1. Umum
Sebelum membahas beberapa substansi yang dianggap perlu untuk dipahami dan kemudian diimplementasikan, yang perlu dicatat dalam pertemuan kali ini, kita perlu memahami makna kebijakan hukum kaitannya dengan kebijakan politik negara.
Moh. Mahfud MD, dalam disertasinya menyebutkan bahwa :
Tidak sedikit dari para mahasiswa hukum yang heran dan masygul ketika melihat bahwa hukum ternyata tidak seperti dipahami dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran ketika melihat bahwa hukum tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominan. Mereka bertanya : mengapa hal itu harus terjadi?
Ternyata hukum tidak seteril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang lebih spesifik pun dapat mengemuka seperti bagaimanakah pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter seperti apa. Upaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan upaya yang sudah memasuki wilayah politik hukum. Politik hukum secara sederhana dapat dirumuskan sebagai kebijaksanaan hukum (legal policy) yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah; mencakup pula pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum itu. Di sini hukum tidak dapat hanya dipandang sebagai pasal-pasal yang bersifat imperatif atau keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi dan pasal-pasalnya maupun dalam implementasi dan penegakannya.
Moh. Mahfud MD selanjutnya berpendapat bahwa hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Ia juga menekankan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum. Jika ilmu hukum diibaratkan sebagai sebuah pohon, maka filsafat merupakan akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang kemudian melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum administrasi negara, dan bidang hukum lainnya. Pandangan Mahfud di atas menggambarkan keadaan pembentukan undang-undang di Indonesia yang menitikberatkan pada politik daripada hukum, walaupun produk akhir politik tersebut tetap sebagai produk hukum yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat. Hal inilah yang belum disadari oleh pembentuk undang-undang bahwa keputusan politik yang dituangkan dalam suatu undang-undang merupakan produk hukum yang secara yuridis, isinya harus dilaksanakan, walaupun kemudian disadari bahwa undang-undang tersebut sulit dilaksanakan karena substansinya sarat dengan elemen-elemen politik. Mahfud sendiri menyatakan bahwa hukum terpengaruh oleh politik karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum.
Untuk menghadapi anggapan tersebut sebagai wujud kegalauan Machfud, kita harus – dari sekarang – mengedepankan subsistem hukum yang memiliki konsentrasi yang lebih besar daripada politik. Hal ini semata-mata untuk mewujudkan supremasi hukum. Salah satu cara untuk mengedepankan hukum adalah bagaimana menegakkan suatu undang-undang yang didahului dengan memberikan pemahaman yang baik dan mendalam tentang substansi undang-undang, salah satunya, melalui sosialisasi kepada masyarakat, terutama kepada pelaksana undang-undang.
Pasal 5 huruf d, huruf e, dan huruf f Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) menentukan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yakni pembentukannya harus dapat dilaksanakan, adanya kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan kejelasan rumusan.
2. Lingkup
Pasal 51 UU P3 mengamanatkan bahwa Pemerintah wajib menyebarluaskan Peraturan Perundang-undangan yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan dengan “menyebarluaskan” adalah agar khalayak ramai mengetahui Peraturan Perundang-undangan tersebut dan mengerti/memahami isi serta maksud-maksud yang terkandung di dalamnya. Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan tersebut dilakukan, misalnya, melalui media elektronik seperti Televisi Republik Indonesia dan Radio Republik Indonesia atau media cetak. Diskusi bedah pasal UUJN ini termasuk dalam pengertian penyebarluasan peraturan perundang-undangan, asalkan dalam membedah pasal tersebut jangan banyak menimbulkan pemahaman yang keliru atau malah menyesatkan. Untuk itu, penyamaan persepsi tujuan utama dalam pertemuan ini agar peraturan perundang-undangan dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat ditegakkan.
Dalam kesempatan ini, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM hanya menyoroti Pasal 18 dan Pasal 19 tentang kedudukan dan wilayah jabatan notaris serta kantornya. Pasal 15 ayat (2) huruf f juga perlu dibahas dalam forum ini karena terkait dengan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur ketersinggungan kewenangan institusi lain di bidang kenotariatan.
Selain ketentuan di atas, Pasal 20 dan beberapa ketentuan delegasian kepada Menteri Hukum dan HAM perlu juga dimunculkan dalam forum ini dalam rangka memperoleh masukan bagaimana nantinya substansi peraturan pelaksanaan yang akan dipersiapkan oleh Departemen Hukum dan HAM untuk mengatur persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris dalam satu perkumpulan perdata, termasuk format kerahasiaan akta dan protokol notaris.
3. Kedudukan dan Wilayah Notaris
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 UUJN, notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota dan notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya. Dalam penjelasan pasal tidak dijelaskan oleh pembentuk undang-undang karena ketentuan tersebut Memang sudah jelas. Pasal 19 lebih lanjut menentukan bahwa notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya, dan notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya. Dengan demikian, notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya.
Ketentuan di atas selain membatasi kewenangan notaris, juga akan menambah pekerjaan Majelis Pengawas (yang dibentuk oleh Menteri berdasarkan Pasal 67 UUJN) untuk selalu mengawasi notaris dalam menjalankan jabatannya. Pasal 17 menentukan secara tegas bahwa notaris dilarang menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar-notaris dalam menjalankan jabatannya. Jadi, jika notaris berkedudukan di Kabupaten Bogor, maka wilayah jabatannya adalah seluruh wilayah provinsi Jawa Barat.
Jika orang membaca Pasal 19 ayat (2) yang berbunyi “notaris tidak berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya” maka pertanyaan yang timbul adalah apakah “tidak berwenang secara teratur” itu bisa dihitung secara matematika (baik volume kerja maupun jumlah tempat di luar kedudukanya)? Jika bisa dihitung, maka hal ini terkait dengan cara pengawasan dan hal ini harus diatur secara jelas nantinya dalam peraturan pelaksanaan UUJN dalam rangka menciptakan kepastian hukum.
Ketentuan mengenai tempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris di atas terkait dengan hubungan “teposeliro” antarnotaris dalam mencari (melayani) klien sehingga di sini diperlukan suatu kerja sama dan saling menghargai satu sama lain. Kebersamaan lebih ditekankan dalam membina korps profesi jabatan notaris.
4. Kewenangan Notaris
Pasal 15 UUJN menentukan kewenangan notaris secara rinci, termasuk pengecualiannya. Pengecualian tersebut dapat dilakukan, namun ditentukan terlebih dahulu oleh suatu undang-undang. Pengecualian atas kewenangan semacam ini secara relatif memang sulit dilakukan, namun perlu diwaspadai bahwa pembentuk undang-undang kemungkinan nantinya akan melakukan manuver untuk mengurangi kewenangan notaris. Model yang terakhir ini sering dilakukan demi kepentingan sektor tertentu untuk memperoleh kewenangan baru atau malah mengambil kewenangan sektor lain melalui pembentukan suatu undang-undang.
Dalam bagian ini, hanya dibahas mengenai kewenangan notaris yang ditentukan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf f yang berbunyi “notaris berwenang membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Ketentuan semacam ini sudah barang tentu membawa konsekuensi yuridis dan politis yang besar di lingkungan pemerintahan, khususnya yang terkait dengan tugas pendaftaran tanah yang telah dilaksanakan oleh pejabat pembuat akta tanah.
Permasalahan di atas harus segera dibenahi bersama oleh pemerintah sebagai pelaksana undang-undang. Kelemahan Pasal 15 ayat (2) huruf f UUJN ini terlihat tidak adanya ketentuan peralihan yang menjembatani pelaksanaan pendaftaran tanah yang selama ini dilakukan oleh pejabat pembuat akta tanah yang didasarkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Kedua Peraturan Pemerintah di atas sering dipermasalahkan oleh orang, terutama oleh akademisi, karena materi muatan yang diaturnya adalah materi muatan undang-undang. Di samping itu, kedua Peraturan Pemerintah tersebut dibentuk bukan atas dasar pendelegasian yang jelas dari suatu undang-undang. Makna melaksanakan pendaftaran hanyalah tindakan adminstratif mendata, bukan memberikan hak tertentu dan membebani kewajiban kepada masyarakat.
Tampaknya Pasal 15 ayat (2) huruf f ini akan mengembalikan posisi kewenangan semula melalui satu pintu. Jika hal ini yang diinginkan, maka seyogyanya pemerintah mengambil inisiatif untuk membenahi dengan menetapkan suatu peraturan pemerintah yang mengatur mengenai masa transisi beralihnya lembaga pendaftaran tanah ke lembaga kenotariatan. Dengan demikian, pemerintah, dalam hal ini BPN, hanya mendata dan mengatur mengenai rangkaian kegiatan yang meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, penyajian, dan pemeliharaan data fisik dan data yuridis bidang-bidang tanah dalam bentuk peta dan daftar.
5. Perserikatan Perdata
Suatu keinginan yang patut dipuji bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya mempunyai kemauan untuk berkumpul bersama dalam satu kantor. Hal ini menunjukkan bahwa solidaritas antarnotaris semakin dapat diwujudkan di masa mendatang karena kesulitan notaris (baik materiel maupun nonmateriel) yang satu dengan lainnya tidaklah sama. Di samping itu, kebersamaan ini dapat dijadikan ajang untuk belajar dan menimba bidang-bidang ilmu dari notaris yang mempunyai pengalaman lebih.
Pembidangan ilmu bagi notaris yang berkeinginan untuk bergabung bersama perlu dilakukan, namun tetap memperhatikan proporsional pendapatan pemberian pelayanan kepada klien dengan melakukan perjanjian tertentu. Berdasarkan Pasal 20 ayat (3), persyaratan dalam menjalankan jabatan notaris dalam satu kantor bersama akan diatur dalam Peraturan Menteri. Dalam Peraturan Menteri harus diatur pula makna “kemandirian” and “ketidakberpihakan” dalam menjalankan jabatannya.
Bentuk perserikatan perdata, sepenuhnya diserahkan kepada Peraturan Menteri tersebut untuk menentukannya yang diatur satu paket dengan persyaratannya. Persyaratan utama untuk saling merahasiakan antarnotaris terhadap akta atau protokol notaris yang memang harus dirahasiakan, harus ditentukan dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
6. Penutup
Untuk menjalankan dan melaksanakan UUJN, salah satunya, adalah dengan secepatnya menetapkan Peraturan Menteri yang memang diminta oleh UUJN. Ada 6 (enam) Peraturan Menteri yang harus ditetapkan oleh Menteri Hukum dan HAM, yakni:
a. Peraturan Menteri tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Notaris;
b. Peraturan Menteri tentang Bentuk dan Ukuran Cap/Stempel Lambang Negara RI;
c. Peraturan Menteri tentang Persyaratan dalam Menjalankan Jabatan Notaris;
d. Peraturan Menteri tentang Formasi Jabatan Notaris;
e. Peraturan Menteri tentang Tata Cara Permohonan Pindah Wilayah Jabatan Notaris;
f. Peraturan Menteri tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi dan Tata Kerja, serta Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar