APAKAH ADVOKAT DAN NOTARIS TIDAK BISA DITUNTUT PIDANA?
Pertanyaan:
Dengan adanya pasal 16 UU Advokat, advokat tidak bisa
dituntut pidana dan perdata jika menjalankan tugasnya di persidangan. Tetapi,
pada kenyataannya banyak yang menggunakan pasal ini untuk melakukan kejahatan
terhadap kliennya, bahkan sebelum melakukan tugasnya di persidangan. Apakah
benar pasal ini begitu? Susah sekali untuk meminta
keterangan notaris dalam perkara tindak pidana, harus lewat dewan pengawaslah.
Meski sudah dilakukan sesuai prosedur, tetapi surat
jawaban lama sekali keluar, bisa diberikan 1 abad kemudian. Kalau gitu saya mau
deh jadi advokat dan notaris meski harus bayar berapa saja.
Jawaban:
Hak imunitas advokat
Ketentuan dalam pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003
tentang Advokat (UU Advokat) lebih populer disebut dengan ketentuan
imunitas profesi advokat. Lengkapnya berbunyi “Advokat tidak dapat dituntut
baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan
itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.”
Pasal
16 UU Advokat berakar pada beberapa norma yang berlaku universal. Merujuk pada
buku “Advokat Mencari Legitimasi” terbitan Pusat Studi Hukum dan
Kebijakan Indonesia yang didukung oleh The Asia Foundation, setidaknya ada tiga
norma internasional yang memuat ketentuan imunitas profesi advokat.
Pertama,
Basic Principles on the Role of Lawyers yang merekomendasi kepada
negara-negara anggota PBB untuk memberikan perlindungan terhadap advokat dari
hambatan-hambatan dan tekanan dalam menjalankan fungsinya.
Kedua,
International Bar Association Standards. Pada butir delapan disebutkan “seorang
advokat tidak boleh dihukum atau diancam hukuman, baik itu hukum pidana,
perdata, administratif, ekonomi maupun sanksi atau intimidasi lainnya dalam
pekerjaan membela dan memberi nasehat kepada kliennya secara sah”.
Ketiga, Deklarasi yang dibacakan pada World
Conference of the Independence
of Justice di Kanada, 1983. Dalam Deklarasi dinyatakan bahwa harus ada
sistem yang adil dalam administrasi peradilan yang menjamin independensi
advokat dalam melaksanakan tugas profesionalnya tanpa adanya hambatan,
pengaruh, pemaksaan, tekanan, ancaman atau intervensi.
Dari ketiga norma internasional di atas, benang
merah yang dapat disimpulkan adalah hak imunitas ini semata bertujuan untuk
melindungi advokat dalam menjalankan fungsi profesinya, khususnya terkait
pembelaan dan pemberian nasehat kepada klien.
Hal ini secara tegas juga disebutkan dalam pasal
16 UU Advokat, khususnya pada frasa “….dalam menjalankan tugas profesinya
dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan”.
Dibandingkan tiga norma internasional yang
disebutkan tadi, pasal 16 UU Advokat “mempersempit” lingkup tindakan advokat
yang dapat dilindungi yakni “tindakan dalam sidang pengadilan”. Pada bagian
penjelasan, “dalam sidang pengadilan” didefinisikan “sidang pengadilan dalam
setiap tingkat pengadilan di semua lingkungan peradilan”.
Pada frasa itu juga dicantumkan satu syarat
penting bilamana hak imunitas dapat diterapkan. Syarat itu adalah itikad
baik. Penjelasan pasal 16 UU Advokat menyatakan “itikad baik” adalah menjalankan
tugas profesi demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela
kepentingan kliennya.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa hak
imunitas memang dibutuhkan, tetapi penggunaannya tidak bisa sesuka hati. Norma
internasional maupun nasional menyebutkan beberapa syarat definitif yang harus
dipertimbangkan dalam penggunaan hak imunitas. Dua syarat yang utama adalah tindakan
advokat tersebut terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi profesinya.
Selain itu, tindakan itu juga harus didasari itikad baik yang secara
sederhana dapat didefinisikan “tindakan yang tidak melanggar hukum”.
Pada prakteknya, hak imunitas memang kerap
“dimanfaatkan” sebagai tameng oleh advokat yang tersangkut masalah hukum. Tepat
atau tidak penerapan hak imunitas advokat dapat diuji merujuk pada norma
internasional dan nasional yang berlaku. Yang pasti, tindakan advokat yang
membantu kliennya memenangkan perkara dengan cara “tidak halal” (baca:
melanggar hukum) tidak dapat berlindung di balik hak imunitas advokat.
Proses pemanggilan notaris
Berbeda dengan advokat, notaris tidak mempunyai
hak imunitas. Namun demikian, notaris berkewajiban untuk merahasiakan segala
sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna
pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang
menentukan lain (pasal 16 huruf e UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris atau UUJN).
Oleh karena itulah, UUJN dan peraturan
pelaksananya mengatur secara khusus prosedur untuk memanggil notaris untuk
hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau
Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris untuk kepentingan proses
peradilan.
(1) Untuk kepentingan proses
peradilan, penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan persetujuan Majelis
Pengawas Daerah berwenang:
a. mengambil fotokopi Minuta Akta
dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris
dalam penyimpanan Notaris; dan
b. memanggil Notaris untuk hadir dalam
pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris
yang berada dalam penyimpanan Notaris.
(2) Pengambilan fotokopi Minuta
Akta atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dibuat berita
acara penyerahan.
Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan
persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka
waktu paling lama 14 hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan
pemanggilan notaris untuk kepentingan proses peradilan (pasal 18 ayat [1] Permen
Hukum dan HAM No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan
Pemanggilan Notaris). Kemudian, apabila dalam jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terlampaui maka Majelis Pengawas Daerah dianggap
menyetujui (pasal 18 ayat [2] Permen Hukum dan HAM No. M.03.HT.03.10 Tahun
2007).
Jadi, demikianlah proses pemanggilan notaris
untuk kepentingan perkara pidana. Majelis Pengawas Daerah telah diberikan
tenggat waktu untuk memberikan jawaban atas permohonan pemanggilan notaris.
Apabila tenggat tersebut tidak terpenuhi, maka Majelis Pengawas demi hukum
dianggap menyetujui.
1. Undang-Undang No.
18 Tahun 2003 tentang Advokat
2. Undang-Undang No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
3. Peraturan Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan
Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris
sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar