Usulan Peneltian
(KEKUATAN PEMBUKTIAN ALAT BUKTI ELEKTRONIK SUATU STUDI PERBANDINGAN ANTARA TINDAK PIDANA UMUM DAN TINDAK PIDANA KORUPSI)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Perkembangan teknologi yang semakin pesat mengubah berbagai kejahatan yang semakin canggih dan terorganisir, terlebih pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia yang masih terbatas. Kendati telah diatur dalam beberapa Undang-Undang, namun bukti elektronik sifatnya masih parsial, sebab bukti elektronik hanya dapat digunakan dalam hukum tertentu. Akan tetapi, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[1] atau sering disingkat UU ITE telah mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, dalam perkembangannya alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP[2] tidak lagi dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan ini menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Pergeseran ini menjadikan perubahan yang sangat signifikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, karena bukti-bukti kejahatan akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.[3] Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu tindak pidana, terutama tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi.
Dengan adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer, Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening[4], sehingga alat bukti tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa, akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara elektronik.[5]
Yahya Harahap mengungkapkan bahwa Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.[6] Edmon Makarim mengemukakan bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu kasus.[7] Hal serupa juga dikatakan oleh T. Nasrullah yang menegaskan bahwa alat bukti elektronik seperti SMS (short message service) hanya berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal. Penggunaan SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli (expertise).[8]
Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Oleh karena itu, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.
Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga menyangkut aspek validasi yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.[9]
Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware). Amerika Serikat mengatur alat bukti elektronik dalam Criminal Procedure Code, barang bukti elektronik dimasukkan ke dalam real evidence yakni sama halnya dengan foto, video, rekaman, dan film dapat dihadirkan dengan perangkat lunak dan/atau perangkat kerasnya.
Beberapa negara seperti Cina, Australia, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang mengakui data elektronik menjadi alat bukti. Di Kanada misalnya disamping telah memiliki hukum pembuktian yang menerima data elektronik menjadi alat bukti. Praktek-praktek pengadilan melengkapinya dengan prosedur-prosedur bagaimana bukti elektronik tersebut bisa diterima di pengadilan.[10] Hukum acara negara Perancis yang dikenal dengan nama Code de Procédure de Pénal yang didasarkan pada surat edaran Counsil d’etat tahun 1998 (LOI 1998-2341- La Reconaisance des evidence de dossiers et informations informatiques) tentang sahnya dokumen-dokumen dan informasi-informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Berbeda pengaturannya di Malaysia, bukti elektronik dimasukkan ke dalam kategori alat bukti primer yaitu alat bukti berupa dokumen yang orisinil yang dihadirkan di pengadilan, yakni seluruh dokumen yang dibuat secara tertulis, maupun terekam pada pita foto, baik berupa surat, buku, jurnal, film, video, dan lain sebagainya. Bagian-bagian dari dokumen tersebut sepanjang itu orisinal dianggap sebagai alat bukti primer. Selain alat bukti primer, dikenal juga alat bukti sekunder hal mana baru digunakan sebagai alat bukti, jika alat bukti primer tidak ada atau tidak mencukupi.
Walaupun demikian, menurut Hakim Mohammed Chawki dari Komputer Crime Research Center mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi 3 (tiga) kategori, sebagai berikut.
1. Real Evidence atau Physical Evidence
Bukti yang terfiri dari objek nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Real evidence juga merupakan bukti lansgung berupa rekaman otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat yang lain, misalnya computer log files.[11]
2. Testamentary Evidence
Dikenal dengan istilah hearsay evidence, dimana keterangan dari saksi maupun ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Perkembangan ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian (skill and knowledge).[12] Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau memperjelas bukti elektronik sangat penting dalam memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan.
3. Circumstantial Evidence
Bukti elektronik terperinci yang diperoleh beradasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya. Circum evidence merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay evidence.
Penggolongan alat bukti elektronik masih belum diterima sepenuhnya, padahal disatu sisi dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seperti tindak pidana korupsi, kejahatan HAM Berat, Terorisme mempunyai pembuktian yang sulit. Hal ini disebabkan karena kejahatan tersebut dilakukan secara rapi dan sistematis dengan menggunakan komputer sebagai sarana untuk melaksanakan tindak pidana tersebut, dan pemerintah menyadari tindak pidana tersebut merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).[13] Bukti-bukti yang akan mengarahkan kepada suatu tindak pidana merupakan data-data elektronik yang berada dalam komputer atau yang merupakan print-out atau dalam bentuk lain berupa jejak dari suatu aktivitas penggunaan komputer.[14]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuliskan 3 (tiga) alasan yang menjadi problematika pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi :[15]
1. Tindak pidana korupsi merupakan collar crime, dengan ciri-ciri terorganisir, canggih, dan memanfaatkan celah hukum.
2. Hukum pidana formal dan meteriil telah memberi beberapa perangkat hukum baru, namun kurang dipahami oleh Hakim biasa.
3. Banyak perkara bebas (vrijspraak) yang disebabkan alat bukti tidak optimal, lemahnya standar teknis yuridis dan kapasitas penegak hukum menghadapi perkembangan modus operandi.
Dari permasalahan diatas nampaknya dibutuhkan bahkan menjadi suatu kebutuhan akan pengaturan alat bukti elektronik, terlebih lagi pada pengaturan di hukum acara pidana di Indonesia karena terkait dengan seberapa kuat alat bukti elektronik di perhitungkan dalam kasus tertentu yaitu kasus tindak pidana umum maupun tindak pidana korupsi.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini, yaitu
1. Bagaimana pengaturan mengenai alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia?
2. Mengapa terjadi perbedaan antara kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi?
3. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus, adapun tujuannya sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Pembahasan masalah ini ditujukan untuk mengkaji pengaturan alat bukti elektronik sebagai bagian dari alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat mengidentifikasi kekuatan pembuktian dalam tindak pidana umum dana tindak pidana korupsi.
2. Tujuan Khusus
Penelitian mengenai kekuatan pembuktian alat bukti elektronik yang melihat perbandingan antara tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi bertujuan:
1. Menjelaskan pengaturan mengenai alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia
2. Mengetahui alasan terjadi perbedaan antara kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi
3. Menjelaskan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi
D. Tinjauan Pustaka
1. Judul : Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian
Pengarang : Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.
Penerbit : Raja Grafindo Persada
Tahun : 2005
Uraian : Buku ini merupakan suatu pengantar umum bagi orang-orang yang hendak mempelajari hukum telematika, yang menarik dari buku ini bagi penulis adalah selain mendapatkan suatu pengetahuan baru mengenai hukum telematika, buku ini mulai menekankan pada keterkaitan antara teknologi dengan tindak pidana pada salah satu ulasannya, sehingga pembahasan dari alat bukti tidak terbatas pada apa yang telah tertuang secara nyata dalam bentuk yang berwujud, tetapi lebih dari itu yaitu data elektronik baik yang masih berada dalam komputer maupun yang berupa hasil print-out dari data tersebut.
2. Judul : Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali
Pengarang : Yahya Harahap
Penerbit : Sinar Grafika
Tahun : 2001
Uraian : Pada umumnya buku Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP yang dibuat oleh Yahya Harahap ini membahas dan mengupas Kitab Hukum Acara Pidana secara keseluruhan. Penulis tertarik pada buku ini adalah pembasan secara terperinci dan komprehensif mengenai pembuktian hukum acara pidana secara menyeluruh. Terlebih lagi alat bukti yang belum diatur dalam KUHAP dapat menjadi diskusi yang sangat menarik apabila terdapat landasan-landasan teori yang kuat. Dalam buku ini, penulis mendapatkan landasan yang berbasis praktis maupun teoritis berkaitan dengan pengaturan alat-alat bukti.
3. Judul : Hukum Acara Pidana Edisi Revisi
Pengarang : Andi Hamzah
Penerbit : Sinar Grafika
Tahun : 2001
Uraian : Dalam buku Hukum Acara Pidana Edisi Revisi yang ditulis oleh Andi Hamzah, dijelaskan secara terperinci mengenai hukum pidana terutama mengenai bagaimana aspek beracara dalam hukum pidana. Beliau secara nyata menerangkan bagaimana hukum pidana itu ketika diterapkan, mulai dari segi awal adanya penyelidikan ketika adanya kasus pidana sampai bagaimana pembuktian di persidangan. Alasan penulis memasukkan buku ini sebagai salah satu referensi dalam penelitian ini adalah karena pada salah satu bab dalam buku ini penulis menemukan sebuah pembahasan yang cukup mendalam mengenai alat bukti elektronik itu sendiri dan keberlakuan dari alat bukti elektronik tersebut dalam kasus pidana.
4. Judul Jurnal : Electronic Evidence and Computer Forensic
Pengarang : L. Volodino
Penerbit : Communication of AIS
Tahun : 2003, vol. 12
Uraian : Buku ini menjelaskan bagaimana alat bukti elektronik bukanlah menjadi masalah lagi dalam konteks pembuktian di Pengadilan. Hal tersebut sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pihak untuk melakukan berbagai hal di dunia elektronik, termasuk membuktikan. Dalam jurnal ini dijelaskan secara mendalam mengenai kekuatan pembuktian dalam persidangan. Selain itu, jurnal ini memberikan trik dalam menilai keabsahan alat bukti elektronik sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan tidak mengalami kekeliruan.
5. Judul : Electronic Evidence
Pengarang : Alan M. Gahtan
Penerbit : Carswell
Tahun : 1999
Uraian : Buku ini memberikan pemahaman yang begitu besar terhadap indentifikasi alat bukti elektronik. Buku ini mempertanyakan alat bukti elektronik dalam memastikan otentifikasinya atau keasliannya. Secara sederhana, otentifikasi dilakukan terhadap alat bukti elektronik dengan memastikan terlebih dahulu apakah alat bukti elektronik tersebut dihasilkan dari sumber yang benar. Pengetahuan elektronik yang digabungkan dengan pembuktian dalam persidangan menjadikan buku ini menjadi pegangan apabila ingin meneliti alat bukti elektronik.
6. Judul : Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas
Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia
Pengarang : Arie Eko Yuliearti
Penerbit : Tesis Pascasarjana Reguler
Tahun : 2006
Uraian : Penulis tertarik dengan tesis ini, karena terdapat alasan-alasan serta masukan-masukan yang berarti bagi pembaharuan hukum pidana, terlebih lagi hukum acara pidana. Pembahasan tesis ini tidak terabtas pada tindak pidana korupsi tetapi tindak pidana lainnya yang juga termasuk tindak pidana umum, hanya saja pemabahasan tesis ini lebih mengedepankan pada tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime. Perumusan yang ringan membuat penulis menjadikan salah satu bahan referensi untuk menyusun penelitian ini.
7. Judul : Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet:
Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil
Pengarang : Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.
Penerbit : Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di
Indonesia, FHUI
Tahun : 2008
Uraian : Pembahasan dalam makalah seminar cyber crime perlu mendapatkan perhatian, karena di masa lalu alat bukti yang dapat diterima di Pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang bersifat materiil, yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba. Dalam konteks Indonesia, alat bukti yang diperkenankan secara pidana diatur dalam pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti saksi, saksi ahli, keterangan, surat dan petunjuk. Secara literlijk seluruh alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak mengakomodir alat bukti elektronik. Akan tetapi, dengan perkembangan yang sangat modern menjadikan alat bukti elektronik mendapatkan perhatian yang begitu luar biasa besarnya. Hal ini diungkapkan oleh Edmon Makarim dalam makalah seminar tersebut. Penulis memberikan apresiasi yang besar atas perumusan makalah tersebut, karena beliau memperbandingkan alat-alat bukti dengan alat bukti dalam tahap globalisasi.
8. Judul artikel : Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat
Pengarang : tanpa nama pengarang
Penerbit : http://www.hukumonline.com
Tahun :10 Juli 2006
Uraian : Artikel ini membahas mengenai perkembangan alat bukti begitu cepat, sementara KUHAP tidak mungkin diubah dalam waktu singkat. Penulis berharap pengertian alat bukti petunjuk dalam pasal 184 KUHAP tidak lagi diartikan secara letterlijk oleh aparat penegak hukum, sehingga saat ini menurut penulis perlu ada perluasan-perluasan. Perluasan alat bukti ini perlu dilakukan dalam rangka mengakomodir perkembangan teknologi informasi yang semakin berpengaruh dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari kegiatan surat-menyurat (e-mail) sampai transaksi ekonomi berskala besar dapat dilakukan lewat internet sehingga bukan tidak mungkin ada tindak pidana yang melibatkan kegiatan tersebut di atas. Terbatasnya jumlah alat bukti yang terdapat di dalam KUHAP yang sekarang bukan berarti membatasi pula penyidik untuk memajukan dokumen elektronik sebagai alat bukti di dalam persidangan.
9. Judul artikel: Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan
Pengarang : Rapin Mudiardjo
Penerbit : http://www.hukumonline.com
Tahun : 8 Juli 2002
Uraian : Artikel yang berjudul Data Elektronik sebagai Alat Bukti masih dipertanyakan yang ditulis oleh Rapin Mudiardjo ini membahas mengenai data elektronik yang seharusnya dapat dimasukkan sebagai alat bukti elektronik dalam persidangan. Artikel ini begitu menarik perhatian penulis karena Rapin Budiardjo membahas mengapa data elektonik tersebut belum dapat dijadikan suatu alat bukti baik dalam kasus pidana, masalah-masalah yang mungkin ditimbulkan oleh data elektronik tersebut dijawab oleh beliau dengan lugas dan tepat, dari jawaban-jawaban beliau itulah muncul gebrakan agar para ahli hukum tidak hanya mendasarkan pada hukum positif yang telah ada saja dalam dalam menilai data elektronik, tetapi juga harus mulai ada pemikiran untuk melakukan suatu pengembangan revolusi hukum yang mengakui bahwa data elektronik seharusnya disejajarkan juga dengan alat bukti lainnya dalam tahap pembuktian, karena seharusnya hukum itu juga harus mengikuti perkembangan masyarakat.
E. Kerangka Konsep
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan beberapa istilah yang merupakan kata-kata kunci yang perlu dijabarkan secara khusus. Penjelasan beberapa istilah tersebut diambil dari beberapa bahan bacaan yang berkaitan dengan penulisan dalam penelitian ini. Beberapa istilah yang dimaksud, antara lain.
1. Bukti Elektronik adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.[16]
2. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya.[17]
3. Dokumen elektronik adalah Setiap informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan daam bnetuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya.[18]
4. Alat bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.[19]
5. Alat bukti elektronik adalah alat bukti yang berisi segala bentuk data, informasi, dan cetakan yang sifatnya tidak berwujud fisik, namun dapat dilihat, didengar, dan dirasakan oleh panca indra manusia.[20]
6. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.[21]
7. Tindak pidana umum adalah Perbuatan yang diatur dan diancamkan kepada pelaku yang melakukan atau memenuhi unsur-unsur pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[22]
8. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[23]
9. Hukum Pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur: tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan yang (terhadap pelanggarnya) diancam dengan pidana, jenis dan macam pidana dan cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan persidangan serta melaksanakan pidana.[24]
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode kepustakaan, yang bersifat yuridis normatif, artinya penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.[25]
Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif, menurut tujuannya adalah penelitian penemuan fakta (fact finding)[26] yang bertujuan mengetahui fakta bagaimana perbandingan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah yaitu suatu penelitian yang mengaitkan penelitian murni dengan penelitian terapan.,[27] dan menurut ilmu yang dipergunakan adalah penelitian monodisipliner, artinya laporan penelitian ini hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.[28]
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah buku, internet, artikel ilmiah, tesis, surat kabar, dan makalah.
3. Bahan hukum terssier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus.
Mengenai alat pengumpul data, peneliti memakai studi dokumen ditambah dengan wawancara dengan narasumber untuk melengkapi data yang terkumpul. Metode pendekatan analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan sifat dan bentuk laporan secara deskriptif analitis.
G. Kegunaan Teoritis dan Praktis
Kegunaan Praktis dalam penelitian ini antara lain.
1. Memberikan masukan bagi penyusun rancangan peraturan perundang-undangan hukum acara pidana terutama yang berkaitan dengan alat bukti elektronik.
2. Memberikan pemahaman bagi aparatur penegak hukum dalam membedakan kekuatan alat bukti elektronik dengan alat bukti lainnya
3. Memberikan kejelasan bagi pemakaian alat bukti elektronik pada perkara tindak pidana umum dan tindak pidana lainnya seperti tindak pidana korupsi korupsi.
H. Biaya
Untuk pembiayaan penelitian ini dirancang anggaran pengeluaran sebagai berikut:
1. Honorarium Peneliti dan Narasumber
a. Honor Peneliti : Rp. 6.000.000,00
b. Honor Narasumber : Rp. 2.000.000,00
2. Studi Dokumen : Rp. 5.000.000,00
3. Transportasi dan Akomodasi : Rp. 900.000,00
4. Pengolahan Data
Biaya Rental Internet : Rp. 200.000,00
5. Administrasi Penelitian
a. Tinta Printer (2 x Rp. 150.000,00) : Rp. 300.000,00
b. Kertas (3 rim x Rp. 40.000,00) : Rp 120.000,00
c. Recorder : Rp. 1.250.000,00
d. Alat Tulis : Rp. 200.000,00
e. CD-R (5 x Rp. 3.000,00) : Rp 15.000,00
6. Penyusunan hasil penelitian : Rp. 500.000,00
7. Penggandaan hasil penelitian (10 x Rp.30.000,-) : Rp. 300.000,00
Total Rp.16.785.000,00
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alan M. Gahtan, Electronic Evidence, Ontario, Carswell, 1999.
Friedman, Lawrence M., American Law, New York: W.W. Norton and Co., 1984.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985).
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, cet. III, Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Makarim, Edmom, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Makarim, Edmon, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2008.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Nasrullah, T., Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, 29 Maret 2008.
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.
Rice, Paul R. , Electronic Evidence Law and Practice, New York: American Bar Association, 2006.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Jakarta: UI-Press, 1986.
Totty, Richard, and Anthony Hardcastle, Computer Related Crime, George Washington University Law School, Vol. 78, No. 4, November 2003.
Volodino, L., Electronic Evidence and Computer Forensic, Communication of AIS, Vol. 12, October 2003.
Yuliearti, Arie Eko, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 11 Tahun 2008, LN Nomor 58 Tahun 2008, TLN Nomor 4843.
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 8, LN. Nomor 76 Tahun 1981, TLN. 3209.
C. Artikel
Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, Koran Merapi, 13 April 2006.
[1] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 11 Tahun 2008, LN Nomor 58 Tahun 2008, TLN Nomor 4843.
[2] KUHAP kepanjangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[3] Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 455.
[4] Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10.
[5] Ibid, hlm. 138.
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312.
[7] Makarim, op.cit, hlm. 451.
[8] Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, Koran Merapi, 13 April 2006.
[9] L. Volodino, Electronic Evidence and Computer Forensic, (Communication of AIS, Vol. 12, Oktober 2003), hlm. 7.
[10] Alan M. Gahtan, Electronic Evidence, (Ontario, Carswell, 1999), hlm. 152.
[11] Edmon Makarim, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2008.
[12] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 297.
[13] T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara” yang diadakan oleh Indonesia Police Watch bersama Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa 29 Maret 2008, hlm. 3.
[14] Jejak suatu operasi computer dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan bukti kembali, manakala ukti yang tersimpan dalam computer telah dihapus pelaku. Lihat Richard Totty and Anthony Hardcastle, Computer Related Crime, (George Washington University Law School, Vol. 78, No. 4, November 2003), hlm. 71.
[15] Disampaikan oleh Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan draft ke-1 DPD dengan judul Mempersiapkan Pengadilan Tipikor, mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada tanggal 15 Januari 2009 di gedung Nusantara V DPR RI.
[16] Penjelasan Pasal 177 ayat (1) huruf c Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[17] Indonesia (a), op. cit., Pasal 1 angka 1.
[18] Ibid., Pasal 1 angka 4.
[19] Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 8, LN. Nomor 76 Tahun 1981, TLN. 3209, Pasal 184 ayat (1).
[20] Paul R. Rice, Electronic Evidence Law and Practice, (New York: American Bar Association, 2006), hal. 74.
[21] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53
[22] Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hal. 21.
[23] Ibid., hal. 89.
[24] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, cet. III, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 8.
[25] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton and Co., 1984), hal. 6.
[26] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 50-51.
[27] Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4-5.
[28] Soekanto, op. cit., hal. 32.
Diposkan oleh Riki Website di 01:12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Perkembangan teknologi yang semakin pesat mengubah berbagai kejahatan yang semakin canggih dan terorganisir, terlebih pengaturan alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia yang masih terbatas. Kendati telah diatur dalam beberapa Undang-Undang, namun bukti elektronik sifatnya masih parsial, sebab bukti elektronik hanya dapat digunakan dalam hukum tertentu. Akan tetapi, dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik[1] atau sering disingkat UU ITE telah mengakomodir mengenai alat bukti elektronik yang dapat dipakai dalam hukum acara di Indonesia. Pasal 5 ayat (1) UU ITE menyebutkan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti yang sah. Lebih lanjut Pasal 5 ayat (2) UU ITE mengatakan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
Akan tetapi, dalam perkembangannya alat bukti sebagaimana yang diatur dalam KUHAP[2] tidak lagi dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi, hal ini menimbulkan permasalahan baru. Permasalahan ini menyebabkan tergesernya bentuk media cetak menjadi bentuk media digital (paper less). Pergeseran ini menjadikan perubahan yang sangat signifikan dalam kejahatan dengan menggunakan komputer, karena bukti-bukti kejahatan akan mengarahkan suatu peristiwa pidana adalah berupa data elektronik, baik yang berada di dalam komputer itu sendiri (hardisk/floppy disc) atau yang merupakan hasil print out, atau dalam bentuk lain berupa jejak (path) dari suatu aktivitas pengguna komputer.[3] Tentu saja upaya penegakan hukum tidak boleh terhenti dengan ketidakadaan hukum yang mengatur penggunaan alat bukti berupa informasi elektronik di dalam penyelesaian suatu tindak pidana, terutama tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi.
Dengan adanya perkembangan kejahatan dengan menggunakan komputer, Penyidik dan Penuntut Umum serta Hakim dihadapkan pada eksistensi bukti-bukti elektronik seperti data komputer, dokumen elektronik, email, maupun catatan transaksi rekening[4], sehingga alat bukti tidak hanya terbatas pada keterangan saksi, surat, ahli, petunjuk dan keterangan terdakwa, akan tetapi mencakup informasi dan dokumen yang tersimpan secara elektronik.[5]
Yahya Harahap mengungkapkan bahwa Hakim tidak terkait atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan atas petunjuk sebagai alat bukti, karena alat bukti elektronik tidak bisa berdiri sendiri-sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu, perlu didukung oleh alat bukti lain.[6] Edmon Makarim mengemukakan bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri sendiri, tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data (data recording) berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku (telah dikalibrasi dan diprogram) sedemikian rupa sehingga hasil print out sutau data diterima dalam pembuktian suatu kasus.[7] Hal serupa juga dikatakan oleh T. Nasrullah yang menegaskan bahwa alat bukti elektronik seperti SMS (short message service) hanya berlaku dalam hukum pidana khusus dan tidak berlaku pada hukum pidana umum. Sementara pakar teknologi komunikasi, Roy Suryo menyatakan SMS tidak dapat dijadikan alat bukti tunggal. Penggunaan SMS sebagai alat bukti harus didukung dengan keterangan ahli (expertise).[8]
Selain itu, proses mengajukan dan proses pembuktian alat bukti yang berupa data digital perlu pembahasan tersendiri mengingat alat bukti dalam bentuk informasi elektronik ini serta berkas acara pemeriksaan telah melalui proses digitalisasi dengan proses pengetikan (typing), pemeriksaan (editing), dan penyimpanan (storing) dengan menggunakan komputer. Namun, hasilnya tetap saja dicetak di atas kertas (printing process). Oleh karena itu, diperlukan kejelasan bagaimana mengajukan dan melakukan proses pembuktian terhadap alat bukti yang berupa data digital.
Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data digital juga menyangkut aspek validasi yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti non-elektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.[9]
Aspek lain terkait adalah masalah menghadirkan alat bukti tersebut, apakah dihadirkan cukup dengan perangkat lunaknya (software) ataukah harus dengan perangkat kerasnya (hardware). Amerika Serikat mengatur alat bukti elektronik dalam Criminal Procedure Code, barang bukti elektronik dimasukkan ke dalam real evidence yakni sama halnya dengan foto, video, rekaman, dan film dapat dihadirkan dengan perangkat lunak dan/atau perangkat kerasnya.
Beberapa negara seperti Cina, Australia, Jepang, dan Singapura telah memiliki peraturan hukum yang mengakui data elektronik menjadi alat bukti. Di Kanada misalnya disamping telah memiliki hukum pembuktian yang menerima data elektronik menjadi alat bukti. Praktek-praktek pengadilan melengkapinya dengan prosedur-prosedur bagaimana bukti elektronik tersebut bisa diterima di pengadilan.[10] Hukum acara negara Perancis yang dikenal dengan nama Code de Procédure de Pénal yang didasarkan pada surat edaran Counsil d’etat tahun 1998 (LOI 1998-2341- La Reconaisance des evidence de dossiers et informations informatiques) tentang sahnya dokumen-dokumen dan informasi-informasi elektronik sebagai alat bukti yang sah.
Berbeda pengaturannya di Malaysia, bukti elektronik dimasukkan ke dalam kategori alat bukti primer yaitu alat bukti berupa dokumen yang orisinil yang dihadirkan di pengadilan, yakni seluruh dokumen yang dibuat secara tertulis, maupun terekam pada pita foto, baik berupa surat, buku, jurnal, film, video, dan lain sebagainya. Bagian-bagian dari dokumen tersebut sepanjang itu orisinal dianggap sebagai alat bukti primer. Selain alat bukti primer, dikenal juga alat bukti sekunder hal mana baru digunakan sebagai alat bukti, jika alat bukti primer tidak ada atau tidak mencukupi.
Walaupun demikian, menurut Hakim Mohammed Chawki dari Komputer Crime Research Center mengklasifikasikan bukti elektronik menjadi 3 (tiga) kategori, sebagai berikut.
1. Real Evidence atau Physical Evidence
Bukti yang terfiri dari objek nyata atau berwujud yang dapat dilihat dan disentuh. Real evidence juga merupakan bukti lansgung berupa rekaman otomatis yang dihasilkan oleh komputer itu sendiri dengan menjalankan software dan receipt dari informasi yang diperoleh dari alat yang lain, misalnya computer log files.[11]
2. Testamentary Evidence
Dikenal dengan istilah hearsay evidence, dimana keterangan dari saksi maupun ahli dapat diberikan selama persidangan, berdasarkan pengalaman dan pengamatan individu. Perkembangan ilmu dan teknologi sedikit banyak membawa dampak terhadap kualitas metode kejahatan, memaksa kita untuk mengimbanginya dengan kualitas dan metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan dan keahlian (skill and knowledge).[12] Kedudukan seorang ahli dalam memperjelas tindak pidana yang terjadi serta menerangkan atau memperjelas bukti elektronik sangat penting dalam memberikan keyakinan hakim dalam memutus perkara kejahatan.
3. Circumstantial Evidence
Bukti elektronik terperinci yang diperoleh beradasarkan ucapan atau pengamatan dari kejadian sebenarnya yang mendorong untuk mendukung suatu kesimpulan, tetapi bukan untuk membuktikannya. Circum evidence merupakan kombinasi dari real evidence dan hearsay evidence.
Penggolongan alat bukti elektronik masih belum diterima sepenuhnya, padahal disatu sisi dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime), seperti tindak pidana korupsi, kejahatan HAM Berat, Terorisme mempunyai pembuktian yang sulit. Hal ini disebabkan karena kejahatan tersebut dilakukan secara rapi dan sistematis dengan menggunakan komputer sebagai sarana untuk melaksanakan tindak pidana tersebut, dan pemerintah menyadari tindak pidana tersebut merupakan suatu tindak pidana yang luar biasa (extraordinary crime), sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa juga (extraordinary measures).[13] Bukti-bukti yang akan mengarahkan kepada suatu tindak pidana merupakan data-data elektronik yang berada dalam komputer atau yang merupakan print-out atau dalam bentuk lain berupa jejak dari suatu aktivitas penggunaan komputer.[14]
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuliskan 3 (tiga) alasan yang menjadi problematika pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi :[15]
1. Tindak pidana korupsi merupakan collar crime, dengan ciri-ciri terorganisir, canggih, dan memanfaatkan celah hukum.
2. Hukum pidana formal dan meteriil telah memberi beberapa perangkat hukum baru, namun kurang dipahami oleh Hakim biasa.
3. Banyak perkara bebas (vrijspraak) yang disebabkan alat bukti tidak optimal, lemahnya standar teknis yuridis dan kapasitas penegak hukum menghadapi perkembangan modus operandi.
Dari permasalahan diatas nampaknya dibutuhkan bahkan menjadi suatu kebutuhan akan pengaturan alat bukti elektronik, terlebih lagi pada pengaturan di hukum acara pidana di Indonesia karena terkait dengan seberapa kuat alat bukti elektronik di perhitungkan dalam kasus tertentu yaitu kasus tindak pidana umum maupun tindak pidana korupsi.
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam penelitian ini, yaitu
1. Bagaimana pengaturan mengenai alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia?
2. Mengapa terjadi perbedaan antara kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi?
3. Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini dibagi menjadi dua, yaitu tujuan penulisan secara umum dan tujuan penulisan secara khusus, adapun tujuannya sebagai berikut.
1. Tujuan Umum
Pembahasan masalah ini ditujukan untuk mengkaji pengaturan alat bukti elektronik sebagai bagian dari alat bukti dalam hukum acara pidana di Indonesia. Dengan demikian, pembahasan ini diharapkan dapat mengidentifikasi kekuatan pembuktian dalam tindak pidana umum dana tindak pidana korupsi.
2. Tujuan Khusus
Penelitian mengenai kekuatan pembuktian alat bukti elektronik yang melihat perbandingan antara tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi bertujuan:
1. Menjelaskan pengaturan mengenai alat bukti elektronik dalam hukum acara pidana di Indonesia
2. Mengetahui alasan terjadi perbedaan antara kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi
3. Menjelaskan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik pada Tindak Pidana Umum Dan Tindak Pidana Korupsi
D. Tinjauan Pustaka
1. Judul : Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian
Pengarang : Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.
Penerbit : Raja Grafindo Persada
Tahun : 2005
Uraian : Buku ini merupakan suatu pengantar umum bagi orang-orang yang hendak mempelajari hukum telematika, yang menarik dari buku ini bagi penulis adalah selain mendapatkan suatu pengetahuan baru mengenai hukum telematika, buku ini mulai menekankan pada keterkaitan antara teknologi dengan tindak pidana pada salah satu ulasannya, sehingga pembahasan dari alat bukti tidak terbatas pada apa yang telah tertuang secara nyata dalam bentuk yang berwujud, tetapi lebih dari itu yaitu data elektronik baik yang masih berada dalam komputer maupun yang berupa hasil print-out dari data tersebut.
2. Judul : Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP:
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali
Pengarang : Yahya Harahap
Penerbit : Sinar Grafika
Tahun : 2001
Uraian : Pada umumnya buku Pembahasan, Permasalahan, dan Penerapan KUHAP yang dibuat oleh Yahya Harahap ini membahas dan mengupas Kitab Hukum Acara Pidana secara keseluruhan. Penulis tertarik pada buku ini adalah pembasan secara terperinci dan komprehensif mengenai pembuktian hukum acara pidana secara menyeluruh. Terlebih lagi alat bukti yang belum diatur dalam KUHAP dapat menjadi diskusi yang sangat menarik apabila terdapat landasan-landasan teori yang kuat. Dalam buku ini, penulis mendapatkan landasan yang berbasis praktis maupun teoritis berkaitan dengan pengaturan alat-alat bukti.
3. Judul : Hukum Acara Pidana Edisi Revisi
Pengarang : Andi Hamzah
Penerbit : Sinar Grafika
Tahun : 2001
Uraian : Dalam buku Hukum Acara Pidana Edisi Revisi yang ditulis oleh Andi Hamzah, dijelaskan secara terperinci mengenai hukum pidana terutama mengenai bagaimana aspek beracara dalam hukum pidana. Beliau secara nyata menerangkan bagaimana hukum pidana itu ketika diterapkan, mulai dari segi awal adanya penyelidikan ketika adanya kasus pidana sampai bagaimana pembuktian di persidangan. Alasan penulis memasukkan buku ini sebagai salah satu referensi dalam penelitian ini adalah karena pada salah satu bab dalam buku ini penulis menemukan sebuah pembahasan yang cukup mendalam mengenai alat bukti elektronik itu sendiri dan keberlakuan dari alat bukti elektronik tersebut dalam kasus pidana.
4. Judul Jurnal : Electronic Evidence and Computer Forensic
Pengarang : L. Volodino
Penerbit : Communication of AIS
Tahun : 2003, vol. 12
Uraian : Buku ini menjelaskan bagaimana alat bukti elektronik bukanlah menjadi masalah lagi dalam konteks pembuktian di Pengadilan. Hal tersebut sekaligus memberikan kepastian hukum bagi para pihak untuk melakukan berbagai hal di dunia elektronik, termasuk membuktikan. Dalam jurnal ini dijelaskan secara mendalam mengenai kekuatan pembuktian dalam persidangan. Selain itu, jurnal ini memberikan trik dalam menilai keabsahan alat bukti elektronik sehingga hakim dalam menjatuhkan putusan tidak mengalami kekeliruan.
5. Judul : Electronic Evidence
Pengarang : Alan M. Gahtan
Penerbit : Carswell
Tahun : 1999
Uraian : Buku ini memberikan pemahaman yang begitu besar terhadap indentifikasi alat bukti elektronik. Buku ini mempertanyakan alat bukti elektronik dalam memastikan otentifikasinya atau keasliannya. Secara sederhana, otentifikasi dilakukan terhadap alat bukti elektronik dengan memastikan terlebih dahulu apakah alat bukti elektronik tersebut dihasilkan dari sumber yang benar. Pengetahuan elektronik yang digabungkan dengan pembuktian dalam persidangan menjadikan buku ini menjadi pegangan apabila ingin meneliti alat bukti elektronik.
6. Judul : Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas
Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia
Pengarang : Arie Eko Yuliearti
Penerbit : Tesis Pascasarjana Reguler
Tahun : 2006
Uraian : Penulis tertarik dengan tesis ini, karena terdapat alasan-alasan serta masukan-masukan yang berarti bagi pembaharuan hukum pidana, terlebih lagi hukum acara pidana. Pembahasan tesis ini tidak terabtas pada tindak pidana korupsi tetapi tindak pidana lainnya yang juga termasuk tindak pidana umum, hanya saja pemabahasan tesis ini lebih mengedepankan pada tindak pidana korupsi sebagai extraordinary crime. Perumusan yang ringan membuat penulis menjadikan salah satu bahan referensi untuk menyusun penelitian ini.
7. Judul : Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet:
Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil
Pengarang : Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.
Penerbit : Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di
Indonesia, FHUI
Tahun : 2008
Uraian : Pembahasan dalam makalah seminar cyber crime perlu mendapatkan perhatian, karena di masa lalu alat bukti yang dapat diterima di Pengadilan terbatas pada alat-alat bukti yang bersifat materiil, yaitu alat bukti yang dapat dilihat dan diraba. Dalam konteks Indonesia, alat bukti yang diperkenankan secara pidana diatur dalam pasal 184 KUHAP yaitu alat bukti saksi, saksi ahli, keterangan, surat dan petunjuk. Secara literlijk seluruh alat bukti yang disebutkan dalam KUHAP tersebut tidak mengakomodir alat bukti elektronik. Akan tetapi, dengan perkembangan yang sangat modern menjadikan alat bukti elektronik mendapatkan perhatian yang begitu luar biasa besarnya. Hal ini diungkapkan oleh Edmon Makarim dalam makalah seminar tersebut. Penulis memberikan apresiasi yang besar atas perumusan makalah tersebut, karena beliau memperbandingkan alat-alat bukti dengan alat bukti dalam tahap globalisasi.
8. Judul artikel : Alat Bukti Elektronik Kian Mendapat Tempat
Pengarang : tanpa nama pengarang
Penerbit : http://www.hukumonline.com
Tahun :10 Juli 2006
Uraian : Artikel ini membahas mengenai perkembangan alat bukti begitu cepat, sementara KUHAP tidak mungkin diubah dalam waktu singkat. Penulis berharap pengertian alat bukti petunjuk dalam pasal 184 KUHAP tidak lagi diartikan secara letterlijk oleh aparat penegak hukum, sehingga saat ini menurut penulis perlu ada perluasan-perluasan. Perluasan alat bukti ini perlu dilakukan dalam rangka mengakomodir perkembangan teknologi informasi yang semakin berpengaruh dalam segala aspek kehidupan. Mulai dari kegiatan surat-menyurat (e-mail) sampai transaksi ekonomi berskala besar dapat dilakukan lewat internet sehingga bukan tidak mungkin ada tindak pidana yang melibatkan kegiatan tersebut di atas. Terbatasnya jumlah alat bukti yang terdapat di dalam KUHAP yang sekarang bukan berarti membatasi pula penyidik untuk memajukan dokumen elektronik sebagai alat bukti di dalam persidangan.
9. Judul artikel: Data Elektronik sebagai Alat Bukti Masih Dipertanyakan
Pengarang : Rapin Mudiardjo
Penerbit : http://www.hukumonline.com
Tahun : 8 Juli 2002
Uraian : Artikel yang berjudul Data Elektronik sebagai Alat Bukti masih dipertanyakan yang ditulis oleh Rapin Mudiardjo ini membahas mengenai data elektronik yang seharusnya dapat dimasukkan sebagai alat bukti elektronik dalam persidangan. Artikel ini begitu menarik perhatian penulis karena Rapin Budiardjo membahas mengapa data elektonik tersebut belum dapat dijadikan suatu alat bukti baik dalam kasus pidana, masalah-masalah yang mungkin ditimbulkan oleh data elektronik tersebut dijawab oleh beliau dengan lugas dan tepat, dari jawaban-jawaban beliau itulah muncul gebrakan agar para ahli hukum tidak hanya mendasarkan pada hukum positif yang telah ada saja dalam dalam menilai data elektronik, tetapi juga harus mulai ada pemikiran untuk melakukan suatu pengembangan revolusi hukum yang mengakui bahwa data elektronik seharusnya disejajarkan juga dengan alat bukti lainnya dalam tahap pembuktian, karena seharusnya hukum itu juga harus mengikuti perkembangan masyarakat.
E. Kerangka Konsep
Penulisan dalam penelitian ini menggunakan beberapa istilah yang merupakan kata-kata kunci yang perlu dijabarkan secara khusus. Penjelasan beberapa istilah tersebut diambil dari beberapa bahan bacaan yang berkaitan dengan penulisan dalam penelitian ini. Beberapa istilah yang dimaksud, antara lain.
1. Bukti Elektronik adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.[16]
2. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya.[17]
3. Dokumen elektronik adalah Setiap informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan daam bnetuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mempu memahaminya.[18]
4. Alat bukti adalah alat bukti yang terdapat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.[19]
5. Alat bukti elektronik adalah alat bukti yang berisi segala bentuk data, informasi, dan cetakan yang sifatnya tidak berwujud fisik, namun dapat dilihat, didengar, dan dirasakan oleh panca indra manusia.[20]
6. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang tata cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.[21]
7. Tindak pidana umum adalah Perbuatan yang diatur dan diancamkan kepada pelaku yang melakukan atau memenuhi unsur-unsur pasal pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).[22]
8. Tindak pidana korupsi adalah perbuatan yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.[23]
9. Hukum Pidana adalah serangkaian ketentuan-ketentuan yang mengatur: tingkah laku yang dilarang atau yang diharuskan yang (terhadap pelanggarnya) diancam dengan pidana, jenis dan macam pidana dan cara-cara menyidik, menuntut, pemeriksaan persidangan serta melaksanakan pidana.[24]
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian adalah metode kepustakaan, yang bersifat yuridis normatif, artinya penelitian ini mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat atau juga menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.[25]
Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya adalah penelitian deskriptif, menurut tujuannya adalah penelitian penemuan fakta (fact finding)[26] yang bertujuan mengetahui fakta bagaimana perbandingan kekuatan pembuktian alat bukti elektronik dalam tindak pidana umum dan tindak pidana korupsi, menurut penerapannya adalah penelitian berfokus masalah yaitu suatu penelitian yang mengaitkan penelitian murni dengan penelitian terapan.,[27] dan menurut ilmu yang dipergunakan adalah penelitian monodisipliner, artinya laporan penelitian ini hanya didasarkan pada satu disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier sebagai berikut.[28]
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan Indonesia.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa, memahami, dan menjelaskan bahan hukum primer, yang antara lain adalah buku, internet, artikel ilmiah, tesis, surat kabar, dan makalah.
3. Bahan hukum terssier, adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan atas bahan hukum primer dan sekunder, yaitu kamus.
Mengenai alat pengumpul data, peneliti memakai studi dokumen ditambah dengan wawancara dengan narasumber untuk melengkapi data yang terkumpul. Metode pendekatan analisis data yang dipergunakan adalah metode analisis kualitatif sehingga menghasilkan sifat dan bentuk laporan secara deskriptif analitis.
G. Kegunaan Teoritis dan Praktis
Kegunaan Praktis dalam penelitian ini antara lain.
1. Memberikan masukan bagi penyusun rancangan peraturan perundang-undangan hukum acara pidana terutama yang berkaitan dengan alat bukti elektronik.
2. Memberikan pemahaman bagi aparatur penegak hukum dalam membedakan kekuatan alat bukti elektronik dengan alat bukti lainnya
3. Memberikan kejelasan bagi pemakaian alat bukti elektronik pada perkara tindak pidana umum dan tindak pidana lainnya seperti tindak pidana korupsi korupsi.
H. Biaya
Untuk pembiayaan penelitian ini dirancang anggaran pengeluaran sebagai berikut:
1. Honorarium Peneliti dan Narasumber
a. Honor Peneliti : Rp. 6.000.000,00
b. Honor Narasumber : Rp. 2.000.000,00
2. Studi Dokumen : Rp. 5.000.000,00
3. Transportasi dan Akomodasi : Rp. 900.000,00
4. Pengolahan Data
Biaya Rental Internet : Rp. 200.000,00
5. Administrasi Penelitian
a. Tinta Printer (2 x Rp. 150.000,00) : Rp. 300.000,00
b. Kertas (3 rim x Rp. 40.000,00) : Rp 120.000,00
c. Recorder : Rp. 1.250.000,00
d. Alat Tulis : Rp. 200.000,00
e. CD-R (5 x Rp. 3.000,00) : Rp 15.000,00
6. Penyusunan hasil penelitian : Rp. 500.000,00
7. Penggandaan hasil penelitian (10 x Rp.30.000,-) : Rp. 300.000,00
Total Rp.16.785.000,00
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Alan M. Gahtan, Electronic Evidence, Ontario, Carswell, 1999.
Friedman, Lawrence M., American Law, New York: W.W. Norton and Co., 1984.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985).
Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, cet. III, Jakarta: Storia Grafika, 2002.
Makarim, Edmom, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Makarim, Edmon, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2008.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Nasrullah, T., Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara”, 29 Maret 2008.
Prints, Darwan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Djambatan, 1989.
Rice, Paul R. , Electronic Evidence Law and Practice, New York: American Bar Association, 2006.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, Jakarta: UI-Press, 1986.
Totty, Richard, and Anthony Hardcastle, Computer Related Crime, George Washington University Law School, Vol. 78, No. 4, November 2003.
Volodino, L., Electronic Evidence and Computer Forensic, Communication of AIS, Vol. 12, October 2003.
Yuliearti, Arie Eko, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006.
B. Peraturan Perundang-undangan
Indonesia (a), Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 11 Tahun 2008, LN Nomor 58 Tahun 2008, TLN Nomor 4843.
Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 8, LN. Nomor 76 Tahun 1981, TLN. 3209.
C. Artikel
Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, Koran Merapi, 13 April 2006.
[1] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 11 Tahun 2008, LN Nomor 58 Tahun 2008, TLN Nomor 4843.
[2] KUHAP kepanjangan dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
[3] Edmom Makarim, Pengantar Hukum Telematika: Suatu Kompilasi Kajian, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005) hlm. 455.
[4] Arie Eko Yuliearti, Bukti Elektronik Dalam Kejahatan Komputer: Kajian Atas Tindak Pidana Korupsi dan Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Pascasarjana Reguler, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006), hlm. 10.
[5] Ibid, hlm. 138.
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hlm. 312.
[7] Makarim, op.cit, hlm. 451.
[8] Ahsan Dawi Mansur, SMS Sebagai Alat Bukti, Koran Merapi, 13 April 2006.
[9] L. Volodino, Electronic Evidence and Computer Forensic, (Communication of AIS, Vol. 12, Oktober 2003), hlm. 7.
[10] Alan M. Gahtan, Electronic Evidence, (Ontario, Carswell, 1999), hlm. 152.
[11] Edmon Makarim, Tindak Pidana Terkait dengan Komputer dan Internet: Suatu Kajian Pidana Materiil dan Formil, Seminar Pembuktian dan Penanganan Cyber Crime di Indonesia, FHUI, Jakarta, 12 April 2008.
[12] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I dan II, (Jakarta: Sinar Grafika), hlm. 297.
[13] T. Nasrullah, Sepintas Tinjauan Yuridis Baik Aspek Hukum Materil Maupun Formil Terhadap Undang-undang No. 15/2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Makalah Pada Semiloka tentang “Keamanan Negara” yang diadakan oleh Indonesia Police Watch bersama Polda Metropolitan Jakarta Raya, Selasa 29 Maret 2008, hlm. 3.
[14] Jejak suatu operasi computer dapat digunakan sebagai sarana untuk mendapatkan bukti kembali, manakala ukti yang tersimpan dalam computer telah dihapus pelaku. Lihat Richard Totty and Anthony Hardcastle, Computer Related Crime, (George Washington University Law School, Vol. 78, No. 4, November 2003), hlm. 71.
[15] Disampaikan oleh Dewan Perwakilan Daerah dalam pembahasan draft ke-1 DPD dengan judul Mempersiapkan Pengadilan Tipikor, mengenai Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada tanggal 15 Januari 2009 di gedung Nusantara V DPR RI.
[16] Penjelasan Pasal 177 ayat (1) huruf c Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
[17] Indonesia (a), op. cit., Pasal 1 angka 1.
[18] Ibid., Pasal 1 angka 4.
[19] Indonesia (b), Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Nomor 8, LN. Nomor 76 Tahun 1981, TLN. 3209, Pasal 184 ayat (1).
[20] Paul R. Rice, Electronic Evidence Law and Practice, (New York: American Bar Association, 2006), hal. 74.
[21] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), hal. 53
[22] Darwan Prints, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989), hal. 21.
[23] Ibid., hal. 89.
[24] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, cet. III, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 8.
[25] Lawrence M. Friedman, American Law, (New York: W.W. Norton and Co., 1984), hal. 6.
[26] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal. 50-51.
[27] Sri Mamudji, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 4-5.
[28] Soekanto, op. cit., hal. 32.
Diposkan oleh Riki Website di 01:12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar