dalam sistem hukum Perdata Barat
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan perorangan yang satu dengan yang lainnya dalam pergaulan masyarakat, yang memberikan batasan – batasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan perorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dalam masyarakat tertentu, terutama hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas hukum privat.
Pembagian hukum perdata :
Pembagian Hukum Perdata menurut Ilmu Pengetahuan
Pembagian Hukum Perdata menurut sistem kodifikasi ( KUHPer)
Hukum Perorangan
Hukum Perorangan dalam arti luas :
1. Hukum Perorangan, adalah keseluruhan kaedah hukum yang mengatur kedudukan manusia sebagai subjek hukum dan wewenang untuk memperoleh, memiliki, dan mempergunakan hak – hak dan kewajiban ke dalam lalu lintas hukum serta kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak – haknya, juga hal – hal yang mempengaruhi kedudukan subjek hukum.
2. Hukum Kekeluargaan, adalah hukum yang mengatur perihal hubungan – hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian, dan curatele.
Hukum Perorangan dalam arti sempit
Hukum yang mengatur tentang orang sebagai subjek hukum
Orang Sebagai Subjek Hukum
Subjek Hukum
Subjek Hukum adalah pembawa hak dan kewajiban
Kategori Subjek Hukum
Manusia (Natuurlijk Persoon)
Orang yang diberi wewenang dan berkedudukan sebagai subjek
Badan Hukum ( Rechts Persoon)
Subjek hukum yang tidak mempunyai wujud fisik, tetapi dalam hukum dianggap sebagai sesuatu yang dapat memiliki hak dan kewajiban.
Badan Hukum Publik, contoh : negara
Badan hukum privat, contoh : PT, Koperasi, Yayasan.
Asas – Asas Manusia / Subjek Hukum
Ø Setiap manusia berkedudukan sama dalam bidang hukum
Ø Tidak semua orang cakap bertindak di bidang hukum
Ø Manusia dianggap ada sejak ia lahir sampai ia meninggal
Ø Tiap orang harus mempunyai domisili / tempat tinggal
Terdapat pengecualian, yaitu pada pasal 2 KUHPer, dinyatakan bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum jika kepentingannya menghendaki. Namun, apabila bayi tersebut dilahirkan dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada. Jadi bayi dalam kandungan disini sudah dianggap sebagai manusia.
Dalam pasal 348 KUHPer, UU melindungi anak yang masih ada di dalam kandungan.
Berlakunya ketentuan tersebut harus memenuhi syarat – syarat, sebagai berikut :
Ø Si bayi dalam kandungan harus telah dibenihkan saat kepentingannya timbul
Ø Si bayi harus dilahirkan hidup
Ø Kepentingan si bayi menghendaki, diartikan bahwa berdasarkan keadaan telah timbul hak – hak tertentu bagi si bayi.
AKIBAT PERKAWINAN
Pengertian
Yaitu bagaimana hubungan yang timbul antara para pihak (suami istri), yang menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri, hubungan suami istri dengan keturunan dan kekuasaan orang tua serta hubungan suami istri dengan harta kekayaan yang mereka miliki.
Akibat Perkawinan Menurut KUHPer
1. Akibat Perkawinan terhadap hubungan suami istri, menimbulkan hak dan kewajiban. Dalam hal ini kemudian dibagi lagi menjadi 2 sub yaitu :
a. Akibat yang timbul dari hubungan suami istri
§ adanya kewajiban suami istri untuk saling setia, tolong menolong, bantu membantu dan apabila dilanggar dapat menimbulkan pisah meja tempat tidur, dan dapat mengajukan cerai (Pasal 103)
§ Suami istri wajib tinggal bersama dalam arti suami harus menerima istri, istri tidak harus ikut di tempat suami kalau keadaannya tidak memungkinkan, suami harus memenuhi kebutuhan istri (Pasal 104)
b. Akibat yang timbul dari kekuasaan suami dalam hubungan perkawinan
Ø Suami adalah kepala rumah tangga, istri harus patuh kepada suami sehingga istri tidak cakap kecuali ada izin dari suami.
Ø Istri harus patuh terhadap suami, dengan demikian istri harus mengikuti kewarganegaraan suami dan dia harus tunduk pada hukum suami baik publik maupun privat (Pasal 106 KUHPer)
Ø Suami bertugas mengurus : harta kekayaan bersama, sebagian besar kekayaan pihak istri, menentukan tempat tinggal, menentukan persoalan yang menyangkut kekuasaan orang tua. Istri dianggap tidak cakap, tidak bisa mengurus kekayaan sendiri
2. Akibat Hubungan Suami Istri Terhadap Harta Kekayaan
a) Pasal 119 KUHPer
Menurut KUHPer akibat hubungan suami istri terhadap terhadap harta kekayaan adalah harta campuran bulat, harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan menjadi harta bersama meliputi seluruh harta perkawinan, yaitu :
1. Harta yang sudah ada pada waktu perkawinan
2. Harta yang diperoleh sepanjang perkawinan
a) Sebagian besar kekayaan milik istrinya, karena istri dalam ikatan perkawinan dianggap tidak cakap, maka suami berhak mengurusnya.
Untuk melindungi harta kekayaan istri terhadap pengurusan yang jelek dari suami maka diatur tentang perlindungan antara :
§ Mengadakan perjanjian kawin, juga mengadakan sebuah janji hipotik atas barang tidak bergerak milik suami.
§ Dimungkinkannya seorang istri mengajukan gugatan atas pemisahan harta kekayaan apabila terjadi pengurusan yang tidak baik oleh suami (Pasal 186 ayat 2 KUHPer)
Namun, ada pengecualian bahwa harta tersebut bukan harta campuran yaitu apabila terdapat :
Perjanjian kawin
Hapusnya harta campuran disebabkan oleh :
1. Kematian
2. Perkawinan baru atas izin hakim karena afwezigheid
3. Perceraian
4. Pisah meja dan tempat tidur
5. Pemisahan harta kekayaan
3. Akibat Hubungan Suami Istri Dengan Anak
Dengan adanya perkawinan akan menimbulkan keturunan, yang merupakan asal usul anak sehingga ada hubungan darah antara orang tua dengan anak.
Hubungan darah :
-anak sah
-anak luar kawin yang diakui
a. Keturunan Sah / anak sah
Anak yang dilahirkan dari perkawinan secara sah diatur di dalam pasal 250 :
Tiap – tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai bapaknya.
Pasal 252 :
Suami boleh mengingkari keabsahan si anak apabila dapat membuktikan, bahwa ia sejak 300 sampai 180 hari sebelum lahirnya anak itu, berada di dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk mengadakan hubungan dengan istrinya.
Jangka waktu kehamilan
Untuk memastikan keabsahan anak, UU mengatur jangka waktu
terpendek yaitu 180 hari setelah pernikahan dan jangka waktu kehamilan paling lama 300 hari setelah pernikahan.
Artinya, anak yang dilahirkan setelah 180 hari setelah pernikahan yang sah itu anak sah, karena anak yang lahir sebelum 180 hari setelah pernikahan dari kandungan ibunya menurut perhitungan kehamilan tidak akan dapat hidup. Sebaliknya, anak yang ada di dalam kandungan ibunya lebih dari 300 hari akan kehabisan oksigen.
Penyangkalan Keabsahan Anak dan Penolakan atas Penyangkalan
UU mengatur tentang hak menyangkal suami terhadap lahirnya seorang anak dari istrinya sebagai anak sah. Apabila dapat membuktikan dengan alasan – alasan :
a) Jika anak lahir sebelum 180 hari setelah perkawinan (Pasal 251). Tetapi, penyangkalan tidak boleh dilakukan apabila suami sudah mengetahui kehamilan istrinya sebelum perkawinan
b) Suami dalam masa 300 hari hingga 180 hari sebelum anak dilahirkan, tidak bergaul dengan istrinya (Pasal 252)
c) Istri melakukan perzinahan dan kelahiran anak ini disembunyikan terhadap suami (Pasal 253)
d) Anak itu lahir lewat 300 hari setelah ada putusan pengadilan negeri yang menyatakan perpisah meja dan tempat tidur (Pasal 254)
Yang dapat mengajukan penyangkalan keabsahan anak:
Suami ibu anak tersebut
Atas kekuasaan sendiri dengan alasan sesuai yang diatur di dalam Pasal 252 KUHPer
Keabsahan Anak :
Sahnya anak cukup dibuktikan dengan menunjukkan :
a) Akte kelahiran, yang didasarkan pada akte perkawinan orang tuanya yang membuktikan dengan siapa ibunya itu menikah dan akte kelahiran yang membuktikan dari ibu mana anak itu dilahirkan dan kapan anak itu dilahirkan.
b) Kenyataan bahwa anak itu diperlakukan sebagai anak sah oleh orangtuanya dan itu senantiasa memakai nama bapaknya dan diperlakukan oleh bapaknya sebagai anak sah (Pasal 261 dan Pasal 263 KUHPer)
c) Jika kedua hal tersebut tidak ada maka dibuktikan dengan saksi – saksi apabila ada pemintaan pembuktian dengan tulisan (Pasal 264 dan 265)
Keturunan Tidak Sah / Anak Luar Kawin
Anak tidak sah terjadi karena dilahirkan di luar perkawinan. Anak tersebut disebut sebagai anak alam, yang terbagi menjadi 2 macam, yaitu :
1. Anak alam dalam arti luas, yang meliputi :
· Anak yang di luar perkawinan dan tidak pernah disahkan
· Anak lahir karena zinah, anak yang lahir dari perkawinan antara mereka yang dilarang tidak dapat diakui apalagi disahkan sehingga tidak dapat mewaris dari pria dan wanita tersebut, kecuali dengan nafkah atau hibah / wasiat
2. Anak alam dalam arti sempit, adalah anak luar kawin dimana wanita dan pria, keduanya tidak terikat dengan perkawinan lain.
Anak Luar Kawin Yang Diakui
Menurut KUHPer, anak luar kawin tidak memiliki hubungan hukum dengan siapa saja, kecuali dengan mereka yang mengakuinya. Yang dapat mengakuinya adalah wanita atau pria yang menyebabkan dia lahir.
Terdapat 3 lembaga, yaitu :
a. Pengakuan Sukarela
Pengakuan berdasarkan UU yang dilakukan oleh :
· Ibunya, meskipun di bawah umur, tidak perlu dibantu oleh orangtua
· Bapaknya, harus berumumr 19 tahun dan harus mendapat persetujuan dari ibunya selagi ibunya masih hidup. (Pasal 282 ayat 1) Pengakuan tidak dapat dilaksanakan dengan paksaan, kekhilafan, penipuandan bujukan. Pengakuan demikian tersebut batal demi hukum.
Berdasar Pasal 282 ayat 1, Prosedur pengakuan :
· Dilakukan di depan pegawai Catatan Sipil
· Dilakukan pada waktu perkawinan orangtua
· Pada waktu perkawinan orang tua dapat sekaligus mengakui dan mengesahkan anak luar kawin
· Pengakuan harus tegas
Akibat Pengakuan Sukarela :
· Anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan yang mengakui
· Adanya perwalian dari orang yang mengakui
· Anak yang diakui berhak memakai nama orangtua yang mengakui
· Orang tua yang mengakui wajib membiayai anak yang diakui
· Pengakuan tidak berlaku surut
· Pengakuan dapat disangkal oleh orang yang berkepentingan (Pasal 286 KUHPer)
b. Pengakuan Secara Paksa
Terjadi karena putusan hakim, ditetapkan karena adanya keturunan dari seseorang anak yang dilahirkan di luar perkawinan.
Pasal 286, Pasal 287, dan Pasal 289 KUHPer.
c. Pengesahan Anak
Merupakan tindak lanjut dari tindakan pengakuan dari salah satu orangtuanya atau pengakuan yang dilakukan dengan pengesahan pada waktu orangtuanya melakukan perkawinan.
Akibat dari pengesahan :
Ø Timbul hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya
Ø Anak yang diakui mempunyai kedudukan yang sama dengan anak sah
Ø Anak yang disahkan dapat menggantikan kedudukan ahli waris
Akibat Perkawinan Menurut UU No. 1 Tahun 1974
- Hubungan Antara Suami Istri itu Sendiri
Menimbulkan hak dan kewajiban antara suami istri :
Menegakkan rumah tangga, menciptakan rumah tangga yang utuh.
Suami sebagai kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga
Kedudukan suami dan istri seimbang, mempunyai hak dan kewajiban masing – masing. Dengan begitu, menurut UU ini istri cakap melakukan tindakan hukum sendiri, tidak perlu mendapat izin dari suami terlebih dahulu, sehingga sifat hubungan hukum antara suami istri adalah individual.
- Suami dan istri merupakan dua komponen yang sama pentingnya dalam melaksanakan fungsi keluarga,tidak ada dominasi dan supremasi diantara keduanya.
- Suami istri harus memiliki tempat tinggal ( domisili ) dan istri harus ikut suami.
Untuk membentuk keluarga yang harmonis, maka suami istri harus tinggal bersama sama dalam satu rumah, penting untuk membina hubungan satu sama lain dengan pasangan dan juga dengan anak – anaknya.
- Saling cinta mencintai dan hormat menghormati
Suami istri wajib saling cinta mencintai hormat menghormati dan setia serta memberi bantuan lahir batin kepada satu dengan yang lainnya
- Suami wajib melindungi istri, memenuhi segala keperluan hidupnya
Suami harus selalu bertanggung jawab terhadap keperluan hidup keluarganya
2. Hubungan Suami Istri Terhadap Anak
Dalam UU ini, anak dibedakan menjadi 2, yaitu :
Anak yang sah dari kedua orangtuanya.
Anak sah adalah, anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.
Anak yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga si ibu yang melahirkannya
Hak dan Kewajiban antara Orangtua dan Anak
Orangtua wajib memelihara dan mendidik anak – anaknya dengan sebaik – baiknya
Memelihara : mengawasi dan memberikan pelayanan yang semestinya, hal ini harus bersifat terus menerus sampai anak tersebut mencapai batas usia dewasa
Mendidik : memberikan pendidikan dan pengajaran untu membentuk anak tersebut menjadi manusia yang berdedikasi dan dapat hidup di dalam masyarakat luas.
Mewakili anak – anak tersebut di dalam dan di luar pengadilan
Anak wajib menghormati orangtua dan mentaati kehendak orangtua. Ketaatan atas kehendak orangtua terbatas pada garis – garis yang dibenarkan oleh hukum, kesopanan dan kesusilaan yang hidup dalam pergaulan masyarakat.
Kewajiban anak untuk memelihara orangtuanya dan keluarganya dalam garis lurus keatas. Kewajiban ini timbul ketika anak tsb sudah dewasa dan ia memang mampun untuk membantu orangtua dan keluarganya dalam garis lurus keatas serta memang keluarga tersebut memerlukan bantuan.
Pencabutan Kekuasaan Orang Tua
Diatur dalam Pasal 49 UU No. 1 / 1974, bertujuan untuk menghindari cara pengawasan orang tua yang tidak sesuai / tidak baik, sehingga mungkin anak tersebut akan menjadi lebih baik keadaannya apabila tidak berada di dalam kekuasaan orangtua nya. Pencabutan ini dapat dilakukan dengan alasan orangtua mengurus kepentingan dan pemeliharaan anak – anaknya sedemikia buruk.
Alasan Pencabutan Kekuasaan Orangtua, menurut Pasal 49 :
a. Orangtua melalaikan kewajiban terhadap anaknya.
b. Karena sakit, sangat uzur atau sakit syaraf
c. Orangtua bepergian untuk jangka waktu yang sangat lama dan tidak diketahui kapan kembalinya
d. Orangtua berkelakuan buruk, hal ini bersifat kwantitas, meliputi tingkah laku yang tidak senonoh, dan tidak memberikan teladan kepada anaknya.
Pencabutan Kekuasaan Orangtua tidak menghapuskan kewajiban hukum untuk memberikan biaya pemeliharaan kepada anak – anaknya. Jadi, orangtua masih berkewajiban untuk membiayai keperluan anak – anaknya.
Hubungan Suami Istri Terhadap Harta
Menurut Pasal 35 UU No. 1 / 1974, yaitu :
Harta bersama adalah harta benda yang diperoleh sepanjang perkawinan
Harta bawaan adalah harta yang dibawa masuk ke dalam suatu perkawinan. Penguasaannya tetap pada masing – masing suami istri yang membawanya ke dalam perkawinan, sepanjang pihak tidak menentukan hal lain.
Hubungan Suami Istri Dengan Lingkungan Masyarakat
Suami wajib melindung istri sesuai dengan kemampuan masing – masing, apabila suami melalalikan kewajiban maka istri dapat mengadukan ke pengadilan
Harta bersama suami istri menjadi jaminan atas hutang piutang suami istri
Apabila perkawinan putus maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing – masing.
Kepustakaan: 1. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Prof. Subekti, SH)
2. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat (Dr.Wienarsih Imam
Subekti,SH,MH, Sri Soesilowati Mahdi, SH)
Hukum Orang :
Dalam arti sempit
Hukum orang hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum
Dalam arti luas
Hukum orang tidak hanya ketentuan orang sebagai subjek hukum tetapi juga termasuk aturan hukum keluarga
SUBJEK HUKUM
Subjek hukum adalah pembawa hak dan kewajiban.
Kategori Subjek Hukum :
- Manusia (Natuurlijk Persoon)
- Badan Hukum (Rechts persoon)
Natuurlijk Persoon / Manusia
Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat dia lahir dan berakhir pada saat ia meninggal.
Terdapat pengecualian :
Dapat dihitung surut, apabila memang untuk kepentingannya, dimulai ketika orang tersebut masih berada di dalam kandungan ibunya. (Teori Fiksi Hukum)
Hal ini terdapat pada Pasal 2 KUHPer, bahwa bayi yang masih ada di dalam kandungan ibunya dianggap telah lahir dan menjadi subjek hukum jika kepentingannya mengehendaki seperti dalam hal kewarisan. Namun, apabila lahir dalam keadaan meninggal dunia, maka menurut hukum ia dianggap tidak pernah ada, sehingga ia bukan termasuk subjek hukum
Jadi, syarat – syarat terjadinya teori fiksi hukum adalah :
1. Telah dibenihkan
2. Lahir dalam keadaan hidup
3.
KECAKAPAN BERTINDAK HUKUM
Golongan manusia yang tidak cakap menurut hukum diatur di dalam Pasal 1330 KUHP :
- Anak dibawah umur, belum dewasa dan belum menikah
- Orang yang berada di bawah pengampuan (Curatele) yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros
- Wanita bersuami
Namun, dengan adanya Pasal 31 UU No.1/1974 dan SEMA No.3/1963, maka Pasal yang mengatur ini dihapuskan, dan kedudukan istri seimbang dengan suami.
KEDEWASAAN
Kedewasaan seseorang berbeda menurut UU :
KUHPerdata / BW
Kedewasaan seseorang adalah usia 21 tahun atau telah menikah
Pasal 330 KUHPer
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 47, menyatakan anak yang sudah berumur 18 tahun
Pasal 50, menyatakan seseorang dianggap dewasa apabila sudah mencapai umur 18 tahun, tidak berada di bawah kekuasaan orangtua
Menurut Prof. Wahyono, usia dewasa adalah usia 21 tahun atau sudah pernah menikah. Karena :
UU perkawinan tidak mengatur masalah kedewasaan dan tidak menyebutkan batas usia dewasa adalah 18 tahun
Usia menikah adalah 19 tahun dan 16 tahun menuru UU no.1
PENDEWASAAN / HANDLICHTING
Suatu lembaga hukum agar semua orang yang belum dewasa tetapi telah menempuh syarat – syarat tertentu dalam hal tertentu dan sampai batas – batas tertentu menurut ketentuan UU memiliki kedudukan hukum yang sama dengan orang dewasa.
Macam – macam Handlichting
Pendewasaan penuh ( Venia Aetatis, Pasal 420 – 425 KUHPer)
Syarat, berusia 20 tahun dan telah mengajukan permohonan kepada Presiden
Pendewasaan Terbatas (Pasal 426 – 431 KUHPer)
Syarat, berusia 18 tahun, diajukan kepada Pengadilan Negeri, dan dapat ditarik kembali. Pendewasaan ini hanya untuk hal – hal tertentu sifat kedewasaannya, misalkan hanya untuk hal waris saja)
Badan Hukum / Rechts Persoon
Suatu perkumpulan atau lembaga yang dibuat oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu
Ciri – ciri Badan Hukum
Kekayaan terpisah
Organisasi teratur
Pembagian Badan Hukum
Pembagian badan hukum menurut :
Sifat :
Mengejar keuntungan ekonomi : Koperasi dan PT
Bersifat ideal : Yayasan dan partai politik
Pendiriannya :
Berdasarkan UU : Lembaga Negara dan Perusahaan Umum
Diakui pemerintah berdasarkan UU melalui proses pendaftaran : PT (UU No. 1/1995 digantikan dengan UU No. 40/2007), Koperasi (UU No.26/1992), Yayasan (UU No.16/ 2001)
Cirinya:
LAHIRNYA BADAN HUKUM
Syarat sahnya badan hukum adalah :
- Akte pendirian di depan Notaris
- Disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM
- Didaftarkan (Dept. Perindustrian dan Perdaganga)
- Diumumkan di berita Negara (TBLN)
Teori Badan Hukum
Teori Fiksi ( Karl von Savigny)
Badan hukum pengaturannya oleh negara. Oleh karena itu badan hukum sebenarnya tidak ada. Badan hukum adalah orang buatan hukum
Teori Kekayaan / Harta (Holder dan Binder)
Badan hukum adalah suatu badan yang mempunyai harta dan berdiri sendiri yang tidak dimiliki oleh badan hukum itu tetapi oleh pengurusnya diserahi tugas untuk mengurus
Teori Organ
Badan hukum bukan merupakan suatu fiksi melainkan makhluk yang sungguh – sungguh ada dan mempunyai organ – organ yang dapat berpikir dan bertindak sebagai subjek hukum
DOMISILI
Domisili adalah tempat dimana seseorang berada dalam kaitan dengan pelaksanaan hak dan penentuan kewajiban dianggap oleh hukum selalu hadir. (Pasal 17 – 25 KUHPer)
Macam – Macam Domisili
Domisili Sesungguhnya
a. Sukarela (Pasal 17, 18 dan 19 KUHPer)
Tempat kediaman dimana seseorang dengan bebas dan menurut pendapatnya sendiri dapat menciptakan keadaan – keadaan tertentu di tempat tertentu atau di rumah tertentu
b. Wajib ( Pasal 20, 21, 22 KUHPer)
Tempat kediaman yang ditentukan oleh hubungan yang ada antara seseorang dengan orang lain.
Contoh :
· Istri dianggap bertempat tinggal di tempat tinggal suami
· Anak dibawah umur dianggap bertempat tinggal di tempat tinggal keluarganya atau wali
· Buruh Pekerja (Pasal 22 KUHPer), dianggap bertempat tinggal di tempat tinggal majikannya, kalau mereka ikut tinggal di tempat tinggal tersebut
· Mereka yang berada di bawah pengampuan, di tempat pengampunya
Domisili yang dipilih
Adalah tempat tinggal yang ditunjuk oleh satu pihak atau lebih dalam hubungan dengan melaksanakan perbuatan tertentu, terdiri dari :
Ditentukan undang – undang seperti dalam pasal 11 ayat 1b UU Hak Tanggungan
Kepustakaan:
1. Pokok-Pokok Hukum Perdata (Prof. Subekti, SH)
2. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat (Dr.Wienarsih Imam
Subekti,SH,MH, Sri Soesilowati Mahdi, SH)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar