Lanjutan ........ kuliah bag 1 yang lalu
Siapa Yang Berwenang Membuat Akta
Menurut pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris:
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang perbuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
Unsur-unsur pasal 15 Undang-undang Jabatan Notaris tersebut adalah:
1. Yang berwenang membuat akta otentik harus pejabat umum.
2. Akta otentik dibidang keperdataan, notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuatnya, kecuali akta-akta tertentu secara tegas disebut dalam peraturan perundangan. Jadi wewenang notaris bersifat umum sedangkan pejabat umum lainnya bersifat khusus (PPAT, Pejabat Lelang).
3. Akta otentik menjamin kepastian tanggalnya, yang berarti tanggal diresmikannya akta. Dibacakannya akta, ditandatangani para pihak, pejabat umum dan dimana dibuatnya.
Wewenang pejabat umum meliputi:
1. Pejabat umum harus berwenang sepanjang akta yang dibuat.
2. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
3. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.
4. Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.
Keempat wewenang tersebut bagi Pejabat lelang :
1. Pejabat Lelang berwenang sepanjang akta yang dibuatnya adalah risalah lelang.
2. Pejabat Lelang hanya berwenang membuat akta atau risalah lelang bagi pengguna jasa lelang.
3. Pejabat Lelang hanya berwenang membuat akta atau risalah lelang dalam wilayah kerjanya.
4. Pejabat Lelang berwenang membuat akta atau risalah lelang pada saat masih menjabat.
Masih ingat pasal 1869 KUH Perdata yang mengatakan :
“suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan ...”
Selanjutnya bagaimana bila unsur-unsur dari pasal 1869 KUH Perdata tersebut diatas kita terapkan pada ketentuan risalah lelang, apakah risalah lelang juga merupakan akta otentik ?
Risalah Lelang termasuk akta otentik yang mana ?
Sesuai ketentuan Pasal 35 VR yang menyatakan : “Di setiap penjualan dimuka umum oleh juru lelang atau kuasanya untuk tiap pelelangan dibuat berita acara tersendiri.”
Berarti akta atau risalah lelang itu yang membuat juru lelang atau selaku pejabat umum maka risalah lelang termasuk akta yang dibuat oleh pejabat umum.
Dan akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta yang lazim juga disebut sebagai akta pejabat atau Relas akta. Proses verbal akta atau ambtelijke akta, bagaimana dengan risalah lelang ? Sesuai pasal 35 VR bahwa risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang maka merupakan akta pejabat sedangkan akta yang dibuat oleh pihak disebut sebagai partai akta (partij akta).
Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Ketentuan akta otentik sebagai alat pembuktian terdapat pada hukum pembuktian (bewijsrecht) yang diatur dalam Buku IV KUH Perdata dan HIR/RIB.
Alat bukti yang bagaimana yang diciptakan oleh akta otentik dan apa syarat-syaratnya, untuk itu kita harus melihat pada pasal 1868 dan 1870 KUH Perdata dan Pasal 165 HIR/RIB.
Pasal 165 HIR mengatur :
“Akta otentik, yaitu suatu surat yang dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya, mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak daripadanya yaitu tentang segala hal yang tersebut di dalam surat itu.
Bila pada bab sebelumnya sudah disinggung bahwa diantara bukti yang terutama ialah bukti tertulis dan diantara bukti tertulis yang terkuat adalah akta otentik.
Akta otentik adalah surat yang ditandatangani yang memuat keterangan tentang kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar dari suatu hak atau perjanjian, atau dapat dikatakan bahwa akta itu adalah pernyataan suatu perbuatan hukum.
Sedangkan pejabat umum itu berdasarkan undang-undang membuat akta otentik untuk menjamin bahwa isi dari akta itu sesuai dengan apa yang dilihat, didengar oleh karena itu isi dari akta otentik dianggap tidak dapat disangkal kebenarannya atau akta otentik itu membuktikan kebenaran seluruh isinya, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Lain dengan akta dibawah tangan akan mempunyai kekuatan pembuktian jika tanda tangannya diakui atau dianggap diakui kebenarannya, kemudian dalam Pasal 165 HIR tersebut diatas menyatakan bahwa “Akta otentik merupakan bukti yang cukup, yang berarti perjanjian yang dinyatakan didalamnya dianggap terbukti nyata,” maka hakim harus mengakui akta otentik.
Sedangkan yang dimaksud bukti sebaliknya sebagai contoh antara lain memang benar telah mengadakan perjanjian yang dimuat dalam akta itu, tetapi tidak dengan sukarela melainkan karena disesatkan, karena dipaksa atau ditipu, bahwa kewajibannya sudah dipenuhi yang berarti perjanjian itu sudah mati, atau telah diadakan perjanjian lain yang meniadakan perjanjian itu. Hal-hal seperti yang dimaksud pasal 138, 163 HIR, atau pasal 1865 KUH Perdata, ia harus membuktikan.
Kemudian Pasal 1869 KUH Perdata menyatakan :
“Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan jika akta itu ditandatangani para pihak”.
Dengan demikian maka jika suatu akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang tidak berwenang untuk itu, akta itu tidak lagi mempunyai kekuatan pembuktian sebaga akta otentik yaitu kekuatan pembuktian sempurna, akan tetapi hanya mempunyai kekuatan pembuktian dibawah tangan.
Demikian pula jika terdapat cacat bentuk dari akta otentik itu, misalnya bentuknya menyimpang dengan yang telah ditentukan oleh undang-undang yang bersangkutan maka kekuatan pembuktian yang sempurna dari akta otentik itu menjadi turun derajatnya menjadi akta dibawah tangan.
Ketentuan tersebut bila dihubungkan dengan peraturan lelang ( Vendu Reglement) bisa dilihat dalam pasal-pasal yang mengatur risalah lelang yaitu pasal 37, 38 dan 39.
Dalam pasal 40 bahwa Pejabat Lelang bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang timbul karena tidak menaati pasal-pasal 37, 38 dan 39.
Dengan demikian, resiko suatu risalah lelang yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan bentuk dari risalah lelang maka risalah lelang itu tidak menjadi otentik lagi, sehingga hanya sebagai akta dibawah tangan.
Bila menimbulkan sengketa hukum dan menimbulkan kerugian menjadi tanggung jawab Pejabat Lelang yang membuatnya (vide Pasal 40 VR).
Pasal 1870 menyebutkan bahwa akta otentik tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna. Sebagai contoh, bila akta tersebut merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang sepakat membuat perjanjian itu, bila terjadi sengketa hukum di kemudian hari, maka yang tersebut dalam akta otentik itu merupakan bukti yang sempurna, tidak perlu dibuktikan dengan alat-alat bukti yang lain.
Disinilah arti penting suatu akta otentik dalam sengketa hukum memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum seperti yang dimaksud pasal 165 HIR dan pasal 1870 KUH Perdata.
Karena risalah lelang juga merupakan akta otentik maka sudah tentu kekuatan pembuktian tersebut berlaku juga untuk risalah lelang, dan risalah lelang sebagai akta otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna juga dalam arti material.
Risalah lelang dapat digunakan:
1. Akta jual beli yang sah bagi pembeli suatu pelelangan.
2. Karena risalah lelang sebagai akta jual beli yang sah, maka risalah lelang dapat dipakai untuk balik nama (Vide PP No.24/1997 pasal 41, 57 jo pasal 108 Peraturan Menteri Agraria No.3 Tahun 1997 Pasal 108).
3. Dalam hal lelang dilaksanakan dalam rangka pelunasan hutang dijamin dengan hak tanggungan, maka dengan risalah lelang catatan mengenai adanya hak tanggungan menjadi hapus/roya (Vide pasal 54 PP No. 24/1997 jo Peraturan Menteri Agraria No. 3 Tahun 1997 pasal 109).
Perlu diperhatikan akta otentik hanya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna tetapi tidak berarti mempunyai kekuatan eksekutorial, seperti akhir-akhir ini bahwa risalah lelang mempunyai kekuatan eksekutorial. Ini perlu diluruskan bahwa akta otentik termasuk risalah lelang tidak mempunyai kekuatan eksekutorial.
Yang memberikan kekuatan eksekutorial adalah pasal 440 Recht Vondering yang mengatakan bahwa salinan yang diberikan irah-irah “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” diberikan kekuatan yang sama seperti vonis pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap yang lazim disebut grosse.
Sesuai pasal 440 ayat 2, gubernur jenderal diberi wewenang untuk memberikan kekuatan eksekusi kepada suatu akta otentik dengan hubungan dengan risalah lelang maka gubernur jenderal tersebut memberikan kekuatan eksekusi melalui pasal 42 ayat 2 yaitu untuk risalah lelang dapat diberikan grosse risalah lelang.
Dengan demikian secara singkat dapat dikatakan bahwa yang memberikan kekuatan eksekutorial adalah grosse risalah lelang bukan risalah lelang yang merupakan akta otentik itu.
Setelah dibahas macam-macam akta dan kekuatan pembuktiannya, maka terdapat perbedaan antara akta otentik dan akta otentik dibawah tangan sebagai berikut :
Akta Otentik Akta dibawah tangan
1. dibuat oleh/dihadapan pejabat 1. dibuat sendiri oleh para pihak.
umum yang berwenang.
2. mempunyai formalitas bentuk. 2. tidak ada.
3. adanya kepastian tanggal 3. tergantung pengakuan para
pihak
4. adanya kepastian tanda tangan. 4. tergantung para pihak
5. lebih terjamin penyimpanan. 5. kurang terjamin
6. mempunyai kekuatan bukti 6. baru merupakan bukti awal
sempurna/cukup. .
Adapun persamaan antara akta otentik dan akta dibawah tangan adalah sama-sama alat bukti tertulis.
Dengan berkembangnya pendidikan khususnya di bidang hukum, maka orang mulai menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat bukti yang penting dalam kepastian hukum. Untuk mengetahui apa yang dimaksud akta otentik, alat bukti yang otentik/sempurna dan syarat-syaratnya supaya akta dapat berlaku sebagai akta otentik, dapat kita lihat pada Pasal 1868 dan 1870 KUH Perdata.
Pasal 1868 menyatakan bahwa “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-undang dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuat.”
Dari pasal 1868 KUH Perdata dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari akta otentik adalah :
Pertama :
Bahwa bentuk akta itu ditentukan dan dibuat oleh Undang–undang.
Kedua :
Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum.
Ketiga :
Bahwa akta itu dibuat oleh atau dihadapan Pejabat Umum yang berwenang/dalam wilayah kerja Pejabat Umum yang berwenang tersebut.
Kemudian, dalam kaitan dengan risalah lelang akan timbul pertanyaan apakah risalah lelang merupakan akta otentik, maka baiklah kita tinjau bagaimana risalah lelang itu.
Pertama :
Bentuk risalah lelang itu ditentukan sesuai dengan Pasal 37, 38, dan 39 VR Stb.1908 Nomor 189.
Kedua :
Bahwa Pejabat Lelang itu diangkat oleh Pemerintah dalam hal ini adalah Menteri Keuangan yang diberi hak membuat akta lelang (risalah lelang) dengan demikian Pejabat Lelang adalah Pejabat Umum (Vide Pasal 1a dan 35 VR).
Ketiga :
Bahwa wilayah kerja Pejabat Lelang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Dari ketiga ciri risalah lelang tersebut, maka terpenuhi syarat-syarat seperti dimaksud dalam Pasal 1868 KUH Perdata. Akta otentik itu memberikan kepada para pihak suatu pembuktian yang mutlak mengenai peristiwa-peristiwa yang disebut dalam akta itu, dalam pembuktian bahwa apa yang tersebut dalam akta otentik itu pada pokoknya harus dianggap benar, oleh karena pembuatan akta otentik termasuk pembuatan risalah lelang kemudian dibacakan dan diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menanyakan hal-hal yang belum jelas sebelum akta tersebut ditandatangani. Hal tersebut telah ditentukan dalam pasal 1870 KUH Perdata.
Pasal 1870 menyatakan bahwa ”Suatu akta otentik memberikan diantara pihak beserta ahli warisnya atau orang–orang yang mendapat hak dari pada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.”
Kemudian bagaimana kekuatan pembuktian dari suatu risalah lelang itu, dapat dikatakan bahwa risalah lelang itu mempunyai tiga macam kekuatan pembuktian yaitu:
1. Kekuatan pembuktian lahir, artinya bahwa apa yang tampak pada lahirnya yaitu risalah lelang yang nampak seperti akta dianggap seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
2. Kekuatan pembuktian formal ialah kepastian bahwa suatu kejadian yang ada dalam risalah lelang betul–betul dilakukan oleh Pejabat Lelang.
3. Kekuatan pembuktian materiil ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam risalah lelang itu adalah benar dan merupakan pembuktian yang sempurna dan sah terhadap pihak yaitu: penjual, pembeli lelang dan berlaku untuk umum, kecuali ada pembuktian sebaliknya.
Dengan demikian risalah lelang mempunyai fungsi sebagai bukti adanya peristiwa hukum seperti tercantum dalam risalah lelang itu. Dengan kekuatan pembuktian risalah lelang yang demikian ini risalah lelang dapat digunakan sebagai:
1. Untuk kepentingan dinas:
a. Bagi Kantor Pertanahan, sebagai dasar peralihan hak atas tanah (balik nama).
b. Bagi bendaharawan barang sebagai dasar penghapusan atas barang yang dilelang dari daftar inventaris.
c. Bagi Kejaksaan/Pengadilan Negeri sebagai bukti bahwa telah melaksanakan penjualan sesuai dengan prosedur lelang.
d. Bagi bank, sebagai dasar untuk meroya/mencoret hipotik.
2. Bagi pembeli sebagai akta jual beli, yang merupakan bukti sah bahwa ia telah
melakukan pembelian.
3. Bagi penjual sebagai bukti bahwa penjual telah melakukan penjualan sesuai dengan prosedur lelang.
4. Bagi administrasi lelang adalah sebagai dasar perhitungan Bea Lelang dan Uang Miskin.
Khusus untuk risalah lelang karena peminta lelang adalah pegawai (pada umumnya) yang dianggap cakap maka pada bagian Kepala risalah lelang tidak tampak adanya kecakapan akan tetapi yang jelas–jelas tampak adalah adanya hak untuk bertindak.
BENTUK RISALAH LELANG
Risalah lelang sebagaimana akta perikatan-perikatan lainnya seperti telah dibahas diatas, bahwa fungsi akta itu untuk memastikan yang dibuktikan adalah peristiwa hukum dengan tujuan untuk menghindarkan sengketa. Oleh karena itu dalam membuat akta/risalah lelang, apa yang akan dibuktikan dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuatnya, jangan sampai akta memuat rumusan-rumusan yang dapat menimbulkan sengketa karena tidak lengkap, tidak jelas, ruwet dan menimbulkan berbagai penafsiran.
Jika kata-kata suatu persetujuan jelas tidak diperkenankan untuk menyimpang dari perikatan/akta dengan jalan penafsiran, karena semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuat persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat
dari kedua belah pihak atau karena alasan undang-undang menyatakan cukup untuk itu dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Demikian juga dalam penyusunan risalah lelang, risalah lelang harus dapat dibaca, ditulis dengan kata-kata dan kalimat yang jelas tanpa singkatan-singkatan, tempat-tempat yang kosong atau tersisa yang tidak terisi tulisan. Pada tiap-tiap lembar harus dicoret/digaris dengan tanda agar tidak diisi dengan tulisan.
Semua angka-angka yang menyatakan jumlah dan tanggal harus ditulis dengan huruf, boleh diulang dengan angka agar tidak menimbulkan penafsiran lain. Kalimat-kalimat dalam risalah lelang harus merupakan suatu rangkaian yang berhubungan satu dengan yang lain sehingga mudah dimengerti maknanya.
Pejabat Lelang harus membacakan risalah lelang, jika terdapat pihak-pihak yang tidak mengerti harus dijelaskan.
Susunan risalah lelang telah ditentukan bentuknya seperti yang diatur dalam pasal 37, 38 dan 39 Vendu Reglement (Staatblad No.189 Tahun 1908).
Bila menurut pasal 38 jabatan notaris sesuai akta notaris terdiri dari :
1. bagian kepala akta
2. bagian badan akta
3. bagian penutup akta
Maka demikian juga susunan risalah lelang menurut pasal 37 VR terdiri dari:
1. bagian kepala risalah lelang
2. bagian badan risalah lelang
3. bagian kaki/penutup risalah lelang
Bagian Kepala Risalah Lelang
Bagian kepala risalah lelang isinya mengandung arti yang luas bahwa yang menghadap itu mempunyai kecakapan untuk bertindak (recht bekwam) dan mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan hukum (rechtbevoeg).
Khusus untuk risalah lelang, karena peminta lelang selaku penghadap tersebut umumnya pegawai yang berarti dianggap cakap bertindak menurut hukum, maka pada bagian kepala risalah lelang tidak tampak tercantum adanya kecakapan untuk bertindak. Bagian Kepala risalah lelang menjadi sangat penting dikarenakan sah tidaknya akta atau risalah lelang tersebut bergantung pada bagian Kepala.
Menurut pasal 37 VR Kepala risalah lelang harus memuat:
1. Judul dan nomor risalah lelang.
2. Hari dan tanggal lelang, waktu/saat pelaksanaan lelang ditulis dengan huruf.
3. Nama lengkap, pekerjaan, dan tempat tinggal/kedudukan dari Vendumeester (Pejabat Lelang).
4. Nama lengkap, pekerjaan, dan tempat tinggal dari peminta lelang (yang bertindak sebagai penjual).
Dalam hal pelelangan diadakan tidak untuk peminta sendiri, dimuat pula keterangan apakah lelang itu dimintanya/diadakannya.
5. Kecakapan dan kewenangan bertindak dari penjual.
6. Identitas barang yang dilelang.
7. Pendapat Pejabat Lelang yang bersangkutan dengan legalitas subyek dan objek dimuat dalam risalah lelang.
8. Permintaan lelang itu dengan lisan atau dengan tulisan/tertulis.
9. Tempat dimana lelang itu diadakan.
10. Sifat barang yang dilelang dan alasan apa barang tersebut dilelangkan.
11. Dalam hal yang dilelang itu mengenai barang–barang tetap (tanah/persil) diperlukan menyebutkan secara lengkap mengenai:
a. Status hak tanah itu (Surat Hak Tanah/Sertifikat) dari Kantor Pendaftaran Tanah (Kadaster) atau surat–surat lain yang menjelaskan bukti pemilikan hak atas tanah tersebut.
b. Batas–batasnya (Surat Keterangan Lurah/Camat, khusus tanah yang belum terdaftar). Jika surat ukur sudah ada urgensi batas ini tidak perlu lagi.
c. Surat Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kantor Pertanahan (termasuk jika ada keterangan–keterangan mengenai beban–beban yang memberati barang tersebut).
d. Syarat–syarat lelang dari penjual.
12. Alasan mengapa sampai terjadinya lelang perlu dijelaskan selengkapnya terutama dalam lelang eksekusi.
13. Cara bagaimana lelang tersebut diumumkan oleh penjual.
14. Surat umum lelang yang bertalian dengan peraturan–peraturan lelangnya sendiri.
15. Atas tanah yang dilelang dimintakan Surat Keterangan diri Kantor Pendaftaran Tanah/Agraria setempat (PP No. 10/1961).
16. Bukti pengumuman dan surat–surat lainnya guna penyusunan badan risalah lelang ini diserahkan pemohon lelang ke KP2LN selambat–lambatnya 3 hari kerja sebelum lelang (vide Pasal 20 VR).
17. Bagian Kepala risalah lelang sampai dengan kata: ”...penjualan ini dimulai, dibuat, dan diketik sebelum lelang.”
18. Uraian bagaimana duduk proses perkara, bagaimana ketentuan/syarat lelang tergambar jelas dalam bagian kepala risalah lelang dan mudah dimengerti para peminat lelang sewaktu pembacaan risalah lelang. Tentang pembacaan risalah lelang sebelum lelang dimulai dimuat dalam risalah lelang.
19. Untuk menghilangkan keragu–raguan dan kesalahan penafsiran terhadap aturan pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 mengenai keharusan meminta Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) terhadap hak atas tanah yang akan dilelang, dengan ini dipandang perlu untuk ditegaskan kembali hal–hal sebagai berikut:
a. Ketentuan pasal 21 ji s Pasal 24 dan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 pada dasarnya menetapkan bahwa SKPT terhadap setiap hak atas tanah yang akan dilelang harus telah ada sebelum pelaksanaan lelang;
b. Mengingat pentingnya SKPT sebagai alat untuk menilai segi legalitas objek dan subyek lelang serta agar dapat berfungsinya risalah lelang sebagai dasar balik nama tanah, maka Saudara tidak diperkenankan melaksanakan pelelangan terhadap hak atas tanah tanpa didukung oleh SKPT;
c. Dalam hal tanah yang akan dilelang belum terdaftar pada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, maka harus ditempuh langlah–langkah sebagai berikut:
1) Pemohon lelang meminta Surat Keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang dikuatkan oleh Camat yang menerangkan status, dokumen kepemilikan, letak, luas, batas–batas, dan ada atau tidaknya sengketa tanah yang akan dilelang;
2) Berdasarkan Surat Keterangan dimaksud dalam butir c1), KP2LN meminta agar Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat membuat Surat Keterangan yang menyatakan bahwa tanah yang akan dilelang belum terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat. Untuk memperlancar penyelesaian surat dimaksud KP2LN dapat dibantu oleh Pemohon Lelang;
3) Pelelangan dapat dilaksanakan setelah Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat menerbitkan Surat Keterangan yang menyatakan bahwa tanah tersebut belum terdaftar di Kantor Pertanahan Kabupaten / Kota setempat.
20. Klausul-klausul
Tentang klausul-klausul dalam risalah lelang ini, Pejabat Lelang tidak dapat membuat klausul-klausul sekehendaknya melainkan harus mengikuti ketentuan-ketentuan tentang penjualan dimuka umum/lelang. Jika terdapat penyimpangan maka sesuai ketentuan pasal 40 VR Pejabat Lelang harus bertanggung jawab atas kerugian-kerugian yang timbul.
Adapun klausul-klausul dalam Risalah lelang tersebut pada umumnya sudah dibakukan yang dalam hukum sering disebut sebagai klausul- klausul/perjanjian standar atau perjanjian adhesi, yang pada garis besarnya dikelompokkan ke dalam :
a. Klausul Persyaratan Umum
Yaitu berupa ketentuan-ketentuan/persyaratan-persyaratan penjualan dimuka umum/lealng sebagaimana ditentukan dalam Vendu Reglement, Vendu Instructie, maupun berupa petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis dari Menteri Keuangan/Ditjen Piutang dan Lelang Negara.
b. Klausul yang essensial
Yaitu persyaratan-persyaratan dalam penjualan umum ketentuan-ketentuan mencantumkan klausul-klausul tersebut tidak saja berasal dari Vendu Reglement/ Vendu Instructie maupun petunjuk pelaksanaan /petunjuk teknis dari Menteri Keuangan/Dirjen Piutang dan Lelang Negara tapi bisa juga berasal dari luar itu semua misalnya :
1) klausul pembayaran dengan cek, maka Pejabat Lelang harus mengikuti cara-cara pembayaran dengan cek dari Bank Indonesia;
2) klausul substitusi, disini Pejabat Lelang harus mengikuti ketentuan dari Menteri/Ketua BPN (Badan Pertanahan Nasional);
3) pengumuman/iklan lelang eksekusi;
4) pemberitahuan kepada termohon lelang;
5) harus dicantumkannya SKPT (beban diatas hak atas tanah yang akan dilelang)
6) dan sebagainya semua itu di luar Vendu Reglement/ Vendu Instructie maupun Juklak/Juknis Menteri Keuangan/Dirjen Piutang dan Lelang Negara.
Sedangkan yang dimaksud klausul essensial tersebut antara lain :
1) barang yang dilelang pasti adanya dan legal menurut hukum;
2) persyaratan keharusan bagi para calon penawar harus lebih dahulu menyetor uang jaminan, untuk menjamin kesungguhan penawar dalam mengajukan penawarannya;
3) klausul yang menyatakan bahwa penawar/pembeli telah mengetahui keadaan barang yang ditawarnya dengan segala kekurangan/cacat yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan setelah ia ditunjuk sebagai pemenang lelang harus bertanggung jawab dengan segala resikonya, dan ia tidak boleh menarik diri untuk membatalkan penawarannya;
4) klausul tentang ketentuan pembayaran;
5) klausul tentang tanggung jawab pemenang lelang terhadap barang yang dibelinya;
6) klausul tentang substitusi seperti diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 11 Tahun 1961, karena tidak setiap orang atau badan hukum bisa jadi subyek hak atas tanah maka setiap pengalihan hak atas tanah harus dicantumkan klausul substitusi;
7) klausul pembatalan terhadap pemenang lelang yang wanprestasi berikut segala resiko yang timbul atas pembatalan tersebut.
c. Klausul Wajib
Yaitu persyaratan tentang kewajiban dari peserta/pemenang lelang.
1) Klausul tentang domisili, pada umumnya domisili pemenang lelang/pembeli dianggap memilih domisili kepada KP2LN (pelaksana Lelang).
2) tentang kewajiban perpajakan dan lainnya.
Bila kita perhatikan dari klausul-klausul yang sudah baku tersebut didalamnya terdapat klausul-klausul dimana Pejabat Lelang/KP2LN berusaha melepaskan diri dari segala resiko/akibat dari penjualan umum itu.
Hal tersebut dapat dimengerti mengingat Pejabat Lelang dalam suatu penjualan umum yang dilakukan dihadapannya hanyalah melaksanakan tugas dari pemerintah dalam fungsi publiknya untuk mengawasi jalannya penjualan lelang itu agar benar-benar transparan/kompetitif dan adil, maka dalam pasal-pasal Vendu Reglement Pejabat Lelang disebut juga pengawas lelang. Sudah pasti Pejabat Lelang KP2LN tidak akan bersedia menanggung akibat/resiko atas penjualan tersebut, lebih-lebih sekarang ini pada umumnya dilakukan dengan tanggungan pemerintah maka jangan sampai pemerintah/KP2LN/Pejabat Lelang justru menimbulkan kerugian bagi keuangan negara.
Oleh karena itulah tata cara/prosedur serta persyaratan penjualan umum itu diatur pemerintah sehingga Pejabat Lelang harus tunduk/menaati ketentuan-ketentuan pembuatan risalah lelang dan klausul-klausulnya. Dalam pasal 40 VR menyatakan bahwa Pejabat Lelang bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena tidak menaati dalam pembuatan Rislah Lelang.
Karena batasan-batasan tersebut maka setiap pembuatan risalah lelang senantiasa dicantumkan klausul pembebasan diri tersebut yang bentuknya antara lain sebagai berikut:
1) Dalam hal pembeli lelang hak atas tanah tidak diijinkan untuk balik nama maka penjualan ini tidak batal;
2) Dalam hal pembeli wanprestasi maka penunjukkan pemenang lelang dibatalkan secara sepihak, kemudian bila dilakukan lelang ulang maka ia harus menanggung segala resiko akibat pembatalan tersebut, ia harus menanggung selisih kurang dari lelang berikutnya, sedangkan kalau ada selisih lebih maka ia tidak berhak untuk menuntut kelebihan tersebut;
3) Pemenang lelang/pembeli dianggap telah mengetahui keadaan barang yang dibelinya dengan segala cacat/kekurangan yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan dan segala akibat/resiko dari penawarannya itu, sepenuhnya menjadi tanggung jawab pembeli dan ia tidak dapat membatalkan pembeliannya itu;
4) Pejabat Lelang dan KP2LN tiadk bertanggung jawab atas kebenaran-kebenaran tentang luas, ukuran dan sebagainya lebih-lebih bila lelang eksekusi pengadilan maka pengadilan tidak akan bertanggung jawab atas akibat penjualan itu.
Tata Cara Penawaran
Pada prinsipnya penawaran lelang agar diutamakan menggunakan penawaran langsung secara lisan dengan harga semakin menaik (cara opbod). Proses penawaran dipimpin oleh Pejabat Lelang atau Penyeru Lelang (af slager) yang ditunjuk oleh Pejabat Lelang. Harga penawaran pertama besarnya ditentukan berdasarkan hasil kesepakatan antara Pemohon Lelang/penjual dengan Pejabat Lelang, atau diawali oleh Peserta Lelang itu sendiri. Besarnya kenaikan minimal setiap penawaran ditentukan Pejabat Lelang.
Penawaran dengan cara tertulis masih dapat digunakan dalam hal Pemohon Lelang berpendapat bahwa dengan cara ini akan mendapatkan hasil yang lebih baik. Untuk menjamin kebenaran identitas calon peserta lelang, bilamana dipandang perlu Pejabat Lelang dapat mensyaratkan agar peserta lelang melampirkan fotokopi Kartu Tanda Penduduk/identitas lain pada saat mendaftarkan diri sebagai Peserta Lelang. Apabila yang bersangkutan bertindak selaku kuasa harus dibuktikan dengan surat kuasa bermeterai cukup. Pada surat kuasa tersebut harus dilampirkan juga fotokopi identitas pemberi kuasa. Peserta Lelang yang berhak menawar adalah yang telah memenuhi syarat dan telah menyetor uang jaminan apabila disyaratkan untuk barang yang akan ditawarnya.
Selanjutnya dalam tata cara pengajuan penawaran lelang, kebiasaan yang berlaku selama ini harga penawaran yang diajukan calon pembeli belum diperhitungkan pungutan–pungutan lain yang diwajibkan kepadanya. Dalam perkembangan akhir–akhir ini, ada beberapa pihak khususnya dalam hal lelang sukarela yang menginginkan agar dalam tata cara pengajuan penawaran lelang, pungutan–pungutan yang harus dibayar pembeli seperti Bea Lelang, Uang Miskin dan/atau Pajak Pertambahan Nilai (dalam hal barang yang dilelang terhutang Pajak Pertambahan Nilai), sudah diperhitungkan dalam harga penawaran lelang.
Cara penawaran ini dapat disebut sebagai penawaran inklusif.
Sejalan dengan itu perlu kami tegaskan bahwa sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak ada larangan untuk menggunakan cara penawaran inklusif tersebut.
Dengan demikian penawaran lelang tersebut dapat ditempuh dengan cara penawaran yang belum termasuk di dalamnya pungutan–pungutan yang diwajibkan sebagaimana sudah berjalan selama ini, atau dengan cara penawaran yang di dalamnya sudah termasuk pungutan–pungutan yang diwajibkan.
Sehubungan dengan hal tersebut, apabila akan ditempuh tata cara penawaran inklusif, perlu dilakukan beberapa perubahan sebagai berikut:
a. Formulir Penawaran Lelang dan Klausula Risalah Lelang.
Dalam formulir penawaran lelang maupun risalah lelang, syarat–syarat umum lelang maupun syarat–syarat dari penjual selama ini antara lain dimuat klausula: ”Dalam harga penawaran yang diajukan belum termasuk Bea Lelang, Uang Miskin, dan pungutan–pungutan lainnya yang diwajibkan.”
