Peraturan yang Mengatur Zakat
a. Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
b. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat;
c. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;
d. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.
a. Kelebihan
Dengan adanya Undang- undang no.38/1999 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah dengan pembentukan Badan Amil Zakat dengan semua tingkatannya (pasal 6) dan masyarakat untuk membuat Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Hal tersebut menjadika zakat semakin mudah diajngkau bagi masyarakat luas. Kemuadian UU No.38/1999 juga memuat sanksi yang jelas bagi para amil zakat yang melakukan penyelewengan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengumpul serta penyalur zakat. Hal ini dapat menjadikan umat Islam bertambah kepercayaannya dalam membayar zakat.
b. Kekurangan
i. Asas equality (persamaan) antara mustahik-muzakki (orang yang berhak zakat dan wajib zakat). Dalam pasal 21 UU Zakat, Amil Zakat yang statusnya sebagai mustahik dikenakan sanksi dengan hukuman pidana kurungan selama 3 bulan dan denda sebesar 300 juta. Sementara muzakki ditempatkan sebagai yang tidak dapat sanksi dan hanya jika melaporkan daftar kekayaannya (pasal 14 ayat 1-2). Artinya, muzakki yang secara syariah diwajibkan dan secara sosial agar sadar atas realitas kemiskinan, seolah diberi hati oleh UU Zakat –untuk tidak menyebutnya dilindungi. Padahal keduanya merupakan objek hukum yang harus ditempatkan sama di hadapan hukum sebagaimana laiknya ada pada peraturan perundangan.
ii. Ketentuan dalam UU No. 38/1999 dan UU No. 17/2000 terasa kontradiktif dalam masalah relasi pajak dan zakat. Dalam pasal 14 ayat 3 dinyatakan “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi, zakat dapat mereduksi semua harta muzakki. Di pasal 9 huruf g UU No. 17/2000 hanya ditentukan reduksi zakat atas penghasilan kena pajak. Artinya, relasi dua UU ini melahirkan asumsi : apakah perubahan UU Zakat disesuaikan ke UU Pajak? UU Pajak diamandemen dan disesuaikan dengan UU Zakat? dan atau keduanya harus diamandemen disesuaikan salah satu dengan lainnya. Idealnya, berzakat dapat mengurangi semua beban pajak seperti di Malaysia dan atau mengurangi kewajiban pajak layaknya di Saudi Arabia.
iii. Masalah pemusatan pengelolaan zakat pada satu badan yang lebih dikenal dengan istilah Central of LPZ. Yang diyakini, kemungkinan direpresentasikan oleh sosok Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang sudah terbentuk belakangan ini. Basis argumen pembuatan BAZNAS dialamatkan pada tafsiran normatif-otentik, bahwa yang berhak memaksa adalah otoritas negara (pemerintah). Hanya saja di tengah kepercayaan yang belum terbentuk secara kuat dan rapih, maka inisiatif ke arah itu tidak mustahil mengundang nada kritisisme. Ironisnya, secara faktual-institusional telah hadir di lapangan sosok Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat dan lainnya. Lalu, apa yang akan dilakukan? peleburan institusi zakat ke BAZNAS atau penggabungan laiknya “marger bank”.
iv. Sistem informasi dan tata kelola zakat yang belum memadai sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menyalurkan zakatnya.
v. Secara kelembagaan pengelolaan zakat terdapat dua masalah, yakni di satu sisi akan dipusatkan di Baznas dan di sisi lain diberikan izin berdirinya lembaga pengelola zakat yang independen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar