Jumat, 19 Maret 2010

HUKUM PEMBUKTIAN



Pembuktian berarti :

1. Mnunjukkan peristiwa2 yg dapat diterima oleh panca indra.
2. Memberi keterangan ttg peristiwa2 yg tlh diterima tersebut.
3. Menggunakan pikiran logis.


Sistem / Teori Pembuktian

1. Pembuktian berdasar keyakinan hakim belaka (conviction intime)
Hakim hanya cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan berdasarkan atas
keyakinannya semata dengan tanpa terikat pada suatu peraturan hukum.

2. Pembuktian Menurut UU yang Positif (Positief wettelijk bewijs theorie / formele
bewijstheorie)

Hakim terikat oleh alat2 bukti yg telah ditentukan dlm UU, hakim tdk dapat
mengikuti keyakinannya. Meskipun hakim belum yakin tetapi seseorang telah
terbukti sesuai yang tertera dlm UU, maka ia wajib menjatuhkan pidana. Begitu
sebaliknya.

3. Pembuktian Menurut UU yang Negatif (Negatief Wettelijk bewijs theorie)
Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila sedikitnya tlh terdapat alat bukti yg
tlh ditentukan UU dan ditambah keyakinan hakim yg diperoleh dr adanya alat2
bukti tsb.

Wettelijk berarti : sistem ini berdasar UU.
Negatief berarti : meskipun dlm suatu perkara tlh trdpt cukup bukti sesui UU,
hakim belum boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperolh keyakinan
tentang kesalahan terdakwa.
KUHAP menganut sistem ini (baca : Pasal 184 KUHAP)

4. Pembuktian Berdasar Keyakinan Hakim atas Alasan Logis (conviction raisonne/
Vrije bewijstheorie)

Hakim tdk terikat pd alat2 bukti sebagaimana yg termaktub dlm UU, melainkan
hakim scr bebas memakai alat2 bukti lain asalkan smua bdasarkan alasan2 logis.

Alat-Alat Bukti (Bewijsmiddelen)
Ialah alat yang dipakai untuk membantu hakim dalam menggambarkan kembali
mengenai kepastian pernah terjadinya peristiwa pidana.
Kekuatan Pembuktian (bewijskracht)
Ialah kekuatan / bobot pembuktian dari masing2 alat bukti  thd peristiwa yg
didakwakan.

Dasar pembuktian (bewijsgrond)
Ialah isi dari alat bukti. Keterangan saksi bhw ia melihat sesuatu disebt alat bukti,
sedangkan isi dari apa yg didengar, dilihat atau dialaminya disertai dg alasan2
mengapa ia melihat, mendengar dan mengalami disebut sebagai dasar pembuktian.

Beban Pembuktian (Bewijslast)
Menyangkut tentang siapa yang diwajibkan utk membuktikan. KUHAP menganut
asas Pre sumption of innocence), maka beban pembuktian diserahkan pada pihak yg
mendakwa (JPU)  (lihat Pasal 66 KUHAP).

Alat2 Bukti (Bewijsmiddelen)
Menurut Pasal 184 (1) KUHAP
a. Keterangan Saksi.
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa


Keterangan Saksi
Harus memuat 2 syarat :
a. Syarat formil

Keterangan saksi dianggap syah apabila diberikan dibawah sumpah (Psl 160 (3)
KUHAP)

b. Syarat Materiil
Isi kesaksian tersebut hrs mengenai hal2 yg ia dengar sendiri, ia lihat sendiri,
dan ia alami sendiri dg menyebut alasan dr pengetahuan itu (Pasal 1 butir 27
KUHAP).


Prinsip dlm alat bukti saksi :
a. Saksi harus disumpah (baca Psl 161 (2) tapi baca juga Psl 185 (7))
b. testimonium de auditu tdk dapt digunakan sbg kesaksian (penjelasan Psl 185 (1))
c. Unus testis nullus testis / een getuige is geen getuige{kecuali pemeriksaan
perkara cepat (baca juga Psl 185 ayat (3) dan (4)}


Ada orang2 tertentu yg dikecualikan dr kewajiban menjadi saksi dan memiliki hak
tolak (verschoningsrecht):
1. Orng2 yg disebut dlm Pasal 168 KUHAP
2. Org yg krn pekerjaan, harkat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia
(Psl 170 KUHAP)

Orang2 yang tidak perlu disumpah tetapi dapat mjd saksi (kesaksiannya tdk mengikat
hakim) bdsr Pasal 171 KUHAP:
1. anak yg berumur dibawah 15 tahun dan belum pernah kawin.
2. org sakit ingatan /sakit jiwa.


Keterangan Ahli

1. ahli (deskundige)
Org ini hanya mengemukaan pendapatnya ttg suatu persoalan yg dimintai
pendapatnya tanpa melakukan pemeriksaan.

2. Saksi Ahli (Getuige Deskundige)
Org ini menyaksikan barang bukti atau saksi diam (silent witness), ia melakukan
pemeriksaan dan mengemukakan pendaptnya.

3. Orang Ahli (Zaakkundige)
Org ini menerangkan ttg sesuatu persoalan yg sebenarnya juga dpt dipelajari
sendiri oleh hakim, namun akan memakan banyak waktu.

Yang dimaksud dlm KUHAP adl apabila ahli tsb menyatakannya di sidang
pengadilan dg bersumpah atau berjanji atau ia menyatakannya pd waktu diperiksa
oleh penyidik atau PU yg dituangkan dlm bentuk laporan dan dibuat dg mengingat
sumpah di waktu menerima jabatan / pekerjaan.

Surat
Perlu dibedakan antara surat sebagai alat bukti dan surat sebagai barang bukti. Surat
sebagi barang bukti adl surat yg digunakan atau sbg hasil dr kejahatan (corpus delicti).
Sedangkan surat sebagai alat bukti scr rinci tlh diatur dlm Psl 187 KUHAP

Petunjuk
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan yg karena persesuaiannya, baik
antara yg satu dg yg lain maupun dg tindak pidana itu sendiri, menandakan bhw tlh
trjadi tindak pidana dan siapa pelakunya (Psl 188 (1)).

Petunjuk dapat diperoleh dari : (Pasal 188 : 2)
a. Keterangan saksi
b. Surat.
c. Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa (erkentenis)
Ket terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di Sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri (Psl 189 :1). Hal ini lbh luas
daripada pengakuan terdakwa (bekentenis).Mnrt Psl 189 (3) dinyatakan bhwa
ketrangan trdkwa hanya dpt digunakan thd dirinya sendiri.

Bagaimana dg Kroon Getuige ?
Saksi mahkota yaitu: tdw yg berstatus menjadi saksi dlm perkara terdakwa yg lain, yg
sama2 melakukan yaitu dlm hal diadakan splitsing.

Ada dua hal yg diabaikan dlm saksi mahkota :
a. terdakwa disumpah, padahal sebenarnya ia memiliki hak bohong.
b. Keterangan terdakwa digunakan utk orang lain.
Perkembangan Alat Bukti Lain

Selain yang tertuang dlm Pasal 184 (1) KUHAP, sekarang sudah diperkenalkan alat2
bukti baru dalam perundang-undangan pidana  khusus di luar KUHAP antara lain
berupa :
a. data elektronis
b. dokumen, data yg dapat dilihat, didengar atau dibaca.


Baca UU Pidana Formil diluar KUHAP antara lain : UU Korupsi, UU Money Laundering, UU Terorisme dll.

Asas Pembuktian Terbalik

Asas Pembuktian Terbalik

Sejarah mengenai pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik yang menjadi polemik, sudah terjadi sejak tahun 1971. Istilah almarhum Oemar Senoadji adalah pergeseran bukan pembalikan beban pembuktian. Kata “Beban” ditekankan bukan pada alat buktinya tapi pada siapa yang berhak untuk melakukan.

ICCPR tetap menghargai hak untuk tidak mempersalahkan diri sendiri dari seorang tersangka atau terdakwa. Jadi, amanah dari ICCPR ini adalah penekanan dari berlakunya non self incrimination, bagian dari perlindungan HAM (right to remind silence). Prinsip-prinsip di negara demokrasi yang mengakui rule of law, salah satu karakternya ialah presumption of innocence. Dalam sistem acara pidana, dalam kaitannya dengan pembuktian, non self incrimination itu karakter dari berlakunya sistem pembuktian yang kita sebut pembuktian negatif.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara-negara yang mengakui sistem hukum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Kontinental. Kalau kita lihat di KUHP atau KUHAP di negara-negara Kontinental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap (Bribery).

Dari perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, suap dikatakan sebagai kejahatan yang sulit pembuktiannya (invisible crime). Di negara-negara Anglo Saxon pun suap yang menjadi kendala, makanya lalu keluar istilah gratifikasi yang kemudian diadopsi di Indonesia.

Usia KUHP Indonesia sudah ratusan tahun dan aturan dalam pasal mengenai suap itu mati suri atau impoten, dalam arti tidak bisa diapa-apakan. Berbagai cara dicoba, dikeluarkaan aturan baru mengenai suap aktif (Pasal 1 ayat (1) huruf d), diubah lagi dalam Pasal 13 UU No.31 Tahun 1999 sampai sekarang masih dipertahankan, tapi tetap jadi Pasal yang impoten.

Kemudian dicoba lagi dengan UU No.20 Tahun 2001 dengan memperluas alat bukti petunjuk di Pasal 26 a di mana pengertian surat diperluas menyangkut yang terkait dengan elektronik sebagai alat bukti petunjuk. Padahal istilah alat bukti petunjuk di dunia dan di akhirat tidak dikenal, hanya di Indonesia alat bukti petunjuk dimasukkan. Sekarang di RUU KUHAP alat bukti petunjuk dihapuskan.

Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak UU No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam UU No.20 Tahun 2001) dengan mencantumkan Pasal 12 A dalam rancangan yang disahkan menjadi Pasal 12 b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan (menyangkut tehnis hukum pidana), maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik.

Kalau kita lihat Pasal 12 b, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi (jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan).

Tapi yang terpenting untuk apa yang dinamakan pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu.
Kesimpulan

   1. Di dalam sistem UU Tipikor, yang dinamakan pembalikan beban pembuktian atau pembuktian terbalik hanya ada satu delik, yaitu masalah suap (gratifikasi). Jadi di UU No.31 Tahun 1999 yang diperbaharui dengan UU No.20 Tahun 2001(Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12,13,15), pembalikan beban pembuktian bukan untuk semua delik, hanya berlaku untuk Pasal 12 b dan 38 b yaitu yang berkaitan dengan delik suap.
   2. Pembalikan beban pembuktian hanya berlaku hanya terhadap perampasan harta kekayaan dari seorang terdakwa yang dikenakan tuduhan dan diputus berdasarkan Pasal 2, 3, yang bersangkutan berhak membuktikan sebaliknya bahwa hartanya diperoleh bukan diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Prof. Indriyanto Senoadji
Guru Besar FH Universitas Krisna Dwipayana dan Pengajar PPs FH UI.

Alat Bukti Elektronik



Alat bukti elektronik (Dokumen Elektronik) : Kedudukan, nilai, derajat dan
kekuatan pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat di bidang telekomunikasi, informasi dan komputer telah menghasilkan konvergensi dalam aplikasinya. Konsekuensinya, terjadi pula konvergensi dalam peri kehidupan manusia, termasuk dalam kegiatan industri dan perdagangan. Perubahan yang terjadi mencakup baik dari sisi lingkup jasanya, pelakunya, maupun konsumennya. Dalam perkembangan selanjutnya melahirkan paradigma, tatanan sosial serta sistem nilai baru ( Supancana, IBR., Kekuatan Akta Elektronis Sebagai Alat Bukti Pada Transaksi E-commerce Dalam Sistem Hukum Indonesia ).

Seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi, semakin lama manusia semakin banyak menggunakan alat teknologi digital, termasuk dalam berinteraksi antara sesamanya. Oleh karena itu, semakin lama semakin kuat desakan terhadap hukum, termasuk hukum pembuktian, untuk menghadapi kenyataan perkembangan masyarakat seperti itu. Sebagai contoh, untuk mengatur sejauh mana ekuatan pembuktian dari suatu dokumen elektronik dan tanda tangan digital / elektronik, yang dewasa ini sudah sangat banyak dipergunakan dalam praktik sehari-hari.

Dalam hal ini, posisi hukum pembuktian seperti biasanya akan berada dalam posisi dilematis sehingga dibutuhkan jalan-jalan kompromitis. Di satu pihak, agar hukum selalu dapat mengakui perkembangan zaman dan teknologi, perlu pengakuan hukum terhadap berbagai jenis perkembangan teknologi digital untuk berfungsi sebagai alat bukti pengadilan. Akan tetapi, di lain pihak kecenderungan terjadi manipulasi penggunaan alat bukti digital oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab menyebabkan hukum tidak bebas dalam mengakui alat bukti digital tersebut dengan “hukum alat bukti yang terbaik” (best evidence rule), satu alat bukti digital sulit diterima dalam pembuktian.

The best evidence rule mengajarkan bahwa suatu pembuktian terhadap isi yang substansial dari suatu dokumen/photograph atau rekaman harus digunakan dengan membawa ke pengadilan dokumen/photograph atau rekaman asli tersebut. Kecuali jika dokumen/photograph atau rekaman tersebut memang tidak ada, dan ketidakberadaannya bukan terjadi karena kesalahan yang serius dari pihak yang harus membuktikan. Dengan demikian, menurut doktrin best evidence ini, foto kopi (bukan asli) dari suatu surat tidak mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan. Demikian juga bukti digital, seperti e-mail, surat dengan mesin faksimile, tanda tangan elektronik, tidak ada aslinya atau setidak-tidaknya tidak mungkin dibawa aslinya ke pengadilan sehingga hal ini mengakibatkan permasalahan hukum yang serius dalam bidang hukum pembuktian.

Pembuat undang-undang secara eksplisit dalam penjelasan umum UU ITE juncto Pasal 6 UU ITE berikut penjelasannya telah menyatakan bahwa dokumen elektronik kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas. ( Pasal 6 UU ITE :”Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.” Penjelasan Pasal 6 UU ITE :”Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk media elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, Informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.” )

Dengan demikian maka risalah rapat RUPS modern yang merupakan dokumen elektronik dapat disetarakan kedudukannya dengan dokumen (risalah rapat) yang ditulis diatas kertas. Namun dalam hal ini perlulah diadakan analisa yang lebih mendalam mengenai arti kata ”kedudukan” yang disetarakan dalam Penjelasan Umum UU ITE tersebut.

Catatan penulis : Jika dianalisa ketentuan pasal 5 ayat 1, ayat 2, pasal 6, Penjelasan Umum dengan menggunakan metode logika induksi, maka kesimpulannya yang dimaksud dengan kedudukan adalah fungsi; jadi informasi yang dibuat melalui media elektronik ”fungsinya” disetarakan dengan informasi yang dibuat dengan menggunakan media kertas; oleh karena itu dalam UU ITE sama sekali tidak menentukan kedudukan hukum ( dalam hal ini kedudukan, nilai, derajat, dan kekuatan pembuktian ) dalam Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.

Dalam pasal 5 ayat 1 dan 2 UU ITE hanya disebutkan bahwa dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia; sehingga permasalahannya apakah dokumen elektronik tersebut dapat dipersamakan akta dibawah tangan (risalah rapat yang dibuat di bawah tangan) atau bahkan setara dengan akta otentik yang dibuat oleh notaris dalam kedudukan, nilai, derajat dan kekuatan pembuktiannya dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia ?

Untuk menjawab pertanyaan dapatkah dokumen eletronik khususnya risalah rapat RUPS modern disetarakan dengan akta otentik sebagaimana yang diwacanakan oleh para ahli hukum telematika ( Arrianto Mukti Wibowo beserta team dalam Laporan Penelitian Tahap Pertama versi 1.04 Naskah Akademik Rancangan Undang Undang tentang Tanda Tangan Elektronik dan Transaksi Elektronik, 2001, hal 108-109 ), maka haruslah diteliti lebih dahulu ketentuan-ketentuan yang ada pada UU PT sebagai ”lex specialis”nya.

Oleh UU PT bahwa setiap perubahan anggaran dasar baik yang memerlukan persetujuan maupun yang hanya cukup diberitahukan kepada Menteri wajib dimuat atau dinyatakan dalam akta notaris dalam bahasa Indonesia. Jika tidak dimuat dalam akta berita acara rapat yang dibuat oleh notaris harus dinyatakan dalam akta notaris paling lambat 30 (tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal keputusan RUPS. Selanjutnya ditentukan bahwa jika lewat dari batas waktu yang telah ditentukan di atas, maka risalah rapat perubahan anggaran dasar tersebut tidak dapat dinyatakan dalam akta notaris.

Oleh karena itu berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas dan ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE :
“ Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk :
a. surat yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
b. surat beserta dokumennya yang menurut Undang-Undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.”

Dapatlah diambil kesimpulan bahwa risalah rapat dari RUPS modern yang merupakan Dokumen Elektronik tidak dapat disetarakan dengan akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris; oleh karena otensitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris No. 30 Tahun 2004, yaitu notaris dijadikan sebagai pejabat umum, sehingga akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik.
Akta yang dibuat oleh notaris mempunyai sifat otentik, bukan oleh karena undang-undang menerapkan demikian, tetapi karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan: “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh Undang-Undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”.( Uraian lebih lanjut diuraikan dalam tesis penulis berjudul : Aspek Legalitas RUPS melalui Media Telekonferensi ).

Jika tidak dapat disetarakan dengan akta otentik baik dari segi fungsi maupun dari segi kekuatan pembuktiannya, apakah kekuatan hukum pembuktian Dokumen Elektronik dalam hal ini risalah RUPS modern dapat disetarakan dengan akta yang dibuat di bawah tangan.

Singkatnya, segala bentuk tulisan atau akta yang bukan akta otentik disebut akta di bawah tangan atau dengan kata lain segala jenis akta yang tidak dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum. Tetapi dari segi hukum pembuktian, agar suatu tulisan bernilai sebagai akta dibawah tangan, diperlukan persyaratan pokok :

1. surat atau tulisan itu ditanda tangani;
2. isi yang diterangkan di dalamnya menyangkut perbuatan hukum
(rechtshandeling) atau hubungan hukum (recht bettrekking);
3. sengaja dibuat untuk dijadikan bukti dari perbuatan hukum yang disebut
didalamnya.

Daya kekuatan pembuktian akta dibawah tangan, tidak seluas dan setinggi derajat akta otentik. Akta otentik memiliki daya pembuktian lahiriah, formil dan materiil. Tidak demikian dengan akta dibawah tangan, yang padanya tidak mempunyai daya kekuatan pembuktian lahiriah, namun hanya terbatas pada daya pembuktian formil dan materiil dengan bobot yang jauh lebih rendah dibandingkan akta otentik.

Dalam UU ITE diatur bahwa informasi elektronik/dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah, dan merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia. Tapi, tidak sembarang informasi elektronik/dokumen elektronik dapat dijadikan alat bukti yang sah. Menurut UU ITE, suatu informasi elektronik/ dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti apabila menggunakan sistem elektronik yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ITE, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut:

1. dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan;
2. dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
3. dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut;
4. dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; dan
5. memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk.

Pihak yang mengajukan informasi elektronik tersebut harus dapat membuktikan bahwa telah dilakukan upaya yang patut untuk memastikan bahwa suatu sistem elektronik telah dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik tersebut.

Bagaimanapun juga UU ITE harus bisa menjelaskan bagaimana membuktikan suatu sistem elektronik memenuhi syarat yg diatur dalam UU ITE, agar alat bukti berupa informasi/dokumen elektronik tidak dipertanyakan lagi keabsahannya. Karena dalam UU ITE sendiri pengaturan mengenai sistem elektronik masih akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, maka sangat diharapkan pengaturannya nanti dapat menghindari perdebatan yang tidak perlu mengenai keabsahan alat bukti tersebut.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum dokumen elektronik dapat dijadikan suatu bukti yang sah, maka harus diuji lebih dahulu syarat minimal yang ditentukan oleh undang-undang yaitu pembuatan dokumen elektronik tersebut dilakukan dengan menggunakan sistem elektronik yang andal, aman dan beroperasi sebagaimana mestinya.

Oleh karena itu dapat dipertanyakan apakah dokumen elektronik (dalam hal ini risalah RUPS modern) sudah memenuhi batas minimal pembuktian, oleh karena dalam teori hukum pembuktian disebutkan bahwa agar suatu alat bukti yang diajukan di persidangan sah sebagai alat bukti, harus dipenuhi secara utuh syarat formil dan materiil sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-undang.

Batas minimal pembuktian akta otentik cukup pada dirinya sendiri, oleh karena nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik adalah sempurna dan mengikat, pada dasarnya ia dapat berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan atau dukungan alat bukti yang lain. Sedangkan pada akta dibawah tangan agar mempunyai nilai pembuktian haruslah dipenuhi syarat formil dan materiil yaitu :

- dibuat secara sepihak atau berbentuk partai (sekurang-kurangnya dua pihak);
- ditanda tangani pembuat atau para pihak yang membuatnya;
- isi dan tanda tangan diakui.

Kalau syarat diatas dipenuhi, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 1975 KUH Perdata juncto Pasal 288 RBG maka nilai kekuatan pembuktiannya sama dengan akta otentik; dan oleh karena itu juga mempunyai batas minimal pembuktian yaitu mampu berdiri sendiri tanpa bantuan alat bukti lain.

Dari Pasal 1 point 4, Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 dan Pasal 7 UU ITE dapat dikategorikan syarat formil dan materiil dari dokumen elektronik agar mempunyai nilai pembuktian, yaitu :

- berupa informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tulisan, suara, gambar...dan seterusnya yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya;
- dinyatakan sah apabila menggunakan/berasal dari Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang;
- dianggap sah apabila informasi yang tecantum didalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

Dari syarat-syarat formil dan materiil tersebut dapat dikatakan bahwa dokumen elektronik agar memenuhi batas minimal pembuktian haruslah didukung dengan saksi ahli yang mengerti dan dapat menjamin bahwa sistem elektronik yang digunakan untuk membuat, meneruskan, mengirimkan, menerima atau menyimpan dokumen elektronik adalah sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang; kemudian juga harus dapat menjamin bahwa dokumen elektronik tersebut tetap dalam keadaan seperti pada waktu dibuat tanpa ada perubahan apapun ketika diterima oleh pihak yang lain (integrity), bahwa memang benar dokumen tersebut berasal dari orang yang membuatnya (authenticity) dan dijamin tidak dapat diingkari oleh pembuatnya (non repudiation).

Hal ini bila dibandingkan dengan bukti tulisan, maka dapat dikatakan dokumen elektronik mempunyai derajat kualitas pembuktian seperti bukti permulaan tulisan (begin van schriftelijke bewijs), dikatakan seperti demikian oleh karena dokumen elektronik tidak dapat berdiri sendiri dalam mencukupi batas minimal pembuktian, oleh karena itu harus dibantu dengan salah satu alat bukti yang lain. Dan nilai kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim, yang dengan demikian sifat kekuatan pembuktiannya adalah bebas (vrij bewijskracht).
Berdasarkan penalaran hukum di atas, maka dapatlah disimpulkan dokumen elektronik dalam hukum acara perdata dapat dikategorikan sebagai alat bukti persangkaan Undang-undang yang dapat dibantah (rebuttable presumption of law) atau setidak-tidaknya persangkaan hakim (rechtelijke vermoden).

Demikianlah salah satu kesimpulan dalam tesis penulis dengan judul : Aspek Legalitas Rapat Umum Pemegang Saham melalui Media Telekonferensi.
Mungkin ada diantara pembaca atau ahli hukum lainnya yang mempunyai pendapat yang berbeda atau bahkan mau melengkapinya, penulis sangat mengharapkan masukan-masukannya.
Terima kasih.


Kamis, 18 Maret 2010

BATASAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN

BATASAN ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN

Dalam Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia, kebebasan berkontrak dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1338 ayat  (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya .

Sumber dari kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang merupakan titik  tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan untuk berkontrak .

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjianjian Indonesia memantapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, Tanpa sepakat maka perjanjian yang dibuat dapat dibatalkan .

Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya. Sepakat yang diberikan dengan paksa adalah Contradictio interminis. Adanya paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat yang mungkin dilakukan oleh pihak lain adalah untuk memberikan pilihan kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan diri pada perjanjian yang dimaksud, atau menolak mengikatkan diri pada perjanjian dengan akibat transaksi yang diinginkan tidak terlaksana (take it or leave it) .

Menurut hukum perjanjian Indonesia seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak     manapun yang dikehendakinya. Undang-undang hanya mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian, pengaturan mengenai hal ini dapat dilihat dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak  yang ia inginkan untuk membuat perianjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam pasal 1331, ditentukan bahwa andaikatapun seseorang membuat perjianjian dengan pihak yang dianggap tidak cakap menurut pasal 1330 KUH Perdata tersebut, maka perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang tidak cakap.

Larangan kepada seseorang untuk membuat perjanjian dalam bentuk tertentu yang dikehendakinya juga tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia maupun ketentuan perundang-undangan lainnya. Ketentuan yang ada adalah bahwa untuk perjanjian tertentu harus dibuat dalam bentuk tertentu misalnya perjanjian kuasa memasang hipotik harus dibuat dengan akta notaris atau perjanjian jual beli tanah harus dibuat dengan PPAT. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sepanjang ketentuan perundang-undangan tidak menentukan bahwa suatu perjanjian harus dibuat dalam bentuk tertentu, maka para pihak bebas untuk memilih bentuk perjanjian yang dikehendaki, yaitu apakah perjanjian akan dibuat secara lisan atau tertulis atau perjanjian dibuat dengan akta di bawah tangan atau akta autentik.

Apakah asas kebebasan berkontrak dapat diartikan sebagai bebas mutlak? apabila kita mempelajari KUH Perdata, ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh pasal-pasal KUH Perdata terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas tidak tak terbatas.

Pasal 1320 ayat (1) m enentukan bahwa perjanjian atau, kontrak tidak sah apabila dibuat tanpa adanya konsensus atau sepakat dari para pihak yang membuatnya. Ketentuan tersebut mengandung pengertian bahwa kebebasan suatu pihak untuk menentukan isi perjanjian dibatasi oleh sepakat pihak lainnya. Dengan kata lain asas kebebasan berkontrak dibatasi oleh kesepakatan para pihak.

Dalam pasal 1320 ayat (2) dapat pula disimpulkan bahwa kebebasan orang untuk membuat perjanjian dibatasi oleh kecakapannya. untuk membuat perjanjian. Bagi seseorang yang menurut ketentuan undang-undang tidak cakap untuk membuat perjanjian sama sekali tidak mempunyai kebebasan, untuk membuat perjanjian. Menurut pasal 1330, orang yang belum dewasa dan orang yang diletakkan di bawah pengampuan tidak mempunyai kecakapan untuk membuat perjanjian. Pasal 108 dan 110 menentukan bahwa istri (wanita yang telah bersuami) tidak terwenang untuk melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, dinyatakan bahwa pasal 108 dan 110 tersebut pada saat ini tidak berlaku.

Pasal 1320 (3) menentukan bahwa obyek perjanjian haruslah dapat ditentukan. Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian, merupakan prestasi yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian. Prestasi itu harus tertentu atau sekurang-kurangnya dapat ditentukan. Apa yang diperjanjikan harus cukup jelas ditentukan jenisnya, jumlahnya boleh tidak disebutkan asal dapat dihitung atau ditetapkan.

Syarat bahwa prestasi harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya ialah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. jika prestasi kabur atau dirasakan kurang jelas, yang menyebabkan perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian dan akibat hukum perjanjian itu batal demi hukum .

Pasal 1320 ayat jo.1337 menentukan bahwa para pihak tidak bebas untuk membuat perjanjian yang menyangkut causa yang dilarang oleh undang-undang .

Menurut undang-undang causa atau sebab itu halal apabila tidak dilarang oleh undang-undang dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan. Akibat hukum perjanjian yang berisi sebab yang tidak halal ialah bahwa perjanjian itu batal demi hukum.

Mengenai obyek perjanjian diatur lebih lanjut dalam pasal 1332 yang menyebutkan bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Dengan demikian maka menurut pasal tersebut hanya barang-barang yang mempunyai nilai ekonomi saja yang dapat dijadikan obyek perjanjian.

Kemudian pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak juga dapat disimpulkan melalui pasal 1338 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu perjanjian hanya dilaksanakan dengan itikad baik. Oleh karena itu para pihak tidak dapat menentukan sekehendak hatinya klausul-klausul yang terdapat dalam perjanjiian tetapi harus didasarkan dan dilaksanakan dengan itikad baik. Perjanjian yang didasarkan pada itikad buruk misalnya penipuan mempunyai akibat hukum perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak Prof. Asikin Kusuma Atmadja, dalam makalahnya[i] menyatakan bahwa Hakim berwenang untuk memasuki/meneliti isi suatu kontrak apabila diperlukan karena isi dan pelaksanaan suatu kontrak bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. Dengan demikian asas kebebasan berkontrak yang terdapat dalam pasal 1338 tidak lagi bersifat absolut, yang berarti dalam keadaan tertentu hakim berwenang melalui tafsiran hukum untuk meneliti dan menilai serta menyatakan bahwa kedudukan para pihak dalam suatu perjanjian berada dalam keadaan yang tidak seimbang sedemikian rupa, sehingga salah satu pihak dianggap tidak bebas untuk menyatakan kehendaknya.

Lebih lanjut Prof. Asikin mengatakan bahwa kebebasan berkontrak yang murni/mutlak karena para pihak kedudukannya seimbang sepenuhnya praktis tidak ada, selalu ada pihak yang lebih lemah dari pihak yang lain. Beliau mengilustrasikan dengan suatu cerita lama yang mengandung moral yang ada kaitannya dengan tafsiran perjanjian. Ada seorang gadis yang orang tuanya miskin dan mempunyai hutang yang besar karena meminjam uang untuk menyekolahkan anak gadis tersebut. Kalau hutangnya tidak segera dibayar maka satu-satunya harta berupa rumah dan pekarangannya akan dilelang. Sang penolong yang mempunyai kekuasaan ekonomis datang dan mengadakan perjanjian dengan orang tua gadis tersebut bahwa hutang akan dilunasi asal gadis tersebut dikawinkan dengan anak lelaki sang penolong, sedangkan anak gadis tersebut telah mempunyai tunangan. Kemudian terjadilah perjanjian antara sang penolong dengan orang tua yang miskin tersebut. Apakah aneh kalau orang tua miskin tersebut kemudian mengingkari janjinya. Moral disini janganlah mencari kesempatan dalam kesempitan atau jangan menyalahgunakan kesempatan .

Dalam ilmu hukum moral tersebut di atas disebut misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan kesempatan atau penyalahgunaan keadaan). Penyalahgunaan kesempatan dapat digunakan dalam kategori cacat dalam menentukan kehendaknya untuk memberikan persetujuan. Hal ini merupakan alasan untuk menyatakan batal atau membatalkan suatu perjanjian yang tidak diatur dalam Undang-undang melainkan merupakan suatu konstruksi yang dapat dikembangkan melalui Yurisprudensi.

Sesuai dengan hukum, kebutuhan konstruksi penyalahgunaan kesempatan/keadaan merupakan atau dianggap sebagai faktor yang membatasi atau yang mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua belah pihak. Salah satu keadaan yang dapat disalahgunakan ialah adanya kekuasaan ekonomi (economish overwicht) pada salah satu pihak, Yang menggangu keseimbangan antara kedua belah pihak sehingga adanya kehendak yang bebas untuk memberikan persetujuan yang merupakan salah satu syarat bagi sahnya suatu persetujuan tidak ada (kehendak yang cacat), menurut Prof. Z. Asikin yang penting ialah menciptakan beberapa titik taut yang merupakan dasar bagi hakim untuk menilai secara adil apakah suatu keadaan dapat ditafsirkan sebagai kekuasaan ekonomi yang disalahgunakan sehingga mengganggu keseimbangan antara pihak dan membatasi kebebasan kehendak pihak yang bersangkutan untuk memberikan persetujuan. Disini terletak wewenang hakim untuk menggunakan interpretasi sebagai sarana hukum untuk melumpuhkan perjanjian yang tidak seimbang .

Banyak faktor yang dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi untuk dipertimbangkan oleh hakim. Kalau umpamanya ternyata ada syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan (on redelijkecontractsvoorwaarden atau un faircontractterms), maka hakim wajib memeriksa dan meneliti inconcreto faktor-faktor apa yang bersifat tidak masuk akal,tidak patut, atau tidak berperikemanusiaan tersebut.

Begitupula kalau nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie), maka hakim wajib meneliti apakah inconcreto terjadi penyalahgunaan ekonomis. selanjutnya juga kalau terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian dengan syarat-syarat yang memberatkan, terakhir dapat disebut keadaan dimana nilai dan hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak. Juga dalam hal ini hakim wajib meneliti apakah in concreto  terjadi penyalahgunaan kekuasaan ekonomis.

Dengan demikian maka jelas bahwa asas kebebasan berkontrak tidak mempunyai arti yang tidak terbatas, akan tetapi terbatas oleh tanggungjawab para pihak, dan dibatasi oleh kewenangan hakim untuk menilai isi dari setiap kontrak.

[i] Prof. R.Z. Asikin Kesuma Atmadja, SH., Pembatasan Rentenir sebagai Perwujudan Pemerataan Keadilan, Varia Peradilan Tahun II, No. 27, Februari 1987.


Sumber :  Rosa Agustina T. Pangaribuan , SH. , MH .

PASAL-PASAL KRUSIAL DALAM BURGELIJK WETBOEK (BW)



BW (Burgelijk Wetboek) sebagian besar adalah Hukum Perdata Perancis, yaitu Code Napoleon Tahun 1811-1838; akibat pendudukan Perancis di Belanda, berlaku di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon ini adalah Code Civil yang dalam penyusunannya mengambil karangan-karangan pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang Hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada jaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna.

Di negeri Belanda, setelah merdeka dari penjajahan Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831).

Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30-4-1847 Staatsblad No. 23 mulai berlaku pada 1 mei 1848 di Indonesia. BW terdiri dari 4 (empat) buku, yaitu :
Buku I tentang Orang, Pasal 1 s/d 495 (496,497 dan ps 498 dihapus)
Buku II tentang Benda, Pasal 499 s/d 1232
Buku III tentang Perikatan, Pasal 1233 s/d 1864
Buku IV tentang Pembuktian & Daluwarsa, Pasal 1865 s/d 1991.

Pasal 1 : Menikmati hak perdata tidaklah tergantung pada hak ketatanegaraan.

Pasal 3 : Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak kewarganegaraaan.

Pasal 330 : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak terlebih dahulu telah kawin.

Pasal 433 : Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.

Pasal 499 : Menurut paham undang-undang yang dinamakan kebendaan ialah, tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak, yang dapat dikuasai oleh hak milik.

Pasal 570 : Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dengan pembayaran ganti rugi.

Pasal 571 : Hak milik atas sebidang tanah mengandung didalamnya, kepemilikan atas segala apa yang ada diatasnya dan didalam tanah. Di atas tanah bolehlah si pemilik mengusahakan segala tanaman dan mendirikan setiap bangunan yang disukainya; dengan tak mengurangi akan beberapa pengecualian tersebut dalam bab ke empat dan ke enam buku ini. Di bawah tanah bolehlah ia membuat dan menggali sesuka hati dan memiliki segala hasil yang diperoleh karena penggalian itu, dengan tak mengurangi akan perubahan-perubahan yang kiranya harus diadakan berhubung dengan perundang-undangan dan peraturan pemerintah tentang pertambangan, pengambilan bara, sampah terpendam dan sebagainya.

Pasal 1150 : Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dan dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.

Pasal 1162 : Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.

Pasal 1164 : Yang dapat dibebani dengan hipotik hanyalah:
1. benda-benda tak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta segala perlengkapannya, sekadar yang terakhir ini dianggap sebagai benda tak bergerak;
2. hak pakai hasil atas benda-benda tersebut beserta segala perlengkapannya;
3. hak numpang karang dan hak usaha;
4. bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah dalam ujudnya;
5. bunga sepersepuluh;
6. pasar-pasar yang diakui oleh Pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya.

Pasal 1233 : Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang.

Pasal 1234 : Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.

Pasal 1243 : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya.

Pasal 1316 : Meskipun demikian adalah diperbolehkan untuk menanggung atau menjaminkan seorang pihak ke tiga, dengan menjanjikan bahwa orang ini akan berbuat sesuatu, dengan tidak mengurangi tuntutan pembayaran ganti rugi terhadap siapa yang telah menanggung pihak ke tiga itu atau yang telah berjanji, untuk menyuruh pihak ke tiga tersebut menguatkan sesuatu, jika pihak ini menolak memenuhi perikatannya.

Pasal 1317 : Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ke tiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ke tiga tersebut telah menatakan hendak mempergunakannya.

Pasal 1320 : Untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat :
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal.

Pasal 1330 : Tak cakap untuk membuat perjanjian adalah :
1. orang-orang yang belum dewasa;
2. mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3. orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal 1336 : Jika tidak dinyatakan sesuatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab lain, daripada yang dinyatakan perjanjiannya namun demikian adalah sah.

Pasal 1338 : Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Pasal 1339 : Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.

Pasal 1340 : Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317.

Pasal 1365 : Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

Pasal 1381 : Perikatan-perikatan hapus: karena pembayaran; karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan utang; karena perjumpaan utang atau kompensasi; karena percampuran utang; karena pembebasan utangnya; karena musnahnya barang yang terutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya suatu syarat batal, yang diatur dalam bab ke satu buku ini; karena liwat waktu, hal mana akan diatur dalam suatu bab tersendiri.

Pasal 1866 : Alat-alat bukti terdiri atas: - bukti tulisan; - bukti dengan saksi-saksi; - persangkaan-persangkaan; - pengakuan; - sumpah; - segala sesuatunya dengan mengindahkan aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab-bab yang berikut.

Pasal 1868 : Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta itu dibuatnya.

Pasal 1909 : Semua orang yang cakap untuk menjadi saksi, diharuskan memberikan kesaksian di muka Hakim. Namun dapatlah meminta dibebaskan dari kewajibannya memberikan kesaksian:
1e. siapa yang ada pertalian kekeluargaan darah dalam garis samping dalam derajat ke dua atau semenda dengan salah satu pihak.
2e. siapa yang ada pertalian darah dalam garis lurus tak terbatas dan dalam garis samping dalam derajat ke dua dengan suami atau istri salah satu pihak;
3e. segala siapa yang karena kedudukannya, pekerjaannya atau jabatannya menurut undang-undang, diwajibkan merahasiakan sesuatu, namun hanyalah semata-mata mengenai hal-hal yang pengetahuannya dipercayakan kepadanya sebagai demikian. ( Ps. 1910 Pengecualian untuk anggota keluarga dan semenda yang dapat memberikan kesaksian dalam perkara tertentu)

Pasal 1967 : Segala tuntutan hukum, baik yang bersifat perbendaan maupun yang bersifat perseorangan, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu alas hak, lagi pula tak dapatlah dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan kepada itikadnya yang buruk.

PENYITAAN MINUTA AKTA NOTARIS



Penyitaan Minuta Akta Notaris oleh Kepolisian bisakah dilakukan tanpa izin Ketua Pengadilan?

Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan (pasal 1 angka 16 KUHAP). Adapun benda yang disita hanyalah benda-benda yang ada hubungannya dengan tindak pidana. Benda yang dapat dikenakan penyitaan diatur dalam pasal 39 KUHAP.

Pasal 43 KUHAP menentukan bahwa penyitaan surat atau tulisan lain dari mereka yang berkewajiban menurut undang-undang untuk merahasiakannya, sepanjang tidak menyangkut rahasia negara, hanya dapat dilakukan atas persetujuan mereka atau atas izin khusus ketua pengadilan negeri setempat kecuali undang-undang menentukan lain. Notaris merupakan pejabat yang menyimpan Minuta Akta dan berkewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatannya berdasarkan undang-undang, dalam hal ini UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Dalam hal ini, penyitaan Minuta Akta Notaris harus dilakukan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri. Sebagai tambahan, menurut M. Yahya Harahap, dalam bukunya "Hukum Perseroan Terbatas" penyitaan Akta Notaris berpedoman kepada Surat Mahkamah Agung No. MA/Pemb/3429/86 tanggal 12 April 1986 dan pasal 43 KUHAP.

Adapun dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris, pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta dapat dilakukan dengan persetujuan dari Majelis Pengawas Daerah (MPD) di wilayah mana Notaris yang bersangkutan berkedudukan.

Pasal 8 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 mengatur bahwa Penyidik untuk kepentingan proses peradilan dapat mengambil Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, dengan meminta kepada Notaris yang bersangkutan untuk membawa Minuta Akta dan atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dengan mengajukan permohonan tertulis kepada MPD dengan memuat alasannya; tembusan permohonan disampaikan kepada Notaris yang bersangkutan. Tata cara tersebut berlaku pula untuk pengambilan fotokopi Minuta Akta Notaris berdasarkan pasal 2 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007.

Untuk syarat pengambilan fotokopi Minuta Akta diatur dalam pasal 3 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:

a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; atau

b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

Untuk syarat pengambilan Minuta Akta diatur dalam pasal 9 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007, yaitu:

a) ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;

b) belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana.

c) ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;

d) ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau

e) ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).

Persetujuan MPD atas pengambilan fotokopi Minuta Akta dan Minuta Akta diberikan setelah MPD mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan (pasal 4 jo. pasal 10 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). MPD wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya 14 hari (kerja) sejak tanggal diterimanya permohonan dimaksud; dan apabila jangka waktu terlampaui MPD dianggap menyetujui (pasal 6 jo. pasal 12 Permenkumham Nomor M.03.HT.03.10 Tahun 2007).

Pemberian fotokopi Minuta Akta kepada Penyidik disertai dengan berita acara serah terima (pasal 7 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007). Sedangkan untuk Minuta Akta, Penyidik hanya dapat meminta Notaris untuk membawa Minuta Akta untuk diperiksa di Pusat Laboratorium Forensik mengenai keabsahan tanda tangan dan/atau cap jempol pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan belum selesai maka Notaris membawa kembali Minuta Aktanya untuk diperiksa kembali pada hari yang ditentukan; dan apabila pemeriksaan telah selesai maka Minuta Akta diserahkan kembali kepada Notaris yang bersangkutan (pasal 13 Permenkumham No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007).

Demikian sejauh yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

2. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

3. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tentang Pengambilan Minuta Akta dan Pemanggilan Notaris

DASAR HUKUM LELANG


- Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3;
- Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85)
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 41/PMK.07/2006 tentang Pejabat lelang Kelas I;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat lelang Kelas II;
- Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : KEP-02/PL/2006 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang
- Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : KEP-01/PL/2006 tentang Pedoman Administrasi Perkantoran dan Pelaporan Kantor Pejabat Lelang Kelas II;
- Beberapa Undang-undang lainnya : UU Hukum Pidana, Perdata, Kepabeanan, Pajak, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Perbankan dan sebagainya.

CATATAN KECIL TENTANG lelang

CATATAN KECIL TENTANG  lelang


Sejarah Lelang
Lelang dikenal pertama kali pada abad 450 SM dan diyakini bahwa hikayat Nabi Yusuf AS. yang dijual kepada bangsawan mesir menggunakan mekanisme lelang.

Jaman Romawi
- Magister Auctionarium : orang yang memiliki wewenang untuk melaksanakan lelang
- Dominus : orang yang memiliki benda yang akan dijual
- Argentarius : orang yang bertugas melakukan pengaturan (organizer) pelaksanaan lelang dan dapat memberikan jasa keuangan pada saat pelaksanaan lelang.
- Emptor : orang yang melakukan penawaran tertinggi saat lelang;
- Praeco : orang yang mengumumkan dan mempromosikan lelang disamping juga berperan sebagai pengarah penawaran (conductor bidding/afslager).

Lelang modern dikenal di Inggris pada abad ke-15, balai lelang yang berdiri pada masa itu (di Inggris) : Christie’s, Southeby’s, Tattersal.
Ciri lelang modern di Inggris pada masa itu adalah :
- Didahului pengumuman lisan dan tertulis lewat selebaran/poster;
- Dibuat index/katalog barang yang dilelang
- Dilakukan di tempat tertentu (biasanya di Tavern, kedai Makan/minum)
- Setiap calon peserta lelang wajib membayar uang jaminan lelang sebesar 3 shilling;
- Pelaksanaan lelangnya dipimpin oleh seseorang yang memiliki kewenangan untuk menunjuk pemenang lelang dan melarang seseorang untuk menjadi peserta lelang;
- Pembayarannya dilakukan secara tunai;
- Penyerahan barang yang dibeli adalah 3 hari setelah lelang dilakukan;
- Pembeli lelang bisa mengembalikan barang yang dibelinya jika merasa tidak puas dengan kondisi barang tersebut.

Lelang di Amerika
- Lelang masuk ke Amerika bersamaan dengan migrasi orang-orang Inggris ke benua baru tersebut.
- Lelang paksa : lahan, budak, barang rampasan dan sebagainya
- The Colonel : Karena juru lelang selalu mengenakan seragam tentara (biasanya dengan pangkat kolonel), maka hingga saat ini di Amerika, auctioner dikenal dengan nama kolonel.
- Sebagai sarana penjualan barang manufaktur : Pada saat krisis ekonomi melanda Amerika, para pengusaha manufaktur menggunakan mekanisme lelang sebagai sarana penjualan hasil produksinya, karena dengan cara ini hasil produksi pabriknya dapat dijual secara cepat dan dalam jumlah yang banyak.
f. Era Kolonialisasi di Indonesia
- Kedatangan bangsa belanda di Indonesia : Kedatangan Vereenigde Oostindische Compagnie (Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) atau  VOC yang didirikan pada tanggal  20 Maret 1602 adalah perusahaan Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Pada tahun 1506 VOC berhasil mendarat di Banten.
- Lelang komoditas hasil perkebunan dan hasil bumi : Sistem lelang pertamakali digunakan untuk komoditas Teh (dan hingga saat ini sistem lelang ini digunakan un tuk penjualan teh di London).
- Lelang aset milik pejabat Belanda yang pindah.

VOC dibubarkan pad atahun 1798 karena kesulitan finansial setelah belanda diserang oleh Napoleon. Selanjutnya wilayah koloni VOC di Hindia Timur diserahkan kepada Kerajaan Belanda.

Vendu Reglement lahir pada tahun 1908, dimana pada saat itu belum ada Volksraad (DPR). Meskipun Vendu Reglement adalah peraturan setingkat Peraturan Pemerintah, Tetapi Vendu Reglement merupakan peraturan lelang yang tertinggi hingga saat ini. Oleh karena itu tidak salah jika VR disebut sebagai Undang-Undang Lelang. Proses yang hampir sama juga dialami oleh HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement/Reglemen Indonesia yang diperbaharui) dimana peraturan ini dianggap sebagai “Undang-Undang” Hukum Acara di pengadilan Indonesia hingga saat ini. Vendu Reglement diberlakukan untuk memperbesar penerimaan dari sektor pajak lelang. Selain itu juga untuk melindungi kepentingan para Pejabat Belanda yang pindah dari Hindia Belanda untuk menjual aset-asetnya.

Pada masa pemerintahan hindia belanda, lelang berada dibawah kewenangan Director Van Financien (Menkeu). Hal ini berlanjut setelah era kemerdekaan RI. Pada masa itu di tingkat Pusat kantor lelang disebut Kantor Inspeksi Lelang sedangkan di Operasionalnya di sebut Kantor Lelang Negeri.

Pada Tahun 1960 lelang berada dibawah pembinaan Direktorat Jenderal Pajak;

Pada Tahun 1970 Kantor lelang Negeri berubah nama menjadi Kantor Lelang Negara;

Pada Tahun 1990 Kantor lelang Negara di integrasikan dengan Badan Urusan Piutang Negara (BUPN) dan Pada Tahun 1991 BUPN berubah nama menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN);

Pada tahun 2000 BUPLN berubah menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara) dan Pada tahun 2001 Kantor Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang Negara meleburkan diri menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN);

Pada tahun 2006 DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan kantor operasionalnya berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Dasar Hukum Lelang
- Vendu Reglement, Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3;
- Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85)
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 40/PMK.07/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 41/PMK.07/2006 tentang Pejabat lelang Kelas I;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 118/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 119/PMK.07/2005 tentang Pejabat lelang Kelas II;
- Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : KEP-02/PL/2006 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang
- Keputusan Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor : KEP-01/PL/2006 tentang Pedoman Administrasi Perkantoran dan Pelaporan Kantor Pejabat Lelang Kelas II;
- Beberapa Undang-undang lainnya : UU Hukum Pidana, Perdata, Kepabeanan, Pajak, UU Keuangan Negara, UU Perbendaharaan, UU Hak Tanggungan, UU Jaminan Fidusia, UU Perbankan dan sebagainya.


Definisi Lelang
Vendu Reglement Pasal 1 : Untuk melaksanakan peraturan ini dan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan lebih jauh berdasarkan peraturan ini, yang dimaksud dengan " penjualan dimuka umum ", ialah pelelangan dan penjulan barang yang diadakan di muka umum dengan penawaran harga yang makin meningkat, dengan persetujuan harga yang makin meningkat atau dengan pendaftaran harga, atau dimana orang-orang yang diundang atau sebelumnya sudah diberikan tahu tentang pelelangan atau penjualan, atau kesempatan yang diberikan kepada orang-orang yang berlelang atau yang membeli untuk menawar harga, menyetujui harga atau mendaftarkan (P.L. 1b, 9 ayat 4,5).

PMK 40 Pasal 1 angka 1 : Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.

Unsur Lelang
- Penjualan Barang yang terbuka untuk umum;
- Penawaran Harga secara tertulis dan atau lisan;
- Penawaran harga yang semakin naik atau turun;
- Mencapai harga tertinggi;
- Di dahului dengan pengumuman lelang.

Subjek dan Objek Lelang
- Subjek Lelang : Penjual/pemilik barang, Peserta Lelang, Pejabat lelang dan Pemenang Lelang.
- Objek Lelang : Seluruh benda/barang yang memiliki sifat kebendaan, memiliki nilai dan dapat menjadi objek hak milik.

Asas Lelang
- Adil;
- Transparan/terbuka
- Adil
- Akuntabel.
- Efisien.

Jenis Lelang

- Jenis Lelang Secara Umum:
* First Price Sealed Bid Auction
* Second Price Sealed Bid Auction (Vickrey’s Auction)
* Ascending Bid Auction (English Auction)
* Descending Bid Auction (Dutch Auction)

- Jenis Lelang Di Indonesia
  • Lelang Eksekusi : lelang untuk melaksanakan putusan hakim/ penetapan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap atau dokumen yang dipersamakan dengan itu.
  • Lelang Non Eksekusi : Wajib dan Sukarela

1. Lelang Non Eksekusi Wajib : Lelang yang dilaksanakan atas permintaan pihak yang menguasai/memiliki suatu barang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan harus dijual secara lelang.

2. Lelang Non Eksekusi Sukarela : Lelang yang dilaksanakan atas permintaan masyarakat/pengusaha yang secara sukarela menginginkan barangnya dilelang.

Tata cara lelang
- Permohonan tertulis ditujukan kepada Kepala KPKNL atau Kepala Kantor Pejabat lelang Kelas II;
- Penetapan jadwal lelang oleh Kepala KPKNL atau Kepala Kantor Pejabat lelang Kelas II;
- Penerbitan pengumuman lelang oleh Pemohon lelang (sesuai dengan jenis lelang dan benda yang dilelang)
- Pelaksanaan lelang dan penunjukan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang
- Pembayaran harga lelang
- Penyerahan barang/benda yang dibeli.

Pejabat Lelang : Orang yang diberi kewenangan khusus oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan benda secara lelang.
- Pejabat Lelang Kelas I : PNS DJKN
- Pejabat Lelang Kelas II : perorangan swasta.

Kewenangan Pejabat Lelang
- Pejabat Lelang Kelas I : Semua jenis lelang
- Pejabat Lelang Kelas II : Hanya lelang non eksekusi sukarela.

Pengumuman Lelang : adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan

Tata cara Pengumuman Lelang bergantung pada Jenis lelang dan Jenis Benda yang akan di lelang.

Cara menghitung hari Penerbitan Pengumuman Lelang
“Berselang adalah : jumlah hari antara hari penerbitan pengumuman pertama dengan hari pengumuman lelang kedua dan Pengumuman Kedua dengan hari pelaksanaan lelang”

Risalah Lelang terdiri Minuta, Salinan dan Kutipan

PerMenKeu No 40 PMK.07 2006- Tentang PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG

  1. PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
    NOMOR 40/PMK.07/2006

    TENTANG

    PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG

    MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

    Menimbang :

    1.        bahwa dalam rangka meningkatkan pelayanan lelang, dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan ketentuan mengenai lelang;
    2.        bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang;


    Mengingat :

    1.      Undang-undang Lelang (Vendu Reglement Ordonantie 28 Februari 1908 Staatsblad 1908:189 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1941:3);
    2.      Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
    3.      Instruksi Lelang (Vendu Instructie, Staatsblad 1908:190 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Staatsblad 1930:85);
    4.      Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2003 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku Pada Departemen Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4313);
    5.      Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Di Lingkungan Departemen Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2004;
    6.      Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 62 Tahun 2005;
    7.      Keputusan Presiden Nomor 20/P Tahun 2005;
    8.      Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan KP2LN sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 425/KMK.01/2002;
    9.      Keputusan Menteri Keuangan Nomor 371/KMK.01/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I di Lingkungan Departemen Keuangan untuk dan atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat dan/ atau Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 469/KMK.06/2003;
    10.  Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302/KMK.01/2004 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah Keputusan Menteri Keuangan Nomor 426/KMK.01/2004;
    11.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.07/2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II;
    12.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.07/2005 tentang Balai Lelang;



    MEMUTUSKAN :

    Menetapkan :

    PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG.


    BAB I
    KETENTUAN UMUM

    Pasal 1

    Dalam Peraturan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan :

    1.      Lelang adalah penjualan barang yang terbuka untuk umum dengan penawaran harga secara tertulis dan/atau lisan yang semakin meningkat atau menurun untuk mencapai harga tertinggi yang didahului dengan pengumuman lelang.
    2.      Barang adalah tiap benda atau hak dapat dijual secara lelang.
    3.      Pengumuman Lelang adalah pemberitahuan kepada masyarakat tentang akan adanya Lelang dengan maksud untuk menghimpun peminat lelang dan pemberitahuan kepada pihak yang berkepentingan.
    4.      Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan atau dokumen-dokumen lain, yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dipersamakan dengan itu, dalam rangka membantu penegakan hukum, antara lain: Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), Lelang Eksekusi Pengadilan, Lelang Eksekusi Pajak, Lelang Eksekusi Harta Pailit, Lelang Eksekusi Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT), Lelang Eksekusi dikuasai/tidak dikuasai Bea Cukai, Lelang Eksekusi Barang Sitaan Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Lelang Eksekusi Barang Rampasan, Lelang Eksekusi Barang Temuan, Lelang Eksekusi Fidusia, Lelang Eksekusi Gadai.
    5.      Lelang Non Eksekusi Wajib adalah lelang untuk melaksanakan pejualan barang milik negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara atau barang milik Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/D) yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk dijual secara lelang termasuk kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama.
    6.      Lelang Non Eksekusi Sukarela adalah lelang untuk melaksanakan penjualan barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta yang dilelang secara sukarela oleh pemiliknya, termasuk BUMN/D berbentuk persero.
    7.      Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
    8.      Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.
    9.      Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara (DJPLN).
    10.  Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara (KP2LN) adalah instansi vertikal DJPLN.
    11.  Kantor Pejabat Lelang Kelas II adalah kantor swasta tempat kedudukan Pejabat Lelang Kelas II.
    12.  Balai Lelang adalah Badan Hukum Indonesia yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang menyelenggarakan kegiatan usaha di bidang jasa lelang berdasarkan izin dari Menteri.
    13.  Pejabat lelang adalah orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan melaksanakan Penjualan barang secara lelang.
    14.  Pemandu Lelang (Afslager) adalah orang yang membantu Pejabat Lelang untuk menawarkan dan menjelaskan barang dalam suatu pelaksanaan lelang.
    15.  Superintenden (Pengawas Lelang) adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Menteri untuk mengawasi pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Pejabat Lelang.
    16.  Penjual adalah perorangan, badan hukum/usaha atau instansi yang berdasarkan peraturan perundang-undangan atau perjanjian berwenang untuk menjual barang secara lelang.
    17.  Pemilik Barang adalah perorangan atau badan hukum/usaha yang memiliki hak kepemilikan atas suatu barang yang dilelang.
    18.  Pembeli/Pemenang Lelang adalah orang atau badan yang mengajukan penawaran tertinggi yang disahkan sebagai pemenang lelang oleh Pejabat Lelang.
    19.  Lelang Ulang adalah pelaksanaan lelang yang dilakukan untuk mengulang lelang yang tidak ada peminat, lelang yang ditahan atau lelang yang Pembelinya wanprestasi.
    20.  Harga Limit (Reserve Price) adalah harga minimal barang lelang yang ditetapkan oleh Penjual/Pemilik Barang untuk dicapai dalam suatu pelelangan.
    21.  Harga Lelang adalah harga penawaran tertinggi yang harus dibayar oleh Pembeli.
    22.  Pokok Lelang adalah Harga Lelang yang belum termasuk Bea Lelang Pembeli dalam lelang yang diselenggarakan oleh KP2LN untuk semua jenis lelang atau Harga Lelang dalam lelang yang diselenggarakan oleh Balai Lelang untuk jenis Lelang Non Eksekusi Sukarela.
    23.  Bea Lelang adalah bea yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, dikenakan atas setiap pelaksanaan lelang, yang berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak dan/atau Perurugi.
    24.  Perurugi adalah insentif dari bagian bea lelang yang diberikan kepada Pejabat Lelang Kelas II dan Superintenden (Pengawas Lelang) dalam rangka pelaksanaan lelang.
    25.  Uang miskin adalah uang yang dipungut dari Pembeli sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Departemen Sosial.
    26.  Penawaran Lelang secara Langsung adalah penawaran lelang yang dilakukan oleh Peserta Lelang ditempat pelaksanaan lelang.
    27.  Penawaran Lelang Tidak Langsung adalah penawaran lelang yang dilakukan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi dan Peserta Lelang tidak berada di tempat pelaksanaan lelang.
    28.  Risalah Lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak.
    29.  Grosse Risalah lelang adalah Salinan asli dari Risalah Lelang yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
    30.  Frekuensi Lelang adalah jumlah Risalah Lelang yang diterbitkan pada setiap pelaksanaan lelang.



    Pasal 2

    Setiap pelaksanaan lelang harus dilakukan oleh dan/atau dihadapan Pejabat Lelang kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.


    Pasal 3

    Pelelangan yang telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku tidak dapat dibatalkan.


    Pasal 4

    (1)        Lelang pertama harus diikuti oleh paling sedikit 2 (dua) peserta lelang.
    (2)        Lelang ulang dapat dilaksanakan dengan dikuti oleh 1 (satu) orang peserta lelang.


    Pasal 5

    (1)        Pejabat Lelang terdiri dari :
    a. Pejabat Lelang Kelas I;
    b. Pejabat Lelang Kelas II/
    (2)        Pejabat Lelang Kelas I berkedudukan di KP2LN dan berwenang melaksanakan lelang untuk semua jenis lelang.
    (3)        Pejabat Lelang Kelas II berkedudukan di Kantor Pejabat Lelang Kelas II dan hanya berwenang melaksanakan lelang berdasarkan permintaan Balai Lelang atas jenis Lelang Non Eksekusi Sukarela, lelang aset BUMN/D berbentuk Persero, dan lelang aset milik Bank dalam likuidasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 1999.
    (4)        Dalam hal disuatu wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas I terdapat Pejabat Lelang Kelas II, Pejabat Lelang Kelas I yang bersangkutan tidak diperbolehkan melaksanakan lelang atas permohonan Balai Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kecuali Pejabat Lelang Kelas II yang ada di wilayah tersebut dibebastugaskan, cuti atau berhalangan tetap.


    BAB II
    PERSIAPAN LELANG

    Bagian Pertama
    Permohonan Lelang

    Pasal 6

    (1)        Penjual yang bermaksud melakukan penjualan secara lelang mengajukan surat permohonan lelang secara tertulis Kepada Kepala KP2LN atau Pemimpin Balai Lelang disertai dengan dokumen persyaratan lelang.
    (2)        Dalam hal lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Lelang Eksekusi Panitia Urusan Piutang Negara, surat permohonan diajukan dalam bentuk Nota Dinas oleh Kepala Seksi Piutang Negara KP2LN kepada Kepala KP2LN.
    (3)        Surat permohonan kepada Pemimpin Balai Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diteruskan kepada Pejabat Lelang Kelas II atau kepada Kepala KP2LN untuk dimintakan jadwal pelaksanaan lelangnya.
    (4)        KP2LN/Kantor Pejabat Lelang Kelas II tidak boleh menolak permohonan lelang yang diajukan kepadanya sepanjang dokumen persyaratan lelang sudah lengkap dan telah memenuhi legalitas subjek dan objek lelang.
    (5)        Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara permohonan lelang dan dokumen persyaratan lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.


    Bagian Kedua
    Penjual/Pemilik Barang

    Pasal 7

    (1)        Penjual/Pemilik Barang bertanggung jawab terhadap keabsahan barang, dokumen persyaratan lelang dan penggunaan Jasa Lelang oleh Balai Lelang.
    (2)        Penjual bertanggungjawab atas tuntutan ganti rugi terhadap kerugian yang timbul karena ketidakabsahan barang, dokumen persyaratan lelang dan penggunanan Jasa Lelang oleh Balai Lelang.
    (3)        Dalam hal yang dilelang barang bergerak, Penjual/Pemilik Barang Wajib menguasai fisik barang bergerak yang akan dilelang.


    Pasal 8

    (1)        Penjual/Pemilik Barang dapat mengajukan syarat-syarat lelang tambahan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain :

    1. jadwal penjelasan lelang kepada peserta lelang sebelum pelaksanaan lelang (aanwidjzing);
    2. jangka waktu bagi calon Pembeli untuk melihat, meneliti secara fisik barang yang akan dilelang.
    3. jangka waktu pembayaran Harga Lelang;
    4. jangka waktu pengambilan/penyerahan barang oleh pembeli.

    (2)        Syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampirkan dalam surat permohonan lelang.


    Pasal 9

    (1)        Penjual/Pemilik Barang Wajib memperlihatkan atau menyerahkan asli dokumen kepemilikan kepada pejabat Lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali Lelang Eksekusi yang menurut peraturan perundang-undangan tetap dapat dilaksanakan meskipun asli dokumen kepemilikannya tidak dikuasai oleh Penjual.
    (2)        Dalam hal Penjual/Pemilik Barang menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pejabat Lelang, Pejabat Lelang wajib memperlihatkannya kepada Peserta Lelang sebelum/pada saat lelang dimulai.
    (3)        Dalam hal Penjual/Pemilik Barang tidak menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Kepada Pejabat Lelang, Penjual wajib memperlihatkan kepada Peserta Lelang sebelum/pada saat lelang dimulai.


    Bagian Ketiga
    TEMPAT PELAKSANAAN LELANG

    Pasal 10

    (1)        Tempat pelaksanaan lelang harus diwilayah kerja KP2LN atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang berada.
    (2)        Tempat pelaksanaan lelang ditetapkan oleh Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II.
    (3)        Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundangan yang berlaku.
    (4)        Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikeluarkan oleh :

    1. Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk untuk barang-barang yang berada dalam wilayah antara Kantor Wilayah DJPLN; atau
    2. Kepala Kantor Wilayah DJPLN setempat untuk barang-barang yang berada dalam wilayah Kantor Wilayah DJPLN setempat.

    (5)        Permohonan persetujuan pelaksanaan lelang atas barang yang berada di luar wilayah kerja KP2LN atau di luar wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II diajukan oleh Penjual dan ditunjuk kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
    (6)        Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampirkan pada Surat Permohonan Lelang.
    (7)        Terhadap Lelang Eksekusi, KP2LN dapat mensyaratkan kepada Penjual untuk menggunakan tempat dan fasilitas lelang yang disediakan oleh DJPLN.


    Bagian Keempat
    Waktu lelang

    Pasal 11

    (1)        Waktu pelaksanaan lelang ditetapkan oleh Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II.
    (2)        Waktu pelaksanaan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada jam dan hari kerja KP2LN, kucuali untuk Lelang Non Eksekusi Sukarela, dapat dilaksanakan di luar jam dan hari kerja dengan persetujuan tertulis Kepala Kantor Wilayah Setempat.
    (3)        Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampirkan pada Surat Permohonan Lelang.


    Bagian Kelima
    Surat Keterangan Tanah (SKT)

    Pasal 12

    (1)        Pelaksanaan lelang tanah atau tanah dan bangunan wajib dilengkapi dengan SKT dari Kantor Pertanahan setempat.
    (2)        Dalam hal tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang belum terdaftar di Kantor Pertanahan setempat :

    1. Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II mensyaratkan kepada Penjual untuk minta Surat Keterangan dari Lurah/Kepala Desa yang menerangkan status kepemilikan; dan
    2. berdasarkan Surat Keterangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II meminta SKT ke Kantor Pertanahan Setempat.

    (3)        Biaya pengurusan SKT menjadi tanggung jawab Penjual.


    Pasal 13

    (1)        SKT dapat dipergunakan berkali-kali apabila tidak ada perubahan data fisik atau data yuridis dari tanah atau tanah dan bangunan yang akan dilelang, sepanjang dokumen kepemilikan dikuasai oleh Penjual.
    (2)        Dalam hal terjadi perubahan data fisik atau data yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Penjual menginformasikan hal tersebut kepada Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II, untuk dimintakan SKT baru.
    (3)        Dalam hal dokumen kepemilikan tidak dikuasai oleh Penjual setiap dilaksanakan lelang, harus diminta SKT baru.


    Bagian Keenam
    Pembatalan Sebelum Lelang

    Pasal 14

    (1)        Lelang yang akan dilaksanakan hanya dapat dibatalkan dengan putusan/penetapan Lembaga Peradilan atau atas permintaan Penjual.
    (2)        Pembatalan lelang dengan putusan/penetapan Lembaga Peradilan disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
    (3)        Dalam hal terjadi pembatalan sebelum lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Penjual dan Pejabat Lelang wajib megumumkan pada saat pelaksanaan lelang.
    (4)        Pembatalan lelang atas permintaan Penjual disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh Pejabat Lelang paling lambat 3 (tiga) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.
    (5)        Dalam hal terjadi pembatalan sebelum lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penjual wajib mengumumkan sebagaimana pelaksanaan Pengumuman Lelang yang telah dilakukan sebelumnya.
    (6)        Pembatalan lelang di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Pejabat Lelang, dalam hal :

    1. SKT untuk pelaksanaan lelang tanah atau tanah dan bangunan belum ada;
    2. barang yang akan lelang dalam status sita pidana;
    3. terdapat perbedaan data pada dokumen persyaratan lelang;
    4. asli dokumen kepemilikan tidak diperlihatkan atau diserahkan oleh Penjual kepada Pejabat Lelang/Peserta Lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1);
    5. pengumuman lelang yang dilaksanakan Penjual tidak dilaksanakan sesuai peraturan perundang-undangan;
    6. Keadaan memaksa (force majeur)/kahar;
    7. lelang pertama diikuti kurang dari 2 (dua) Peserta Lelang;
    8. Penjual tidak menguasai secara fisik barang bergerak yang dilelang; atau
    9. khusus untuk Lelang Non Eksekusi, barang yang akan dilelang dalam status sita jaminan/sita eksekusi.

    (7)        Dalam hal terjadi pembatalan lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (6) Peserta Lelang yang telah menyetorkan Uang Jaminan Penawaran Lelang tidak berhak menuntut ganti rugi.


    Bagian Ketujuh
    Uang Jaminan Penawaran Lelang

    Pasal 15

    (1)        Untuk dapat menjadi peserta lelang, setiap peserta harus menyetor Uang Jaminan Penawaran Lelang.
    (2)        Dalam pelaksanaan lelang kayu dan hasil hutan lainnya dari tangan pertama, Lelang Non Eksekusi Sukarela eks Kedutaan Besar Asing di Indonesia dan Lelang Non Eksekusi Sukarela barang bergerak pada kawasan Berikat/Gudang Berikat (Bonded Zone/Bonded Ware house), Penjual dapat mengharuskan atau tidak mengharuskan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang.
    (3)        Dalam hal Penjual/Pemilik Barang menentukan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengaturan Uang Jaminan Penawaran Lelang adalah sebagai berikut :

    1. untuk lelang yang diselenggarakan oleh KP2LN disetor ke KP2LN;
    2. untuk lelang yang diselenggarakan oleh Balai Lelang disetor ke Balai Lelang, kecuali dalam lelang hal tersebut dilaksanakan oleh Pejabat Lelang Kelas I, disetorkan ke KP2LN.
    3. besarnya Uang Jaminan Penawaran Lelang paling sedikit 20% (dua puluh persen) dan paling banyak 50% (lima puluh persen) dari perkiraan Harga Limit;
    4. Dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi, 1 (satu) penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang hanya berlaku untuk 1 (satu) barang atau paket barang yang dilelang.
    5. dalam hal tidak ada Harga Limit, besaran Uang Jaminan Penawaran Lelang ditetapkan sesuai kehendak Penjual.



    Pasal 16

    (1)        Dalam hal peserta Lelang tidak ditunjuk sebagai Pembeli, Uang Jaminan Penawaran Lelang yang telah disetorkan akan dikembalikan seluruhnya tanpa potongan.
    (2)        Pengembalian Uang Jaminan Penawaran Lelang paling lambat 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permintaan pengembalian dari Peserta Lelang dengan dilampiri bukti setor, fotokopi identitas atau dokumen pendukung lainnya.
    (3)        Uang Jaminan Penawaran Lelang dari Peserta Lelang yang ditunjuk sebagai Pembeli, akan diperhitungkan dengan pelunasan seluruh kewajibannya sasuai dengan ketentuan lelang.
    (4)        Dalam hal lelang yang diselenggarakan oleh KP2LN atau Balai Lelang bekerjasama dengan Pejabat Lelang Kelas I, apabila Pembeli tidak melunasi pembayaran Harga Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang disetorkan seluruhnya ke Kas Negara sebagai Pendapatan Jasa II lainnya dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembatalan penunjukan Pembeli oleh Pejabat Lelang.
    (5)        Pada Lelang yang diselenggarakan Balai Lelang bekerjasama dengan Pejabat Lelang kelas II, apabila Pembeli tidak melunasi pembayaran Harga Lelang sesuai ketentuan (wanprestasi), Uang Jaminan Penawaran Lelang menjadi milik Pemilik Barang dan/atau Balai Lelang sesuai kesepakatan antara Pemilik Barang dan Balai Lelang.


    Pasal 17

    (1)        Uang Jaminan Penawaran Lelang disetor oleh Peserta Lelang melalui rekening sesuai dengan pengumuman lelang atau tunai/cash secara langsung kepada Bendahara Penerimaan KP2LN/Pejabat Lelang.
    (2)        Uang Jaminan Penawaran Lelang yang disetor ke rekening KP2LN atau Balai Lelang, paling lambat 1 (satu) hari kerja sebelum pelaksanaan lelang harus sudah diterima efektif pada rekening tersebut.
    (3)        Lelang dengan Uang Jaminan Penawaran Lelang paling banyak Rp 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dapat disetorkan secara tunai/cash secara langsung kepada Bendaharaan penerimaan KP2LN/Pejabat Lelang paling lambat sebelum pelaksanaan lelang.
    (4)        Lelang dengan Uang Jaminan Penawaran Lelang di atas 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) harus disetorkan secara tunai/cash melalui rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


    Bagian Kedelapan
    Pengumuman Lelang

    Pasal 18

    Penjualan secara lelang wajib didahului dengan Pengumuman Lelang yang dilakukan oleh Penjual.


    Pasal 19

    (1)        Pada prinsipnya Pengumuman Lelang dilaksanakan melalui surat kabar harian yang terbit di tempat barang berada yang akan dilelang.
    (2)        Dalam hal tidak ada surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengumuman Lelang diumumkan dalam surat kabar harian yang terbit di tempat yang terdekat atau di ibukota provinsi yang bersangkutan dan beredar di wilayah kerja KP2LN atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang akan dijual.
    (3)        Dalam hal pengumuman lelang melalui surat kabar harian harus memenuhi kriteria :

    1. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Ibukota Negara harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling sedikit 20.000 (dua puluh ribu ) eksemplar.
    2. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Ibukota Provinsi harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling sedikit 15.000 (lima belas ribu ) eksemplar.
    3. Apabila dilakukan pada Surat Kabar Harian yang terbit di Kota/Kabupaten selain huruf a dan huruf b harus pada surat kabar yang mempunyai tiras/oplah paling sedikit 5.000 (lima ribu) eksemplar.

    (4)        Dalam hal di suatu daerah tidak terdapat surst kabar harian yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengumuman lelang dilakukan pada surat kabar harian yang tiras/oplahnya paling banyak.
    (5)        Pejabat Lelang dapat meminta bukti bahwa pengumuman lelang telah dilaksanakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Penjual.
    (6)        Pengumuman Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus dicantumkan dalam Halaman Utama/Reguler dan dilarang dicantumkan pada Halaman Suplemen/Tambahan/Khusus.
    (7)        Dalam hal dipandang perlu, Penjual dapat menambah pengumuman lelang dengan menggunakan media lainnya guna mendapatkan peminat lelang seluas-luasnya.


    Pasal 20

    (1)        Pengumuman Lelang paling sedikit memuat :

    1. identitas penjual;
    2. hari, tanggal, waktu dan tempat pelaksanaan lelang dilaksanakan;
    3. jenis dan jumlah barang;
    4. lokasi, luas tanah, jenis hak atas tanah, dan ada/tidak adanya bangunan, khusus untuk barang tidak bergerak berupa tanah dan/bangunan
    5. jumlah, dan jenis/spesifikasi, khusus untuk barang bergerak;
    6. jangka waktu melihat barang yang akan dilelang;
    7. Uang Jaminan Penawaran Lelang meliputi besaran, jangka waktu, cara dan tempat penyetoran, dalam hal dipersyaratkan adanya Uang Jaminan Penawaran Lelang;
    8. jangka waktu pembayaran Harga Lelang;dan
    9. Harga Limit, sepanjang hal itu diharuskan dalam peraturan perundang-undangan atau atas kehendak Penjual/Pemilik Barang.

    (2)        Pengumuman Lelang diatur sedemikian rupa sehingga terbit pada hari kerja KP2LN dan tidak menyulitkan peminat lelang melakukan penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang.


    Pasal 21

    (1)        Pengumuman Lelang untuk Lelang Eksekusi terhadap barang tidak bergerak atau barang tidak bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang bergerak dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

    1. pengumuman dilakukan dua kali berselang 15 (lima belas) hari;
    2. pengumuman pertama diperkenankan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum, dan dapat ditambah melalui media elektronik, namun demikian apabila dikehendaki oleh penjual pengumuman pertama dapat dilakukan dengan surat kabar harian; dan
    3. pengumuman kedua harus dilakukan melalui surat kabar harian dan dilakukan berselang 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.

    (2)        Pengumuman Lelang untuk Lelang Eksekusi terhadap barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian berselang 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan lelang, kecuali untuk benda yang lekas rusak atau yang membahayakan atau jika biaya penyimpanan benda tersebut terlalu tinggi, dapat dilakukan kurang dari 6 (enam hari) tetapi tidak boleh kurang dari 2 (dua) hari kerja, dan khusus untuk ikan dan sejenisnya tidak boleh kurang dari 1 (satu) hari kerja.


    Pasal 22

    (1)        Pengumuman Lelang Eksekusi terhadap barang bergerak yang Harga Limit keseluruhannya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dalam satu kali lelang, dilakukan melalui :

    1. surat kabar harian dalam bentuk iklan baris, serta wajib ditambahkan
    2. pengumuman lelang tempelan pada hari yang sama untuk ditempel di tempat yang mudah dibaca oleh umum atau sekurang-kurangnya ditempel pada papan pengumuman di KP2LN dan Kantor Penjual, yang memuat hal-hal sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1).

    (2)        Pengumuman lelang dalam bentuk iklan baris melalui surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memuat sekurang-kurangnya identitas Penjual, barang yang dilelang, tempat dan waktu lelang, serta informasi adanya pengumuman lelang tempelan.
    (3)        Khusus pengumuman Lelang Eksekusi pajak untuk barang bergerak yang Harga Limit keseluruhannya tidak lebih dari Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) dalam satu kali lelang, dapat dilakukan 1 (satu) kali tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan/atau melalui media elektronik, berselang 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan lelang.


    Pasal 23

    (1)        Pengumuman Lelang Ulang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

    1. lelang barang tidak bergerak atau barang bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang tidak bergerak, dilakukan dengan cara :
    1          Pengumuman Lelang Ulang dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian berselang 7 (tujuh) hari sebelum palaksanaan lelang, jika waktu pelaksanaan lelang ulang dimaksud tidak melebihi 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu atau dari pelaksanaan lelang terakhir; atau
    2          Pengumuman Lelang Ulang berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1), jika waktu pelaksanaan lelang ulang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dari pelaksanaan lelang terdahulu atau dari pelaksanaan lelang terakhir;
    2. lelang barang bergerak, pengumuman Lelang Ulang dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2), dalam hal Lelang Eksekusi telah dilaksanakan dan perlu dilelang ulang.

    (2)        Pengumuman Lelang Ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1 dan huruf b menunjuk Pengumuman Lelang terakhir.


    Pasal 24

    (1)        Pengumuman Lelang untuk Lelang Non Eksekusi dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :

    1. barang tidak bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian berselang 7 (tujuh) hari sebelum pelaksanaan lelang;
    2. barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali melalui surat kabar harian berselang 5 (lima) hari sebelum pelaksanaan lelang;
    3. barang bergerak yang dijual bersama-sama dengan barang tidak bergerak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

    (2)        Pengumuman Lelang untuk Lelang Non Eksekusi yang diulang berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


    Pasal 25

    (1)        Pengumuman Lelang untuk Lelang Non Eksekusi terhadap barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang Harga Limit keseluruhannya tidak lebih dari Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dalam satu kali lelang, dapat dilakukan 1 (satu) kali melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan/atau melalui media elektronik, berselang 5 (lima) hari sebelum pelaksanaan lelang.
    (2)        Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam hal ada permintaan tertulis dari penjual dengan menyebutkan alasan mengumumkan melalui tempelan yang mudah dibaca oleh umum dan/atau melalui media elektronik dan disetujui oleh Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II.


    Pasal 26

    (1)        Untuk lelang yang sudah terjadwal, jadwal pelaksanaan lelang dalam setiap bulan diumumkan melalui surat kabar harian berselang 7 (tujuh) hari sebelum bulan pelaksanaan lelang.
    (2)        Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat identitas Penjual, barang yang akan dilelang, tempat dan waktu pelaksanaan lelang, serta informasi adanya pengumuman melalui tempelan/selebaran/brosur yang lebih terperinci.


    Pasal 27

    (1)        Pengumuman Lelang yang pelaksanaan lelangnya dilakukan di luar wilayah kerja KP2LN atau wilayah jabatan Pejabat Lelang Kelas II tempat barang berada, dilakukan di surat kabar harian di tempat pelaksanaan lelang dan ditempat barang berada.
    (2)        Dalam hal pengumuman lelang tidak dapat dilakukan di tempat pelaksanaan lelang dan/atau di tempat barang berada sehubungan tidak terdapat surat kabar harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengumuman lelang dilakukan di satu surat kabar harian nasional/ibukota propinsi yang mempunyai peredaran di tempat pelaksanaan lelang.
    (3)        Terhadap pelaksanaan lelang yang tersebar di 3 (tiga) kota atau lebih, pengumuman lelang dapat dilakukan di satu surat kabar harian yang mempunyai peredaran nasional.


    Pasal 28

    (1)        Pengumuman Lelang yang sudah diterbitkan melalui iklan surat kabar harian, atau melalui media lainnya, apabila diketahui terdapat kekeliruan redaksional harus segera di ralat.
    (2)        Ralat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sedemikian rupa agar tidak menyulitkan peminat lelang melakukan penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang.
    (3)        Ralat tidak diperkenankan dilakukan terhadap hal-hal sebagai berikut :
    a. menaikkan besarnya Uang Jaminan Penawaran Lelang;
    b. memajukan jam dan tanggal pelaksanaan lelang;
    c. memajukan batas waktu penyetoran Uang Jaminan Penawaran Lelang; atau
    d. memindahkan lokasi dari tempat pelaksanaan lelang semula.
    (4)        Ralat Pengumuman Lelang diumumkan melalui surat kabar harian atau media yang sama dengan menunjuk pengumuman lelang sebelumnya dan dilakukan paling lambat 1 (satu) hari sebelum Pelaksanaan lelang.
    (5)        Rencana ralat Pengumuman Lelang diberitahukan secara tertulis kepada Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan paling lambat 2 (dua) hari sebelum pelaksanaan lelang.


    BAB III
    PELAKSANAAN LELANG

    Bagian Pertama
    Harga Limit

    Pasal 29

    (1)        Pada setiap pelaksanaan lelang, Penjual wajib menetapkan Harga Limit berdasarkan pendekatan penilaian yang dapat dipertanggungjawabkan, kecuali pada pelaksanaan Lelang Non Eksekusi Sukarela barang bergerak, Penjual/Pemilik Barang dapat tidak mensyaratkan adanya Harga Limit.
    (2)        Terhadap Lelang Non Eksekusi Sukarela barang milik perorangan, kelompok masyarakat atau badan swasta, penetapan Harga Limit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Pemilik Barang .
    (3)        Selain lelang yang dimaksud pada ayat (3), penetapan Harga Limit harus didasarkan pada penilaian oleh Penilai Independen yang telah mempunyai Surat Izin Usaha Perusahaan Jasa Penilai (SIUPP) dan telah terdaftar pada Departemen Keuangan sesuai peraturan perundang-undangan, yaitu terhadap barang yang mempunyai nilai paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) atau mempunyai karakteristik unik/spesifik antara lain:

    1. Bandar Udara/Airport;
    2. Pelabuhan Laut/Dermaga;
    3. Pembangkit Listrik;
    4. Hotel berbintang;
    5. Lapangan Golf;
    6. Pusat Perbelanjaan/Shopping Complex;
    7. Pabrik/Kilang;
    8. Rumah Sakit;
    9. Stadion/Kompleks Olah Raga;
    10. Apartemen;
    11. Gedung bertingkat tinggi (4 lantai ke atas)/High Rise Building;
    12. Pertambangan, perikanan, perkebunan, perhutanan;
    13. Batu permata; atau
    14. Intangible Assets (Saham, Obligasi, Reksadana,Goodwill).

    (4)        Penetapan Harga Limit terhadap barang-barang yang nilainya diperkirakan kurang dari Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), bersifat umum, dan/atau tidak termasuk barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), didasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh Penilai Internal sesuai peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan antara lain:

    1. Nilai Pasar;
    2. Nilai Jual Objek Pajak dari Pajak Bumi dan Bangunan (NJOP PBB), dalam hal barang yang akan dilelang berupa tanah dan/atau bangunan;
    3. Nilai/Harga yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang;
    4. Risiko Penjualan melalui lelang seperti: Bea Lelang, penyusutan, penguasaan, cara pembayaran.

    (5)        Dalam hal pelaksanaan Lelang Eksekusi, Harga Limit serendah-rendahnya ditetapkan sama dengan Nilai Likuidasi (Forced Sale Value).
    (6)        Dalam hal pelaksanaan Lelang Ulang, Harga Limit pada lelang sebelumnya dapat diubah oleh Penjual dengan menyebutkan alasannya sesuai peraturan perundang-undangan.


    Pasal 30

    Penetapan Harga Limit menjadi tanggung jawab Penjual/Pemilik Barang.


    Pasal 31

    (1)        Harga Limit dapat bersifat terbuka/tidak rahasia atau dapat bersifat tertutup/rahasia sesuai keinginan Penjual/Pemilik Barang.
    (2)        Dalam hal Harga Limit bersifat terbuka/tidak rahasia, Harga Limit diumumkan dalam Pengumuman Lelang atau diumumkan dalam brosur leaflet/selebaran/daftar barang yang harus dibagikan kepada Peserta Lelang/Umum oleh Penjual/Pemilik Barang sebelum Pelaksanaan lelang.
    Dalam hal Harga Limit bersifat tertutup/rahasia, Harga Limit diserahkan oleh Penjual/Pemilik Barang kepada Pejabat Lelang dalam amplop tertutup paling lambat pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang.


    Pasal 32

    (1)        Dalam pelaksanaan Lelang Eksekusi dan Lelang Non Eksekusi Wajib, Harga Limit bersifat terbuka/tidak rahasia dan harus dicantumkan dalam Pengumuman Lelang.
    (2)        Dalam hal Lelang Non Eksekusi Wajib berupa kayu dan hasil hutan lainnya dari Tangan Pertama, harga Limit bersifat terbuka/tidak rahasia tidak harus dicantumkan dalam Pengumuman Lelang.


    Pasal 33

    Bukti penetapan Harga Limit diserahkan oleh Penjual/Pemilik Barang kepada Pejabat Lelang paling lambat pada saat akan dimulainya pelaksanaan lelang.


    Bagian Kedua
    Pemandu Lelang

    Pasal 34

    (1)        Dalam Pelaksanaan Lelang, Pejabat lelang dapat dibantu oleh Pemandu Lelang.
    (2)        Pemandu Lelang dapat berasal dari Pegawai DJPLN atau dari luar DJPLN.
    (3)        Persyaratan menjadi Pemandu Lelang.
    a. Pemandu Lelang yang berasal dari Pegawai DJPLN :
    1)
    sehat jasmani dan rohani;
    2)
    pendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat; dan
    3)
    lulus Diklat Pemandu Lelang dan mendapat surat tugas dari Pejabat yang berwenang.
    b. Pemandu Lelang yang berasal dari luar DJPLN :
    1) sehat jasmani dan rohani; dan
    2) pendidikan paling rendah Sekolah Menengah Umum atau yang sederajat.
    (4)        Pemandu Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diusulkan oleh Penjual/Balai Lelang kepada Kepala KP2LN dan/atau Pejabat Lelang yang akan melaksanakan lelang.
    (5)        Dalam hal pelaksanaan lelang dibantu oleh Pemandu Lelang, Pemandu Lelang dianggap telah mendapat kuasa dari Pejabat Lelang untuk menawarkan barang dengan ketentuan Pejabat Lelang harus tetap mengawasi dan memperhatikan pelaksanaan lelang dan/atau penawaran lelang oleh Pemandu Lelang.


    Bagian Ketiga
    Penawaran Lelang

    Pasal 35

    (1)        Penawaran lelang dapat dilakukan langsung dan/atau tidak langsung dengan cara :
    a. lisan, semakin meningkat atau menurun;
    b. tertulis; atau
    c. tertulis dilanjutkan dengan lisan, dalam hal penawaran tertinggi sebelum mencapai Harga Limit.
    (2)        Pada lelang dengan penawaran lelang yang dilaksanakan secara langsung, semua Peserta lelang yang sah atau kuasanya pada saat mengajukan penawaran harus hadir di tempat pelaksanaan lelang.
    (3)        Dalam hal Penawaran lelang dilakukan langsung secara lisan, Peserta Lelang mengajukan penawaran dengan lisan.
    (4)        Dalam hal Penawaran lelang dilakukan langsung secara tertulis, Peserta Lelang mengajukan penawaran dengan surat penawaran.
    (5)        Pada lelang dengan Penawaran lelang yang dilaksanakan tidak langsung, semua Peserta Lelang yang sah atau kuasanya saat mengajukan penawaran tidak diwajibkan hadir di tempat pelaksanaan lelang dan penawarannya dilakukan dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi.
    (6)        Dalam hal penawaran lelang dilakukan tidak langsung secara lisan, Peserta Lelang mengajukan penawaran dengan menggunakan media audio visual dan telepon.
    (7)        Dalam hal penawaran lelang dilakukan tidak langsung secara tertulis, peserta lelang mengajukan penawaran dengan menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi antara lain, LAN (local area network), Intranet, Internet, pesan singkat (short message service/SMS) dan faksimili.


    Pasal 36

    (1)        Pelaksanaan lelang secara tidak langsung dengan penawaran lelang Non Eksekusi melalui Internet, harus memenuhi ketentuan antara lain :

    1. penawaran lelang menggunakan perangkat lunak (software) yang dapat dioperasikan untuk penyelenggaraan lelang melalui Internet dengan harga semakin meningkat/naik-naik.
    2. Peserta Lelang yang sah mendapatkan nomor Peserta Lelang (login) dan sandi akses (password) tertentu agar dapat melakukan penawaran;
    3. Penawaran dilakukan sejak mulai pengumuman lelang sampai dengan penutup penawaran (closing time) secara berkesinambungan.
    4. Harga Limit bersifat terbuka/tidak rahasia yang ditayangkan dalam situs (web site).
    5. Peserta Lelang dapat mengetahui penawaran tertinggi yang diajukan oleh peserta Lelang lainnya secara berkesinambungan; dan
    6. Pejabat Lelang menetapkan pemenang lelang berdasarkan cetakan rekapitulasi penawaran yang diproses perangkat lunak (software) lelang melalui Internet di tempat pelaksanaan lelang pada saat penutupan penawaran (closing time).

    (2)        Ketentuan pelaksanaan lelang melalui Internet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


    Pasal 37

    (1)        Penawaran lelang yang diselenggarakan KP2LN dapat dilakukan dengan Harga Lelang Inklusif atau dengan Harga Lelang Eksklusif.
    (2)        Dalam hal lelang dilakukan dengan Harga Lelang Inklusif, Harga Lelang sama dengan Pokok Lelang dan sudah termasuk Bea Lelang Pembeli.
    (3)        Dalam hal lelang dilakukan dengan Harga Lelang Eksklusif, Harga lelang sama dengan Pokok Lelang namun belum termasuk Bea Lelang Pembeli.


    Pasal 38

    Penawaran Harga Lelang yang telah disampaikan oleh Peserta lelang kepada Pejabat Lelang tidak dapat diubah atau dibatalkan oleh Peserta Lelang.


    Pasal 39

    Dalam hal terdapat beberapa Peserta Lelang yang mengajukan penawaran tertinggi secara lisan semakin menurun atau tertulis dengan nilai yang sama dan mencapai atau melampaui Harga Limit, Pejabat Lelang berhak menentukan Pemenang Lelang dengan cara :

    1. melakukan penawaran lanjutan hanya terhadap Peserta Lelang yang mengajukan penawaran sama, yang dilakukan secara lisan (naik-naik) atau tertulis berdasarkan persetujuan Peserta Lelang bersangkutan; atau
    2. apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak dapat dilaksanakan, melakukan penetapan salah satu diantara Peserta Lelang yang mengajukan penawaran sama dengan melakukan pengundian.



    Pasal 40

    (1)        Cara penawaran lelang ditentukan oleh Kepala KP2LN atau Pejabat lelang Kelas II sesuai Permintaan Pemohon Lelang/Penjual secara tertulis.
    (2)        Dalam hal pemohon Lelang/Penjual tidak menentukan cara penawaran lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala KP2LN/ Pejabat Lelang Kelas I atau Pejabat Lelang Kelas II berhak menentukan sendiri cara penawaran lelang.
    (3)        Dalam satu pelaksanaan lelang, Penjual tidak diperkenankan mengusulkan cara penawaaran lisan untuk sebagian barang dan cara penawaran tertulis untuk sebagian barang lainnya.


    Pasal 41

    Penawaran Lelang dalam Lelang Eksekusi harus dilakukan secara langsung.


    Pasal 42

    Ketentuan lebih lanjut mengenai penawaran lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.


    Bagian Keempat
    Bea Lelang dan Uang Miskin

    Pasal 43

    (1)        Setiap pelaksanaan lelang dikenakan Bea Lelang sesuai Peraturan Pemerintah tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan.
    (2)        Setiap pelaksanaan lelang dikenakan Uang Miskin sebesar 0% (nol persen).


    Pasal 44

    Pelaksanaan lelang yang ditahan atau tidak ada penawaran tidak dikenakan Bea Lelang.


    Pasal 45

    Pelaksanaan lelang yang dilaksanakan oleh Perusahaan Umum Pegadaian dikenakan Bea Lelang Eksekusi.


    Pasal 46

    (1)        Penundaan atau pembatalan terhadap rencana pelaksanaan lelang yang dilakukan oleh Penjual dalam jangka waktu kurang dari 8 (delapan) hari sebelum lelang dikenakan Bea Lelang Batal sesuai Peraturan Pemerintah tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Keuangan, kecuali lelang barang-barang milik Pemerintah Pusat/Daerah.
    (2)        Bea Lelang Batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Penjual atau pihak yang minta pembatalan/pihak yang mendapat keuntungan dari penundaan atau pembatalan lelang sesuai peraturan perundang-undangan.
    (3)        Bea Lelang Batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan dalam hal terdapat pembatalan lelang karena adanya putusan/penetapan peradilan atau pembatalan oleh Pejabat lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (6).


    Bagian Kelima
    Pembeli

    Pasal 47

    (1)        Pada lelang yang menggunakan Harga Limit, Pejabat Lelang dapat mensahkan penawar tertinggi sebagai pembeli apabila penawaran yang diajukan telah mencapai atau melampaui Harga Limit.
    (2)        Pembeli tidak diperkenankan mengambil/menguasai barang yang dibelinya sebelum memenuhi kewajiban membayar Harga Lelang dan pajak/Pungutan sah lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


    Pasal 48

    (1)        Pembeli yang bertindak untuk orang lain atau badan harus menyampaikan surat kuasa yang bermeterai cukup dengan dilampiri fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP)/Surat Izin Mengemudi (SIM)/Paspor pemberi kuasa.
    (2)        Penerimaan kuasa dilarang menerima lebih dari satu kuasa untuk barang yang sama.
    (3)        Sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan dan pertanahan, Bank sebagai kreditor dapat membeli agunannya melalui lelang, dengan ketentuan menyampaikan surat Pernyataan bahwa Pembelian tersebut dilakukan untuk pihak lain yang akan ditunjuk kemudian dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
    (4)        Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah terlampaui, bank dianggap sebagai Pembeli.
    (5)        Pembelian agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disertai dengan akte notaris.


    Pasal 49

    (1)        Pejabat Lelang, Penjual, Pemandu Lelang, Hakim, Jaksa, Panitera, Juru Sita, Pengacara/ Advokat, Notaris, PPAT, Penilai, Pegawai DJPLN, Pegawai Balai Lelang dan Pegawai Kantor Pejabat Lelang Kelas II yang terkait langsung dengan proses lelang dilarang menjadi pembeli.
    (2)        Selain pihak-pihak yang dimaksud pada ayat (1), pada pelaksanaan Lelang Eksekusi, pihak tereksekusi/debitor/tergugat/terpidana yang terkait dengan lelang dilarang menjadi Pembeli.


    Bagian Keenam
    Pembayaran dan Penyetoran Harga Lelang

    Pasal 50

    (1)        Pembayaran Harga Lelang dilakukan secara tunai/cash atau cek/giro paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
    (2)        Pembayaran Harga Lelang diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat izin dari Direktur Jenderal atas nama Menteri sebelum pelaksanaan lelang.
    (3)        Setiap pembayaran Harga Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dibuat kuitansi atau tanda bukti pembayaran harga lelang oleh KP2LN/Balai Lelang atau Pejabat Lelang.
    (4)        Jangka waktu pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus dicantumkan dalam pengumuman lelang.
    (5)        Pembeli yang tidak dapat memenuhi kewajibannya setelah disahkan sebagai pemenang lelang tidak diperbolehkan mengikuti lelang di seluruh wilayah Indonesia dalam waktu 6 (enam) bulan.
    (6)        Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Harga Lelang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.


    Pasal 51

    (1)        Penyetoran Hasil Bersih Lelang kepada Penjual, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima oleh Bendaharawan Penerima KP2LN.
    (2)        Bendaharawan Penerima KP2LN menyetorkan Bea Lelang dan Pajak Penghasilan (PPh) ke Kas Negara, dalam waktu 1 (satu) hari kerja setelah pembayaran diterima.
    (3)        Dalam hal lelang diselenggarakan oleh Balai Lelang, penyetoran Hasil Bersih Lelang kepada Penjual/Pemilik Barang dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pembayaran diterima Balai Lelang atau sesuai perjanjian antara Balai Lelang dengan Penjual/Pemilik Barang.


    Bagian Ketujuh
    Penyerahan Dokumen Kepemilikan Barang Lelang

    Pasal 52

    (1)        Atas permintaan Pembeli, Pejabat Lelang wajib menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada Pembeli, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli menunjukan bukti pelunasan kewajibannya, dalam hal Penjual/Pemilik Barang menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (2) kepada Pejabat Lelang.
    (2)        Dalam hal Penjual tidak menyerahkan asli dokumen kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) kepada Pejabat Lelang, atas permintaan Pembeli, Penjual/Pemilik Barang wajib menyerahkan asli dokumen kepemilikan dan/atau barang yang dilelang kepada Pembeli, paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Pembeli menunjukkan bukti pelunasan kewajibannya.


    BAB IV
    RISALAH LELANG

    Pasal 53

    (1)        Terhadap setiap pelaksanaan lelang Pejabat Lelang membuat Risalah Lelang.
    (2)        Risalah Lelang terdiri dari :
    a. Bagian Kepala;
    b. Bagian Badan; dan
    c. Bagian kaki.
    (3)        Risalah Lelang dibuat dalam bahasa Indonesia.
    (4)        Setiap Risalah Lelang diberi nomor.


    Pasal 54

    Bagian Kepala Risalah Lelang memuat sekurang-kurangnya :

    1. hari, tanggal, dan jam lelang ditulis dengan huruf dan angka;
    2. nama lengkap, tempat tinggal/domisili, dan nomor/tangal Surat keputusan Pengangkatan Pejabat Lelang;
    3. nama lengkap, pekerjaan dan tempat tinggal/domisili Penjual;
    4. nomor/tanggal surat permohonan lelang;
    5. tempat pelaksanaan lelang;
    6. sifat barang yang dilelang dan alasan barang tersebut dilelang.
    7. dalam hal yang dilelang barang-barang tidak bergerak berupa tanah atau tanah dan bangunan harus disebutkan :
    1)         status hak atau surat-surat lain yang menjelaskan bukti kepemilikan;
    2)         SKT dari Kantor Pertanahan; dan
    3)         keterangan lain yang membebani, apabila ada;
    8. dalam hal yang dilelang barang bergerak harus disebutkan jumlah, dan jenis/spesifikasi.
    9. metode/cara pengumuman lelang yang telah dilaksanakan oleh Penjual; dan
    10. syarat-syarat lelang.



    Pasal 55

    Bagian Badan Risalah Lelang memuat sekurang-kurangnya :

    1. banyaknya penawaran lelang yang masuk dan sah;
    2. nama barang yang dilelang;
    3. nama, pekerjaan dan alamat pembeli, sebagai pembeli atas nama sendiri atau sebagai kuasa atas nama orang lain;
    4. bank kreditor sebagai Pembeli untuk orang atau badan yang akan ditunjuk namanya, dalam hal bank kreditor sebagai Pembeli lelang.
    5. Harga lelang dengan angka dan huruf; dan
    6. daftar barang yang laku terjual maupun yang ditahan disertai dengan nilai, nama, alamat peserta lelang yang menawar tinggi.



    Pasal 56

    Bagian Kaki Risalah Lelang memuat sekurang-kurangnya :

    1. banyaknya barang yang ditawarkan/dilelang dengan angka dan huruf;
    2. jumlah nilai barang-barang yang telah terjual dengan angka dan huruf;
    3. jumlah nilai barang-barang yang ditahan dengan angka dan huruf;
    4. banyaknya dokumen/surat-surat yang dilampirkan pada Risalah Lelang dengan angka dan huruf;
    5. jumlah perubahan yang dilakukan (catatan, tambahan, coretan dengan penggantinya) maupun tidak adanya perubahan ditulis dengan angka dan huruf; dan
    6. tanda tangan Pejabat Lelang dan Penjual/kuasa penjual dalam hal lelang barang bergerak; atau
    7. tanda tangan Pejabat Lelang, Penjual/Kuasa Penjual dan Pembeli/kuasa pembeli dalam hal lelang barang tidak bergerak.



    Pasal 57

    (1)        Pembetulan kesalahan Risalah Lelang berupa pencoretan, penggantian, dilakukan sebagai berikut :

    1. pencoretan kesalahan kata, huruf atau angka dalam Risalah Lelang dilakukan dengan garis lurus tipis, sehingga yang dicoret dapat dibaca; dan/ atau
    2. penambahan/perubahan kata atau kalimat Risalah Lelang ditulis disebelah pinggir kiri dari lembar Risalah Lelang atau ditulis pada bagian bawah dari bagian kaki Risalah Lelang dengan menunjuk lembar dan garis yang berhubungan dengan perubahan itu, apabila penulisan di pinggir kiri dari lembar Risalah Lelang tidak mencukupi.

    (2)        Jumlah kata, huruf atau angka yang dicoret atau yang ditambahkan diterangkan pada sebelah pinggir lembar Risalah Lelang, begitu pula banyaknya kata/angka yang ditambahkan.
    (3)        Perubahan sesudah risalah Lelang ditutup dan ditandatangani tidak boleh dilakukan.


    Pasal 58

    (1)        Penandatanganan Risalah lelang dilakukan oleh :

    1. Pejabat Lelang pada setiap lembar di sebelah kanan atas dari Risalah Lelang, kecuali lembar yang terakhir;
    2. Pejabat Lelang dan Penjual/Kuasa Penjual pada lembar terakhir dalam hal lelang barang bergerak; atau
    3. Pejabat Lelang, Penjual/Kuasa Penjual dan Pembeli/kuasa Pembeli pada lembar terakhir dalam hal lelang barang tidak bergerak.

    (2)        Dalam hal Penjual tidak menghendaki menandatangani Risalah Lelang atau tidak hadir setelah Risalah Lelang ditutup, Pejabat Lelang membuat catatan keadaan tersebut pada bagian Kaki Risalah Lelang dan menyatakan catatan tersebut sebagai tanda tangan penjual.
    (3)        Minuta Risalah Lelang ditandatangani oleh Pejabat Lelang pada saat penutupan pelaksanaan lelang.
    (4)        KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II hanya dapat memperlihatkan atau memberitahukan Minuta Risalah Lelang kepada pihak yang berkepentingn langsung dengan Risalah Lelang, ahli warisnya atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan.


    Pasal 59

    (1)        Jika terdapat hal-hal penting yang diketahui setelah penutupan Risalah Lelang, Pejabat Lelang harus membuat mencatat hal-hal tersebut pada bagian bawah setelah Kaki Minuta Risalah Lelang dan membubuhi tanggal dan tanda tangan.
    (2)        Hal-hal penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi :

    1. adanya atau tidak adanya bantahan atas pembayaran Harga Lelang;
    2. adanya Pembeli wanprestasi;
    3. adanya Pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (3);
    4. adanya pemberian duplikat Kutipan Risalah Lelang sebagai pengganti asli Kutipan Risalah Lelang yang hilang atau rusak;
    5. adanya pemberian Grosse Risalah lelang atas permintaan Pembeli;
    6. adanya pembatalan Risalah Lelang berdasarkan putusan hakim yang sudah berkekuatan hukum tetap; atau
    7. hal-hal lain yang akan ditetapkan kemudian oleh Direktur Jenderal.

    (3)        Dalam hal Pejabat Lelang Kelas I dipindahtugaskan/meninggal dunia, maka pencatatan dan penandatangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Kepala KP2LN.


    Pasal 60

    (1)        Minuta Risalah Lelang dibuat paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah pelaksanaan lelang.
    (2)        Minuta Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang Kelas I disimpan oleh KP2LN.
    (3)        Minuta Risalah Lelang dibuat oleh Pejabat Lelang Kelas II disimpan oleh yang bersangkutan.
    (4)        Jangka Waktu Simpan Minuta Risalah Lelang selama 30 (tiga puluh) tahun.


    Pasal 61

    (1)        Pihak yang berkepentingan dapat memperoleh Kutipan/Salinan/Grosse yang otentik dari Minuta Risalah Lelang dengan dibebani Bea Meterai.
    (2)        Pihak-pihak yang berkepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) meliputi :

    1. Pembeli dapat memperoleh Kutipan Risalah Lelang sebagai Akta Jual Beli untuk kepentingan balik nama atau Grosse Risalah Lelang sesuai kebutuhannya;
    2. Penjual memperoleh Salinan Risalah Lelang untuk laporan pelaksanaan lelang atau Grosse Risalah Lelang sesuai kebutuhannya;
    3. Superintenden (Pengawas Lelang) memperoleh Salinan Risalah lelang untuk laporan Pelaksanaan lelang/kepentingan dinas.

    (3)        Salinan/Kutipan/Grosse yang otentik dari Minuta Risalah Lelang ditandatangani, diberikan teraan cap/stempel dan diberi tanggal pengeluaran oleh Kepala KP2LN atau Pejabat Lelang Kelas II yang bersangkutan.
    (4)        Kutipan Risalah Lelang untuk lelang tanah atau tanah dan bangunan ditandatangani oleh Kepala KP2LN/Pejabat Lelang Kelas II setelah Pembeli menyerahkan bukti pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Pembangunan (BPHTB).

    Pasal 62

    Grosse Risalah Lelang yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", dapat diberikan atas permintaan Pembeli.


    Pasal 63

    (1)        Dalam rangka kepentingan proses peradilan, fotocopy Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Risalah lelang dapat diberikan kepada penyidik, penuntut umum atau hakim, dengan persetujuan Superintenden (Pengawas Lelang) bagi Pejabat Lelang Kelas II atau Kepala KP2LN bagi Pejabat Lelang Kelas I.
    (2)        Atas pengambilan fotocopi Minuta Risalah Lelang dan/atau surat-surat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat Berita Acara Penyerahan.



    Pasal 64

    Ketentuan lebih lanjut mengenai Risalah Lelang diatur dengan Peraturan Direktur jenderal.


    BAB V
    ADMINISTRASI PERKANTORAN DAN PELAPORAN LELANG

    Pasal 65

    (1)        KP2LN dan Kantor Pejabat Lelang Kelas II menyelenggarakan administrasi perkantoran dan membuat laporan yang berkaitan dengan pelaksanaan lelang.
    (2)        Kantor Wilayah membuat laporan rekapitulasi pelaksanaan lelang.
    (3)        Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan administrasi perkantoran dan pembuatan laporan pada KP2LN dan Kantor Pejabat Lelang Kelas II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal.


    BAB VI
    KETENTUAN PERALIHAN

    Pasal 66

    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 14 ayat (6) huruf g, Pasal 29 ayat (4), Pasal 29 ayat (5), dan Pasal 32 ayat (1) diberlakukan 6 (enam) bulan sejak berlakunya peraturan Menteri ini.


    Pasal 67

    Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini berlaku permintaan lelang yang telah ditetapkan jadwal pelaksanaan lelangnya dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang lama.


    BAB VII
    KETENTUAN PENUTUP

    Pasal 68

    Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 450/KMK.01/2002 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


    Pasal 69

    Peraturan Menteri keuangan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

    Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





    Ditetapkan di Jakarta
    pada tanggal 30 Mei 2006
    MENTERI KEUANGAN,

    ttd.

    SRI MULYANI INDRAWATI


    Peraturan Terkait
    1.      Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/kmk.01/2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang
    2.      Keputusan Menteri Keuangan - 450/KMK.01/2002, Tanggal 28 Oktober 2002
    3.      Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Eselon I Di Lingkungan Departemen Keuangan Untuk Dan Atas Nama Menteri Keuangan Menandatangani Surat Dan Atau Keputusan Menteri Keuangan
    4.      Keputusan Menteri Keuangan - 371/KMK.01/2002, Tanggal 5 Agustus 2002
    5.      Petunjuk Pelaksanaan Lelang
    6.      Keputusan Menteri Keuangan - 304/KMK.01/2002, Tanggal 13 Juni 2002
    7.      Penerimaan Negara Bukan Pajak
    8.      Undang-Undang - 20 TAHUN 1997, Tanggal 23 Mei 1997