praktik, maka timbul masalah efisiensi, efektifitas, dan relevansi agenda bantuan atau program-program pengembangan masyarakat itu. Untuk itulah diperlukan langkah koordinasi dan integrasi sistemik dan fungsional sehingga proyek-proyek CSR itu memang tepat sasaran, berdampak luas, efektif dan relevan dengan kebutuhan.
Untuk itu, perlu dipertimbangkan kemungkinan membentuk semacam program kemitraan disertai dana abadi, ‘sovereign fund’, yang dikelola secara independen dan tersendiri, seperti dana ‘partnership’ atau kemitraan. Kelembagaan kemitraan dapat dibentuk atas prakarsa pemerintah dengan kerjasama KADIN yang disepakati dalam suatu kongres CSR yang tersendiri. Pendekatan dana, dan pendekatan agenda dapat saja dikembangkan secara bersamaan. Namun, agar gagasan ini dapat segera dikembangkan, sebaiknya yang didahulukan adalah integrasi agenda. Baru setelah agenda CSR telah terintegrasi dapat dipikirkan mengenai pentingnya dana bersama yang dapat dikelola oleh suatu institusi independen dan tersendiri. Dalam perspektif demikian, saya mengusulkan agar diadakan mekanisme pertemuan atau rapat koordinasi nasional ‘corporate social responsibility’ setiap tahun di antara para pengusaha sendiri bersama-sama dengan instansi pemerintah terkait. Untuk itu, prakarsa dapat diambil oleh pemerintah atau pun oleh KADIN yang selanjutnya dapat membentuk suatu komite independen yang tersendiri.
Melalui forum rapat atau pertemuan tahunan tersebut, program-program CSR antar perusahaan dapat dikoordinasikan dan dikonsolidasikan, sehingga dapat dilaksanakan secara efisien dan tidak tumpang tindih serta lebih tepat sasaran sesuai dengan kebijakan pemerintah di bidang-bidang pembangunan dan pengembangan masyarakat yang terkait dengan visi dan misi CSR dari perusahaan. Dari pertemuan periodik itu dapat dirumuskan kebijakan-kebijakan operasional yang disepakati sebagai pegangan bersama. Dalam pelaksanaannya, kita dapat membedakan antara (i) kebijakan umum CSR, (ii) kebijakan program dan penanggaran dana CSR, dan (iii) pelaksanaan penyaluran dana dan pengawasan pelaksanaan CSR. Perumusan kebijakan umum dapat dilakukan oleh pemerintah dengan menetapkan Peraturan Pemerintah atau peraturan menteri atau menteri-menteri yang terkait. Pelaksanaan operasional dan pengawasan teknis dapat dilakukan langsung oleh perusahaan yang bersangkutan masing-masing. Sedangkan kebijakan program dan penentuan anggaran dirumuskan bersama sebagai hasil rapat kerja nasional untuk dijadikan pedoman bersama dalam merumuskan program CSR tahunan.
*) Disampaikan pada Seminar Nasional Integrasi Program CSR dan Pengembangan Masyarakat, Jakarta, 14 Desember, 2010.
**) Penulis adalah Guru Besar Fakultas Hukum, Universitas Indonesia; Pendiri dan Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, dan Mantan Anggota Wantimpres Bidang Hukum dan Ketatanegaraan, Ketua Dewan Pembina Ikatan Sarjana Hukum Indonesia (ISHI), Ketua Dewan Penasihat Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), dan Penasihat Komnas Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar