ABSTRAK
Direksi adalah organ kepercayaan perseroan dan wajib menjalankan tugas pengurusan tersebut dengan berpegang teguh pada kepercayaan yang diterimanya (fiduciary duty). Dengan konsep tersebut, maka direksi dalam tugas kepengurusan wajib senantiasa bertindak atas dasar itikad baik, bertindak dengan sungguh-sungguh sesuai keahliannya, mengutakamakan kepentingan perseroan, bukan kepentingan pemegang saham semata-mata dan menjaga diri agar terhindar dari tindakan yang dapat menyebabkan benturan kepentingan antara perseroan dengan direksi. Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi akan menimbulkan pertanggungjawaban direksi sampai kepada harta benda kekayaan pribadi atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan.
PIERCING THE CORPORATE VEIL
Sebelum abad XVII dikenal konsep pertanggungjawaban tidak terbatas (tanggung jawab pribadi) dalam perseroan terbatas.[1] Artinya, penanam modal ikut bertanggungjawab sampai kepada harta pribadinya bila perseroan terbatas mengalami kerugian.[2] Namun dengan seiring bertambah besarnya modal yang diperlukan untuk membiayai kegiatan usaha, kebutuhan untuk memperoleh dana dalam jumlah besar pun semakin dirasakan.[3] Di lain pihak tampak para investor mulai enggan melakukan investasi dan peminjaman uang karena risiko terlalu besar, sebagai akibat dari prinsip tanggung jawab pribadi yang mengharuskan pemegang saham menjamin seluruh hutang perseroan terbatas.[4] Beruntung kini para pemegang saham pada sebuah perseroan terbatas tidak lagi bertanggungjawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan terbatas dan tidak bertanggungjawab atas kerugian perseroan terbatas melebihi nilai saham yang dimilikinya.[5]
Prinsip pertanggungjawaban terbatas ini juga berlaku kepada anggota direksi perseroan terbatas.[6] Ia tidak bertanggungjawab atas perbuatannya, melainkan menjadi tanggung jawab yang diwakilinya, yaitu perseroan terbatas yang bersangkutan.[7]
Namun dalam perkembangannya prinsip ini tidak berlaku mutlak, sejak dikenal doktrin Piercing The Corporate Veil, di mana dalam hal tertentu tertutup kemungkinan dihapusnya tanggung jawab terbatas direksi perseroan terbatas. Doktrin ini mulai berkembang di dalam setiap sistem hukum modern saat ini, sejalan dengan kebutuhan keadilan kepada pihak yang beritikad baik maupun pihak ketiga yang mempunyai hubungan hukum dengan perseroan terbatas.[8] Dalam hal seperti ini pengadilan akan mengesampingkan status badan hukum dari perseroan terbatas tersebut dan membebankan tanggung jawab kepada organ perseroan terbatas tersebut dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas yang biasanya dinikmati oleh mereka.[9] Kekebalan (immunity) yang biasa dimiliki oleh pemegang saham, direksi dan komisaris, yaitu tanggung jawabnya terbatas, dibuka dan diterobos menjadi tanggung jawab tidak terbatas hingga kekayaan pribadi apabila terjadi pelanggaran, penyimpangan atau kesalahan dalam melakukan pengurusan perseroan.[10] Dalam melakukan hal tersebut, biasanya dikatakan bahwa pengadilan telah mengoyak/menyingkap tirai/kerudung perseroan terbatas (to pierce the corporate veil).[11] Dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), pengecualian prinsip pertanggungjawaban terbatas dimuat dalam Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 97 ayat (3).
Robert W. Hamilton mendefenisikan doktrin ini sebagai[12]:
A metaphor to describe the cases in which a court refuses to recognize the separate existance of a corporate despite compliance with all formalities for the creation of a de jure corporation.[13]
Sementara itu, Black’s Law Dictionary mendefenisikan doktrin ini sebagai[14]:
Judicial process whereby court disregard usual immunity of corporate officers or entities from liability for wrongful corporate activities; e.g. when incorporation exists for sole purpose or perpetrating fraud. The doctrine will holds that the corporate structure with its attendant limited liability of stockholders, officers and directors in the case of fraud or other wrongful acts done in the name of corporation. The court, however, may look beyond the corporate from only for the defeat of fraud or wrong or the remedying injutice.
Penerapan Teori Piercing The Corporate Veil secara universal dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Perseroan terbatas tidak mengikuti formalitas tertentu;
2. Penerapan PCV terhadap badan hukum yang hanya terpisah secara artifisial;
3. Penerapan PCV berdasarkan hubungan kontraktual; dan
4. Penerapan PCV karena perbuatan melawan hukum atau tindak pidana.
Penerapan Teori Piercing The Corporate Veil dalam UUPT dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1. Beban tangung jawab dipindahkan ke pihak pemegang saham.
Dalam hal ini, ketentuan dalam Pasal 3 ayat (1) tidak berlaku secara mutlak, namun ada beberapa pengecualian yaitu:
1. Ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUPT, dan
2. Ketentuan Pasal 7 ayat (6) UUPT.
3. Beban tanggung jawab dipindahkan ke pihak direksi.
Direksi memang menikmati pertanggungjawaban terbatas, tetapi juga tidak berlaku mutlak. Jika direksi tidak menjalankan tugasnya mengurus perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab seperti yang dimuat dalam Pasal 97 ayat (2) jo (3) maka pertanggungjawaban bisa sampai ke harta pribadi.[15]
Hal-hal yang bisa membuat direksi dimintai pertanggungjawaban secara pribadi atas kerugian perseroan terbatas antara lain:
1. Direksi tidak melaksanakan Fiduciary Duty kepada perseroan;
2. Laporan keuangan perseroan terbatas yang tidak benar dan/atau menyesatkan;
3. Perseroan terbatas pailit karena kesalahan atau kelalaian direksi;
4. Anggota direksi tidak melaporkan kepemilikan saham oleh anggota direksi yang bersangkutan dan/atau keluarganya dalam perseroan terbatas, sehingga anggota direksi yang bersangkutan bertanggungjawab secara pribadi sesuai Pasal 101 ayat (1) dan (2) UUPT.
Setiap pelanggaran atau penyimpangan atas tugas dan kewajiban direksi, maka direksi harus bertanggung jawab hingga harta pribadinya atas kerugian yang dialami oleh tiap-tiap pihak yang berkepentingan. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran dan penyimpangan tersebut sebagai berikut[16]:
1. Tidak menjalankan tugasnya secara profesional sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Bentuk-bentuk pelanggaran profesional tersebut, di antaranya:
1. Baik sengaja atau tidak, melakukan pelanggaran atas tugas yang diberikan (breach of duty);
2. Baik sengaja atau tidak, melalaikan tugas yang seharusnya dijalankan (omission of duty);
3. Baik sengaja atau tidak, memberikan pemyataan yang salah (misstatement);
4. Baik sengaja atau tidak, memberikan pernyataan yang menyesatkan (misleading statement);
5. Baik sengaja atau tidak, melakukan penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan sebagai direksi;
6. Baik sengaja atau tidak, tidak memenuhi janji yang telah diberikan (breach of warranty or authorithy commitment).
7. Tidak menjalankan tugasnya sebagai wakil pemegang saham dengan baik.
Kerugian perusahaan akan menjadi tangggung jawab direksi seandainya semua kesalahan atau kelalaian tersebut bisa dibuktikan.[17]
PENERAPANNYA DALAM KASUS PT LAPINDO BRANTAS INC.
Dalam kasus meluapnya lumpur panas dari sumur bor PT Lapindo Brantas Inc. disebababkan karena casing sebagai pelindung lubang bor tidak dipasang, sehingga lumpur meluap keluar melalui celah-celah yang tidak tertutup casing. Meluapnya lumpur panas tersebut berdampak dengan merembesnya lumpur tersebut ke pemukiman penduduk dan infratruktur vital daerah Porong, Sidoarjo. Akhirnya PT Lapindo Brantas Inc. harus membayar ganti rugi kepada berbagai pihak karena lumpur panas tersebut menutupi dan menimbun pemukiman, persawahan, jalan raya dan perkantoran. PT Lapindo Brantas Inc. Kerugian ditaksir mencapai Rp. 1, 536 Triliun. Karena bertanggungjawab atas dampak yang ditimbulkan oleh semburan lumpur panas dari sumur eksplorasi maka PT Lapindo Brantas Inc. mengeluarkan biaya yang berasal dari aset PT Lapindo Brantas Inc. kondisi ini menimbulkan kerugian bagi pemegang saham selaku investor perseroan terbatas, dalam kasus ini PT Energi Mega Persada, sebagai pemegang saham selaku investor PT Lapindo Brantas Inc.
Dalam hal ini PT Energi Mega Persada bisa meminta direksi tanggungjawab secara pribadi, dengan mengganti seluruh biaya yang telah maupun akan dikeluarkan perseroan perseroan asalkan terbukti bahwa direksi terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan tugasnya mengurus perseroan (fiduciary duty),[18] yang berujung pada kerugian yang dialami PT Lapindo Brantas Inc.
Berdasarkan Pasal 97 ayat (3) jo (2) UUPT dinyatakan kalau direksi harus dinyatakan dengan tegas terlebih dahulu kesalahannya atau kelalaiannya. Dalam kasus terlihat kalau direksi telah mengambil keputusan untuk tidak memasang casing, maka dapat dimintai pertanggungjawaban atas keputusan perseroan ini. Hal tersebut termasuk ke dalam program pengeboran yang dibuat (yang menjadi ruang lingkup tugas) direksi. Ahli yang meneliti kasus ini menyatakan kalau pemasangan casing adalah prosedur standar, maka sudah seharusnya mengabaikannya apalagi keputusan dengan tidak memasang casing berdampak fatal dan berujung pada kerugian perseroan.
Dalam kenyataannya direksi PT Lapindo Brantas Inc. dapat dipersalahkan karena unsur itikad baik (good faith) dalam pengambilan keputusan pemasangan casing ini tidak terpenuhi, terbukti dengan tidak dipasangnya casing tersebut sesuai dengan rencana kerja yang dibuat, baik karena kesalahan maupun kelalaian. Maka sangat mungkin luapan lumpur panas tidak terjadi jika casing dipasang sesuai dengan rencana kerja dan sesuai prosedur.
Direksi PT Lapindo Brantas Inc. juga tidak dengan seksama dan tekun mengawasi pelaksanaan pengeboran seperti yang ada dalam program kerja sehingga terjadi masalah. Defenisi mengurus perseroan dengan penuh tanggung jawab oleh penjelasan Pasal 97 ayat (2) UUPT didefinisikan sebagai memperhatikan perseroan dengan seksama dan tekun. Dalam hal ini berkaitan dengan dengan tugas direksi dalam mengurus perseroan sekaligus mengawasi jalannya pengurusan oleh unsur-unsur pelaksana yang kedudukannya lebih rendah dari direksi sebagai pelaksana di lapangan.[19]
Jadi, dapat disimpulkan kalau direksi tidak memiliki itikad baik (good faith) dan tidak mengurus perseroan dengan penuh tanggung jawab (fiduciary duty). Maka sesuai dengan Pasal 97 ayat (3) jo (4) direksi harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang ditimbulkan akibat kesalahan atau kelalaiannya secara tanggung renteng. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalan pembuktian kesalahan direksi tersebut. Jika direksi mampu membuktikan bahwa dia tidak bersalah maka dia tidak bertanggungjawab.[20]
PENERAPANNYA DALAM KASUS BANK GLOBAL
Pemegang saham publik dapat menggugat direksi Bank Global dalam kasus reksadana fiktif. Gugatan dapat diajukan melalui pengadilan negeri karena direksi bersalah atau lalai sehingga mengakibatkan kerugian. Perlindungan hukum terhadap pemegang saham publik inilah yang dinilai kurang mendapat perhatian ataupun kebijakan internal perseroan. Gugatan bisa diajukan dalam bentuk perdata dan pidana. Dalam kasus Bank Global, pemegang saham publik menduga direksi telah melakukan kejahatan perbankan. Apalagi, pengelola bank yang berkantor di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, itu berniat menghilangkan dokumen-dokumen penting.[21] Para penggugat itu terdiri dari para pemegang saham antara lain PT Insight Investments, PT Insight Investment Management, Dana Pensiun Perumnas dan Dana Pensiun Krakatau Steel. Mereka menggugat Bank Global karena telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), yakni telah menyampaikan informasi yang menyesatkan (misleading statement) berkaitan dengan penawaran umum obligasi subordinasi I. Para investor diantaranya menggugat PT Bank Global Internasional, Tbk sebagai badan hukum, komisaris dan direksi (salah satunya Irawan Salim sebagai Direktur Utama).[22] Para penggugat masing-masing telah dirugikan miliaran rupiah akibat informasi menyesatkan (misleading statement) yang disampaikan manajemen Bank Global. Selain gugatan di atas, Bank Global juga disinyalir telah mengeluarkan kredit dan reksadana fiktif.
Adanya informasi menyesatkan tersebut dimulai ketika para pemegang saham membaca prospektus yang diumumkan Bank Global pada Mei 2003. Banyaknya keuntungan yang ditawarkan mulai dari cukup besar, rating Bank Global yang sehat[23] dimana disebutkan rasio kecukupan modal (CAR) Bank Global saat hendak dicatatkan di Bursa Efek Surabaya, adanya rencana pembelian kembali (buy back) obligasi subordinasi oleh Bank Global sebelum obligasi tersebut jatuh tempo, adanya penyisihan dana pelunasan pokok obligasi (sinking fund).[24] Karena iming-iming yang menarik, akhirnya keempat penggugat itu berani membeli obligasi subordinasi Bank Global. Rinciannya, PT Insight Investments sebanyak Rp 2 miliar dan PT Insight Investment Management sebanyak Rp 3 miliar, masing-masing dilakukan pada Juni 2004. Sementara itu, Dana Pensiun Perumnas dan Dana Pensiun Krakatau Steel masing-masing Rp 1 miliar, dilakukan pada Juni 2003.
Setelah semua proses pembelian kelar, tiba-tiba muncul kabar bahwa Bank Global dan direksinya melakukan tindak pidana dengan menerbitkan reksadana fiktif. Bahkan, kondisi semakin memanas tatkala BI memasukkan Bank Global dalam status bank Dalam Pengawasan Khusus (DPK) pada 27 Oktober 2004. Ironisnya, meski kondisi Bank Global babak belur seperti itu, para penggugat tetap mendapat informasi bahwa kondisi bank sangat baik dan sehat. Salah satunya, informasi yang disampaikan oleh Direktur Bank Global Rico Hendrawan Imam Santoso. Ia mengirim surat ke PT Bank Niaga Corporate Trust Division (wali amanat) pada 2 Desember 2004, yang menginformasikan bahwa Bank Global masih dalam keadaan sehat. Karena masih percaya, para penggugat tidak menjual atau melepas obligasi yang dimilikinya.
Direksi (salah satunya Direktur Utama Irawan Salim) dalam kasus ini telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yaitu memberikan informasi yang menyesatkan (misleading statement)[25] sehingga sudah terlihat adanya kesalahan atau kelalaian dari direksi Bank Global maka mereka tidak hanya bisa bertanggungjawab penuh secara pribadi atas kerugian yang terjadi. Bukan hanya itu saja, tetapi para direksi juga bisa digugat ke pengadilan oleh pemegang saham karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan pemegang saham. Jadi, dalam kasus Bank Global tersebut, dapat disimpulkan kalau para direksi tidak memiliki itikad baik (good faith) dan tidak mengurus perseroan dengan penuh tanggung jawab (fiduciary duty). Maka sesuai dengan Pasal 97 ayat (3) jo (4) direksi harus bertanggung jawab atas kerugian perseroan yang ditimbulkan akibat kesalahan atau kelalaiannya secara tanggung renteng.