Agar diubah ,menjadi: ” Dalam harga penawaran yang diajukan sudah termasuk Bea Lelang, Uang Miskin, dan ...( catatan: agar disebutkan jenis pungutan tersebut sebagaimana ketentuan
diatas.)
b. Bagian Badan dan Penutup Risalah Lelang:
Harga barang baik yang terjual maupun ditahan, yang dicantumkan pada bagian badan dan penutup risalah lelang adalah harga pokok penjualan hasil perhitungan dari harga penawaran inklusif yang telah dikurangkan PPN, Bea Lelang Pembeli dan Uang Miskin, analog dengan tata cara perhitungan penawaran lelang terlampir;
c. Kuitansi Pembelian dan Penyetoran Hasil Lelang:
Penerbitan kuitansi pembelian lelang kepada pembeli tidak perlu dirinci dengan pungutan–pungutan yang menjadi kewajibannya tetapi cukup dicantumkan harga penawaran inklusif tersebut serta uraian barang yang dibelinya. Sedangkan penyetoran hasil lelang kepada penjual di bagian belakang kuitansinya agar dirinci sesuai contoh perhitungan terlampir;
Perlu ditegaskan bahwa dalam penawaran secara inklusif untuk pelaksanaan lelang barang bergerak hanya boleh diperhitungkan di dalamnya
Harga Pokok Penawaran, Bea Lelang, Uang Miskin, dan/atau PPN.
Untuk pelaksanaan barang tidak bergerak yang menurut peraturan perundang–undangan terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tidak diperkenankan menggunakan tata cara penawaran secara inklusif dengan memasukkan PPN di dalam penawaran tersebut, karena cara perhitungan PPN atas barang tidak bergerak mempunyai aturan khusus yang sulit untuk digabungkan dengan tata cara penawaran inklusif. Dengan demikian dalam penawaran secara inklusif untuk lelang barang tidak bergerak hanya diperhitungkan Harga Pokok Penawaran, Bea lelang, dan Uang Miskin. Adapun PPN yang terhutang menjadi tanggung jawab pemohon lelang sendiri untuk menghitung dan mempertanggungjawabkannya ke Ditjen Pajak.
Dengan diberlakukannya ketentuan ini Pemohon Lelang/penjual secara tertulis dapat mengajukan pilihan dalam menentukan harga penawarannya, yaitu:
a. Harga penawaran belum termasuk pungutan-pungutan sebagaimana tersebut diatas (penawaran secara eksklusif) atau
b. Harga penawaran sudah termasuk pungutan-pungutan sebagaimana tersebut diatas (penawaran secara inklusif).
Dari uraian-uraian sebelumnya dapat disimpulkan bahwa Bagian Kepala Risalah Lelang memuat:
a. Identitas Pejabat Lelang.
b. Identitas penjual dan kewenangan untuk bertindak.
c. Identitas barang yang dilelang.
d. Syarat – syarat lelang.
Bagian Badan Risalah Lelang
Bagian Badan Risalah Lelang harus memuat:
1. Identitas atau uraian barang yang dilelang
2. Identitas Pembeli
3. Harga Penawaran
Identitas atau uraian barang yang dilelang, meliputi :
1. nomor urut barang yang dilelang
2. nama barang yang dilelang dengan dijelaskan secara rinci termasuk ciri-ciri khusus dan kondisi barangnya.
Identitas Pembeli, meliputi :
1. nama pembeli;
2. pekerjaan pembeli;
3. alamat pembeli.
Catatan :
a. Dalam hal pembelian yang dilakukan oleh seseorang yang diberikan kuasa oleh orang lain, maka baik nama, pekerjaan, dan tempat tinggal dari yang memberi kuasa maupun yang diberi kuasa disebutkan/dimuat dalam risalah lelang.
b. Jika kuasa lisan harus dijelaskan dalam risalah lelang dan jika si pemberi kuasa dengan lisan tersebut tidak memenuhi kewajiban pada waktunya maka yang diberi kuasa dengan lisan itu bertanggung jawab sepenuhnya, seakan-akan penawaran/pembelian itu dilakukan untuk dirinya sendiri.
c. Jika kuasa secara tertulis maka surat kuasa itu dilampirkan pada risalah lelang, jika surat kuasa untuk beberapa pelaksanaan lelang, maka surat kuasa itu disimpan oleh KP2LN, jika surat kuasa itu dibuat notaris yang aslinya harus disimpan yang berkepentingan, hal tersebut harus dijelaskan dengan lengkap dalam risalah lelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar