Rabu, 26 Mei 2010

PENGUMUMAN UJIAN KODE ETIK NOTARIS TAHUN 2010

Pemberitahuan Ujian Kode Etik Notaris periode tahun 2010

1.    Waktu Pelaksanaan Ujian
       - diadakan dalam 2 (dua) hari yaitu hari Jum'at dan Sabtu, tanggal 18 dan 19 Juni 2010
       - Tanggal 18 juni 2010 untuk Pembekalan bagi peserta dan tanggal 19 Juni 2010 Ujian
          tertulis dan Ujian Tatap Muka/Lisan

2.    Persyaratan peserta
        a.    Keanggotaan luar biasa Ikatan Notaris Indonesia
        b.    Foto copy Ijazah S1 yang dilegalisir
        c.    Fotocopy ijazah Spesialis Notaris atau Magister Notariat yang dilegalisir perguruan
                tinggi  setempat
        d.    Menandatangani lembar Surat Pernyataan yang disediakan pada saat pendaftaran
        e.    Pas Photo berwarna ukuran 4x6 = 4 lembar, 3x4=4 lembar dan 2x3=2 lembar
        f.     Bukti identitas diri
        g.    Biaya ujian : Rp.1.500.000,- (satu juta limaratus ribu rupiah)

3.    Pendaftaran
        Telah dibuka dan ditutup tanggal 15 Juni 2010

4.    Info lebih lanjut
       Harap hubungi Pengurus Wilayah INI yang menyelenggarakan Ujian Kode Etik Notaris :

- Pengwil Sumatera Utara
   Sekretariat : Perumahan Taman Setia Indah I Blok FF no 6 Medan ( Telp: 061-8216508 )

- Pengwil DKI Jakarta
   Sekretariat : Jalan Balap Sepeda no 61 L jakarta Timur ( Telp: 021-4705130, Fax :
   021-4707820 )

- Pengwil Jawa Barat
   Sekretariat : Jalan Margonda Raya no.184 C Depok ( Telp:021-77205014, 77202072,
   081388110001, Fax 021-77202072 )

- Pengwil Jawa Tengah
   Sekretariat : Jalan Jend Sudirman 187-189 Komp RukoSiliwangi Blok B-4 Semarang (
   Telp:024-7605162 )

- Pengwil D.I Yogyakarta
   Sekreatariat : Jalan Palagan Tentara Pelajar Yogyakarta ( Telp:0274-887743 )

- Pengwil Jawa Timur
   Sekretariat (sementara) : Jl Kebonrojo 6 A Surabaya ( Telp:031-3521282, 3521285, Fax :
   031-3522641 )

Salam persahabatan jabat erat
LL&B
h3rm4n

Sabtu, 15 Mei 2010

TUJUAN OBYEK DAN SISTEM PENDAFTARAN TANAH


Tujuan Pendaftaran Tanah

Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA, bahwa diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum (rechtskadaster/ legal cadastre). Secara lebih rinci tujuan pendaftaran tanah diuraikan dalam pasal 3 PP No. 24 tahun 1997 sebagai berikut :

1. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang hak diberikan sertipikat sebagai suart tanda buktinya. Tujuan inilah yang merupakan tujuan utama dari pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan oleh pasal 19 UUPA
.
2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Penyajian data dilakukan oleh Kantor Pertanahan di Kabupaten / Kotamadia tata usaha pendaftaran tanah dilakukan dalam bentuk yang dikenal dengan daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama. Sehingga pihak-pihak yang berkepentingan, terutama calon pembeli atau calon kreditur, sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui dat yang tersimpan dalam daftar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut. Hal inilah yang sesuai dengan asas terbuka dari pendaftaran tanah.

3. Untuk terselenggarakannya tertib administrasi pertanahan, pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.


Obyek Pendaftaran Tanah

Yang menjadi obyek pendaftaran tanah meliputi antara lain:

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai;
2. Tanah Hak Pengelolaan;
3. Tanah wakaf;
4. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun;
5. Hak Tanggungan
6. Tanah negara.

Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai ada yang diberikan oleh negara, namun juga dimungkunkan Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemegang hak milik atas tanah. Tetapi sampai sat ini belum terdapat suatu ketentuan yang mengatur mengenai tatacara pembebanan maupun pemberiannya. Maka yang merupakan obyek pendaftaran tanah adalah Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh negara.

Sistem Pendaftaran Tanah

Adapun dalam sistem pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) sistem:

1. sistem pendaftaran akta ("registration of deeds")
2. sistem pendaftaran hak ("registration of title")

Sistem pendaftaran tanah membahas serta mempermasalahkan mengenai segala sesuatu hal apa yang didaftarkan, bagaimana bentuk penyimpanan datanya, serta bentuk penyajian data yuridis dan yang terpenting lagi menganai bentuk tanda bukti haknya.

Sistem pendaftaran tanah baik, pendaftaran akta maupun pendaftaran hak, dalam setiap kejadian, perbuatan, maupun peristiwa yang menyebabkan terjadinya pemberian, penciptaan, peralihan / pemindahan serta pembebanan dengan hak lain harus dibuktikan dengan suatu akta. Karena di dalam akta tersebut memuat data/ informasi yang berwujud data yuridis dari tanah yang bersangkutan, termasuk perbutan hukum, hak, penerima hak serta hak apa yang dibebankan.

  1. Sistem Pendaftaran Akta ("registration of deeds"), pihak Pejabat Pendaftaran Tanah hanya melakukan pendaftaran akta-akta tersebut. Sehingga dengan demikian Pejabat Pendaftaran Tanah (PPT) bersifat passif, dikarenakan PPT tidak melakukan uji kebenaran terhadap data yang tercantum / yang disebutkan dalam akta yang didaftar.

  Belanda adalah salah satu contoh negara yang menggunakan teori pendaftaran akta. Yaitu bahwa, apabila terjadi pemindahan hak yg dilakukan oleh notaris, maka pembuatan serta pendaftaran haknya dilakukan oleh pejabat Overschrijving (pejabat Balik Nama) di kantornya pada hari yang sama. Pembeli selaku pemegang atau pemegang hipotik mendapatkan salinan atau "grosse" akta, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti haknya. Sehingga setiap terjadi suatu perubahan wajib dilakukan pembuatan akta sebagai buktinya., data yuridis yang diperlukan harus dicari dalam akta-akta yang bersangkutan. Ketidaksesuaian / Cacat hukum dalam suatu akta bisa menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan hukum yang dibuktiknan dengan akta yang dibuat kemudian.

  2. Sistem Pendaftaran Hak ("registration of title"), awal mulanya diciptakan oleh Robert Richard Torrens. Sistem ini banyak diikuti dan berlaku di Australia. Hal ini dikarenakan sistem ini dibuat lebih sederhana, sehingga memungkinkan orang dapat memperoleh keterangan dengan mudah, tanpa harus melakukan "title search" pada akta-akta yang ada. Sistem ini dikenal dengan "registration of title" atau "sistem Torrens".

Dalam sistem ini pun pada setiap penciptaan, pemindahan / peralihan suatu hak baru atau perbuatan – perbuatan hukum baru harus dibuktikan dengan akta. Tetapi dalam praktek pelaksanaannya, bukan akta yang didaftar namun hak yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian. Akta yang merupakan sumber datanya.

Pendaftaran hak baru serta perubahan-perubahannya disediakan daftar-isian, atau disebut "register". Jika pada pendaftaran akta, PPT bersikap passif, maka dalam pendaftaran hak PPT bersikap aktif. Hal ini dikarenakan sebelum dilakukan pendaftaran haknya dalam register yang bersangkutan PPT melakukan pengujian kebenaran terhadap data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan.

Salah satu negara yang menggunakan sistem Torrens dalam sistem pendaftaran tanahnya adalah Australia. Sistem pendaftaran sistem Torrens dinyatakan sebagai berikut:

1. Security of title, kebenaran dan kepastian dari hak tersebut terlihat dari serangkaian peralihan haknya dan memberikan jaminan bagi yang memperolehnya terhadap gugatan lain.
2. Peniadaan dari keterlambatan dan pembiayaan yang berlebihan. Dengan adanya pendaftaran tersebut tidak perlu selalu harus diulangi dari awal setiap adanya peralihan hak.
3. Penyederhanaan atas alas hak dan yang berkaitan. Dengan demikian peralihan hak itu disederhanakan dan segala proses akan dapat dipermudah.
4. Ketelitian. Dengan adanya pendaftaran maka ketelitian sudah tidak diragukan lagi.

Keuntungan pendaftaran tanah dengan sistem Torrens ini antara lain:


1. Menetapkan biaya-biaya yang tidak dapat diduga sebelumnya;

2. Meniadakan pemeriksaan yang berulang-ulang;

3. Meniadakan kebanyakan rekaman;

4. Secara tegas menyatakan dasar haknya;

5. Melindungi terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak tersebut dalam sertifikat;

6. Meniadakan (hampir tidak mungkin) terjadi pemalsuan;

7. Tetap memelihara sistem tersebut tanpa menambahkan kepada taksasi yang menjengkelkan, oleh karena yang memperoleh kemanfaatan dari sistem tersebut yang membayar biaya;

8. Meniadakan alas hak pajak;

9. Memberikan suatu alas hak yang abadi, karena dijamin negara tanpa batas.

Selain apa yang diuraikan diatas, terdapat beberapa hal yang dapat diambil dari sistem Torrens ini, yaitu:

1. Mengganti kepastian dari ketidakpastian;
2. Waktu penyelesaian relatif lebih cepat;
3. Proses menjadi lebih singkat dan tidak bertele-tele.

Negara kita Indonesia dari 2 (dua) sistem pendaftaran tanah ini, negara Indonesia menggunakan teori sistem pendaftaran hak ("registration of title") bukan sistem pendaftaran akta (registration of deeds). Hal ini dapat diketahui dengan adanya suatu daftar- isian / register yang disebut buku tanah. Dimana akta pemberian hak berfungsi sebagai sumber data yuridis untuk mendaftar hak yang diberikan dalam buku tanah. Termasuk juga akta mengenai perbuatan hukum baik berupa penciptaan, peralihan / pemindahan maupun pembebanan hak atas tanah.

Sehingga, apabila terjadi perubahan, tidak dibuatkan buku tanah baru melainkan dilakukan pencatatan pada ruang mutasi yang disediakan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dan sebelum dilakukan pendaftaran haknya, PPT melakukan pengujian kebenaran terhadap data yang dimuat dalam akta yang bersangkutan. Buku tanah di dalamnya memuat mengenai data yuridis dan data fisik yang telah dihimpun yang kemudian disajikan dengan diterbitkannya sertipikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar.

Sistem Publikasi Pendaftaran Tanah

Penyelenggaraan pendaftaran / legal cadastre memberikan suatu surat tanda bukti hak. Dengan demikian pemegang hak atas tanah dengan mudah dapat membuktikan penguasaan terhadap tanah tersebut. Adanya "asas terbuka" yang dianut dalam pendaftaran tanah, memungkinkan calon pembeli maupun kreditur untuk melihat maupun memperoleh keterangan yang diperlukan sebelum melakukan suatu perbuatan hukum. Keterangan ini dapat diperoleh dari PPT maupun dari subyek pemegang hak atas tanah tersebut.

Secara garis besar, sistem publikasi dalam pendaftaran tanah dikenal 2 (dua) sistem, sistem publikasi positif dan sistem publikasi yang negative. Perbedaan mendasar dari kedua sistem tersebut adalah, bahwa sistem publikasi yang positif selalu menggunakan sistem pendaftaran hak. Bahwa pencatatan nama seseorang dalam suatu register / buku tanah, menjadikan seseorang tersebut sebagai pemegang hak atas tanah (title by registration / the registration is everything). Orang yang namanya terdaftar sebagai pemegang hak dalam suatu register, memperolah apa yang disebut dengan indefeasible title (hak yang tidak dapat diganggu gugat). Kebenaran data yang terdapat dalam register tersebut bersifat mutlak. Adapun sistem publikasi yang
negatif, menggunakan sistem pendaftaran akta, bahwa yang dijadikan pegangan bukan pendaftaran / pencatatan nama seseorang ke dalam suatu register, namun sahnya perbuatan hukum yang dilakukan yang menentukan berpindahnya hak dari penjual kepada si pembeli.

Pendaftaran yang dilakukan oleh seseorang tidak secara otomatis menjadikan orang yang memperoleh tanah dari pihak yang tidak berhak, menjadi pemegang hak baru. Di dalam sistem ini berlaku asas nemo plus juris, yaitu bahwa seseorang tidak dapat menyerahkan atau memindahkan hak melebihi apa yang dia punyai sendiri.

Sedangkan dalam sistem pendaftaran tanah yang ada di Indonesia, sebagaimana berdasar pada UUPA, PP No. 10 tahun 1961 maupun PP No. 24 tahun 1997, sistem publikasi kita adalah sistem publikasi negatif yang mengandung unsure positif. Yaitu, sistemnya bukan negatif murni, karena pendaftaran tanah menghasilkan surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat. Hal ini mengandung arti, bahwa pemerintah sebagai penyelenggara pendaftaran tanah harus berusaha, agar sejauh mungkin dapat mensajikan data yang benar dalam buku tanah maupun dalam peta pendaftaran. Sehingga selama tidak dapat dibuktikan yang sebaliknya, data yang disajikan dalam buku tanah dan peta pendaftaran tanah harus diterima sebagai data yang benar. Dengan kata lain, keterangan-keterangan yang tercantum dalam data tersebut mempunyai kekuatan hukum dan harus diterima sebagai keterangan yang benar selama dan sepanjang tidak ada alat pembuktian yang membuktikan sebaliknya (Arie S. Hutagalung, 2000).

Selain itu sistem publikasi dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia disebut sebagai sistem negatif yang mempunyai unsur positif ini diketahui dengan adanya ketentuan dalam pasal 19 UUPA. Di dalam pasal itu menyatakan bahwa pendaftaran meliputi "pemberian suratsurat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat". Dalam pasal 23, 32, dan 38 UUPA pun juga dinyatakan bahwa "pendaftaran merupakan alat pembuktian yang kuat". Pernyataan yang demikian tidak akan terdapat dalam peraturan pendaftaran tanah dengan sistem publikasi yang negatif murni.

Dalam sistem pendaftaran tanah yang positif mencakup ketentuan bahwa apa yang sudah terdaftar itu dijamin kebenaran mengenai data yang didaftarkannya oleh negara. Sistem ini menjamin orang yang mendaftar sebagai pemegang hak atas tanah tidak dapat diganggu gugat lagi haknya. Negara sebagai pendaftar menjamin bahwa pendaftaran yang sudah dilakukan adalah benar. Negara menjamin kebenaran data yang disajikan. Sehingga jika si pemegang hak atas tanah kehilangan haknya, maka ia dapat menuntut kembali haknya. Jika pendaftaran terjadi kesalahan karena kesalahan pejabat pendaftaran, ia hanya dapat menuntut pemberian ganti kerugian berupa uang.

HAPUSNYA HAK ATAS TANAH OBYEK HAK TANGGUNGAN


Menurut ketentuan di dalam UUPA, yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, HGU dan HGB, demikian menurut Pasal 25, 33, dan 39 UUPA. Kebutuhan praktik menghendaki agar Hak Pakai dapat dibebani juga dengan Hipotik (pada saat ini Hak Tanggungan), kebutuhan ini ternyata telah diakomodir oleh UUHT. Akan tetapi, hanya Hak Pakai atas tanah Negara saja yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan, sedangkan Hak Pakai atas tanah Hak Milik masih akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat (3) UUHT).

Perjanjian kredit merupakan perjanjian secara khusus baik oleh bank selaku kreditor maupun nasabah selaku debitor, maksudnya perjanjian kreditor merupakan perjanjian obligatoir lazimnya selalu dilengkapi dengan perjanjian kebendaan, kedudukan bank selaku kreditor akan lebih unggul dari kreditor yang lain, karena pelunasan pinjaman yang telah dikucurkan, harus lebih didahulukan dari pembayaran lainnya. Pola semacam ini jelas dapat mengamankan dana pinjaman yang telah disalurkan oleh pihak bank, karena dapat diharapkan kembali utuh beserta bunganya, dan sejalan pula dengan prinsip kehati-hatian yang diacu dunia perbankan sebagai landasan hidupnya . Apabila oleh para pihak kemudian melengkapi dengan mengadakan perjanjian pemberian Hak Tanggungan, berarti pada sisi ini perjanjiannya merupakan jenis perjanjian kebendaan yang melahirkan hak kebendaan. Dari pola ini akhirnya yang bersangkutan, hak tagih yang dimilikinya dan persoonlijk, segera memperoleh dukungan hak kebendaan dari perjanjian jaminan Hak Tanggungan yang telah dibuatnya. Hak tagih kreditor yang telah memperoleh dukungan Hak Tanggungan seperti itu, mengakibatkan kreditor tersebut memiliki posisi kreditor preferen atau memperoleh kedudukan yang diutamakan dalam hal pelunasan piutangnya. Tentunya bank (kreditor) sebagai pelaku ekonomi bertindak hati-hati dan menghindari kedudukan selaku kreditor konkuren, perlu mendayagunakan ketentuan-ketentuan lembaga jaminan, guna mengantisipasi risiko manakala debitor tidak memenuhi prestasinya.
Jaminan adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitor dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan.

Lembaga jaminan ini diberikan untuk kepentingan kreditor guna menjamin dananya melalui suatu perikatan khusus yang bersifat asesoir dari perjanjian pokok (perjanjian kredit atau pembiayaan) oleh debitor dengan kreditor . Apabila didefinisikan yang dimaksud dengan perjanjian khusus, adalah perjanjian yang dibuat kreditor atau bank dengan debitor atau pihak ketiga yang membuat suatu janji dengan mengikatkan benda tertentu atau kesanggupan pihak ketiga dengan tujuan memberikan keamanan dan kepastian hukum pengembalian kredit atau pelaksanaan perjanjian pokok . Penyebutan jaminan yang diikat dengan benda tertentu yang diperjanjikan antara kreditor dan debitor dan atau pihak ketiga, dapat dipahami sebagai konsekuensi logis atas pembagian benda yakni benda bergerak dan tidak bergerak .

Dalam praktik perbankan perjanjian jaminan dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir dari suatu perjanjian pokok yang berupa perjanjian kredit. Menurut UU Perbankan, memberikan rumusan mengenai pengertian kredit. Kredit berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan (Pasal 1 butir 12). Dari pengertian kredit tersebut, maka elemen-elemen kredit adalah :

1. Kredit mempunyai arti khusus yaitu meminjamkan uang;
2. Penyedia/pemberi pinjaman khusus terjadi di dunia perbankan;
3. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam sebagai acuan dari perjanjian kredit;
4. Dalam jangka waktu tertentu;
5. Adanya prestasi dari pihak peminjam untuk mengembalikan utang disertai dengan jumlah bunga atau imbalan. Bagi bank syariah atau bank muamalat pengembalian utang disertai imbalan atau adanya pembagian keuntungan tetapi bukan bunga.

Walaupun dalam BW dan juga dalam UU Perbankan tidak diwajibkan pemberian kredit dengan jaminan, namun dalam praktik pemberian kredit hampir tidak ada bank yang berani memberikan kredit tanpa jaminan. Hal itu dilakukan untuk menjamin keamanan agar terhindari dari risiko kehilangan dana yang telah disalurkan, yang disebabkan oleh debitor tidak membayar utangnya, dengan adanya jaminan dalam usaha perbankan merupakan salah satu upaya agar pinjaman yang diberikan kepada debitor dibayarkan kembali sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dengan mendapatkan hasil berupa laba dari usaha tersebut, diharapkan sebagai pengaman dan pendukung penyaluran kredit bank, terlebih lagi secara yuridis diharapkan adanya kepastian hukum sebagai salah satu sendi utama dari aturan perundangan di samping aspek keadilan dan aspek manfaat, yang memiliki kaitan erat dengan pelaku ekonomi, bahkan sebagai acuan baginya yang seringkali menggunakan jasa hukum dalam pelbagai transaksinya.

Perjanjian jaminan merupakan perjanjian yang bersifat tambahan atau ikutan (accessoir). Artinya keberadaan perjanjian jaminan tidak dapat dilepaskan dari adanya perjanjian pokok atau jaminan yang timbul karena adanya perjanjian pokok. Perjanjian jaminan mengabdi kepada perjanjian pokok dan diadakan untuk kepentingan perjanjian pokok dan memberikan kedudukan kuat dan aman bagi para kreditor. Perjanjian pokok yang mendahului lahirnya perjanjian jaminan umunya berupa perjanjian kredit, perjanjian pinjam-meminjam, atau perjanjian hutang piutang Suatu perjanjian jaminan tidak mungkin ada apabila tidak ada perjanjian pokoknya, karena perjanjian jaminan tidak dapat berdiri sendiri.

Selanjutnya apabila para pihak sepakat bahwa pinjaman itu dijamin dengan hak atas tanah, berarti mereka harus mengadakan perjanjian jaminan untuk membebani hak atas tanah dengan Hak Tanggungan. Penegasan perjanjian pemberian Hak Tanggungan merupakan suatu perjanjian yang bersifat accessoir secara lengkap diatur dalam Penjelasan Umum UUHT butir 8 disebutkan "Oleh karena Hak Tanggungan yang menurut sifatnya merupakan ikutan atau accessoir pada suatu piutang tertentu, yang didasarkan pada suatu perjanjian hutang-piutang atau perjanjian lain, maka kelahiran dan keberadaannya ditentukan oleh adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila piutang tersebut beralih kepada kreditor lain, maka Hak Tanggungan yang menjaminnya karena hukum ikut beralih pula kepada kreditor tersebut. Demikian pula jika Hak Tanggungan hapus karena hukum karena pelunasan atau sebab-sebab lain maka piutang yang dijaminnya menjadi hapus".

Kedudukan perjanjian yang dikonstruksikan sebagai perjanjian accessoir itu menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor. Konsekuensi perjanjian yang bersifat accessoir sebagaimana yang dimaksud dalam Penjelasan Umum Butir 8 UUHT mempunyai akibat-akibat hukum yakni :
(1) adanya tergantung pada perjanjian pokok;
(2) ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok;
(3) hapusnya tergantung pada perjanjian pokok .

Sifat accessoir dari Hak Tanggungan sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Umum Butir 8 UUHT tersebut kemudian dijabarkan dalam Pasal 10 ayat (1) UUHT yang menentukan bahwa "Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut".

Timbulnya Hak Tanggungan hanyalah dimungkinkan, apabila sebelumnya akan diberikannya Hak Tanggungan itu telah diperjanjikan di dalam perjanjian hutang-piutang (perjanjian kredit) yang menjadi dasar pemberian hutang (kredit) yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu. Sedangkan pemberian Hak Tanggungan itu sendiri nantinya dilakukan dengan pembuatan perjanjian tersendiri oleh PPAT yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 10 ayat (2) UUHT). Ketentuan ini tidak ada sebelumnya di dalam hipotik. Pemberian hipotik tidak perlu didahului dengan janji dalam perjanjian hutang-piutangnya bahwa untuk menjamin pelunasan hutang dari debitor itu akan diberikan jaminan berupa hipotik .

Sebagai konsekuensi dari perjanjian jaminan yang dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, maka keberadaan perjanjian jaminan mempunyai akibat-akibat hukum sebagai berikut, pertama, adanya (lahirnya) bergantung pada perjanjian pokok. Kedua, hapusnya juga bergantung pada perjanjian pokok. Ketiga, jika perjanjian pokoknya batal, maka perjanjian ikutannya juga batal. Keempat, apabila perjanjian pokoknya beralih, maka perjanjian ikutannya juga beralih . Perjanjian jaminan, termasuk Hak Tanggungan, akan melahirkan hak-hak istimewa yang nyaris unggul untuk dimiliki kreditor, sehingga posisinya menjadi relatif aman dalam transaksi yang dibuatnya dengan pihak debitor. Hasil seperti itu maka dapat dipahami bahwa perjanjian jaminan dalam bidang perekonomian dapat memberikan rambu pengaman yang memadai bagi pelaku-pelaku bisnis .

Disebutkan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d, salah satu penyebab hapusnya Hak Tanggungan yaitu hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Dalam pelaksanaan ketentuan di bidang pertanahan sering kali hak atas tanah menjadi hapus. Misalnya, Pemerintah tidak memperpanjang HGB yang sudah lewat waktu 30 tahun. Alasan Pemerintah tidak memperpanjang HGB tersebut misalnya karena rencana tata ruang kota telah berubah sehingga peruntukkannya tidak sesuai dengan tata ruang kota yang baru. Dalam hal ini apabila tidak diperpanjang maka HGB tersebut menjadi hapus. Jika tanah HGB itu diletakkan Hak Tanggungan demi kepentingan kreditor, maka Hak Tanggungan tersebut ikut menjadi hapus. Hapusnya Hak Tanggungan sebagai perjanjian kebendaan mempunyai akibat hukum, yaitu berubahnya posisi kreditor, yang semula berkedudukan sebagai kreditor preferen yang mempunyai hak kebendaan kemudian berkedudukan sebagai kreditor konkuren yang mempunyai hak perseorangan. Hak perseorangan merupakan hak yang timbul dari jaminan umum atau jaminan yang lahir dari undang-undang, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1131 BW. Oleh karena itu kreditor mempunyai persamaan hak dan persamaan kedudukan dengan kreditor lainnya terhadap harta seorang debitor sehingga dalam pemenuhan piutangnya tidak dapat didahulukan pembayarannya sekalipun di antara mereka ada yang mempunyai tagihan yang lahir terlebih dulu daripada yang lain. Kongkretnya seorang kreditor tidak berhak menuntut pelunasan lebih dulu dari kreditor yang lain. Jaminan umum seperti itu diberikan kepada setiap kreditor yang berhak atas seluruh harta kekayaan debitor sebagaimana telah dijelaskan diatas.

PENEMPATAN PEJABAT LELANG KELAS II PADA PERUSAHAAN BALAI LELANG


A. Latar Belakang Masalah

Berdasarkan Evaluasi Perekonomian Tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, sebagaimana diberitakan oleh Kedaulatan Rakyat (2005 : 9) yang menyebutkan bahwa :

Perekonomian Indonesia tahun 2005 diperkirakan akan tumbuh pada kisaran 5-6 %, dengan disertai perbaikan komposisi komponen pendorong pertumbuhan ekonomi. Kegiatan investasi diperkirakan akan menjadi faktor pendorong terbesar, sementara konstribusi komsumsi rumah tangga diperkirakan akan sedikit melambat meskipun masih tetap tumbuh tinggi. Dinamisnya permintaan domestik ini juga diperkirakan juga akan mampu direspon oleh dunia usaha dengan meningkatkan utilisasi kapasitas produksinya. Hal ini dindikasikan dari pesatnya kegiatan impor bahan baku dan modal yang telah berlangsung sejak tahun sebelumnya. Investasi baru yang mampu meningkatkan kapasitas produksi diperkirakan juga semakin meningkat sebagaimana yang diindikasikan oleh naiknya pemberian ijin usaha terbatas (IUT) baik oleh PMDN maupun PMA. Sementara itu, sejalan dengan situasi perekonomian dunia yang tidak secerah tahun sebelumnya, sumbangan kegiatan ekspor barang dan jasa diperkirakan juga akan semakin melambat meskipun masih tumbuh cukup tinggi.

Adanya indikasi tersebut diatas sangat memungkinkan prospek pengembangan lelang di masa depan lebih menguntungkan dalam era globalisasi. Hal ini juga yang telah diungkapkan oleh Sutardjo (1997 : 10) bahwa mengenai berbagai hal kondusif prospek pengembangan lelang yaitu antara lain sebagai berikut :

(a) tersedianya berbagai sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan penyelenggaraan lelang, seperti jaringan telekomunikasi yang memadai, jaringan perbankan yang luas dan lain sebagainya, akan mempermudah akses lelang swasta untuk mewujudkan lelang yang professional ;

(b) Di Indonesia, tersedia berbagai barang dan berbagai macam industri barang dan jasa yang dapat memanfaatkan sistem lelang. Bahkan industri perbankan juga sangat memerlukan bantuan lelang, terlebih setelah merebak dan meningkatnya kasus kredit bermasalah ;

(c) Stabilitas politik dan perkembangan laju perekonomian yang mantap juga akan menjamin kelangsungan pertumbuhan lelang di Indonesia. Sifat lelang yang cocok untuk menjual berbagai jenis barang termasuk barang seni yang banyak tersedia di Indonesia, daya beli masyarakat yang semakin meningkat sangat menguntungkan bagi perkembangan lelang ;

(d) Dalam kaitannya dengan perkembangan peraturan perundangandi bidang ekonomi nampaknya cukup kondusif dan memungkinkan terjadinya perluasan kegiatan di bidang lelang, terbukti antara lain dalam Undang-undang Hak Tanggungan memilih cara lelang sukarela sebagai satu prinsip dalam penjualan aset debitornya. Apabila konsep lelang sukarela benar-benar dapat diterapkan dengan baik, bukan tidak mungkin akan meringankan penanganan kredit macet yang jumlahnya makin besar itu ;

(e) Sejalan dengan akan diterapkan perdagangan bebas di Indonesia , baik dalam taraf regional (Asean Free Trade Area) maupun internasional (World Trade Organization), di masa yang akan datang usaha jasa di bidang lelang kiranya akan semakin berkembang. Pada saat itu akan semakin terbuka hak pengusaha asing untuk membuka perwakilannya di negara tujuan investasi diberbagai bidang usaha termasuk bidang lelang. Dengan demikian di dalam era globalisas, akan terbuka perdagangan antar negara yang semakin bebas. Peranan lelang dalam perekonomian Indonesia akan semakin meningkat.

(f) Political will pemerintah untuk mendorong berdirinya balai lelang kiranya tidak diragukan lagi dan dapat menjadi indikasi prospek yang baik dari bisnis ini ;

(g) Keberadaan balai lelang melalui kebijaksanaan deregulasi kiranya merupakan faktor pendukung pengembangan lelang di Indonesia. Dengan penyelenggaraan lelang yang professional , Balai lelang dapat memberikan bukti bahwa sistem lelang benar-benar merupakan cara penjualan barang yang aman, efisien dan transparan. Dengan demikian diharapkan balai lelang juga dapat turut serta mendidik masyarakat untuk mencintai lelang.

Lelang merupakan sarana perekonomian yang keberadaannya telah sejak lama berkembang di masyarakat. Hal ini dapat dilihat dalam literatur Yunani yang menyebutkan bahwa lelang telah lama dikenal dalam sejarah manusia, yaitu sejak 450 tahun sebelum Masehi. Pada saat itu, penjualan lelang untuk hasil-hasil karya seni, tembakau dan kuda. Namun demikian dalam perkembangannya, pelaksanaan lelang tidak lagi terbatas pada jenis barang yang disebut di atas, karena penjualan harta jarahan perang, termasuk para budak di jaman Romawi, juga dilakukan secara lelang (Sutardjo, 1997 : 7).

Perkembangan selanjutnya di mana lelang juga telah lama dikenal oleh beberapa negara maju yaitu Inggris, Belanda, Australia, Swiss dan Amerika Serikat sebagai suatu alternatif penjualan barang yang menguntungkan, efisien dan efektif. Hal ini disebabkan oleh karena penjualan barang melalui lelang dianggap mempunyai beberapa kelebihan sebagaimana yang diungkapkan oleh Sutardjo (1997 : 8) sebagai berikut :
lelang mengandung berbagai hal yang positif, yaitu : 

a) adil, karena lelang bersifat terbuka atau transparan dan obyektif, sehingga dalam pelaksanaannya ada social control ; 

b) aman, karena lelang disaksikan, dipimpin, dan/atau dilaksanakan oleh pejabat lelang selaku pejabat umum yang professional dan independent serta diangkat oleh pemerintah ;
c) cepat, karena lelang selalu didahului dengan pengumuman lelang sehingga peserta/calon pembeli lelang dapat berkumpul pada satu hari yang telah ditentukan dan transaksi pembayaran dapat langsung terjadi dengan yang umumnya dilakukan secara tunai ; 

d) mewujudkan harga yang wajar, karena sistim penawaran lelang yang bersifat kompetitif dan transparan. Dalam hal ini kepentingan pemilik barang/penjual terlindungi karena yang menentukan harga limit/harga minimal adalah pemohon lelang/pemilik barang. Para peminat bersaing mengajukan penawaran barang yang semakin meningkat, sehingga pemenang nya adalah penawar dengan penawaran yang tinggi ; 

e) kepastian hukum, karena atas pelaksanaan lelang tersebut oleh pejabat lelang dibuat akta otentik yang disebut Risalah Lelang. Dengan Risalah Lelang pihak pembeli dapat mempertahankan haknya, dapat digunakan untuk balik nama.

Sebagaimana diketahui selama ini bahwa penjualan suatu barang dapat dilakukan melalui tiga cara penjualan yaitu :
(a) penjualan konvensional yaitu penjualan non lelang (penjualan yang dilakukan pada umumnya di masyarakat),
(b) penjualan secara tender dengan amplop tertutup (sebagaimana yang terjadi dalam pembangunan suatu proyek)b dan
(c) penjualan secara lelang yang dilakukan secara terbuka dan lisan yang mana negara maju dikenal dengan nama auction.

Cara penjualan melalui lelang di Indonesia telah lama dikenal secara resmi sejak tahun 1908 yaitu dengan berlakunya Vendu Reglement (Peraturan Lelang , Stb. 1908 No.189) dan Vendu Instructie (Instruksi Lelang, Stb. 1908 No. 190), namun pada perkembangan belum menunjukkan hasil yang maksimal, padahal menurut Bachtiar Sibarani (2003 : 71) bahwa :

Indonesia adalah salah satu negara yang telah lama meresmikan penggunaan lelang baik pada penjualan barang swasta maupun pada pencairan inventaris negara dan barang sitaan dalam proses peradilan. Akan tetapi pelaksanaan lelang di Indonesia masih sangat rendah dan relatif tidak berkembang. Jika melihat hasil pelaksanaan lelang dibandingkan dengan perkembangan perekonomian nasional pada umumnya, maka hasil lelang relatif statis.
 
Hal tersebut diakibatkan oleh karena pelaksanaan lelang yang berlaku di Indonesia lebih dominan pada penjualan lelang eksekusi atau sebagai sarana untuk melaksanakan suatu keputusan yaitu sebagai contohnya putusan Hakim Pengadilan Negeri dan putusan PUPN, sehingga kesannya seolah-olah lelang hanya merupakan pelaksanaan suatu eksekusi dan pelaksanaan penjualan barang-barang pemerintah saja. Disamping itu, juga seringkali muncul asumsi di dalam masyarakat bahwa penjualan melalui lelang merupakan penjualan yang menakutkan karena barang yang dilelang biasanya berasal dari barang sitaan atau barang yang berasal dari orang yang bermasalah.

Mengingat keterbatasan dari Kantor Lelang Negara dalam mengembangkan lelang di Indonesia dan upaya pemerintah untuk menghilangkan kesan tersebut diatas maka pemerintah melakukan penyempurnaan peraturan lelang yang mana dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia (SK.MENKEU RI) No.304/KMK.01/2002 dan No.305/KMK.01/2002 yang mengatur mengenai Pelaksanaan Lelang dan Pejabat Lelang.

Pengaturan Balai Lelang untuk pertama kalinya diatur dalam SK.MENKEU RI No.47/KMK.01/1996 yang berlaku sejak ditetapkan pada tanggal 25 Januari 1996. Pengaturan mengenai Balai Lelang sebelumnya tidak diatur dalam Vendu Reglement (VR) dan Vendu Instructie (VI). Ketentuan tersebut memberikan “angin segar” bagi pihak swasta untuk membuka dan mengelola usaha di bidang lelang sukarela. Langkah ini diambil karena lelang sebagai sarana perekonomian belum berfungsi secara optimal yang mana kebutuhan masyarakat dalam memanfaatkan lelang secara sukarela sangat potensial untuk dikembangkan. Selanjutnya ketentuan tersebut mengalami penyempurnaan yaitu dengan dikeluarkannya SK. MENKEU RI No. 299/KMK.01/1997. Salah Satu penyempurnaannya berupa dihapuskannya Bea Lelang dengan demikian maka dunia usaha mulai tertarik, sehingga banyak didirikan Balai Lelang swasta dan penyempurnaan terakhir yaitu SK.MENKEU RI No.306/KMK.01/2002. Penyempurnaan dalam ketentuan tersebut berupa perubahan yang mendasar mengenai definisi Balai Lelang, modal dan bentuk usaha Balai Lelang serta permohonan ijin operasional Balai Lelang.

Perkembangan situasi sebelum tahun 1996 yang semakin pesat menyebabkan Kantor Lelang Negara dalam memenuhi permintaan lelang di Indonesia tidak dapat secara optimal sehingga menyebabkan banyak pelaksanaan lelang di Indonesia mengalami penundaan dan hasilnya kurang maksimal. Salah satu keterbatasan yang dimiliki oleh Kantor Lelang Negara pada waktu itu, dimana lelang hanya dapat dilaksanakan melalui Kantor Lelang Negara atau Kantor Lelang Juru Lelang Kelas II. Oleh karenanya permintaan lelang tidak bisa ditampung oleh dua instansi tersebut, mengingat dalam kenyataannya Kantor Lelang Juru Lelang Kelas II hanya ada di Bogor.

Upaya lebih lanjut dari pemerintah untuk meningkatkan pelayanan di bidang lelang yaitu dengan mempertimbangkan perlunya pengembangan profesi Pejabat Lelang maka pemerintah mengeluarkan SK.MENKEU RI No.338/KMK.01/2000 yang mengatur mengenai Pejabat Lelang yang mulai berlaku tanggal 18 Nopember 2000.

Selanjutnya segala ketentuan yang mengatur mengenai hal yang sama dinyatakan tidak berlaku. Menurut Bachtiar Sibarani (2003 : 74) bahwa :

Ada beberapa ketentuan dalam SK.MENKEU RI tersebut di atas yang merupakan aturan lelang yang baru dan berkaitan dengan Balai Lelang yaitu :

1. Pejabat Lelang Kelas II hanya dapat melaksanakan tugas dan wewenangnya selama berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II atau Balai Lelang dalam wilayah kerjanya ;
2. Penempatan Pejabat Lelang Kelas II pada Balai Lelang dilakukan paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya SK.MENKEU RI tersebut ;
3. Sambil menunggu penempatan Pejabat Lelang Kelas II, Balai Lelang dapat meminta bantuan dari KLN.

Perkembangan selanjutnya dalam Pasal 5 SK.MENKEU RI tersebut telah diubah dengan diterbitkannya SK.MENKEU RI No.508/KMK.01/2000 yang mana dalam Pasal 5 ayat 3 menyebutkan bahwa Penempatan Pejabat Lelang Kelas II pada Balai Lelang dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak diberlakukannya SK.MENKEU tersebut. Ketentuan tersebut jelas sangat menghilangkan kemandirian Balai Lelang dalam jangka 5 (lima) tahun ke depan.

Setelah 2 (dua) tahun berlakunya SK.MENKEU tersebut maka dalam rangka reorganisasi Departemen Keuangan dan peningkatan pelayanan di bidang lelang, selanjutnya pemerintah menyempurnakan ketentuan tersebut di atas dengan menerbitkan SK.MENKEU RI No.305/KMK.01/2002 yang mengatur mengenai Pejabat Lelang. Ketentuan di dalam SK.MENKEU tersebut menyatakan bahwa segala ketentuan yang mengatur hal yang sama dalam SK.MENKEU RI No.338/KMK.01/2000 dan diubah dengan SK.MENKEU RI No.508/KMK.01/2000 dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya dalam SK.MENKEU No. 305/KMK.01/2002 terdapat beberapa ketentuan yang merupakan penyempurnaan ketentuan mengenai Pejabat Lelang yaitu :

1. Pejabat lelang dibedakan dalam dua tingkat yaitu : Pejabat lelang kelas I dan kelas II, yang berkedudukan di Kantor Pejabat lelang kelas II atau Balai Lelang ; khusus Pejabat lelang kelas II yang berkedudukan di Balai lelang diangkat untuk masa jabatan 2 (dua) tahun dan dapat diangkat kembali ;
2. Penempatan pejabat lelang kelas II pada balai lelang dilakukan paling lambat dalam waktu 4 (empat) tahun sejak berlakunya SK MENKEU ini. Sambil menunggu penempatan Pejabat lelang kelas II, Balai Lelang dapat meminta bantuan Pejabat Lelang dari KP2LN ;
3. Pejabat lelang kelas II yang berkedudukan di Balai lelang hanya berwenang melaksanakan lelang sukarela, lelang aset milik bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1997.

Ketentuan SK MENKEU tersebut di atas memberi harapan bagi Balai Lelang untuk dapat hidup tanpa ketergantungan pada KLN dalam waktu 4 (empat) tahun yang akan datang. Meskipun demikian, waktu yang dimaksud masih sangat lama dan masih merupakan manifestasi persaingan tidak sehat oleh jajaran KP2LN/DJPLN sebab sesuai dengan ketentuan pasal 1 huruf b SK MENKEU No. 47/KMK.01/1996 sudah sejak tanggal 25 Januari 1996 MENKEU memungkinkan pengangkatan Pejabat Lelang pada Balai Lelang yang bukan berasal dari pegawai BUPLN (Bachtiar Sibarani, 2003 : 74).

Adanya ketentuan tersebut di atas maka menjadi hal yang menarik untuk diteliti mengingat hingga saat ini penempatan Pejabat Lelang Kelas II di Balai Lelang Swasta seharusnya berasal dari kalangan profesi sebagai contohnya Notaris, belum dapat direalisasikan dan masih meminta bantuan dari Pejabat Lelang Kelas I KP2LN.

PENCABUTAN DAN PEMBATALAN WASIAT SERTA HUBUNGANNYA DENGAN KEWENANGAN PERADILAN AGAMA


Dalam syariat Islam, wasiat harus dikeluarkan dalam suatu testamen yang dibuat di hadapan notaris sebagaimana yang dilaksanakan dalam hukum perdata. Oleh karena itu setiap orang yang telah berumur 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat dengan mudah mewasiatkan sebagaian hartanya untuk orang lain atau untuk suatu lembaga, atau kepada ahli warisnya yang lain.pernyataan para ahli waris yang menyetujui ini harus diucapkan secara lisan atau dapat secara tertulis di hadapan dua orang saksi, atau dibuat di hadapan notaris. Dalam surat baik dibuat secara tertulis, maupun secara lisan, harus diterangkan dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja yang ditunjuk untuk menerima harta yang diwasiatkan itu.

Wasiat itu suatu keharusan yang harus dilaksanakan oleh seorang untuk memberi wasiat atau menerima wasiat. Oleh karena itu, orang yang memberi wasiat itu boleh saja menarik kembali wasiat yang dinyatakan, baik itu wasiat yang berkenaan dengan kekuasaan atau wilayah. Pencabutan kembali wasiat itu dapat dilaksanakan dengan lisan atau dengan perbuatan, seperti seseorang mewariskan sebidang tanah untuk orang lain, kemudian orang yang mewasiatkan itu menjual tanah tersebut kepada pihak lain lagi tanpa memberitahukan kepada orang yang telah menerima wasiat itu.

Terhadap yang terakhir ini, Imam Hanafi mengatakan bahwa menjual barang wasiat sepihak seperti itu, sipenerima wasiat berhak menerima harga barang wasiat yang telah dijual itu. Menyangkut hal ini Sayyid Sabiq mengatakan bahwa wasiat itu termasuk dalam perjanjian yang dibolehkan oleh huku, tetapi di dalam perjanjian itu orang yang memberi wasiat boleh saja mengubah wasiatnya atau menarik kembali apa yang dikehendaki dari wasiatnya, atau menarik kembali wasiatnya itu baik secara lisan maupun secara perbuatan.

Dalam Pasal 199 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa
(1) pewasiat dapat mencabut wasiatnya selama calon penerima wasiat belum menyatakan persetujuannya atau menyatakan persetujuannya tetapi kemudian menarik kembali;
(2) pencabutan wasiat dapat dilakukan secara lisan dengan disaksikan dengan dua orang saksi atau tertulis dengan disaksikan oleh dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris;
(3) bila wasiat dilakukan secara tertulis maka pencabutan hanya dapat dilakukan secara tertulis dengan dua orang saksi atau dengan akta notaris;
(4) apabila wasiat dilakukan dengan akta notaris, maka pencabutannya hanya dilakukan dengan akta notaris.

Kemudian dalam Pasal 203 ayat (2) dikemukakan bahwa wasiat yang telah dilaksanakan itu dicabut, maka surat wasiat yang dicabut diserahkan kembali kepada pewasiat. Tampaknya dalam masalah pencabutan wasiat yang dikemukakan oleh Kompilasi Hukum Islam ini lebih banyak menyangkut persoalan administratifnya, bukan masalah substansinya.

Dalam rumusan fiqih tradisional dikemukakan bahwa wasiat dapat saja batal jika orang yang memberi wasiat tidak cakap bertindak hukum atau orang yang memberi wasiat itu tidak berhak atas barang yang diwasiatkan itu, wasiat juga batal jika orang yang menerima wasiat itu lebih dulu meninggal dunia dari pada orang yang memberi wasiat dan wasiat juga bisa batal jika barang yang diwariskan itu musnah sebelum barang tersebut diterima oleh orang yang menerima wasiat. Sehubugan dengan pembatalan wasiat itu, Sayyid Sabiq merumuskan hal-hal yang membatalkan wasiat yaitu jika orang yang memberi wasiat menderita sakit gila hingga meninggal dunia. Jika orang yang menerima wasiat itu meninggal dunia sebelum orang yang memberi wasiat meninggal dunia dan jika benda yang diwasiatkan itu rusak sebelum diterima oleh orang atau badan yang menerima wasiat itu.

Sementara itu Peunoh Daly sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Rofiq memperinci hal-hal yang menjadikan wasiat batal, yaitu:
(1) yang menerima wasiat dengan sengaja membunuh penerima wasiat;
(2) yang menerima wasiat meninggal lebih dahulu dari si pemberi wasiat;
(3) yang menerima wasiat menolak wasiat yang diberikan itu sesudah meninggalnya pemberi wasiat;
(4) barang yang diwasiatkan itu ternyata kemudian bukan milik yang berwasiat;
(5) yang berwasiat menarik kembali wasiatnya;
(6) yang memberi wasiat hilang kecakapannya dalam melakukan perbuatan hukum karena gila terus-menerus sampai meninggal dunia.

dalam pasal 197 ayat (1) kompilasi hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa wasiat bisa dibatalkan apabila calon penerima wasiat berdasarkan keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap dihukum karena:
(1) dipersalahkan karena membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat si pewaris;
(2) dipersalahkan secara memfitnah telah membuat pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan kejahatan yang diancam hukuman 5 tahun penjara;
(3) dipersalahkan dengan kekerasan ancaman mencegah pewasiat membuat atau mengubah wasiat untuk kepentingan calon peneriama wasiat;
(4) dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat-surat wasiat dari orang yang memberi wasiat.

Kemudian dalam pasal 197 ayat (2) dikemukakan bahwa wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat:
(1) tidak mengetahui adanya wasiat sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat;
(2) mengatahui adanya wasit tersebut, tetapi ia menolak menerimanya;
(3) mengetahui adanya wasiat, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat. Wasiat bisa menjadi batal apabila barang yang diwasiatkan musnah.

Selanjutnya dalam pasal 207 Kompilasi Hukum Islam dikemukakan bahwa wasiat tidak diperbolehkan kepada orang yang mlakukan pelayanan perawatan bagi seseorang dan kepada orang yang memberi tuntutan kerohanian sewaktu ia menderita sakit sehingga meninggalnya, kecuali ditentukan dengan tegas dan jelas untuk membalas jasa. Kemudia dalam pasal 208 juga disebutkan bahwa wasiat tidak berlaku bagi notaris dan saksi-saksi pembuat akta wasiat. Pelanggaran pemberi wasiat kepada orang yang tersebut dalam pasal 207-208 kompilasi karena mereka terlibat langsung dalam pelaksanaan wasiat tersebut sehingga dikhawatirkan terjadi penyimpangan dalam pembuatannya.

Berdasarkan pasal 49 Undang-undang No.7 tahun 1989 tentang peradilan agama ditetapkan bahwa perselisihan tentang wasiat menjadi kewenangan peradilan agama untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, permohonan pembatalan wasiat ini diajukan ke peradilan agama oleh pihak yang merasa dirugikan karena adanya wasiat tersebut denga menyebut alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum tersebut dan memberikan putusan sebagaimana mestinya. Dalam praktik peradilan agama banyak ditemukan gugatan yang berhubungan dengan wasiat oleh pencari keadilan dengan alasan wasiat telah melebihi dari sepertiga harta si pewaris, atau si pewaris telah memberi wasiat semua harta kepada anak angkat sehingga ahli waris yang berhak tidak mendapat bagian, atau sebaliknya anak angkat menggugat ahli waris karena wasiat yang diberikan oleh bapak angkatnya saat ini dikuasai oleh ahli waris. Kebanyakan pelaksanaan wasiat itu dilaksanakan sebelum berlakunya undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama.

Dengan berlakunya undang-undang no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama dan kompilasi hukum islam dengan instruksi presiden no 1 tahun 1991 oleh penggugat dianggap telah terbuka peluang untuk mengajukan gugatan tentang pembatalan wasiat ke pengadilan agama.

Sehubungan hal tersebut diatas, para praktisi hukum dilingkungan peradilan agama dituntut untuk lebih hati-hati dalam memeriksa perkara wasiat ini sebab wasiat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang no 7 tahun 1989 tentang peradilan agama belum menjadi kewenangan peradilan agama untuk mengadilinya.

TRANSAKSI JUAL BELI MELALUI INTERNET (ELECTRONIK COMMERCE)



Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 10 Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (RUU ITE), disebutkan bahwa transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer atau media elektronik lainnya. Transaksi jual beli secara elektronik merupakan salah satu perwujudan ketentuan di atas. Pada transaksi jual beli secara elektronik ini, para pihak yang terkait didalamnya, melakukan hubungan hukum yang dituangkan melalui suatu bentuk perjanjian atau kontrak yang juga dilakukan secara elektronik dan sesuai ketentuan Pasal 1 angka 18 RUU Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), disebut sebagai kontrak elektronik yakni perjanjian yang dimuat dalam dokumen elektronik atau media elektronik lainnya.

Pada transaksi jual beli secara elektronik, sama halnya dengan transaksi jual beli biasa yang dilakukan di dunia nyata, dilakukan oleh para pihak yang terkait, walaupun dalam jual beli secara elektronik ini pihak-pihaknya tidak bertemu secara langsung satu sama lain, tetapi berhubungan melalui internet. Dalam transaksi jual beli secara elektronik, pihak-pihak yang terkait antara lain :

1. Penjual atau merchant atau pengusaha yang menawarkan sebuah produk melalui internet sebagai pelaku usaha;

2. Pembeli atau konsumen yaitu setiap orang yang tidak dilarang oleh undang-undang, yang menerima penawaran dari penjual atau pelaku usaha dan berkeinginan untuk melakukan transaksi jual beli produk yang ditawarkan oleh penjual/pelaku usaha/merchant.

3. Bank sebagai pihak penyalur dana dari pembeli atau konsumen kepada penjual atau pelaku usaha/merchant, karena pada transaksi jual beli secara elektronik, penjual dan pembeli tidak berhadapan langsung, sebab mereka berada pada lokasi yang berbeda sehingga pembayaran dapat dilakukan melalui perantara dalam hal ini bank;

4. Provider sebagai penyedia jasa layanan akses internet.

Pada dasarnya pihak-pihak dalam jual beli secara elektronik tersebut diatas, masing-masing memiliki hak dan kewajiban. Penjual/pelaku usaha/merchant merupakan pihak yang menawarkan produk melalui internet, oleh karena itu, seorang penjual wajib memberikan informasi secara benar dan jujur atas produk yang ditawarkannya kepada pembeli atau konsumen. Disamping itu, penjual juga harus menawarkan produk yang diperkenankan oleh undang-undang, maksudnya barang yang ditawarkan tersebut bukan barang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak rusak ataupun mengandung cacat tersebunyi, sehingga barang yang ditawarkan adalah barang yang layak untuk diperjualbelikan. Dengan demikian transaksi jual beli termaksud tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun yang menjadi pembelinya. Di sisi lain, seorang penjual atau pelaku usaha memiliki hak untuk mendapatkan pembayaran dari pembeli/konsumen atas harga barang yang dijualnya, juga berhak untuk mendapatkan perlindungan atas tindakan pembeli/konsumen yang beritikad tidak baik dalam melaksanakan transaksi jual beli secara elektronik ini.

Seorang pembeli/ konsumen memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah dibelinya dari penjual sesuai jenis barang dan harga yang telah disepakati antara penjual dengan pembeli tersebut. Selain itu, pembeli juga wajib mengisi data identitas diri yang sebenar-benarnya dalam formulir penerimaan. Di sisi lain, pembeli/konsumen berhak mendapatkan informasi secara lengkap atas barang yang akan dibelinya dari seoarng penjual, sehingga pembeli tidak dirugikan atas produk yang telah dibelinya itu. Pembeli juga berhak mendapatkan perlindungan hukum atas perbuatan penjual/pelaku usaha yang beritikad tidak baik.

Bank sebagai perantara dalam transaksi jual beli secara elektronik, berfungsi sebagai penyalur dana atas pembayaran suatu produk dari pembeli kepada penjual produk itu, karena mungkin saja pembeli/konsumen yang berkeinginan membeli produk dari penjual melalui internet berada di lokasi yang letaknya saling berjauhan sehingga pembeli termaksud harus menggunakan fasilitas bank untuk melakukan pembayaran atas harga produk yang telah dibelinya dari penjual, misalnya dengan proses pentransferan dari rekening pembeli kepada rekening penjual (acount to acount).

Provider merupakan pihak lain dalam transaksi jual beli secara elektronik, dalam hal ini provider memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan akses 24 jam kepada calon pembeli untuk dapat melakukan transaksi jual beli secara elektronik melalui media internet dengan penjual yang menawarkan produk lewat internet tersebut, dalam hal ini terdapat kerjasama antara penjual/pelaku usaha dengan provider dalam menjalankan usaha melalui internet ini.

Transaksi jual beli secara elektronik merupakan hubungan hukum yang dilakukan dengan memadukan jaringan (network) dari sistem informasi yang berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berdasarkan jaringan dan jasa telekomunikasi. Hubungan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik tidak hanya tejadi antara pengusaha dengan konsumen saja, tetapi juga terjadi antara pihak-pihak dibawah ini :

1. Business to Business, merupakan transaksi yang terjadi antar perusahaan dalam hal ini, baik pembeli maupun penjual adalah sebuah perusahaan dan bukan perorangan. Biasanya transaksi ini dilakukan karena mereka telah saling mengetahui satu sama lain dan transaksi jual beli tersebut dilakukan untuk menjalin kerjasama antara perusahaan itu.

2. Customer to Customer, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu dengan individu yang akan saling menjual barang

3. Customer to Business, merupakan transaksi jual beli yang terjadi antara individu sebagai penjual dengan sebuah perusahaan sebagai pembelinya

4. Customer to Government, merupakan transaksi jual beli yang dilakukan antara individu dengan pemerintah, misalnya dalam pembayaran pajak.

Dengan demikian pihak-pihak yang dapat terlibat dalam suatu transaksi jual beli secara elektronik, tidak hanya antara individu dengan individu saja tetapi dapat individu dengan sebuah perusahaan, perusahaan dengan perusahaan atau bahka antara individu dengan pemerintah, dengan syarat bahwa para pihak termaksud secara perdata telaha memenuhi persyaratan untuk dapat melakukan suatu perbuatan hukum dalam hal ini hubungan hukum jual beli.

Pada dasarnya proses transaksi jual beli secara elektronik tidak jauh berbeda dengan proses transaksi jual beli biasa di dunia nyata. Pelaksanaan transaksi jual beli secara elektronik ini dilakukan dalam beberapa tahap, sebagai berikut :

1. Penawaran, yang dilakukan oleh penjual atau pelaku usaha melalui websitepada internet. Penjual atau pelaku usaha menyediakan storefront yang berisi katalog produk dan pelayanan yang akan diberikan. Masyarakat yang memasuki website pelaku usaha tersebut dapat melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh penjual. Salah satu keuntungan transaksi jual beli melalui di toko on line ini adalah bahwa pembeli dapat berbelanja kapan saja dan dimana saja tanpa dibatasi ruang dan waktu. Penawaran dalam sebuah website biasanya menampilkan barang-barang yang ditawarkan, harga, nilai rating atau poll otomatis tentang barang yang diisi oleh pembeli sebelumnya, spesifikasi barang termaksud dan menu produk lain yang berhubungan. Penawaran melalui internet terjadi apabila pihak lain yang menggunakan media internet memasuki situs milik penjual atau pelaku usaha yang melakukan penawaran, oleh karena itu, apabila seseorang tidak menggunakan media internet dan tmemasuki situs milik pelaku usaha yang menawarkan sebuah produk maka tidak dapat dikatakan ada penawaran. Dengan demikian penawaran melalui media internet hanya dapat terjadi apabila seseorang membuka situs yang menampilkan sebuah tawaran melalui internet tersebut.

2. Penerimaan, dapat dilakukan tergantung penawaran yang terjadi. Apabila penawaran dilakukan melalui e-mail address, maka penerimaan dilakukan melalui e-mail, karena penawaran hanya ditujukan pada sebuah e-mail yang dituju sehingga hanya pemegang e-mail tersebut yang dituju. Penawaran melalui website ditujukan untuk seluruh masyarakat yang membuka website tersebut, karena siapa saja dapat masuk ke dalam website yang berisikan penawaran atas suatu barang yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha. Setiap orang yang berminat untuk membeli baranga yang ditawarkan itu dapat membuat kesepakatan dengan penjual atau pelaku usaha yang menawarkan barang tersebut. Pada transaksi jual beli secara elektronik, khususnya melalui website, biasanya calon pembeli akan memilih barang tertentu yang ditawarkan oleh penjual atau pelaku usaha, dan jika calon pembeli atau konsumen itu tertarik untuk membeli salah satu barang yang ditawarkan, maka barang itu akan disimpan terlebih dahulu sampai calon pembeli/konsumen merasa yakin akan pilihannya, selanjutnya pembeli/konsumen akan memasuki tahap pembayaran.

3. Pembayaran, dapat dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui fasilitas internet, namun tetap bertumpun pada sistem keuangan nasional, yang mengacu pada sistem keuangan lokal. Klasifikasi cara pembayaran dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

a. Transaksi model ATM, sebagai transaksi yang hanya melibatkan institusi finansial dan pemegang account yang akan melakukan pengambilan atau mendeposit uangnya dari account masing-masing;

b. Pembayaran dua puhak tanpa perantara, yang dapat dilakukan langsung antara kedua pihak tanpa perantara dengan menggunakan uang nasionalnya;

c. Pembayaran dengan perantaraan pihak ketiga, umumnya merupakan proses pembayaran yang menyangkut debet, kredit ataupun cek masuk. Metode pembayaran yang dapat digunakan antara lain : sistem pembayaran memalui kartu kredit on line serta sistem pembayaran check in line.

Apabila kedudukan penjual dengan pembeli berbeda, maka pembayaran dapat dilakukan melalui cara account to account atau pengalihan dari rekening pembeli kepada rekening penjual. Berdasarkan kemajuan teknologi, pembayaran dapat dilakukan melaui kartu kredit dengan cara memasukkan nomor kartu kredit pada formulir yang disediakan oleh penjual dalam penawarannya. Pembayaran dalam transaksi jual beli secara elektronik ini sulit untuk dilakukan secara langsung, karena adanya perbedaan lokasi antara penjual dengan pembeli, walaupun dimungkinkan untuk dilakukan.

4. Pengiriman, merupakan suatu proses yang dilakukan setelah pembayaran atas barang yang ditawarkan oleh penjual kepada pembeli, dalam hal ini pembeli berhak atas penerimaan barang termaksud. Pada kenyataannya, barang yang dijadikan objek perjanjian dikirimkan oleh penjual kepada pembeli dengan biaya pengiriman sebagaimana telah diperjanjikan antara penjual dan pembeli.

Berdasarkan proses transaksi jual beli secara elektronik yang telah diuraikan diatas menggambarkan bahwa ternyata jual beli tidak hanya dapat dilakukan secara konvensional, dimana antara penjual dengan pembeli saling betemu secara langsung, namun dapat juga hanya melalui media internet, sehingga orang yang saling berjauhan atau berada pada lokasi yang berbeda tetap dapat melakukan transaksi jual beli tanpa harus bersusah payah untuk saling bertemu secara langsung, sehingga meningkatkan efektifitas dan efisiensi waktu serta biaya baik bagi pihak penjual maupun pembeli.

Perbuatan Melawan Hukum Dalam Transaksi Jual Beli Melalui Internet (E-Commerce)

Pada kenyataannya, dalam suatu peristiwa hukum termasuk transaksi jual beli secara elektronik tidak terlepas dari kemungkinan timbulnya pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu atau kedua pihak, dan pelanggaran hukum tersebut mungkin saja dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa :

"Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut."

Berdasarkan definisi tersebut diatas, suatu perbuatan dapat dianggap perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsurnya yaitu :

1. ada perbuatan melawan hukumnya

2. ada kesalahannya

3. ada kerugiannya, dan

4. ada hubungan timbal balik antara unsur 1, 2 dan 3.

Suatu perbuatan melawan hukum mungkin dapat terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik, asalkan harus dapat dibuktikan unsur-unsurnya tersebut diatas. Apabila unsur-unsur diatas tidak terpenuhi seluruhnya, maka suatu perbuatan tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata.

Perbuatan melawan hukum dianggap terjadi dengan melihat adanya perbuatan dari pelaku yang diperkirakan memang melanggar undang-undang, bertentangan dengan hak orang lain, beretentangan dengan kewajiban hukum pelaku, bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, atau bertentangan dengan kepatutan dalam masyarakat baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, namun demikian suatu perbuatan yang dianggap sebagai perbuatan melawan hukum ini tetap harus dapat dipertanggungjawabkan apakah mengandung unsur kesalahan atau tidak.

Pasal 1365 KUH Perdata tidak membedakan kesalahan dalam bentuk kesengajaan (opzet-dolus) dan kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa), dengan demikian hakim harus dapat menilai dan mempertimbangkan berat ringannya kesalahan yang dilakukan sesorang dalam hubungannnya dengan perbuatan melawan hukum ini, sehingga dapat ditentukan ganti kerugian yang seadil-adilnya.

Seseorang tidak dapat dituntut telah melakukan perbuatan melawan hukum, apabila perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan darurat/noodweer, overmacht, realisasi hak pribadi, karena perintah kepegawaian atau salah sangka yang dapat dimaafkan. Apabila unsur kesalahan dalam suatu perbuatan dapat dibuktikan maka ia bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya tersebut, namun seseorang tidak hanya bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan kesalahannnya sendiri, tetapi juga karena perbuatan yang mengandung kesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya, barang-barang yang berada di bawah pengawasannya serta binatang-binatang peliharaannya, sebagaimana ditentupan dalam Pasal 1366 sampai dengan Pasal 1369 KUH Perdata.

Kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum dapat berupa kerugiaan materiil dan atau kerugian immateriil. Kerugian materiil dapat terdiri kerugian nyata yang diderita dan keuntungan yang diharapkan. Berdasarkan yurisprudensi, ketentuan ganti kerugian karena wanprestasi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1243 sampai Pasal 1248 KUH Perdata diterapkan secara analogis terhadap ganti kerugian yang disebabkan perbuatan melawan hukum. Kerugian immateriil adalah kerugian berupa pengurangan kenyamanan hidup seseorang, misalnya karena penghinaan, cacat badan dan sebagainya, namun seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak selalu harus memberikan ganti kerugian atas kerugian immateril tersebut.

Untuk dapat menuntut ganti kerugian terhadap orang yang melakukan perbuatan melawan hukum, selain harus adanya kesalahan, Pasal 1365 KUH Perdata juga mensyaratkan adanya hubungan sebab akibat/hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum, kesalahan dan kerugian yang ada, dengan demikian kerugian yang dapat dituntut penggantiannya hanyalah kerugian yang memang disebabkan oleh perbuatan melawan hukum tersebut.

Perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata ini dapat pula digunakan sebagai dasar untuk mengajukan ganti kerugian atas perbuatan yang dianggap melawan hukum dalam proses transaksi jual beli secara elektronik, baik dilakukan melaui penyelesaian sengketa secara litigasi atau melalui pengadilan dengan mengajukan gugatan, maupun penyelesaian sengketa secara non litigasi atau di luar pengadilan misalnya dengan cara negosiasi, mediasi, konsiliasi atau arbitrase.

Pada transaksi jual beli secara elektronik terdapat beberapa kendala yang sering muncul anatar lain :

1. Pilihan hukum (choise of law) dalam rangka penyelesaian sengketa yang timbul, walaupun pada perjanjian biasanya telah dicantumkan mengenai pilihan hukum ini, tapi pada kenyataannya masalah baru justru muncul dalam hal penentuan mengenai hukum mana yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi. Meskipun komunikasi antara para pihak yang terkait dalam proses jual beli secara elektronik ini dapat dilakukan melalui media internet, namun tidak seefektif dan seefisien komunikasi yang dilakukan secara langsung bertatap muka. dalam transaksi jual beli secara elektronik.

2. Proses pembuktian adanya suatu perbuatan melawan hukum agak sulit untuk dilakukan, karena masing-masing pihak yang terkait dalam transaksi jual beli melalui internet ini tidak berhadapan secara langsung, baik masih dalam ruang lingkup satu negara bahkan tidak menutup kemungkinan masing-masing pihak berada pada negara yang berbeda, sementara untuk dapat dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Pada kenyataannya penyelesaian sengketa dalam transaksi jual beli secara elektronik dapat dilakukan melalui media internet, tetapi tetap harus mengikuti ketentuan dalam penyelesaian sengketa yang berlaku, dan hal ini menjadi kendala pula sehingga pada akhirnya proses pembuktian adanya perbuatan melawan hukum tersebut sulit untuk dibuktikan.

3. Minimnya pengetahuan dan keahlian pihak-pihak yang berwenang menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam dunia maya, khususnya transaksi jual beli secara elektronik.

4. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dunia maya, termasuk transaksi jual beli secara elektronik. Pada saat ini, di Indonesia telah dibuat Rancangan Undang-Undang Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun sampai saat ini belum diundangkan dan belum diberlakukan, sehingga terhadap permasalahan hukum yang timbul dari berbagai macam kegiatan dalam internet termasuk masalah perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik termaksud hanya dapat diterapkan ketentuan hukum yang ada seperti ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, dengan cara melakukan perbandingan atau penafsiran hukum serta konstruksi hukum.

5. Sulitnya pelaksaan putusan dari suatu proses penyelesaian sengketa atas perbuatan melawan hukum dalam transaksi jual beli secara elektronik ini, karena walaupun sengketa yang ada dapat diselesaikan baik secara litigasi maupun secara non litigasi, namun pelaksanaan putusannya terkadang membutuhkan daya paksa dari pihak berwenang, dalam hal ini lembaga peradilan yang mengadili kasus tersebut, sementara para pihak yang bersengketa mungkin berada dalam wilayah yang berbeda, dengan demikian secara teknis akan menimbulkan kesulitan, karena daya paksa yang dimaksud harus diberikan secara langsung tanpa melalui internet.

Dengan demikian dalam menghadapi kasus perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik ini, dapat diterapkan ketentuan yang ada dan berlaku sesuai dengan hukum yang dipilih untuk digunakan, mengingat transaksi jual beli melalui internet ini tidak ada batas ruang, sehingga dimungkinkan orang Indonesia bermasalah dengan warga negara asing. Pilihan hukum yang dimaksud tersebut di atas juga ditentukan oleh isi perjanjian awal pada saat terjadi transaksi jual beli secara elektronik.

Ketentuan hukum yang dapat diterapkan atas perbuatan melawan hukum yang terjadi dalam transaksi jual beli secara elektronik adalah ketentuan hukum yang termuat dalam KUH Perdata, antara lain Pasal 1365 KUH Perdata. Penerapan ketentuan pasal 1365 termaksud dilakukan dengan cara melakukan penafsiran hukum ekstensif yaitu memperluas arti kata perbuatan melawan hukum itu sendiri, tidak hanya yang terjadi dalam dunia nyata, tetapi juga dimungkinkan perbuatan melawan hukum yang terjadi di dunia maya, dalam hal ini pada transaksi jual beli secara elektronik. Selain itu, dapat pula diterapkan Pasal 1365 KUH Perdata dengan melakukan konstruksi hukum analogi yakni dengan cara membandingkan antara perbuatan melawan hukum yang dilakukan di dunia nyata dengan dunia maya, sehingga pada akhirnya unsur-unsur perbuatan melawan hukum sebagaimana disyaratkan tetap dapat terpenuhi. Walaupun pada prakteknya muncul kesulitan-kesulitan dalam penerapannya, namun tetap diharapkan perbuatan melawan hukum yang terjadi harus tetap mendapat sanksi secara hukum sehingga tidak ada kekosongan hukum.

Disamping itu, berdasarkan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, ditegaskan bahwa hakim harus menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, sehingga tidak ada kasus yang ditolak pengadilan dengan alasan tidak ada atau belum lengkap peraturannya. Dengan demikian diharapkan kasus-kasus yang mengandung adanya perbuatan melawan hukum pada transaksi jual beli secara elektronik, tetap dapat diselesaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku sekarang ini.

ANTISIPASI HAPUSNYA HAK ATAS TANAH

 
UPAYA KREDITOR PEMEGANG HAK TANGGUNGAN UNTUK MENGANTISIPASI HAPUSNYA HAK ATAS TANAH
 
Suatu hak atas tanah suatu benda berhadapan dengan suatu hak terhadap sesorang. Setiap hubungan hukum (rechtsrelatie) menurut sifatnya adalah hubungan antara orang-perorang (personen). Juga suatu hak kebendaan adalah suatu hubungan hukum antara orang-orang yang berhak dengan orang-orang lain. Suatu kenyataan bahwa suatu hak kebendaan yang mempunyai hubungan atas suatu benda, tidaklah menentukan pembedaan antara hak-hak pribadi dan hak kebendaan. Ini adalah kejadian dalam hubungannya untuk pembatasan dari hak-hak kebendaan atas yang lain, yaitu hak-hak absolute yang bukan kebendaan.


1. PRINSIP PUBLISITAS

Di dalam Hak Tanggungan berlaku asas publisitas atau asas keterbukaan. Hal ini ditentukan dalam Pasal 13 UUHT. Menurut Pasal 13 UUHT itu, pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak untuk lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikatnya Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga (lihat Penjelasan Pasal 13 ayat (1) UUHT). Tidak adil bagi pihak ketiga yang terkait dengan pembebanan suatu Hak Tanggungan apabila pihak ketiga tidak dimungkinkan untuk mengetahui tentang pembebanan Hak Tanggungan itu. Hanya dengan cara pencatatan atau pendaftaran yang terbuka bagi umum maka memungkinkan pihak ketiga dapat mengetahui tentang adanya pembebanan Hak Tanggungan atas suatu hak atas tanah.

Demi tercapainya tujuan kepastian hukum, maka dalam UUPA berlaku prinsip pendaftaran semua hak-hak atas tanah. Untuk itu di kantor pertanahan setempat disediakan buku tanah yang mencatat tanah-tanah yang didaftar. Karena pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan yang sangat besar, maka pelaksanaannya dilakukan dengan cara bertahap. Selanjutnya dilakukan tata usaha pendaftaran tanah, sehingga perkembangan dari tanah-tanah yang sudah didaftar akan dipantau terus dalam buku tanah yang bersangkutan. Setiap perubahan yang penting mengenai tanah yang bersangkutan akan dicatat dalam buku tanah, maka dengan melihat buku tanah, diharapkan orang dapat mengetahui riwayat tanah yang bersangkutan. Selanjutnya perlu dikemukakan, bahwa pendaftaran tanah menurut UUPA menganut asas publisitas dan spesialitas.

Salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian menimbang pada pembukaan UUHT, adalah adanya kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai pewujudan dari asas publisitas, walaupun prinsip yang sama juga sudah diterapkan dalam Hipotik.

Oleh karena itu didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan merupakan syarat mutlak lahirnya Hak Tanggungan tersebut dan mengikat Hak Tanggungan terhadap pihak ketiga. Pada tahap pemberian Hak Tanggungan oleh pemberi Hak Tanggungan kepada kreditor, pada saat itu Hak Tanggungan yang bersangkutan belumlah lahir, Hak Tanggungan baru lahir pada saat dibukukannya dalam daftar umum di Kantor Pertanahan. Saat tersebut bukan saja menentukan kedudukannya yang diutamakan terhadap kreditor-kreditor lain yang juga pemegang Hak Tanggungan, dengan tanah yang sama sebagai jaminannya. Oleh karena itu kepastian mengenai saat didaftarnya Hak Tanggungan tersebut adalah sangat penting bagi kreditor. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan pemberian kepastian hukum, sebagaimana yang disebutkan dalam bagian menimbang dalam pembukaan UUHT, yakni adanya kewajiban pendaftaran Hak Tanggungan sebagai perwujudan dari asas publisitas. Walaupun prinsip tersebut juga diterapkan pada Hipotik, namun ada perbedaannya dengan Hak Tanggungan. Perbedaannya dalam UUHT ditetapkan batas waktu pelaksanaan pendaftaran tersebut, yakni paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penandatanganan APHT.

Kewajiban pendaftaran pada PPAT, yang apabila dilanggar menimbulkan akibat hukum administratif sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 23 UUHT. Pendaftaran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13 UUHT menegaskan pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkannya pemberian Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan merupakan syarat mutlak untuk adanya Hak Tanggungan yang memberi kedudukan yang diutamakan bagi kreditor tadi, maka ditentukan pula bahwa APHT pemegang Hak Tanggungan sekaligus mengikatnya Hak Tanggungan tersebut terhadap pihak ketiga.

Untuk memperoleh kepastian mengenai kedudukan yang diutamakan bagi kreditor tadi, maka ditentukan pula bahwa APHT yang bersangkutan beserta warkah lain yang diperlukan bagi pendaftarannya, wajib dikirimkan oleh PPAT kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penendatanganan APHTnya. Dengan pengiriman oleh PPAT, berarti akta dan warkah lain yang diperlukan itu disampaikan ke Kantor Pertanahan melalui petugasnya atau dikirim melalui pos tercatat. Untuk itu PPAT wajib menggunakan cara yang paling baik dan aman dengan memperhatikan kondisi daerah dan fasilitas yang ada, serta selalu berpedoman pada tujuan untuk didaftarkannya Hak Tanggungan itu secepat mungkin. PPAT wajib melaksanakan kewajiban ini karena jabatannya.

Sanksi atas pelanggarannya akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur jabatan PPAT. Ketentuan tersebut menuntut kesigapan setiap PPAT agar jangan lalai memenuhi ketentuan tersebut . Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud diatas, dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.

Agar pembuatan buku tanah Hak Tanggungan tersebut tidak berlarut-larut sehingga dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan dan mengurangi jaminan kepastian hukum, maka UUHT menetapkan satu tanggal yang pasti sebagai tanggal buku tanah itu, yaitu tanggal hari ketujuh di hitung dari hari dipenuhinya persyaratan berupa surat-surat untuk pendaftarannya secara lengkap dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Dengan demikian Kantor Pertanahan berkewajiban untuk memeriksa dan memberitahukan mengenai kekurangan surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran Hak Tanggungan tersebut dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah penerimaan.

Pada Pasal 13 ayat (4) UUHT dengan jelas mengatakan, bahwa Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, dan syarat kewenangan mengambil tindakan pemilikan atas persil jaminan harus ada pada saat pendaftaran. Namun sekali lagi, berdasarkan prinsip UUHT, yang mau memberikan perlindungan hukum kepada para pihak kreditor pemegang Hak Tanggungan demi memberikan kedudukan yang kuat dan kepastian hukum akan hak-hak para pihak, maka kiranya dapat menerima penafsiran luas tindakan "membebankan" seperti tersebut diatas.

Menurut A.P. Parlindungan, barangkali yang dapat menunda pendaftaran Hak Tanggungan tersebut kalau ada sanggahan dari pihak ketiga, ataupun dijatuhkan sita sebelum pendaftaran ataupun ditarik kembali oleh kreditor. Dengan sendirinya Hak Tanggungan itu lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan dibuat oleh Kantor Pertanahan. Sesuai dengan ketentuan itu, jangkauan asas droit de suite, hak privilise (a peculiar right) dan hak preferen terhadap pihak ketiga diperoleh pada saat didaftarkannya APHT itu dalam buku tanah di Kantor Pertanahan, bukan pada saat pembuatan APHT oleh PPAT.

Dalam hal ada lebih satu Hak Tanggungan yang didaftarkan pada hari yang sama, maka tingkat Hak Tanggungan ditentukan oleh tanggal pemberian Hak Tanggungan, yang mempunyai tanggal lebih muda didahulukan pendaftarannya daripada yang lebih tua tanggalnya (Pasal 5 ayat (3) UUHT). Dengan demikian pemberian tingkatan-tingkatan Hak Tanggungan yang dikaitkan dengan saat pendaftarannya, merupakan konsekuensi logis daripada sifat hak kebendaan, yang mengatakan, bahwa hak kebendaan yang lahir lebih dahulu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada yang lahir kemudian.


2. JANJI-JANJI DALAM PASAL 11 UUHT

Dalam APHT dapat dicantumkan janji-janji yang sifatnya fakultatif dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya APHT. Dengan dimuatnya janji-janji itu dalam APHT yang kemudian didaftar pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji tersebut juga mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Janji-janji yang dimaksud disebutkan dalam Pasal 11 ayat (2) UUHT, yaitu :

1. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan obyek Hak Tanggungan dan/atau menentukan atau mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

2. janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau susunan obyek Hak Tanggungan kecuali dengan persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

3. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola obyek Hak Tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan apabila debitor sungguh-sungguh cidera janji;
4. janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau hak untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang;

5. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji;

6. janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan pertama bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan;

7. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;

8. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila obyek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum;
 
9. janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan;

10. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan obyek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan; dan

11. janji bahwa sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan tetap berada ditangan kreditor sampai seluruh kewajiban debitor dipenuhi sebagaimana mestinya.


3. LEMBAGA KUASA SEBAGAI UPAYA MENGANTISIPASI HAPUSNYA HAK ATAS TANAH

Dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d yang memberikan kewenangan kepada pemegang hak Tanggungan untuk menyelamatkan obyek Hak Tanggungan atas biaya pemberi Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi obyek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang.

Misalnya mengurus perpanjangan hak atas tanah (obyek Hak Tanggungan) dan mencegah hapusnya Hak Tanggungan, karena tidak diperpanjangnya hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan. Misalnya HGB yang dipertanggungkan, tentunya hak atas tanah ini perlu diperpanjang untuk mencegah tanah yang bersangkutan menjadi Tanah Negara.

Dengan adanya klausula seperti dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT tersebut yang telah dicetak dalam blangko APHT, maka sekarang dengan sendirinya, selama tidak diperjanjikan lain, kuasa untuk memohon perpanjangan dan pembaharuan atas objek Hak Tanggungan sudah tercakup dalam APHT. Memperpanjang atau memperbaharui hak atas tanah memerlukan biaya yang tidak sedikit. Meskipun dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT tidak disebutkan siapa yang menanggung biaya yang diperlukan, tetapi sepatutnya biaya perpanjangan dan pembaharuan ditanggung oleh pemberi Hak Tanggungan, karena kewajiban pembayaran perpanjangan hak atas tanah pada asasnya menjadi tanggungan pemilik tanah yang bersangkutan.

Hal lain yang perlu diperhatikan, misalnya perlunya dilakukan pekerjaan untuk menghindarkan berkurangnya nilai obyek yang dipertanggungkan. Jika nilai objek Hak Tanggungan berkurang, dikhawatirkan kelak bisa menjadi tidak akan mencukupi untuk melunasi hutang debitor bersangkutan.

Lembaga kuasa juga diperlukan sebagai penangkal risiko yang dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan selaku kreditor dalam hal terjadinya perubahan HGB atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Untuk Rumah Tinggal. Berdasarkan Pasal 18 ayat (1) huruf d UUHT, Hak Tanggungan akan hapus apabila hak atas tanah obyek Hak Tanggungan itu hapus.

Dengan demikian Hak Tanggungan yang membebani HGB atau Hak Pakai tersebut akan gugur/hapus dengan hapusnya HGB atau Hak Pakai tersebut yang telah menjadi Hak Milik. Oleh karena itu tentunya kreditor pemegang Hak Tanggungan akan berkeberatan untuk memberikan persetujuan untuk diubahnya HGB atau Hak Pakai yang menjadi obyek Hak Tanggungan tersebut menjadi Hak Milik.

Dengan demikian pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik HGB atau Hak Pakai tersebut tidak dapat mendaftarkan perubahan HGB atau Hak Pakainya menjadi Hak Milik apabila tidak melunasi terlebih dahulu kreditnya atau tidak dapat menyediakan jaminan dalam bentuk lain.

Sehubungan dengan itu perlu diberikan jalan keluar kepada para pemegang Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut, terutama yang berasal dari golongan ekonomi lemah, agar mereka dapat mendaftarkan Hak Milik atas tanahnya tanpa terlebih dahulu harus melunasi kreditnya atau menyediakan jaminan lain, dan di lain pihak tetap memberi kepastian kepada pemegang Hak Tanggungan akan kelangsungan jaminan pelunasan kreditnya.

Jalan keluar itu adalah dengan membuat kuasa atau yang disebut Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut SKMHT) atas Hak Milik yang diperoleh yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1997, Nomor 2 Tahun 1998 atau Nomor 6 Tahun 1998 sebelum hak tersebut didaftar, yang kemudian dapat digunakan sebagai dasar pembuatan APHT setelah Hak Milik tersebut didaftar apabila pemberi Hak Tanggungan tidak dapat hadir, ada beberapa ketentuan yang harus diperhatikan sebagai berikut :

1. Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan;

2. Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan tersebut dihapus;

3. Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani HGB atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan;
4. Untuk melindungi kepentingan kreditor/bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas HGB atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan SKMHT dengan obyek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari HGB atau Hak Pakai tersebut;

5. Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat APHT atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT.

Berdasarkan ketentuan tersebut, saat hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftarkan, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan obyek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Hak Tanggungan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya.

Oleh karena itu perubahan HGB atau Hak Pakai atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik selain memberi kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan juga menguntungkan pemegang Hak Tanggungan. Dengan tidak adanya batas waktu berlakunya Hak Milik pelunasan kredit akan lebih terjamin. Disamping itu perubahan hak tersebut memberi peluang kepada pemberi kredit untuk menyesuaikan jangka waktu pelunasan kredit dengan kemampuan debitornya tanpa khawatir Hak Tanggungannya hapus karena jangka waktu hak atas tanah yang dibebaninya terbatas.


4. ASURANSI OBYEK HAK TANGGUNGAN

Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT menentukan, bahwa pemegang Hak Tanggungan dapat memperjanjikan "Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya, jika obyek Hak Tanggungan diasuransikan".

Ketentuan tersebut merupakan salah satu wujud perlindungan kreditor pemegang Hak Tanggungan untuk menjaga agar nilai Hak Tanggungan sedapat mungkin untuk tetap bernilai tinggi. Salah satu kemungkinan sebab turunnya nilai objek Hak Tanggungan adalah kalau terjadi musibah kebakaran atau bencana alam lain atas objek Hak Tanggungan, yang berupa benda-benda yang bersatu dengan tanah di atas mana benda-benda itu berada.

Biasanya bahaya yang dikhawatirkan adalah bahaya kebakaran dan gempa bumi. Janji dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT lebih luwes dan luas, karena tidak ditentukan dasar kerugian dan hanya dikatakan tentang "uang asuransi". Dalam penerapannya dalam Pasal 2 blangko APHT, sekalipun disebut tentang "kerugian karena kebakaran", tetapi di belakangnya langsung ditambahkan kata-kata "atau malapetaka lain". Malapetaka lain disini adalah keadaan yang tidak diperkirakan sebelumnya salah satu satunya terjadi bencana alam.

Penerapan Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT dalam Pasal 2 blangko APHT, sama sekali tidak menyinggung masalah ganti rugi sebagai pengganti Hak Tanggungan. Dalam klausula Pasal 2 APHT kreditor memperjanjikan kewenangan untuk menerima uang ganti rugi asuransi atas objek Hak Tanggungan, namun sebenarnya janji seperti itu saja tidak cukup, karena pada prinsipnya uang ganti rugi diberikan kepada pemilik objek Hak Tanggungan.

Tidak ada larangan bagi pihak perusahaan untuk membayarkan uang ganti rugi kepada pemilik objek asuransi. Itulah sebabnya dalam prakteknya kreditor melengkapi diri dengan janji-janji kewenangan yang lebih dari itu. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) huruf i UUHT dan penerapannya dalam Pasal 2 blangko APHT berangkat dari pemikiran, bahwa pemberi Hak Tanggungan telah mengasuransikan objek Hak Tanggungan atau antara kreditor dan pemberi Hak Tanggungan, pada perusahaan asuransi yang disepakati/ditunjuk oleh kreditor. Dalam UUHT tidak ditentukan, bahwa janji asuransi harus dimuat dalam APHT, sekalipun dalam praktiknya janji seperti itu sudah termuat dalam blangko APHT dan karenanya dapat dikatakan, bahwa dalam praktiknya janji asuransi selalu diperjanjikan di dalam APHT dan didaftarkan. Kalau pemberi jaminan ternyata tidak pernah melaksanakan penutupan asuransi, maka semua klausula itu tidak ada artinya.

Sekalipun di dalam APHT ada ketentuan yang mewajibkan pemberi Hak Tanggungan mengasuransikan objek Hak Tanggungan, tetapi belum berarti, bahwa pemberi Hak Tanggungan benar-benar melaksanakannya. Oleh karena itu biasanya dalam perjanjian kredit diperjanjikan, bahwa debitor/pemberi Hak Tanggungan akan mengasuransikan objek Hak Tanggungan dan untuk itu untuk mengantisipasi kemungkinan kelalaian debitor/pemberi Hak Tanggungan, sekaligus memperjanjikan kuasa agar kreditor dapat atas nama pemberi jaminan menutup perjanjian asuransi, untuk suatu jumlah dan pada perusahaan asuransi yang dipandang baik oleh kreditor.

Kuasa tersebut akan sangat bermanfaat bagi kreditor untuk menuntut dan menerima uang ganti rugi, tidak lupa disebutkan dengan rinci di sana. Itupun dalam pasal berikut selalu disertai dengan ketentuan, bahwa semua kuasa yang disebutkan dalam akta yang bersangkutan tidak bisa ditarik kembali dan tidak akan berakhir oleh sebab-sebab yang disebutkan dalam Pasal 1813 BW, kecuali hutang debitor telah dilunasi .

Selanjutnya tidak lupa juga diperjanjikan, bahwa uang premi asuransi menjadi tanggungan debitor/pemberi jaminan, dengan disertai janji, bahwa jika terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian oleh pihak asuransi, maka uang ganti rugi tersebut akan diterima oleh kreditor, untuk diperhitungkan sebagai cicilan atau pelunasan hutang debitor untuk mana diberikan jaminan dengan benda yang mengalami kerugian itu.

Sebagai yang tampak, pihak kreditor tidak hanya perlu memperjanjikan kewajiban asuransi kepada debitor/pemberi jaminan, tetapi juga menetapkan sampai berapa besar benda itu harus dipertanggungkan. Tidak jarang terjadi, bahwa kreditor melengkapinya dengan janji, bahwa kreditor diberi kuasa oleh debitor untuk, apabila dipandang perlu olehnya, atas nama debitor mempertanggungkannya pada perusahaan asuransi tertentu yang dipandang baik, dan untuk sejumlah uang yang dipandang cukup olehnya. Tidak cukup, bahwa debitor/pemberi jaminan telah mengasuransikan objek jaminan; kalau jumlahnya tidak cukup untuk mengcover kreditnya dan kalau pemberi jaminan telah memilih perusahaan yang asal murah, tanpa memperhitungkan bonafiditasnya, maka kepentingan kreditor belum cukup terlindungi .


5. JAMINAN TAMBAHAN

Di dalam praktik perbankan, dalam hal menghadapi kemungkinan hapusnya obyek jaminan dalam hal ini hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan yang jangka waktunya akan habis sebelum jangka waktu kredit yang diberikan, maka bank akan meminta jaminan tambahan selain hak atas tanah yang akan dibebani Hak Tanggungan.

Demikian pula dalam rangka menunjang perkembangan pasar modal, diperlukan peran serta perbankan untuk membiayai kegiatan pasar modal, dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian. Sehubungan dengan hal itu, bank diperkenankan meminta agunan tambahan berupa saham untuk memperoleh keyakinan terdapatnya jaminan pemberian kredit. Hal ini dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 26/69/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU masing-masing tanggal 7 September 1993 perihal Saham sebagai Agunan Tambahan Kredit, yang menetapkan ketentuan saham sebagai agunan tambahan kredit. Sebelumnya hal yang sama diatur dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 24/1/UKU masing-masing tanggal 12 Agustus 1991 tentang Kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan Kredit dengan Agunan Saham.

Ditegaskan bahwa bank diperkenankan untuk memberikan kredit dalam agunan tambahan berupa saham perusahaan yang dibiayai dalam rangka ekspansi atau akuisisi. Berdasarkan ketentuan tersebut, bank juga diperbolehkan memberikan kredit dengan agunan tambahan berupa saham, baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar di bursa efek. Untuk pemberian kredit dalam rangka ekspansi atau akuisisi, bank diperbolehkan menerima agunan tambahan berupa saham. Jika saham yang diagunkan termasuk saham yang terdaftar di bursa, maka saham yang bersangkutan tidak termasuk saham yang tidak mengalami transaksi dalam waktu tiga bulan berturut-turut sebelum saat akad kredit ditandatangani dan saham dengan harga pasar dibawah nilai nominal pada saat akad kredit ditandatangani.

Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kredit maksimum sebesar 50% dari harga pasar atau kurs saham yang bersangkutan dibursa efek pada saat akad kredit ditandatangani. Sebaliknya jika saham yang diagunkan berupa saham yang tidak terdaftar di bursa efek, maka saham tersebut dibatasi hanya pada saham yang diterbitkan oleh perusahaan penerima kredit yang bersangkutan. Nilai saham yang digunakan sebagai agunan tambahan kreditnya adalah maksimum sebesar nilai nominal saham yang tercantum dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga perusahaan yang bersangkutan. Dari uraian diatas, diketahui bahwa untuk mengamankan kredit yang diberikan, kreditor dapat meminta jaminan tambahan, mengingat obyek Hak Tanggungan yang berupa HGU, HGB, dan Hak Pakai atas Tanah Negara merupakan hak atas tanah yang jangka waktunya terbatas sehingga ada kemungkinan hapusnya Hak Tanggungan bersangkutan.