Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1112 K/Pdt/1990
Dari permasalahan dalam kasus tersebut, menurut Putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara pembagian harta warisan sudah tepat. Adapun alasan kami adalah sebagai berikut:
1. Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.[1] Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[2] Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasa 27 KUHPerdata.[3]
2. Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si pewaris meninggal dunia.
Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam substansi dari pembagian harta warisan, dapat dilihat pengaturan mengenai putusan kasasi dalam hal perbedaan pembagian harta warisan, dimana Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung.[4] Berdasarkan kewenangannya artinya Mahkamah Agung juga mempunyai andil dalam memutus dan mengadili kasus persengketaan harta warisan dalam perkara aquo.
Dalam kasus tersebut terdapat perbedaan hasil putusan dari tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan Mahkamah Agung. Kasus ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri yang memutus:
1. Penggugat (I BENGNGA) mendapatkan ¼ bagian dan Tergugat I (BESSE RAWE) mendapatkan ½ bagian, dan sisanya ½ bagian diberikan kepada jandanya cq. Penggugat dan Tergugat III (anaknya Besse Rawe) serta Tergugat IV (anaknya Ino Upe/Istri I yang sudah meninggal) dan Tergugat V, VI, dan VII (anaknya Penggugat).
2. Menghukum Tergugat I (BESSE RAWE) untuk menyerahkan ¾ bagian harta sengketa kepada:
a. Penggugat sebesar ¼ bagian dari harta bersama.
b. Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII dengan memperoleh 1/6 x ½ bagian harta sengketa.
Sedangkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan juga menguatkan judex factie yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sengkang, akan tetapi kembali Mahkamah Agung harus mengadili sendiri putusan pengadilan dibawahnya dengan alasan yaitu salah menerapkan hukum sehingga haruslah dibatalkan, dimana Pengadilan Negeri membenarkan harta sengketa adalah harta bersama antara pewaris dengan Istrinya ke III (Tergugat I, BESSE RAWE). Namun, di pihak lain, Penggugat (I BENGNGA) berhak atas harta bersama antara Istri ke III dengan pewaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan mengingat salah satu sumber hukum yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung No. 561 K/Sip/1968 yang menyatakan bahwa “Harta warisan yang bersifat gono-gini. Barang sengketa sebagai peninggalan almarhum diputuskan harus dibagi antara penggugat dan tergugat masing-masing separoh.”
Dalam kasus ini terjadi kekosongan hukum, dimana dalam KUHPerdata tidak mengatur mengenai poligami dan pembagian harta warisan dalam keadaan poligami, maka sesuai dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung diatas, maka pembagian harta warisan yang seharusnya adalah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung bahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dar seorang (poligami), maka harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya harta bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya. Selain itu, dari fakta-fakta yang terungkap dinyatakan bahwa harta yang disengketakan telah terbukti merupakan harta bersama antara pewaris dengan istri ke-III yaitu Besse Rawe (Tergugat I). Bilamana pewaris meninggal dunia, maka pembagian harta bersamanya menjadi dua bagian:
1. setengah (½) bagian menjadi hak istri yang mempunyai harta bersama.
2. setengah (½) bagian menjadi hak pewaris yang kemudian jatuh kepada semua ahli waris yaitu para janda dan anak-anak pewaris.
Dengan demikian, dapat disimpulkan perolehan harta warisan dari masing-masing ahli warisnya adalah:
Tergugat I (BESSE RAWE) = ½ bagian harta bersama
Penggugat (I BENGNGA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat III (BASO) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat IV (I SUBE) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat V (SITI) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat VI (JAYA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat VII (ALIMUDIN) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
[1] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.
[2] Dr. Wienarsih Imam Subekti, SH., MH. dan Sri Soesilowati Mahdi, SH., Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hlm 44.
[3] Ibid., hlm. 35.
[4] Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.
Dari permasalahan dalam kasus tersebut, menurut Putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara pembagian harta warisan sudah tepat. Adapun alasan kami adalah sebagai berikut:
1. Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.[1] Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[2] Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasa 27 KUHPerdata.[3]
2. Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si pewaris meninggal dunia.
Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam substansi dari pembagian harta warisan, dapat dilihat pengaturan mengenai putusan kasasi dalam hal perbedaan pembagian harta warisan, dimana Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung.[4] Berdasarkan kewenangannya artinya Mahkamah Agung juga mempunyai andil dalam memutus dan mengadili kasus persengketaan harta warisan dalam perkara aquo.
Dalam kasus tersebut terdapat perbedaan hasil putusan dari tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan Mahkamah Agung. Kasus ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri yang memutus:
1. Penggugat (I BENGNGA) mendapatkan ¼ bagian dan Tergugat I (BESSE RAWE) mendapatkan ½ bagian, dan sisanya ½ bagian diberikan kepada jandanya cq. Penggugat dan Tergugat III (anaknya Besse Rawe) serta Tergugat IV (anaknya Ino Upe/Istri I yang sudah meninggal) dan Tergugat V, VI, dan VII (anaknya Penggugat).
2. Menghukum Tergugat I (BESSE RAWE) untuk menyerahkan ¾ bagian harta sengketa kepada:
a. Penggugat sebesar ¼ bagian dari harta bersama.
b. Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII dengan memperoleh 1/6 x ½ bagian harta sengketa.
Sedangkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan juga menguatkan judex factie yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sengkang, akan tetapi kembali Mahkamah Agung harus mengadili sendiri putusan pengadilan dibawahnya dengan alasan yaitu salah menerapkan hukum sehingga haruslah dibatalkan, dimana Pengadilan Negeri membenarkan harta sengketa adalah harta bersama antara pewaris dengan Istrinya ke III (Tergugat I, BESSE RAWE). Namun, di pihak lain, Penggugat (I BENGNGA) berhak atas harta bersama antara Istri ke III dengan pewaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan mengingat salah satu sumber hukum yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung No. 561 K/Sip/1968 yang menyatakan bahwa “Harta warisan yang bersifat gono-gini. Barang sengketa sebagai peninggalan almarhum diputuskan harus dibagi antara penggugat dan tergugat masing-masing separoh.”
Dalam kasus ini terjadi kekosongan hukum, dimana dalam KUHPerdata tidak mengatur mengenai poligami dan pembagian harta warisan dalam keadaan poligami, maka sesuai dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung diatas, maka pembagian harta warisan yang seharusnya adalah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung bahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dar seorang (poligami), maka harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya harta bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya. Selain itu, dari fakta-fakta yang terungkap dinyatakan bahwa harta yang disengketakan telah terbukti merupakan harta bersama antara pewaris dengan istri ke-III yaitu Besse Rawe (Tergugat I). Bilamana pewaris meninggal dunia, maka pembagian harta bersamanya menjadi dua bagian:
1. setengah (½) bagian menjadi hak istri yang mempunyai harta bersama.
2. setengah (½) bagian menjadi hak pewaris yang kemudian jatuh kepada semua ahli waris yaitu para janda dan anak-anak pewaris.
Dengan demikian, dapat disimpulkan perolehan harta warisan dari masing-masing ahli warisnya adalah:
Tergugat I (BESSE RAWE) = ½ bagian harta bersama
Penggugat (I BENGNGA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat III (BASO) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat IV (I SUBE) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat V (SITI) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat VI (JAYA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat VII (ALIMUDIN) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
[1] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.
[2] Dr. Wienarsih Imam Subekti, SH., MH. dan Sri Soesilowati Mahdi, SH., Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hlm 44.
[3] Ibid., hlm. 35.
[4] Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar