Setiap instansi atau lembaga pemerintahan, dalam menjalankan tugas yang diembannya sudah tentu memerlukan bidang tanah, baik untuk pembangunan gedung kantor atau kegiatan operasionalnya. Bidang tanah tersebut ada yang diperoleh dari pemberian langsung oleh pemerintah atau dari hasil pembelian milik penduduk. Status bidang tanah itu tetap sebagai aset Pemerintah disebabkan oleh kareana sumber dananya berasal dari Pemerintah. Adapun masalah tertib administrasi yang perlu menjadi perhatian adalah tentang bagaimana tata cara penguasaan oleh instansi itu menjadi tertib dan teratur serta tertib pengawasannya.
Di zaman Pemerintaha Hindia Belanda dahulu sudah ada ketentuan yang berlaku walaupun belum menyentuh tertib penguasannnya. Pada waktu itu berlaku ketentuan yang terdapat dalam Staatsblad 1911 no 110 juncto Staatsblad 1940 no 430. Di dalam lembaran Negara ini disinggung mengenai harta benda, bangunan dan lapangan militer. Mengenai bidang tanah disebut atau dirangkum ke dalam kata is lands-onroerende goederen atau "harta benda tetap/harta benda tidak bergerak milik Negara" sedangkan tertib administrasi penguasaan oleh instansi itu dipergunakan oleh istilah in beheer atau "dalam penguasaan". Sebagai bukti bahwa bidang tanah itu ada dalam penguasaan suatu instansi tertentu, ialah bahwa instansi tersebut memiliki anggaran belanja dari pemerintahan untuk membiayai pemeliharaannya.
Istilah in beheer ini kemudian berkembang atau dikembangkan demikian luas pengertiannya sehingga menimbulkan adanya kerancuan di bidang tertib hukum antar instansi pemerintah dengan instansi pemegang hak dan pihak ketiga. Pokok permasalahan inilah yang menjadi fokus pengkajian dan perlu ada perhatian untuk menemukan jalan keluarnya.
Dengan terbitnya Peraturan Pemerintah no. 8 tahun 1953 tentang Penguasaan Tanah Negara, telah diatur bahwa openguasaan atas tanah Negara terbagi dalam dua (2) subyek :
1. Penguasaan tanah negara berdasarkan Undang-Undang atau Peraturan lain yang ada pada kementerian, jawatan atau daerah swatantra pada saat berlakunya peraturan ini.
2. Penguasaan atas tanah negara selebihnya ada pada Menteri Dalam Negeri.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1953 yang perlu mendapatkan perhatian adalah ketentuan yang diatur dalam pasal 92 oleh karena materi hukumnya menjadi embrio lahirnya pengertian Hak Pengelolaan.
Pasal 9 tersebut antara lain mengatur bahwa kementerian, jawatan atau daerah swatantra sebelum dapat menggunakan tanah-tanah Negara yang penguasanya diserahkan kepadanya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah itu dalam waktu yang pendek, yang sifatnya sementara serta setiap waktu harus dapat dicabut kembali. Ketentuan ini terus berlaku sampai tahun 1965 walaupun undang-undang no 5 tahun 1960 tidak mengaturnya. Berdasarkan pasal peralihan yang ada, maka Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 masih tetap berlaku. Penguasaan bidang tanah oleh instansi pemerintah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini ditindaklanjuti dengan kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Agraria no 9 tahun 1965.
Dalam peraturan Menteri Agraria ini diatur bahwa yang semula hanya menyebut kata "penguasaan" dibubuhi kata hak dan menjadi "hak penguasaan", juga terdapat ketentuan bahwa Hak Penguasaan ini dikonversi dan dipecah menjadi dua (2) jenis hak, ialah :
1. Sepanjang tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dikonversi menjadi HAK PAKAI selama dipergunakan.
2. Tanah-tanah tersebut selain dipergunakan untuk kepentingan instansi itu sendiri, dimaksudkan juga untuk dapat diberikan dengan sesuatu hak kepada pihak ketiga, maka hak penguasaan itu dikonversi menjadi HAK PENGELOLAAN yang berlangsung selama tanah itu dipergunakan untuk keperluan itu oleh instansi yang bersangkutan.
Diatur bahwa Hak Pengelolaan ini mengandung kewenangan kepada pemegang haknya untuk :
a. Merencanakan peruntukan dan pengguanaan tanah tersebut.
b. Menggunakan tanah itu untuk kepentingan sendiri.
c. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah itu kepada pihak ketiga dengan hak pakai yang berjangka waktu enam (6) tahun.
d. Menerima uang pemasukan, ganti rugi dan atau uang wajib tahunan.
Rumusan pengertian Hak Pengelolaan menadi demikian luas dan berlaku sampai dengan berlakunya Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1973.
Dengan terbitnya Peraturan Menteri tahun 1974 tentang Ketentuan-ketentuan Mengenai Penyediaan dan Pemberian Tanah untuk Keperluan Perusahaan, diaturlah kebijakan yang lebih luas lagi. Pasal 3 mengatur bahwa Hak Pengelolaan yang diberikan kepada perusahaan berisikan wewenang untuk:
a. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah yang bersangkutan.
b. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.
c. Menyerahkan bagian-bagian daripada tanah itu kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan atau pemegang hak tersebut yang meliputi segi-segi peruntukan, penggunaan, jangka waktu dan keuangannya dengan ketentuan bahwa pemberian hak atas tanah kepada pihak ketiga dilakukan oleh pejabat yang berwenang.
Kecuali adanya kebijakan oleh tingkat menteri mengenai Hak Pengelolaan ini, masih ada kebijakan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah no 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah. Materi hukum hak pengelolaan hanya disisipkan dalam pasal 1 ayat 2 yang intinya mengandung pengertian adanya delegasi wewenang hak menguasai dari Negara kepada pemegang hak pengelolaan. Tidak ada penjelasan apakah delegasi kewenangan ini bersumber atau mengacu pada pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Pokok Agraria atau kepada Peraturan-Peraturan Menteri tersebut di atas. Hak Pengelolaan yang bersumber pada ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria kiranya belum pernah diberikan.
Rumusan dan pengertian mengenai Hak Pengelolaan yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah no 8 tahun 1953 sampai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri no 5 tahun 1974 berkembang sedemikian luasnya sehingga dapat menimbulkan tumpang tindih antar kewenangan instansi, dan juga berdampak kepada aspek sosial, ekonomi dan yuridis.
Adapun permasalahan yang timbul sebagai akibat rumusan dan pengertian Hak Pengelolaan tersebut antara lain adalah sebagai berikut :
1. Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak tidak diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria tetapi hanya suatu kebijakan yang dilandasi oleh peraturan Menteri.
2. Instansi Pemerintah sebagai pemegang Hak Pengelolaan menjadi berfungsi ganda, ialah sebagai pengemban tugas pelayanan publik dan juga bertindak sebagai penguasa.
3. Batasan atau rumusan Hak Pengelolaan demikian luas sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antar instansi. Sebagai contoh adalah kewenangan perencanaan dan pengguanaan tanah, tumpang tindih dengan kewenangan Pemerintah Daerah. Adanya kewenangan mengenai perolehan keuangan dari pihak ketiga adalah tumpang tindih dengan kewenangan Departemen Keuangan, khususnya ketentuan dalam Undang-Undang no 20 tahun 1996 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
4. Bidang tanah sebagai aset Pemerintah apabila difungsikan untuk tujuan mendapatkan penghasilan, juga terkait dengan kewenangan Departemen Keuangan.
5. Persyaratan yang diminta oleh pemegang Hak Pengelolaan pada umumnya memberatkan beban pihak ketiga, sehingga dapat menimbulkan konflik secara diam-diam atau terbuka.
Sebagai jalan keluar atau pemecahannya ialah bahwa Hak Pengelolaan sebagai suatu jenis hak perlu diadakan pembahasan kembali sehingga didukung oleh sumber hukum yang benar.
Kepada instansi Pemerintah cukuplah diberikan Hak Pakai selama bidang tanahnya dipergunakan dan kembali kepada tugas pokoknya.
Apabila suatu departemen tugas operasionalnya bersinggungan dengan unsur bisnis maka diwajibkan membertuk Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Bidang tanah yang dikuasai oleh Badan Usaha ini wajib tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan perundangan lainnya.
*)Oleh Drs. SoemardijonoPenulis adalah purna karyawan Badan Pertanahan Nasional
Tidak ada komentar:
Posting Komentar