RUU Jabatan Notaris (JN) mewajibkan Notaris untuk berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris. Rentan untuk di-judicial review?
Salah satu masalah yang masih diperdebatkan secara mendalam hingga akhir pembahasan RUU JN adalah masalah wadah tunggal Organisasi Notaris. Perdebatan panjang tentang wadah tunggal Organisasi Notaris sudah terjadi saat pembahasan RUU JN di tingkat Panitia Kerja yang dilangsungkan selama empat hari (6-9 September) di sebuah hotel di kawasan Slipi, Jakarta.
Perdebatan yang belum tuntas soal wadah tunggal Organisasi Notaris kemudian berlanjut saat Rapat Kerja antara Badan Legislasi DPR dengan Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra yang berlangsung hingga Jumat (10/09) dini hari. Adalah anggota Dewan dari Fraksi PDIP, J.E. Sahetapy, yang paling keras menentang Pasal 82 ayat (1) RUU JN mengenai wadah tunggal Organisasi Notaris.
Sahetapy menilai bahwa ketentuan soal wadah tunggal Organisasi Notaris bertentangan dengan UUD 1945 terutama tentang hak untuk berserikat. "Ini jelas bertentangan dengan UUD. Organisasi notaris yang mana itu bukan urusan kita, tapi kita tidak bisa mengatakan satu," tegas Sahetapy.
Pendapat Sahetapy didukung oleh rekannya satu fraksi, Tunggal Lumban Tobing. Menurutnya, jika pasal tentang wadah tunggal notaris dipaksakan masuk dalam RUU JN dikhawatirkan akan diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan konstitusi.
Sekadar tahu, Pasal 82 ayat (1) RUU JN berbunyi: "Notaris berhimpun dalam satu wadah Organisasi Notaris". Menanggapi pendapat Sahetapy, anggota Dewan dari Fraksi Reformasi Mohammad Asikin mengatakan bahwa secara historis organisasi notaris sudah punya keinginan untuk membentuk wadah tunggal.
Dijelaskan oleh Asikin bahwa dalam kenyataan selama ini Ikatan Notaris Indonesia (INI) adalah satu-satunya organisasi notaris yang diakui oleh pemerintah. Asikin kemudian merujuk pada sebuah selembaran yang ia terima yang menyatakan bahwa INI sudah terbentuk sejak 1908.
Sahetapy menyebut bahwa pandangan yang dikemukakan oleh Asikin adalah tidak logis. "Itukan jaman kolonial. Saya pikir tuntutan logika begitu, mohon maaf saja pada sejawat saya, tidak logis itu. Kalau mau dibicarakan itu ya setelah kita merdeka. Itu bolehlah tapi kalau di tahun 1908 itukan di jaman kolonial. Hanya itu saja supaya kita jangan dibodohi dengan retorika yang tidak betul," tandasnya.
Raker yang usai lewat pukul 24.00 wib tersebut kemudian menyepakati untuk menolak perubahan terhadap rumusan Pasal 82 ayat (1) RUU JN. Sebelumnya, Sahetapy sempat menegaskan bahwa jika usulannya tidak diterima maka ia akan mengemukakan masalah tersebut pada Rapat Paripurna DPR pada 14 September.
Sumber : http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=11137&cl=Berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar