Minggu, 28 Februari 2010

PEMBACAAN ISI AKTA DAN PARAF DALAM AKTA WASIAT


Pembaca berikut ini saya kutipkan diskusi antara rekan Pieter Latumeten dan rekan Patrick di salah satu forum komunikasi Notaris-PPAT di FB.

Pak Piet menyatakan sebagai berikut :
HAI REKAN REKAN NOTARIS, BANYAK DIJUMPAI NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA WASIAT, TIDAK MEMBUBUHKAN PARAF DISETIAP LEMBAR AKTA WASIAT. KITA KETAHUI WASIAT BERLAKU SETELAH SI PEMBUAT WASIAT MENINGGAL DUNIA, OLEH KARENA ITU UU MENENTUKAN SYARAT SYARAT YNG KETAT DALAM PEMBUATAN WASIAT UNTUK MENGHINDARI PEMALSUAN. WAIAT YG TIDAK DIPARAF OLEH PEMBUAT WASIAT, SAKSI SAKSI DAN NOTARIS DISETIAP LEMBAR MERUPAKAN PELANGGARAN BENTUK AKTA WASIAT YG MENGAKIBATKAN AKTA WASIAT MENJADI NON EXSISTENT (TIDAK ADA) ATAU DALAM PRAKTIK MENJAI BATAL DEMI HUKUM. WASIAT TANPA DIPARAF MENJADI KASUS, DIMANA KAMI DIMINTA JUGA MENJADI SAKSI AHLINYA. PIETER L SH,MH

Saya mengkomentarinya sbb :
Aturan dari mana tuh Pak tiap lembar akta wasiat harus diparaf agar sah? Semoga aja yang ahli-ahli tidak keblinger...

Selanjutnya komentar-komentar Pak Piet sbb:
- baca uu jabatan notaris, mas yusuf. ini kasus batal saya saksi ahli di tegal.
- hakim mendasarkan pada pasal 16 ayat 9 UUJN. kita boleh beda pendapat, tapi hakim berpendapat lain mas yusuf. lihat pasal 16 ayat 9 jo ayat 7 ayat 8 UUJN itu dasarnya.
- bagaimana memahami penegak hukum, bahwa pasal 16 ayat 9 itu hanya untuk pembacaan akta tapi mereka berpendapat tidak berlaku bagi wasiat, jadi tetap harus diparaf ps 16 ayat 9 jo ayat 7 uUJN
- ps 16 ayat 9 memang sebagian menganggap jika akta wasiat dibacakan sendiri oleh penghadap itu tidak berlaku alias notaris tetap membacanya tapi dalam praktik tetap tanpa paraf wasiat dianggap batal dan hal itu dianggap melanggar bentuk yg diatur dalam UUJN sebagai lex spesialis dai kuhperdata. BW berlaku untuk golongoan eropah dan keutiurnan cina tapi jika tidak menyangkut substansinya bagi golongan lain dapat menundukkan diri secara sukarela. ini kasus sudah berjalan.

Nah rekan-rekan milis bagaimana anda menanggapi kasus ini dan pandangan hakim terhadap kasus tersebut ?

Saya pribadi berpendapat sebagai berikut :
Setiap notaris harus paham betul bahwa kandungan pasal 16 adalah kewajiban Notaris secara umum dalam melakukan jabatannya salah satunya adalah membacakan setiap akta yang dibuat dihadapan atau olehnya ( huruf l ). Dan sebelum jaman UUJN ketentuan ini tidak dapat ditawar2, namun dalam UU JN -mungkin atas saran dari notaris yang ribuan aktanya tiap bulan- maka ketentuan untuk tidak membacakan isi akta tersebut dapat dikecualikan, asalkan hal itu dinyatakan dalam akhir akta dan tiap halaman minuta dibubuhi paraf oleh (para) penghadap, (para) saksi dan notaris (sesuai pasal 16 ayat 7).
Namun ketentuan pengecualian pembacaan akta tersebut tidak berlaku bagi akta wasiat ( Jadi setiap akta wasiat harus dibacakan dan tidak boleh hanya dibaca sendiri oleh penghadap dan selanjutnya di paraf oleh penghadap, saksi dan notaris disetiap halamannya ).

Ayat 8 harus ditafsirkan bahwa ketentuan ayat 1 huruf l dan ayat 7 berlaku bagi akta-akta umum.

Peringatan bagi para notaris apabila tidak memenuhi prosedure pembuatan akta wasiat umum seperti dalam pasal 939 KUHPdt, maka aktanya batal demi hukum sesuai pasal 953 KUHPdt.

Bagaimana prosedure yang wajib dilakukan oleh setiap notaris dalam membuat akta wasiat umum adalah sebagai berikut :
1. Penghadap memberitahukan kehendaknya dihadapan notaris ( tanpa dihadiri saksi);
2. Notaris menyiapkan naskahnya;
3. Penghadap memberitahukan kehendaknya dihadapan saksi;
4. Naskah (minuta akta wasiat) dibacakan dihadapan penghadap dan para saksi;
5. Ditanyakan kepada penghadap apakah yang dibaca tersebut adalah sudah sesuai dengan kehendaknya ( tanya jawab juga dilakukan dihadpaan para saksi)
6. Penanda tanganan minuta akta oleh penghadap, notaris dan para saksi (perhatikan urutannya ! berbeda dengan akta pada umumnya ! ) Tidak ada kewajiban untuk memberikan paraf di setiap halaman minuta akta wasiat .

Berbahaya sekali kalau kita membubuhkan paraf disetiap halaman minuta karena justru dengan demikian dapat dianggap kita tidak memenuhi prosedure yang tertera dalamn pasal 939 KUHPdt; yang berakibat pada batalnya akta tersebut ( pasal 953 KUHPdt ).

Tiap notaris harus jeli dalam menerapkan prinsip/asas Lex specialis derogat lex generealis; ketentuan pasal 16 ayat 1 huruf l dan ayat 7 hanya berlaku bagi akta-akta umum dengan diancam akta hanya berlaku sebagai akta dibawah tangan apabila tidak dilakukan salah satu ketentuan 9 ayat 1 huruf l atau ayat 7- hal ini ditegaskan dalam ayat 8); sedangkan khusus akta wasiat tidak berlaku ketentuan dalam pasal 16 ayat 7 sebagaimana ditegaskan dalam ayat 9 UU JN; ayat 8 tidak bermakna apapun dalam hal ini.

Demikianlah argumentasi hukum yang dapat dipertanggung jawabkan kepada pihak manapun terlepas dari apakah keputusan hakim atas hal tersebut telah memiliki kekuatan hukum yang tetap ataukah belum.

Selanjutnya pak Piet meminta kepada kita semua :
BULAN DEPAN (MARET 2010) SAYA AKAN MENULIS LENGKAP DENGAN ARGUMENTASI DAN DASAR HUKUM TENTANG KEWAJIBAN SETIAP AKTA WASIAT WAJIB DIPARAF, DAN REKAN REKAN BISA MENANGGAPINYA DI MAJALAH RENVOI (MAJALAH NOTARIS). DIHARAPKAN BISA ADA BANTAHAN ATAU ARGUMENTASI HUKUM TENTANG INI, SEBAGAI MASUKAN BAGI PENEGAK HUKUM. PIETER

Kepada Pak Piet saya telah mengajukan bantahan sekaligus argumentasi hukum sesuai uraian di atas bahwa Minuta Akta Wasiat sama sekali tidak boleh diparaf di setiap halamannya oleh penghadap, saksi-saksi dan notaris, karena jika dilakukan hal demikian tersebut, maka dapat dianggap bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap prosedure pembuatan akta wasiat (yang harus dilakukan sesuai prosedure pasal 939 KUHPdt) dan sesuai ancaman pasal 953 KUHPdt, jika tidak dilakukan sesuai prosedure dalam pasal 939 maka akta wasiat tersebut batal demi hukum.

Mohon maaf kalau ada kata-kata yang kurang berkenan di hati pak Piet dan juga saya berharap perbedaan ini dapat memperkaya khasanah pengetahuan kita.
Salam sejahtera.

Rabu, 24 Februari 2010

PENGIKATAN JAMINAN PESAWAT TERBANG



Pengikatan Jaminan Pesawat Terbang sebagai jaminan fasilitas kredit Bank


LATAR BELAKANG

Suatu BANK telah menyalurkan fasilitas kredit kepada debiturnya dengan menerima barang jaminan kredit yang satu diantaranya adalah pesawat terbang. Pengikatan yang dilakukan oleh BANK terhadap 2 (dua) unit pesawat terbang dimaksud adalah secara Fidusia Notariil.

Hal tersebut selanjutnya menjadi temuan Tim Audit Internal BANK ybs dan berdasarkan hasil audit tersebut, Tim Audit memberikan rekomendasi agar pengikatan terhadap pesawat terbang dimaksud dilakukan secara Fidusia dan mendaftarkannya ke Kantor Pendaftaran Fidusia.

DASAR HUKUM

   1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
   2. UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
   3. UU No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia;

PEMBAHASAN

Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju, lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.

Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.

Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia, kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :

·        Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia;
·        Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
·        Dimiliki oleh instansi pemerintah;
·        Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.

Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Selain tanda pendaftaran Indonesia , sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia. Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia, akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).

Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia. Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :

(1)              Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotek.

(2)              Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan.

(3)              Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotek pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik. Lalu timbul pertanyaan bagaimanakah tata cara pendaftaran hipotik pesawat terbang dan helikopter ? lembaga manakah yang berwenang mencatat pendaftaran dan menerbitkan Sertipikat Hipotik atas pesawat terbang dan helikopter ?

Berdasarkan penelitian kami, peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.

Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat terbang dapat diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia ? mengingat pengikatan fidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-benda jaminan yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik ?

Walapun dalam ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia, pada Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah benda yang terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek, namun pasal/klausul tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat terbang, mengingat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotek atas pesawat terbang.

KESIMPULAN, SARAN DAN CATATAN PENULIS

Kesimpulan

Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.

Saran

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas sebagai langkah pengamanan bagi BANK, kami memberikan masukan agar terhadap jaminan berupa pesawat terbang diperlakukan sebagai jaminan tambahan dan bukan sebagai jaminan pokok atas suatu hutang (fasilitas kredit). Namun demikian apabila jaminan pesawat terbang tersebut harus diterima oleh BANK, maka kami menyarankan agar BANK memperkirakan dan meyakinkan bahwa tidak ada kreditur lain yang mempunyai hubungan utang piutang dengan pihak debitur yang menyerahkan pesawat terbang sebagai jaminan kredit.

Catatan

Pemerintah seyogyanya memperhatikan permasalahan ini, karena kebutuhan akan penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia, sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan. Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.

Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera  mendapatkan kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.

… and justice for all …

Penulis  :  Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan


Catatan :

Sebagai tambahan

UU Penerbangan baru UU Penerbangan yang baru (UU No. 1 Tahun 2009) tidak menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang.

Dalam UU Penerbangan 2009 ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82 tetapi memang tidak menyebutkan hipotik. Sepengetahuan saya, dikarenakan belum ada PP berdasarkan UU lama maka pembebanan jaminan atas pesawat terbang dapat dilakukan dengan Fidusia. Supaya tidak tunduk pada hukum hipotik maka yang menjadi obyek fidusia adalah bukan pesawat secara utuh tetapi bagian2 dari pesawat, misalnya mesin, turbin, badan pesawat/kabin, dlsb (walaupun dapat saja meliputi hampir seluruh bagian pesawat). Kayaknya ini akal-akalan tetapi tidak melanggar hukum. Ini merupakan satu-satunya alternatif cara pembebanan untuk “pesawat” apabila memang tidak ada agunan lain. Soal bagaimana eksekusinya, itu persoalan lain.

Rabu, 17 Februari 2010

BAB TENTANG RISALAH LELANG Bag. 1



SASARAN PEMBELAJARAN :

Setelah mempelajari bab ini, mahasiswa diharapkan mampu:
  • menjelaskan pengertian, fungsi dan bentuk Risalah Lelang.
  • memahami dan mempraktekkan cara pembetulan kesalahan pembuatan Risalah Lelang.
  • mengetahui dan dapat membedakan minut, grosse, salinan, dan petikan Risalah Lelang.
  • memahami dan menjelaskan tata cara penandatanganan dan pemberian catatan setelah risalah lelang ditutup oleh para pihak.
  • mengetahui dan memaparkan tata cara penyimpanan dan pengambilan Risalah Lelang.


PENGERTIAN DAN FUNGSI RISALAH LELANG

Risalah Lelang merupakan legal output dari KP2LN.
Menurut Pasal 1868 jo pasal 37, 38 dan 39 Vendu Reglement, Risalah Lelang termasuk akta otentik. Selanjutnya menurut Pasal 1870 akta otentik merupakan bukti yang sempurna. Risalah lelang juga merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. “Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak dan persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Pengertian Risalah Lelang
Menurut Pasal 35 Vendu Reglement mengatakan “Tiap penjualan di muka umum oleh juru lelang atau kuasanya dibuat berita acara tersendiri yang bentuknya ditetapkan seperti dimaksud dalam Pasal 37, 38 dan 39 VR”. Namun dalam perkembangannya istilah berita acara lelang tersebut berubah menjadi risalah lelang. Sejak kapan penggunaan risalah lelang tersebut secara resmi belum diketahui akan tetapi istilah risalah lelang itu menurut Pedoman Administrasi Umum Departemen Keuangan dapat diartikan sebagai berikut :

a.      Berita acara adalah risalah mengenai suatu peristiwa resmi dan kedinasan yang disusun secara teratur dimaksudkan untuk mempunyai kekuatan bukti tertulis bilamana diperlukan sewaktu–waktu. Berita acara ini ditandatangani oleh pihak–pihak yang bersangkutan.

b.      Risalah adalah laporan mengenai jalannya suatu pertemuan yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh si pembuat dan/atau pertemuan itu sendiri, sehingga mengikat sebagai dokumen resmi dari kejadian/peristiwa yang disebutkan didalamnya.

Dari kedua pengertian tentang berita acara dan risalah tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa risalah lelang adalah berita acara yang merupakan dokumen resmi dari jalannya penjualan dimuka umum atau lelang yang disusun secara teratur dan dipertanggungjawabkan oleh Pejabat Lelang dan para pihak (penjualan dan pembelian) sehingga pelaksanaan lelang yang disebut didalamnya mengikat.

Dengan pengertian lelang yang dimaksud, maka risalah lelang harus memuat:
1. Apa
2. Mengapa
3. Dimana
4. Bila
5. Bagaimana, dan
6. Siapa–siapa terlibat

Apa : yang dilelangkan menjelaskan tentang objek atas barang yang dilelangkan.

Mengapa : dilakukan pelelangan menjelaskan latar belakang sampai timbulnya lelang tersebut. Hal ini penting sekali dijelaskan dalam lelang eksekusi.

Dimana : dilelangkan menjelaskan dimana dilaksanakan lelang tersebut.

Bila : kapan lelang dilaksanakan.

Bagaimana : Pelaksanaan lelang menjelaskan proses terjadinya penawaran sampai dengan ditunjuknya Pembeli Lelang.

Siapa-siapa : yang terlibat dalam lelang, siapa pemohon/penjual lelang, siapa penawar-penawar, dan siapa Pembeli Lelang.

Hal pembuatan risalah lelang ini telah diatur dalam Pasal 35, 37, 38, 39, dan 40. Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 304/KMK.01/2002 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, definisi risalah lelang adalah berita acara pelaksanaan lelang yang dibuat oleh pejabat lelang yang merupakan akta otentik dan mempunyai kekuatan pembuktian sempurna bagi para pihak.

Fungsi Risalah Lelang

Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik
Suatu peristiwa penting yang mempunyai akibat hukum, misalnya suatu  transaksi atau suatu perikatan, perlu adanya pembuktian sebagai bukti bias digunakan kesaksian dari yang melihat peristiwa itu, akan tetapi saksi hidup ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu bila suatu peristiwa akan dibuktikan kebenarannya, saksi-saksi itu sudah tidak ada lagi.

Oleh karena adanya kelemahan untuk pembuktian dengan saksi hidup tersebut, pihak-pihak yang berkepentingan mulai mencari dan menyadari pentingnya bukti-bukti tertulis. Mereka mulai mencatat dalam suatu surat (dokumen) dan ditandatangani oleh pihak yang berkepentingan berikut saksi-saksinya. Disinilah awal kesadaran perlunya pembuktian tertulis walaupun masih dibawah tangan. Sedangkan pengertian tentang akta otentik seperti yang dikenal dalam KUH Perdata belum ada.

Menurut hukum, risalah lelang termasuk kategori akta otentik. Sebelum membahas apa itu akta otentik, terlebih dahulu diuraikan/dijelaskan mengenai pengertian akta. Istilah akta dalam bahasa Belanda disebut acte dan dalam bahasa Inggris act atau deed sedangkan menurut R. Subekti dan Tjitrosudibyo dalam bukunya “Kamus Hukum” bahwa acte merupakan bentuk jamak dari actum dari bahasa latin yang artinya perbuatan-perbuatan.

Selanjutnya beberapa ahli memberikan pengertian akta sebagai berikut :
1.      menurut R. Subekti dalam bukunya “Pokok-pokok Hukum Perdata”, kata akta dalam Pasal 108 KUH Perdata bukanlah berarti surat melainkan harus diartikan dengan perbuatan hukum.
2.      A. Pitlo mengartikan akta sebagai bukti surat-surat yang ditandatangani dan dibuat untuk dipakai sebagai bukti dan untuk dipergunakan oleh orang untuk siapa surat itu dibuat.
3.      Vegeen, Openhein, dan Polak berpendapat bahwa akta adalah suatu tulisan yang ditandatangai, dibuat dan dipergunakan sebagai bukti.
4.      Selanjutnya Sudikno Mertokusumo dalam bukunya “Hukum Acara Perdata di Indonesia” mengatakan bahwa akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak atas perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
5.      Mr. Tresna dalam bukunya “Komentar Atas Reglement Hukum Acara di Dalam Pemeriksaan dimuka Pengadilan Negeri/HIR” mengatakan bahwa akta adalah suatu surat yang ditandatangani yang memuat keterangan tentang kejadian-kejadian atau yang merupakan dasar dari suatu hak atau suatu perjanjian.

Dari beberapa definisi tersebut diatas, berarti tidak setiap surat disebut akta, melainkan yang memenuhi syarat sebagai berikut :
1.      Surat harus ditandatangani
Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1869 KUH Perdata : “Suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya Pejabat Umum atau karena sesuatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan dibawah tangan jika ditandatangani oleh pihak”.
Maksud keharusan ditandatanganinya suatu akta adalah untuk memberi cirri tersendiri dari suatu akta sebab suatu tanda tangan seseorang mempunyai sifat individual.

2.      Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atas suatu perikatan.

3.      Surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.

Kemudian bagaimana dengan risalah lelang jika dihubungkan dengan definisi tentang akta oleh Sudikni Mertokusumo tersebut diatas?

Risalah Lelang :
Pertama : Bahwa setiap risalah lelang harus ditandatangani oleh para pihak baik pejabat lelang, pejabat penjual maupun pembeli (vide Pasal 38 VR).
Tiap lembar pada sudut kanan atas harus ditandatangani oleh pejabat lelang, kecuali pada lembar terakhir, karena pada lembar terakhir ini berarti terdapat bagian kaki/penutup dari risalah lelang yang harus ditandatangani pejabat lelang. Risalah lelang ditandatangani oleh penjual, pejabat lelang, dan pembeli Dalam hal penjual tidak menandatangani supaya dicatat pada bagian kaki/penutup risalah lelang yang berlaku sebagai tanda tangan.
Kedua : Isi adalah Berita Acara dari peristiwa atau apa yang terjadi dan dialami para pihak yaitu jual beli dimuka umum/lelang.
Ketiga : Untuk pembuktian Risalah Lelang dibuat dari semula memang dimaksudkan sebagai bukti yang sah sesuai pengertian dari risalah lelang itu sendiri.

Arti Suatu Penandatanganan
Menurut anggapan masyarakat menandatangani atau pemberian sidik jari merupakan tindakan yang penting, misalnya orang yang akan menandatangani atau memberikan tanda sidik jari kadang-kadang kelihatan gemetaran atau kelihatan diam sejenak seolah-olah ada sesuatu yang terucap dengan lirih keluar dari bibirnya.
Hal-hal tersebut sebagai tanda-tanda bahwa menandatangani atau membubuhkan sidik jari bukan saja sesuatu yang penting akan tetapi jauh dari itu ia merasa akan terikat dirinya atas apa yang ditandatangani atau yang diberinya tanda sidik jari tersebut.
Arti kata “menandatangani” secara ethymologis (ilmu asal suku kata) yaitu memberi tanda (teken) dibawah sesuatu yang istilah dalam bahasa Belanda disebut Onder tekenen atau hand tekening yang berarti membuat tanda dibawah sesuatu dan sesuatu itu adalah tulisan, perlu ditambahkan bahwa di Indonesia cap jempol disamakan dengan tanda tangan (Pasal 1874 KUH Perdata).

Menurut hukum, penandatanganan adalah suatu fakta hukum. Mr.C.I.I. De Johncheere dalam disertasinya dikatakan: “Suatu pernyataan kemauan dari pembuat tanda tangan bahwa ia membubuhi tanda tangannya dibawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisan sendiri.”

Macam-Macam Akta
Menurut pasal 164 HIR yang disebut bukti adalah : surat, keterangan saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

Masalah pembuktian, dulunya perjanjian-perjanjian dan lain-lain dibuat secara tertulis, kemudian dengan perkembangan hukum bukti tertulis semakin dibutuhkan. Seperti misalnya suatu perjanjian yang dibuat dan disaksikan para saksi kemudian karena lamanya waktu dalam pelaksanaan perjanjian itu kemudian terjadi sengketa, untuk penyelesaian sengketa pasti diperlukan saksi-saksi yang menjadi saksi saat perjanjian itu dibuat. Kalau saksi-saksi tersebut masih hidup atau masih ingat dan para pihak tidak lupa atau tidak saling mengingkari, tidak menjadi masalah. Akan tetapi kalau saksi-saksi tersebut sudah lupa apalagi sudah meninggal ditambah lagi para pihak sudah lupa dan saling mengingkari, maka akan menjadi sulit untuk penyelesaiannya. Lain halnya kalau bukti-bukti perjanjian tersebut dibuat secara tertulis maka akan mempermudah penyelesaian sengketa. Itulah sebabnya mengapa diantara bukti, pembuktian dengan tulisan diutamakan.

Seperti tersebut diatas bahwa diantara alat bukti yang terutama adalah bukti tertulis (surat) dan akta sebagai bukti tertulis diatur dalam pasal 1867 KUH Perdata yang bunyinya sebagai berikut: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik maupun dengan tulisan dibawah tangan.”

Dari pasal 1867 dapat disimpulkan bahwa terdapat dua macam akta yaitu :
1. Akta dibawah tangan
Yaitu akta yang sengaja dibuat oleh para pihak untuk pembuktian tanpa bantuan pejabat pembuat akta (Pasal 1874 KUH Perdata) seperti surat-surat register, surat-surat urusan rumah tangga, dan lain-lain.

Siapa yang membuat akta dibawah tangan itu ternyata dari tanda tangannya, jika dapat ditetapkan bahwa tanda tangan itu benar-benar tanda tangan para pihak, maka tidak dapat disangkal bahwa yang menandatangani itu telah melakukan perbuatan hukum yang tersebut dalam akta itu sungguh-sungguh pernyataan pihak yang bersangkutan kemudian yang masih disangkal bahwa pernyataan itu diberikan pada tanggal yang tertulis dalam akta itu.

2. Akta Otentik
Pasal 165 HIR dan Pasal 285 RBG menyatakan sebagai berikut :
“Akta otentik yaitu suatu surat yang diperbuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa akan membuatnya mewujudkan bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya serta sekalian orang yang mendapat hak dari padanya ... dst.”

Dan pasal 1868 KUH Perdata menyatakan sebagai berikut :
“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.”

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
a.       Bahwa akta otentik harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang dimaksudkan pembuatannya harus memenuhi ketentuan undang-undang.
b.      Bahwa akta otentik pembuatannya harus dilakukan dihadapan/oleh pejabat umum.

Yang dimaksud dihadapan adalah bahwa akta tersebut dibuat atas permintaan para pihak yang menyatakan niat/isi serta syarat-syarat perjanjian yang dikehendaki. Yang dimaksud oleh adalah suatu kejadian, apa yang terjadi, dilihat, didengar oleh pejabat umum itu dibuat suatu berita acara (seperti rapat, rapat umum pemegang saham, dan lain-lain).

Sedangkan yang dimaksud dengan pegawai umum menurut Mr. R. Tresna adalah pegawai-pegawai yang dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta otentik. Dan menurut R. Soegondo Notodisoerjo (notaris) dalam bukunya “Hukum Notaris di Indonesia”, menyatakan “Pejabat umum (openbaar ambtenaar) adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam hal-hal tertentu”.

Sedangkan pengertian pejabat lelang menurut Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 304/KMK.01/2002 “Orang yang khusus diberi wewenang oleh Menteri Keuangan untuk melaksanakan penjualan barang secara lelang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

c.       Syarat yang ketiga bahwa pejabat umum tersebut harus berwenang:
1)     Membuat akta otentik yang dibuatnya Sebagai contoh seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) hanya berwenang membuat akta otentik tentang peralihan hak atas tanah, dia tidak berwenang membuat risalah lelang, demikian juga sebaliknya pejabat lelang hanya berwenang membuat risalah lelang, dia tidak berwenang membuat akta jual beli hak atas tanah diluar lelang.
2)     Saat akta itu dibuat Sebagai contoh, seorang PPAT hanya berwenang membuat akta jual beli hak atas tanah selama masih aktif sebagai PPAT, bila terbukti bahwa akta yang dibuatnya ternyata dia sudah pensiunan dari PPAT maka akta yang dibuatnya menjadi tidak sah.
3)     Dimana akta itu dibuatnya Maksudnya bahwa pejabat umum itu hanya berwenang membuat akta otentik dalam wilayah kerjanya saja, dan apabila terbukti banwa akta otentik itu dibuat di luar wilayah kerjanya maka akta otentik itu menjadi tidak sah.

Sekarang bagaimana bila ketiga unsur dari pasal 1868 KUH Perdata itu diterapkan pada risalah lelang, apakah risalah lelang itu termasuk akta yang otentik, mari kita buktikan.
1.      Unsur pertama bahwa bentuk akta otentik itu diatur undang-undang.
Bagaimana dengan risalah lelang ? Risalah lelang bentuknya diatur dalam Vendu Reglement pasal 37, 38 dan 39.
2.      Unsur kedua bahwa akta otentik itu harus dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum.

Bagaimana dengan risalah lelang ? Risalah lelang dibuat oleh pejabat lelang (diatas sudah dijelaskan bahwa pejabat lelang adalah pejabat umum) kemudian dalam pasal 35 VR dinyatakan bahwa setiap penjualan dimuka umum/lelang harus dibuat berita acara lelang/risalah lelang.

3.      Unsur ketiga yaitu tentang kewenangan apa, kapan, dan dimana akta itu dibuat. Untuk risalah lelang dapat kita lihat ketentuan pasal 3 dan 7 VR bahwa kapan dan wilayah kerja pejabat lelang ditentukan oleh Menteri Keuangan. Bila terbukti bahwa risalah lelang itu dibuat oleh pejabat lelang di luar wilayah kerjanya atau pada saat risalah lelang dibuat dia sudah pension atau sedang cuti maka risalah lelang itu menjadi tidak sah.

Dengan terpenuhinya ketiga unsur tersebut maka terbuktilah bahwa risalah lelang merupakan akta otentik.

Siapa Yang Berwenang Membuat Akta
Menurut pasal 15 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris:
 “Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semua itu sepanjang perbuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”

Unsur-unsur pasal 15 jabatan notaris tersebut adalah:
1.      Yang berwenang membuat akta otentik harus pejabat umum.
2.      Akta otentik dibidang keperdataan, notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuatnya, kecuali akta-akta tertentu secara tegas disebut dalam peraturan perundangan. Jadi wewenang notaris bersifat umum sedangkan pejabat umum lainnya bersifat khusus (PPAT, pejabat lelang).
3.      Akta otentik menjamin kepastian tanggalnya, yang berarti tanggal diresmikannya akta. Dibacakannya akta, ditandatangani para pihak, pejabat umum dan dimana dibuatnya.
Wewenang pejabat umum meliputi:
1.      Pejabat umum harus berwenang sepanjang akta yang dibuat.
2.      Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
3.      Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai tempat dimana akta itu dibuat.
4.      Pejabat umum harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.

Keempat wewenang tersebut bagi Pejabat lelang :
1.      Pejabat Lelang berwenang sepanjang akta yang dibuatnya adalah risalah lelang.
2.      Pejabat Lelang hanya berwenang membuat akta atau risalah lelang bagi pengguna jasa lelang.
3.      Pejabat Lelang hanya berwenang membuat akta atau risalah lelang dalam wilayah kerjanya.
4.      Pejabat Lelang berwenang membuat akta atau risalah lelang pada saat masih menjabat.

Masih ingat pasal 1869 KUH Perdata yang mengatakan :
“suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud diatas atau karena suatu cacat dalam bentuknya tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik akan tetapi mempunyai kekuatan sebagai akta dibawah tangan ...”

Selanjutnya bagaimana bila unsur-unsur dari pasal 1869 KUH Perdata tersebut diatas kita terapkan pada ketentuan risalah lelang, apakah risalah lelang juga merupakan akta otentik ?
Risalah Lelang termasuk akta otentik yang mana ?

Bersambung ke Bag 2 

Senin, 15 Februari 2010

Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB)



I. Pengertian
1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB): adalah pajak yang dikenakan atas perolehan

hakatas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak;
2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan: adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan

diperolehnya hak atas dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan;
3. Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di tasnya sebagaimana

dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-

undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.


II. Objek Pajak
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan meliputi:
a. Pemindahan hak karena
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10.penggabungan usaha;
11.peleburan usaha;
12.pemekaran usaha;
13.hadiah.

b. Pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. di luar pelepasan hak.

Hak atas tanah adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun atau hak pengelolaan.

III. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh:
a. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b. Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan

umum;
c. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat

tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan

organisasi tersebut;
d. Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya

perubahan nama;
e. Orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.

IV. Subjek Pajak
Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak sebagaimana tersebut diatas yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-Undang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

V. Tarif Pajak
Tarif pajak ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


VI. Dasar Pengenaan BPHTB

Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dalam hal;
a. Jual beli adalah harga transaksi;
b. Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c. Hibah adalah nilai pasar;
d. Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. Waris adalah nilai pasar;
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai

pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.Pemekaran usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar;
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;

Apabila NPOP dalam hal a s/d n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan , dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

VII. Pengenaan BPHTB
a .pengenaan BPHTB karena waris dan Hibah Wasiat BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris

dan hibah wasiat adalah sebesar 50% dari BPHTB yang seharusnya terutang.
b. pengenaan BPHTB karena pemberian Hak Pengelolaan. Besarnya BPHTB karena pemberian Hak

Pengelolaan adalah sebagai berikut:

-0% (nol persen) dan BPHTB yang seharusnya terutang terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/kota, Lembaga Pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);
-50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud diatas.



VIII. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan secara regional paling

banyak;
a. Rp.60.000.000 (enam puluh juta rupiah);
b. Rp.300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang

diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu

derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah termasuk istri/suami.


IX. Saat, Tempat, dan Cara Pembayaran Pajak Terutang.
Saat terutang Pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
a. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
b. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
c. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
d. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
e. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya

akta;
f. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
g. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
h. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
i. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor

Pertanahan;
j. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani

dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
k. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat

keputusan pemberian hak;
l. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
m. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
n. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
o. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;

Tempat Pajak Terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan bangunan.
Cara Pembayaran Pajak adalah wajib pajak membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Pajak terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos/Bank BUMN/BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (SSB).

I. Cara Penghitungan BPHTB

Besarnya BPHTB terutang adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) dikalikan tarif 5 % (lima persen). Secara matematis adalah;


BPHTB = 5 % X (NPOP – NPOPTKP)

Contoh;
1. Pada tanggal 6 Januari 2006, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp.50.000.000,00. NJOP PBB tahun 2006 Rp. 40.000.000,00. Mengingat NJOP lebih kecil dari harga transaksi, maka NPOP-nya sebesar Rp. 50.000.000,- Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
BPHTB = 5 % x (Rp. 50 juta – Rp. 60 juta)
= 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).

2. Pada tanggal 7 Januari 2006, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan harga Rp. 90.000.000,- NJOP PBB tahun 2006 adalah Rp. 100.000.000,00. Sehingga besarnya NPOP adalah Rp. 100.000.000.-. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah Rp. 100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp. 40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 5 % x (Rp. 100 – Rp. 60) juta
= 5 % x ( Rp. 40) juta
= Rp. 2 juta .

3. Pada tanggal 28 Juli 2006, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp. 400.000.000,00 dikurangi Rp. 300.000.000,00 sama dengan Rp. 100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 400 – Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x ( Rp. 100) juta
= Rp. 2,5 juta.

4. Pada tanggal 7 November 2006, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “BB” dengan NJOP PBB Rp. 250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan

BPHTB = 50% x 5 % x (Rp. 250 – Rp. 300) juta
= 50% x 5 % x (0)
= Rp. 0 (nihil).


II. Pembayaran BPHTB

Sistem pemungutan BPHTB pada prinsipnya menganut sistem “self assessment”. Artinya Wajib Pajak Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak.Pajak yang terutang dibayarkan ke kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan Surat Setoran Bea (SSB).

III. Penetapan
1. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar (SKBPHTBKB) apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah pajak yang terutang kurang dibayar. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKB ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 bulan, dihitung mulai saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKBKB.

2. Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan (SKBKBT) apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah diterbitkannya SKBKB. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKBKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut, kecuali wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.

IV. Penagihan

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan apabila :
1. pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
2. dari hasil pemeriksaan SSB terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau

salah hitung;
3. wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga.

Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan maupun Putusan Banding yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, merupakan dasar penagihan pajak dan harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak diterima oleh Wajib Pajak. Dan jika tidak atau kurang dibayar pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa.


I. Keberatan

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
a. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar;
b. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;
c. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
d. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah pajak yang terutang menurut perhitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang jelas.

(3)Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1), kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaannya.

(4)Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada angka (2) dan angka (3) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.

(5)Tanda penerimaan Surat Keberatan yang diberikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk itu atau tanda pengiriman Surat Keberatan melalui pos tercatat menjadi tanda bukti penerimaan Surat Keberatan tersebut bagi kepentingan Wajib Pajak.

(6) Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak.

(7) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(8) Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.

(9) Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

(10) Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang terutang.

(11) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka (8) telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan.


II. Banding
(1)Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai kebertannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

(2)Permohonan sebagaimana dimaksud pada angka (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan-alasan yang jelas dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan keberatan diterima, dilampiri salinan dari surat keputusan tersebut.

(3)Pengajuan permohonan banding tidak menunda kewajiban membayar pajak dan pelaksanaan penagihan pajak.

(4)Apabila pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.


III. Pengurangan

Atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena:

1. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, contoh;
a. Wajib Pajak tidak mampu secara ekonomis yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah di bidang pertanahan;
b. Wajib Pajak pribadi menerima hibah dari orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.

2. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, contoh;
a. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
b. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus;
c. Wajib Pajak yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah.

3.tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan, contohnya; Tanah dan atau bangunan yang digunakan, antara lain, untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, pesantren, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat.


IV. Pengembalian Kelebihan Pembayaran BPHTB
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, c.q. Kantor Pelayanan Pratama atau Kantor Pelayanan PBB setempat.


Ketentuan Bagi Pejabat
1.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;

2.Pejabat Lelang Negara hanya dapat menandatangani Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

3. Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah hanya dapat menandatangani dan menerbitkan surat keputusan dimaksud pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

4.Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/ Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.”

5. Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah kepada Direktorat Jenderal Pajak selambatlambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.


Sanksi Bagi Pejabat

a.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Pejabat Lelang Negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, dan angka 2 dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.

b.Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp. 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap laporan.

c.Pejabat yang berwenang menandatangani dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 3 ,dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d.Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 4, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e.Kepala Kantor Lelang Negara, yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam angka 5, dikenakan sanksi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.