__________________
[1] Piercing the corporate veil 7 April 2009.
[2] Chatamarrasjid Ais, Pengaruh Doktrin Piercing The Corporate Veil dalam Hukum Perseroan Indonesia , (Jurnal Hukum Bisnis Volume 22 Nomor 6, 2003), hal. 8., sebagaimana dikutip Bernard Sihombing, Piercing The Corporate Veil dalam Korporasi, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008)., hal.
[3] Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 31., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[4] Ibid, hal. 50., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[5] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 68., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[6] Vollmar, et. Al., Vennootschappen, Verenigingen, en Stichtingen, (A. E. Kluwer Deventer (tanpa tahun)) Band A, II hal. 13., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[7] Rudhi Prasetya, Op. Cit., hal 206., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[8] Sering juga diistilahkan Business Judgement Rule. Munir Fuady, Doktrin-doktrin dalam Corporate Law & Eksistensinya di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 27., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[9] Ibid, hal. 8., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[10] Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi, , 7 April 2009.
[11] Jack P. Friedman, Dictionary of Business Terms, (New York: Baron’s Educational Services, Inc., 1987), hal. 432., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[12] Adalah kondisi dimana pengadilan mengadili suatu kasus, di luar masalah formalitas pembentukan perseroan, dengan mengabaikan prinsip tanggung jawab terbatas perseroan.
[13] Robert W. Hamilton, Corporations, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1992), hal. 193.
[14] Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 1990), hal. 1147-1148.
[15] Munir Fuady, Op. Cit., hal 11-13. Lihat juga Robert W. Hamilton, Op. Cit., hal 196, 197-201,203-204., sebagaimana dikutip Ibid, hal.
[16] Doktrin Fiduciary Duty dan Peran Direksi, , 7 April 2009.
[17] Indonesia, UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan terbatas, LN No.106 Tahun 2007, TLN No. 4756, Pasal 69 ayat (4).
[18] Prinsip ini hanya bisa berjalan jika diikuti oleh prinsip-prinsip lainnya, antara lain kewajiban untuk memelihara, berhati-hati dalam mengambil keputusan dan memperdulikan kondisi perseroan (duty of care), keharusan untuk mengurus perusahaan dengan itikad baik (duty of good faith), serta kewajiban untuk mengambil kebijakan sesuai dengan visi, misi dan tujuan perusahaan (duty of loyalty).
[19] Bernard Sihimbing, Piercing The Corporate Veil dalam Korporasi, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008)., hal.
[20] Indonesia, Op. Cit., Pasal 97 ayat (5).
[21] Direksi Bank Global Bisa Digugat 7 April 2009.
[22] Para penggugat meminta ganti rugi materil yang totalnya mencapai Rp. 9 Miliar, sedangkan gugatan immaterilnya Rp. 400 Miliar.
[23] Kondisi sehat ini ditunjukkan dari hasil pemeringkatan (rating) obligasi subordinasi Bank Global oleh PT Kasnic Credit Rating Indonesia (sekarang PT Moody’s Indonesia). Nilainya A- (single A minus). Padahal saat itu peringkat rata-rata perbankan adalah BBB (triple B).
[24] Diantara bank-bank yang menerbitkan obligasi subordinasi, hanya Bank Global yang mengeluarkan obligasi subordinasi yang disertai kewajiban menyisihkan sinking fund.
[25] Kasus obligasi subordinasi Bank Global ini juga terkait pada keterbukaan informasi. Jika terbukti, Bank Global jelas melanggar prinsip keterbukaan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal. Selain itu, Bank Global juga dianggap menyalahi Peraturan Bapepam-LK Nomor X.K.1 tentang Keterbukaan Informasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar