Sabtu, 24 Juli 2010

PASAL-PASAL KRUSIAL DALAM PERATURAN KBPN NOMOR 1 TAHUN 2006


PERATURAN KEPALA BPN NOMOR 1 TAHUN 2006
Peraturan Pelaksana PP 37 Tahun 1998 Tentang  PPAT

Berikut adalah kutipan pasal-pasal krusial bagi pelaksanaan jabatan PPAT

BAB VII
HAK DAN KEWAJIBAN PPAT
Bagian Kesatu
Hak PPAT

Pasal 36
PPAT mempunyai hak :
a. cuti;
b. memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta sesuai Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;
c. memperoleh informasi serta perkembangan peraturan perundang undangan
pertanahan;
d. memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT.

Pasal 37
(1) PPAT dapat melaksanakan cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a sebagai berikut :
a. cuti tahunan paling lama 2 (dua) minggu setiap tahun takwim;
b. cuti sakit termasuk cuti melahirkan, untuk jangka waktu menurut keterangan dari dokter yang berwenang;
c. cuti karena alasan penting dapat diambil setiap kali diperlukan dengan jangka waktu paling lama 9 (sembilan) bulan dalam setiap 3 (tiga) tahun takwim.
(2) Untuk dapat melaksanakan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, PPAT yang baru diangkat dan diangkat kembali harus sudah membuka kantor PPATnya minimal 3 (tiga) tahun.
(3) Untuk melaksanakan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan persetujuan sebagai berikut :
a. untuk cuti yang lamanya kurang dari 3 (tiga) bulan dengan persetujuan Kepala Kantor Pertanahan setempat;
b. untuk cuti yang lamanya 3 (tiga) bulan atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) bulan dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah setempat;
c. untuk cuti yang lamanya 6 (enam) bulan atau lebih dengan persetujuan Kepala Badan.

Pasal 38
(1) Permohonan persetujuan untuk melaksanakan cuti diajukan secara tertulis oleh PPAT yang bersangkutan kepada pejabat yang berwenang memberi persetujuan cuti :
a. paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal mulai pelaksanaan cuti, kecuali permohonan cuti sakit yang dapat diajukan sewaktu-waktu sesudah diperoleh keterangan dokter;
b. dalam hal permohonan cuti diajukan kurang dari waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a atau melampaui tanggal mulai pelaksanaan cuti, maka keputusan cuti diberlakukan surut.
(2) Permohonan cuti harus mencantumkan lamanya cuti, tanggal mulai pelaksanaan dan berakhirnya cuti, alasan pengambilan cuti, daftar cuti yang telah dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan alamat selama menjalankan cuti.
(3) Dalam hal PPAT menjalankan cuti, maka permohonan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan usul pengangkatan PPAT Pengganti, kecuali di daerah kerja tersebut sudah terdapat PPAT lain yang diangkat oleh Kepala Badan.
(4) Permohonan usul pengangkatan PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan:
a. fotocopy KTP calon PPAT Pengganti yang masih berlaku;
b. salinan atau fotocopy surat pengangkatan atau perjanjian kerja calon PPAT Pengganti sebagai pegawai PPAT yang bersangkutan;
c. fotocopy ijazah Sarjana Hukum calon PPAT Pengganti; dan
d. berita acara pengangkatan sumpah jabatan PPAT Pengganti apabila yang diusulkan sebagai PPAT Pengganti pernah menggantikan PPAT yang bersangkutan di daerah kerja yang sama.
(5) PPAT Pengganti yang diusulkan harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan belum berumur 65 (enam puluh lima) tahun sampai dengan batas akhir masa jabatan PPAT Pengganti.
(6) Sebelum melaksanakan cuti, PPAT wajib menutup Buku Daftar Akta dan melaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dan selama cuti yang bersangkutan tidak perlu membuat laporan bulanan.

Pasal 39
(1) Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan cuti wajib memberikan persetujuannya mengenai permohonan cuti yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) apabila :
a. jumlah PPAT di daerah kerja yang bersangkutan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari formasi PPAT; atau
b. alasan pengambilan cuti adalah karena sakit; atau
c. permohonan persetujuan tersebut disertai dengan usulan pengangkatan PPAT Pengganti.
(2) Penolakan pemberian persetujuan cuti yang sesuai ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang apabila jumlah PPAT di daerah kerja PPAT yang bersangkutan tidak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari formasi PPAT, sedangkan pemberian cuti dikhawatirkan akan menghambat
pelayanan kepada masyarakat.
(3) Penolakan atau persetujuan cuti harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan persetujuan cuti dengan ketentuan bahwa dalam hal penolakan cuti, maka pemberitahuannya harus disertai alasan penolakan tersebut.
(4) Dalam hal penolakan atau persetujuan tersebut tidak dikeluarkan dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka cuti tersebut dianggap sudah disetujui sepanjang cuti tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2).

Pasal 40
(1) Persetujuan untuk menjalankan cuti PPAT diberikan dengan keputusan pejabat yang berwenang yang dibuat menurut contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.
(2) Dalam hal pengajuan permohonan persetujuan cuti disertai usul pangangkatan PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (3), maka pangangkatan PPAT Pengganti dilakukan sekaligus dalam keputusan persetujuan cuti.
(3) Keputusan ijin pelaksanaan cuti berikut pengangkatan PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada PPAT yang bersangkutan atau kuasanya dan kepada PPAT Pengganti serta salinannya disampaikan kepada :
1. Pejabat yang berwenang memberi ijin cuti lainnya;
2. Bupati/Walikota yang bersangkutan.

Pasal 41
(1) PPAT Pengganti melaksanakan tugas jabatannya sebagai pengganti PPAT yang menjalankan cuti setelah diterbitkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan setelah yang bersangkutan mengangkat sumpah jabatan.
(2) Dalam hal PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang yang pernah melaksanakan tugas jabatan sebagai PPAT Pengganti untuk PPAT yang sama di daerah kerja yang sama, maka dalam melaksanakan tugas jabatannya yang bersangkutan tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT.
(3) Sebelum melaksanakan tugasnya PPAT Pengganti wajib menerima protokol PPAT dari PPAT yang digantinya.
(4) Dalam hal PPAT yang melaksanakan cuti berhalangan untuk menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT Pengganti, maka serah terima protokol PPAT dilakukan oleh kuasa dari PPAT kepada PPAT Pengganti dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(5) Dalam hal PPAT yang digantikan meninggal dunia sebelum berakhirnya masa cuti dan telah ditunjuk PPAT Pengganti maka kewenangan PPAT Pengganti tersebut dengan sendirinya berakhir.
(6) Dalam menjalankan tugas jabatannya, ketentuan yang berlaku pada PPAT berlaku pula terhadap PPAT Pengganti.
(7) PPAT Pengganti bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas jabatannya.
(8) Kewajiban PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 berlaku pula bagi PPAT Pengganti.

Pasal 42
(1) PPAT wajib melaporkan berakhirnya pelaksanaan cuti kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat paling lambat 1 (satu) minggu setelah jangka waktu cutinya habis dan melaksanakan kembali tugas jabatannya.
(2) Sebelum masa cutinya habis, PPAT dapat mengakhiri masa cutinya dan melaksanakan tugas jabatannya kembali.
(3) Dalam hal tugas jabatan PPAT dilaksanakan oleh PPAT Pengganti, PPAT yang menjalani cuti melaksanakan kembali tugas jabatan PPAT setelah menerima protokol dari PPAT Pengganti.
(4) PPAT Pengganti wajib menyerahkan protokol PPAT Pengganti kepada PPAT yang mengakhiri cutinya dan siap melaksanakan tugasnya kembali.
(5) PPAT yang dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti sesuai dengan persetujuan cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai PPAT.

Pasal 43
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 42 tidak berlaku bagi PPAT Sementara dan PPAT Khusus.

Pasal 44
(1) PPAT, Camat dan Kepala Kantor Pertanahan yang sedang menjalankan cuti dilarang membuat akta PPAT.
(2) Akta yang dibuat oleh PPAT, Camat atau Kepala Kantor Pertanahan yang sedang menjalankan cuti tidak dapat dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
(3) Apabila larangan mengenai pembuatan akta oleh pejabat yang sedang menjalankan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanggar, maka segala akibat hukumnya menjadi tanggung jawab pribadi dari pembuat akta yang bersangkutan.

Bagian Kedua
Kewajiban PPAT
Pasal 45
PPAT mempunyai kewajiban :
a. menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
c. menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
d. menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
1. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan.
e. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah;
f. membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
g. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
h. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
i. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan;
j. memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
k. lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
PALAKSANAAN JABATAN PPAT
Bagian Kesatu

Kantor PPAT
Pasal 46
(1) PPAT wajib berkantor di 1 (satu) kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari Kepala Badan atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Dalam hal PPAT merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama dengan kantor Notarisnya.
(3) Selain berkantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.

Pasal 47
(1) Kantor PPAT wajib dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat.
(2) Apabila dianggap perlu PPAT dapat membuka kantornya di luar jam kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka memberikan pelayanan pembuatan akta pada masyarakat.
3) Dalam hal PPAT sedang melaksanakan cuti dan tidak menunjuk PPAT Pengganti, kantor PPAT yang bersangkutan wajib dibuka setiap hari kerja untuk melayani masyarakat dalam pemberian keterangan, salinan akta yang tersimpan sebagai protokol PPAT.

Bagian Kedua
Stempel Jabatan PPAT
Pasal 48
(1) Stempel jabatan PPAT diterakan pada setiap tanda tangan PPAT, akta, salinan akta, surat dan dokumen lain yang merupakan produk dari PPAT yang bersangkutan.
(2) Bentuk dan ukuran stempel jabatan PPAT, PPAT Pengganti dan PPAT Sementara adalah sebagaimana contoh yang tercantum dalam Lampiran VI yang rinciannya adalah sebagai berikut :
a. Bentuk :
Bulat, terdapat 2 (dua) lingkaran, di tengah lingkaran dalam untuk nama PPAT atau PPAT Pengganti atau tulisan Camat atau Kepala Desa.
b. Tulisan dalam stempel :
1. untuk PPAT atau PPAT Pengganti, lingkaran luar bagian atas ditulis “PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH” atau “PPAT PENGGANTI” dan lingkaran luar bagian bawah ditulis
daerah kerja nama Kabupaten/Kota yang dibatasi dengan gambar bintang;
2. untuk PPAT Sementara, lingkaran luar bagian atas ditulis “PPAT SEMENTARA” dan lingkaran luar bagian bawah ditulis daerahkerja PPAT Sementara “Kecamatan atau Desa”
yang dibatasi dengan gambar bintang;
3. warna tinta stempel : Merah.
c. Ukuran :
1. bulatan luar dengan garis tengah 31/2 cm, dibuat dalam garis lingkar rangkap yang sebelah luar agak menebal sedangkan yang di dalam dengan garis lebih tipis dan bergaris tengah lebih kecil. Jarak antara kedua bulatan adalah 1 mm.
2. bulatan dalam dengan garis tengah 2 cm, dibuat dengan garis lingkar tunggal.
3. di antara bulatan luar dan dalam, di bagian tengah bawah terdapat 2 (dua) lukisan bintang bersudut 5 (lima) dengan ukuran garis tengah 3 mm.
4. Dalam ruang bulatan terdapat ruang yang dibatasi oleh 2 (dua) garis lurus mendatar sejajar dengan jarak satu sama lain 1 1/2 cm yang ditulis dengan huruf kapital :
a) Nama PPAT atau PPAT Pengganti; atau
b) tulisan Camat; atau
c) tulisan Kepala Desa.
5. Sebelah atas maupun bawah dari ruang angka 4 di atas terlukis garis-garis tegak lurus dengan jarak antara garis satu dengan yang lainnya sebesar 1 mm.
(3) PPAT Khusus yang dijabat oleh Kepala Kantor Pertanahan menggunakan stempel Kantor Pertanahan dalam melaksanakan tugasnya sebagai PPAT Khusus.
(4) Wakil Camat atau Sekretaris Desa yang membuat akta untuk keperluan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor37 Tahun 1998 mempergunakan stempel jabatan yang dipergunakan PPAT Sementara yang
bersangkutan.

Bagian Ketiga
Papan Nama dan Kop Surat PPAT
Pasal 49
(1) Bentuk dan Ukuran Papan Nama Jabatan PPAT dan PPAT Sementara yang dijabat oleh Camat dan/atau Kepala Desa adalah seperti contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII dengan rincian sebagai berikut :
a. Ukuran : 100 x 40 cm atau 150 x 60 cm atau 200 x 80 cm;
b. Warna : Dasar dicat putih, tulisan hitam;
c. Bentuk huruf : Cetak kapital (huruf besar), untuk nama dipergunakan huruf yang lebih besar.
(2) Dalam hal pemasangan papan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilakukan karena kesulitan tempat, pemasangan papan jabatan dilakukan pada tempat yang memungkinkan dan dapat dibaca oleh umum sepanjang masih dalam lingkungan gedung tempat kantor PPAT dimaksud.

Pasal 50
Kop surat jabatan PPAT dibuat seperti contoh sebagaimana tercantum pada Lampiran VIII dengan ketentuan sebagai berikut :
a. kop surat jabatan PPAT dicantumkan di bagian atas sebelah kiri dari kertas surat dan sampul dinas PPAT;
b. tidak dibenarkan menulis jabatan lain kecuali jabatan PPAT;
c. kop surat jabatan PPAT dibuat dengan warna hitam.

Bagian Keempat
Blanko Akta dan Pembuat Akta
Pasal 51
Blanko akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya boleh dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus.

Pasal 52
(1) PPAT melaksanakan tugas pembuat akta PPAT di kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir dihadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.

Pasal 53
(1) Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang tersedia secara lengkap sesuai petunjuk pengisiannya.
(2) Pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan.
(3) pembuatan akta PPAT dilakukan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memberi kesaksian mengenai :
a. identitas dan kapasitas penghadap;
b. kehadiran para pihak atau kuasanya;
c. kebenaran data fisik dan data yuridis obyek perbuatan hukum dalam hal obyek tersebut sebelum terdaftar;
d. keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta;
e. telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
(4) Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 54
(1) Sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, PPAT wajib melakukan pemeriksaan kesesuaian/keabsahan sertipikat dan catatan lain pada Kantor Pertanahan setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuannya.
(2) Dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT tidak diperbolehkan memuat kata-kata“sesuai atau menurut keterangan para pihak” kecuali didukung oleh data formil.
(3) PPAT berwenang menolak pembuatan akta, yang tidak didasari data formil.
(4) PPAT tidak diperbolehkan membuat akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB).
(5) Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB dan atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.

Pasal 55
PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta.

Bagian Kelima
Buku Daftar Akta PPAT
Pasal 56
(1) PPAT wajib membuat daftar akta dengan menggunakan 1 (satu) buku daftar akta untuk semua jenis akta yang dibuatnya, yang di dalamnya dicantumkan secara berurut nomor semua akta yang dibuat berikut data lain yang berkaitan dengan pembuatan akta, dengan kolom-kolom sebagaimana dimaksud dalam contoh pada Lampiran IX.
(2) Buku daftar PPAT diisi setiap hari kerja PPAT dan ditutup setiap akhir hari kerja yang sama dengan garis tinta hitam dan diparaf oleh PPAT pada kolom terakhir dibawah garis penutup.
(3) Apabila pada hari kerja yang bersangkutan tidak terdapat akta yang dibuat, maka dicantumkan kata “Nihil”, disamping tanggal pencatatan dimaksud.
(4) Pada akhir kerja terakhir setiap bulan, daftar akta PPAT ditutup dengan garis merah dan tanda tangan serta nama jelas PPAT, dengan catatan di atas tanda tangan tersebut yang berbunyi sebagai berikut :
“Pada hari ini …. tanggal …. daftar akta ini ditutup oleh saya, dengan catatan dalam bulan ini telah dibuat …. (….) buah akta”
(5) Dalam hal PPAT menjalankan cuti, diberhentikan untuk sementara atau berhenti dari jabatannya, maka pada hari terakhir jabatannya itu PPAT yang bersangkutan wajib menutup daftar akta dengan garis merah dan tanda tangan serta nama jelas dengan catatan di atas tanda tangan tersebut yang berbunyi sebagai berikut :
“Pada hari ini …. tanggal …. Daftar akta ini ditutup oleh saya, karena menjalankan cuti/berhenti untuk sementara/berhenti.”
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi PPAT Sementara dan PPAT Pengganti.

Pasal 57
(1) Buku daftar akta harus diisi secara lengkap dan jelas sesuai kolom yang ada sehingga dapat diketahui hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan akta termasuk mengenai surat-surat yang berkaitan.
(2) Pengisian buku daftar akta dilakukan tanpa baris kosong yang lebih dari 2 (dua) baris.
(3) Dalam hal terdapat baris kosong lebih dari 2 (dua) baris, maka sela kosong tersebut ditutup dengan garis berbentuk : Z.

Bagian Keenam
Penjilidan Akta dan Warkah Pendukung Akta
Pasal 58
(1) Akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya yang dipakai sebagai dasar bagi penghadap sebagai pihak dalam perbuatan hukum yang dibuatkan aktanya dinyatakan dalam akta yang bersangkutan dan dilekatkan atau dijahitkan pada akta yang disimpan oleh PPAT.
(2) Akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. akta atau surat kuasa dari pihak yang berwenang melaksanakan perbuatan hukum;
b. akta atau surat persetujuan yang menurut peraturan diperlukan sebagai dasar kewenangan penghadap atau yang memberi kuasa kepada penghadap untukmelakukan perbuatan hukum, misalnya persetujuan suami atau isteri mengenai tanah kepunyaan
bersama;
c. akta atau surat yang memuat bentuk pemberian kewenangan lain;
d. surat atau peta yang menjelaskan obyek perbuatan hukum yang bersangkutan.

Pasal 59
(1) Akta PPAT berikut akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dijilid dalam 1 (satu) sampul yang berisi 50 (lima puluh) akta.
(2) Penjilidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebulan sekali, dengan ketentuan :
a. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut lebih dari 50 (lima puluh) buah atau kelipatannya, maka kelebihan akta tersebut dijilid sebagai jilid terakhir dalam bulan yang bersangkutan;
b. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut kurang dari 50 (lima puluh) buah, maka akta-akta tersebut dijilid sebagai satu-satunya jilid akta dalam bulan yang bersangkutan.

Pasal 60
(1) Warkah yang merupakan dokuman yang dijadikan dasar pembuatan akta, selain akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dijilid tersendiri dalam bundel warkah pendukung yang masing-masing berisi warkah pendukung untuk 25 (dua puluh lima) akta.
(2) Penjilidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap bulan, dengan ketentuan :
a. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut lebih dari 25 (dua puluh lima) buah atau kelipatannya, warkah pendukung untuk kelebihan akta tersebut dijilid sebagai jilid warkah pendukung terakhir dalam bulan yang bersangkutan;
b. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut kurang dari 25 (dua puluh lima) buah, maka warkah pendukung untuk akta-akta tersebut dijilid sebagai satu-satunya jilid warkah pendukung akta dalam bulan yang bersangkutan.
(3) Pada punggung sampul bundel warkah pendukung dituliskan nomor nomor akta yang telah dibuat berdasarkan dokumen itu dengan menuliskan nomor terkecil dan yang terbesar dengan tanda strip (-) diantaranya, berikut tulisan “warkah” didepan nomor terkecil serta tahun pembuatan aktanya mengikuti garis miring (/) dibelakang
nomor besar.

Pasal 61
(1) PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran akta perbuatan hukum yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatangani akta yang bersangkutan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif.

Bagian Ketujuh
Laporan Bulanan PPAT
Pasal 62
(1) PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang dibuatnya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Wilayah.
(2) PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai Akta Jualbeli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, dan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
Bumi dan Bangunan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Penyampaian laporan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui jasa pengiriman atau diantar langsung ke alamat instansi yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan tanda penerimaan oleh perusahaan jasa pengiriman atau tanda penerimaan oleh instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang bertanggal paling lambat
tanggal 10 bulan berikut dari bulan laporan.

Pasal 63
Laporan bulanan PPAT dibuat sebagaimana dimaksud pada contoh dan ketentuan dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Direktur Jenderal Pajak Nomor : SKB 2 Tahun 1998 KEP-179/PJ./1998

Pasal 64
(1) Dalam hal PPAT Pengganti mulai melaksanakan tugasnya tidak pada awal bulan dan berlangsung hingga kewajiban melapor dimaksud terbit, PPAT Pengganti berkewajiban menyampaikan laporan bulanan PPAT termasuk mengenai pelaksanaan tugas PPAT yang
digantikannya.
(2) Dalam hal PPAT Pengganti mengakhiri tugasnya tidak pada awal bulan, PPAT yang digantikan wajib menyampaikan laporan bulanan PPAT Pengganti.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau dalam hal PPAT Pengganti melaksanakan tugas tersendiri dengan penuh pada bulan yang bersangkutan hingga terbit kewajiban melapor, dalam pengisian laporan nama PPAT ditulis dengan nama PPAT Pengganti dan PPAT yang digantikan dengan ditambah kata “pengganti dari” antara kedua nama tersebut.

TATACARA MENOLAK WARISAN

Ketika anda sebagai seorang Notaris mendapat order untuk menguruskan penolakan warisan yang salah satu ahli waris telah melepaskan Kewarganegaraan WNInya dan menjadi WNA di Pengadilan Negeri tempat kedudukan dimana anda berada, apa yang anda lakukan? Menolak!!!! demikian jawaban sebagian mahasiswa MKN yang ditanya. Dengan mengemukakan alasan penolakannya, yaitu karena dari 2 (dua) orang bersaudara ahli waris ini, salah satunya berwarga negara asing. Dengan demikian daripada harta tak bergerak milik kedua orangtuanya jatuh kepada Negara. Seperti diketahui, orang asing tidak dapat memiliki properti di Indonesia. Persyaratan salah seorang ahli waris yang warga negara Jerman menolak warisan.yang harus dipenuhi adalah :
  1. Surat kematian kedua orangtuanya ;
  2. Surat kawin orangtuanya ;
  3. KTP dan Kartu Keluarga ahli waris yang di Indonesia ;
  4. Akta Kelahiran ahli waris ;
  5. Akta penolakan warisan dari Notaris di Jerman ;
Akta penolakan warisan ini berbahasa Jerman, diketahui Kedutaan Besar RI di Jerman dan Kedutaan Rep. Jerman di Jakarta. Akta itu kemudian harus diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan penterjemah resmi/tersumpah.
    6.  Surat Permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat ;

Surat-surat tersebut di atas kemudian diajukan ke Pengadilan Negeri setempat. Namun ternyata ditolak oleh PN setempat, karena masih ada kekurangan yaitu : Surat Keterangan Hak Mewaris dari Notaris. Tentu saja karena kedua orangtuanya sudah meninggal, maka Surat Keterangan Hak Mewaris harus dibuat 2 (dua), yaitu atas nama almarhum papa dan almarhumah mamanya.

Permasalahan disini adalah : Surat Keterangan Hak Mewaris harus dibuat SEBELUM atau SESUDAH adanya penolakan warisan ??

Pasal 1057 KUHPerdata disebutkan : “Menolak suatu warisan harus terjadi dengan tegas, dan harus dilakukan dengan suatu pernyataan yang dibuat di kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang dalam daerah hukumnya telah terbuka warisan itu”

Dengan demikian dalam kasus di atas, Saudaranya yang ada di Indonesia akan datang dan di sumpah di kepaniteraan PN setempat tetapi bertindak untuk dan atas nama Saudaranya yang warga negara Jerman tersebut. Nantinya sesudahnya akan memperoleh Surat Keterangan dari PN setempat.

Kembali kepada permasalahan tersebut di atas. Notaris menolak untuk menerbitkan Surat Keterangan Hak Mewaris terlebih dahulu.

Alasan Notaris :
  1. kalau Surat Keterangan Hak Mewaris dibuat terlebih dahulu, baru kemudian ada penolakan warisan, maka tidak dapat dibuat lagi Surat Keterangan Hak Mewaris tentang adanya penolakan warisan (SKHM hanya bisa terbit sekali). Resikonya : ahli waris yang telah menolak warisan dapat berbuat curang, yaitu dapat mempergunakan Surat Keterangan Hak Mewaris tanpa menunjukkan adanya Surat Keterangan penolakan warisan !!! (karena 2 macam surat itu terpisah, produk Notaris dan produk Pengadilan Negeri).
  2. Namun apabila Surat Keterangan penolakan warisan sudah ada lebih dahulu, baru berdasar Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri tersebut dibuatlah Surat Keterangan Hak Mewaris, resiko curang tidak ada. Artinya keinginannya berjalan semestinya.
Pengadilan Negeri pernah melakukan cara No. 2 tersebut di atas, tetapi sekarang kembali ke cara pertama.
Alasan Pengadilan Negeri : (memakai cara No. 2)
Pengadilan Negeri harus tahu, apakah yang menolak warisan itu benar ahli waris atau tidak. Cara mengetahuinya yaitu dari adanya Surat Keterangan Hak Mewaris. Saya mendalilkan :
- bahwa untuk mengetahui apakah yang bersangkutan ahli waris atau tidak khan bisa dilihat dari Akta Kelahiran (tertulis nama ayah dan ibu) ;
- bahwa penolakan warisan merupakan “azas declaratoir”, artinya pernyataan sepihak dari yang berkepentingan. Apabila keterangan itu bohong misalnya, toh tidak ada masyarakat yang dirugikan.

Agaknya Pengadilan Negeri setempat tetap berpegang teguh pada kriterianya sendiri. Padahal dalam Pasal 1058 KUHPerdata dikatakan : “Si ahliwaris yang menolak warisannya, dianggap tidak pernah telah menjadi waris”. Lantas, kalau dipersyaratkan harus ada Surat Keterangan Hak Mewaris lebih dahulu apakah tidak bertentangan dengan Pasal 1058 KUHPerdata tersebut ???????  

Lalu bagaimana solusinya :
Apakah PERLU ADANYA FATWA DARI MAHKAMAH AGUNG agar hukum tidak bias.
Dan sebagai Tugas anda mahasiswa MKN apa yang anda Sarankan .....

SUAMI – ISTRI MEMBUAT WASIAT, BOLEHKAH?

Pernah terjadi beberapa Notaris diantaranya ternyata membuat Surat Wasiat yang diperbuat oleh suami-istri. dan diadukan Pengacara bahwa kliennya telah dirugikan oleh seorang notaris yang membuatkan Surat Wasiat istrinya tanpa seijin/sepengetahuan yang bersangkutan sebagai suaminya.

Atas dasar Pasal 875 KUHPerdata/BW :
“Surat Wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.”
 
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wasiat adalah kehendak terakhir dari seseorang. Logika mudahnya adalah bagaimana pelaksanaannya jika wasiat dibuat oleh suami-istri, tetapi kemudian yang meninggal dunia lebih dahulu sang suami misalnya, apakah surat wasiat itu boleh dibuka ataukah harus menunggu sang istri juga meninggal dunia. Apabila menunggu sang istri meninggal dunia, padahal dengan meninggalnya sang suami seharusnya telah terjadi waris-mewaris (suami meninggalkan warisan yang menjadi bagiannya kepada istri dan anak-anaknya). Namun apabila dengan meninggalnya sang suami kemudian surat wasiat dibuka, maka berarti telah terjadi pelanggaran privasi seseorang yaitu sang istri yang masih hidup yang juga ikut bersama-sama membuat surat wasiat (wasiat yang diperbuat sang istri belum berlaku). Memang alasan suami-istri dalam membuat wasiat bersama, karena menyangkut pesan pembagian harta bersama/harta gono-gini mereka. Namun bukankah apabila salah seorang diantaranya meninggal dunia lebih dahulu akan mewariskan separoh dari harta bersamanya kepada kawan kawinnya dan anak-anak kandung mereka. Artinya hak/harta kawan kawinnya yang masih hidup tidak akan dibagi waris.

Dengan demikian  apabila suami-istri akan membuat Surat Wasiat menyangkut harta bersama mereka, maka berarti harus dibuat 2 (dua) surat wasiat, yaitu wasiat atas nama suami dan wasiat atas nama istri, walau isinya sama. Begitu pun apabila misalnya sang istri diam-diam membuat wasiat di hadapan Notaris tanpa seijin/sepengetahuan suaminya, itu sah-sah saja karena yang diwasiatkan toh hanya hak bagiannya dalam harta bersama tersebut. 
 
Dengan kata lain, walau dalam wasiat menyangkut harta bersama (misalnya rumah), maka pelaksanaannya harus diparoh/dibagi dua dulu, barulah dibagi menurut wasiatnya. Jadi yang dimaksud disini adalah nilainya, bukan wujud barang.

Mari kita cermati pula  Pasal 903 KUHPerdata/BW :
“Suami dan isteri hanya diperbolehkan menghibahwasiatkan barang-barang dari harta kekayaan persatuan mereka, sekadar barang-barang itu menjadi bagian mereka masing-masing dalam persatuan itu. Jika sementara itu suatu barang tertentu oleh salah seorang mereka dihibahwasiatkannya, maka si yang berhak menerimanya, tak dapat menuntut barang itu dalam ujudnya, jika, setelah si yang menghibahwasiatkan meninggal, barang itu tidak menjadi bagian para ahli warisnya. Dalam hal yang demikian si yang berhak menerima hibah harus mendapat ganti rugi dari barang-barang yang nyata dibagikannya kepada ahli waris tersebut, dan jika ini tak mencukupi, dari barang-barang mereka pribadi.” 
 
Pemahaman yang kita tangkap dari hal di atas adalah  penerima hibah wasiat tetap dapat barang pengganti atau senilai barang yang diwasiatkan. Pasal ini pula yang oleh sebagian Notaris berpendapat bahwa suami-istri secara bersama-sama boleh membuat hibah wasiat terhadap harta persatuan mereka. Namun pasal itu seharusnya tidak dapat diartikan secara sepenggal-sepenggal. Sebab didalamnya juga tersurat : “……………….jika, setelah si yang menghibahwasiatkan meninggal……….”. Jadi ada syarat “meninggal dunia” khan ?. Prinsip yang harus dipegang adalah wasiat hanya berlaku jika yang berwasiat telah meninggal dunia.

Harus difahami bahwa Wasiat dibagi 2 (dua) yaitu :
(1) wasiat itu sendiri dan
(2) hibah wasiat.

Disebut wasiat, jika berisi prosentase atau angka pembagian. Disebut hibah wasiat, jika menyebut secara spesifik terhadap barang yang akan diberikannya. Ingat, hibah adalah peralihan seketika khan ?. Kalau wasiat (dalam kaitan dengan hibah wasiat), maka peralihan hanya berlaku setelah yang membuat wasiat meninggal dunia. Definisi Hibah Wasiat yaitu suatu penetapan wasiat khusus berupa pemberian beberapa benda dari suatu jenis tertentu kepada seseorang atau lebih (Ps. 957 BW) ;

BENTUK WASIAT BERDASARKAN KUH-PERDATA (BURGELIJK WETBOEK)

Dalam Hukum Perdata yang berlaku di negara kita mengenal “Sistem Kewarisan Dan Wasiat, berdasar Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek)”

Sebagaimana kita ketahui bersama apabila kita cermati tidak ada suatu pasal pun di BW yang menyebut tentang batalnya wasiat. Berarti apabila ada keganjilan yang berujung pada ketidakpuasan pihak-pihak tertentu, maka hakimlah yang menilai (artinya harus digugat di Pengadilan). Namun tugas Notaris yang juga harus memberikan konsultasi pada masyarakat, dalam hal ini bahkan menimbulkan masalah baru yaitu menimbulkan masalah besar pada keluarga si-pewaris pasca pembukaan wasiat. Apalagi kalau isi wasiatnya tidak “adil” (dibagi rata). Notaris boleh-boleh saja membantu, tetapi harus tetap mentaati aturan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
 
Ada 4 (empat) bentuk wasiat, yaitu :

I. Wasiat Umum (Ps. 938 BW)
dibuat dihadapan notaris dan 2 orang saksi ;

II. Wasiat Olographis (Ps. 931 BW)
wasiat yang seluruhnya ditulis oleh (calon) pewaris sendiri dan ditandatangani olehnya (Ps. 932 ayat 1 BW). Notaris membuat akta penyimpanan / Acta van Depot (Ps. 932 ayat 3 BW) ;

III. Wasiat Rahasia (Ps. 940 BW) ;
Dihadiri 4 orang saksi ;
Tidak harus ditulis tangan (calon) pewaris sendiri ;
Harus ditandatangani (calon) pewaris sendiri ;
Membuat pernyataan bahwa kertas/sampul itu berisi wasiatnya ;

Notaris membuat akta penjelasan / Acta van Superscriptie (Ps. 940 ayat 2 BW) ;

IV. Wasiat Darurat (Ps. 946, 947, 948 BW)
Ini adalah wasiat yang dibuat oleh tentara (dalam keadaan perang), orang yang dalam pelayaran, orang yang dalam karantina karena penyakit menular, dst. Wasiat ini dibuat dihadapan atasannya, karena si-calon pewaris dalam keadaan sakratul maut atau akan meninggal dunia. Namun wasiat ini sekarang sudah tidak pernah dipakai lagi.

Adapun perbedaan antara Wasiat Olographis dan Wasiat Rahasia adalah :

Pada WASIAT OLOGRAPHIS :
- Ditulis tangan dan ditandatangani oleh (calon) pewaris sendiri ;
- Dihadapan 2 orang saksi ;
- Notaris membuat Acta van Depot dibagian bawah wasiat atau pada kertas lain ;
- Bisa ditarik kembali oleh (calon) pewaris ;

Pada WASIAT RAHASIA :
- Bisa ditulis tangan oleh orang lain, tapi harus ditandatangani sendiri ;
- Dihadapan 4 orang saksi ;
- Notaris membuat Acta Superscriptie pada bagian luar dari wasiat atau sampul wasiat, yang tersegel ;
- Tidak bisa ditarik kembali. Artinya apabila suatu ketika wasiat rahasia akan dibatalkan, maka harus dibuat wasiat umum ;

Bagaimana jika Calon Pewaris tersunt tidak bisa menulis apalagi mengetik? Meskipun Yang Membuat Surat Dalam hal demikian Notaris boleh membantu menulis/mengketikkan,  dengan syarat surat wasiat itu disamping harus ditandatangani oleh si-calon pewaris harus pula ditandatangani 4 (empat) orang saksi sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 940 BW. Hal ini agar tidak dibatalkan oleh Pengadilan akibat cacat hukum. Kasihan si-pembuat wasiat, karena amanatnya tidak kesampaian. Biasanya 4 (empat) orang saksi tersebut terdiri dari 2 (dua) orang saksi dari pihak keluarga si-pembuat wasiat dan 2 (dua) orang saksi dari kantor notaris.

Sebagai catatan Tambahan :
1. Pada prinsipnya surat wasiat itu dibuat secara RAHASIA. Artinya walau yang membuat suami istri, tetap wasiatnya sendiri2. Ini yang seringkali kesalahan Notaris, karena suami istri dibuat wasiat dlm satu surat !!. Jadi jawaban untuk pertanyaan ini adalah “bisa”.

2. Dua orang saksi boleh siapa saja, yang penting yang KELUARGA kenal. Artinya bisa saudara, tetangga, anak yg disayang, dst, yg penting bisa menjaga kerahasiaan isi wasiat tsb. Justru kalau hanya dikenal oleh si Pewaris, apabila si Pewaris kelak meninggal dunia maka akan menimbulkan kecurigaan pada keluarga lainnya bhw saksi tsb fiktif dan atau Pewaris kena guna2 dst.

3. Ingat, Wasiat dibuat oleh Pewaris ketika dia masih hidup kemudian dititipkan ke Notaris, maka Notaris membuat bukti penitipan yg disebut Acta van Depot. Kalau wasiat yang ia tulis tidak dititipkan ke Notaris, yg berarti tidak terdaftar di Depkumham, maka wasiat tersebut tidak sah dimata hukum. Jadi jawaban no. 3, harus dibuat Notaris sebelum Pewaris meninggal dunia (tentu saja).

4. Acta van Depot itu justru sbg bukti kepada keluarga bhw si Pewaris mempunyai wasiat yg hanya bisa dibuka kelak ke notaris setelah ia meninggal dunia. Jadi akta itu intinya hanya berisi bhw pada hari “ini” tanggal “ini” telah datang ke Notaris “siapa”, kemudian identitas si Pewaris. Kemudian Notaris menguraikan bhw si Pewaris telah menitipkan surat wasiat dalam amplop tertutup kepada Notaris ybs.

5. Isi wasiat Olographis bebas seperti Anda menulis surat yang berisi pesan2 terakhir kepada orang2 yang anda kehendaki. Bisa berisi nasehat atau pembagian harta dan atau keduanya. Hanya jangan lupa, pada akhir surat disamping anda tandatangani, ada tandatangan dan identitas 2 orang saksi


Contoh Kasus :
X (laki2) nikah dgn B(Wanita). punya anak A,C,D. kemudian X meninggal, B nikah lagi dengan E. punya anak Z. kemudian B meninggal juga.

pertanyaannya,
Siapa saja yang dapat pembagian warisan dan berapa bagiannya.?

jawaban:
Ketikau X (si bapak) meninggal, harta gono-gini X dengan B (ibu) harus dibagi dulu yaitu dikeluarkan setengah bagian (50%) dibagi pada para ahli waris yaitu : 
 
B (istri) dan anaknya (A, C, D) berarti masing-masing dapat seperempat. 
Karena istri masih hidup, hak bagiannya menjadi 1/4 + 1/2 (yg 50% haknya) = 3/4. Sedangkan anak (A, C, D) masing-masing : 1/4 x 1/2 (50% harta X) = 1/8.

Kemudian B (si ibu) kawin dengan E, dan B meninggal. Anak-anak dari B yaitu : A, C, D, Z masing-masing memperoleh 1/4 hartanya B. Walau Z anak dari perkawinan kedua, tapi semua adalah anak B. Sedangkan E sebagai suami sambungan tidak berhak terhadap harta asal B. Namun harta gono-gini B dengan E, dibagi/jatuh kepada Z dan E.

Jadi intinya pembagian waris harus dipisah dulu, mana harta asal dan mana harta gono-gini/bersama.


Dasar Hukum Notaris Dalam Membuat Akta Keterangan Ahli Waris

Kewenangan Notaris untuk membuat Akta Keterangan Hak Mewaris dasar hukumnya dapat di lihat pada :

Pasal 15 UU No 30 TAHUN 2004 TENTANG JABATAN NOTARIS

1. Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

2. Notaris berwenang pula :

a. mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

c. membuat kopi dari asli surat-surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

d. melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e. memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;

f. membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau

g. membuat akta risalah lelang.

3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Penjelasan :

Ayat (1) : Cukup jelas.

Ayat (2) :

Huruf a : Ketentuan ini merupakan legalisasi terhadap akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh  orang perseorangan atau oleh  para pihak diatas kertas yang bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan oleh Notaris.

Huruf b : Cukup jelas.

Huruf c : Cukup jelas.

Huruf d : Cukup jelas.

Huruf e : Cukup jelas.

Ayat (3) : Cukup jelas.

Anotasi :

1. Perhatikan pasal 15 ayat 3 tersebut :

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

2. Apa yang dimaksud dengan PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN ?

Kita jumpai dalam :

2.1. Pasal 1 angka 2 UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang memberikan definisi sebagai berikut :

(2). Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

2.2. Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang memberikan pengertian sebagai berikut :

(2). Badan atau Pajabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

2.3. Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang memberikan definisi sebagai berikut :

Angka 2

Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

2.4. Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 1 tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan, memberikan definisi sebagai berikut :

(1) Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

3. Dari penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 ternyata yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan” bukan hanya “undang-undang” saja, tetapi juga meliputi semua keputusan badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.

4. Pasal 7 ayat 1 dan 4 UU No.10 tahun 2004 disebutkan bahwa :

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.

5. Pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

(1) Untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan mengenai bidang tanah hak yang sudah didaftar dan hak milik atas satuan rumah susun sebagai yang diwajibkan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, wajib diserahkan oleh yang menerima hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan sebagai warisan kepada Kantor Pertanahan, sertipikat hak yang bersangkutan, surat kematian orang yang namanya dicatat sebagai pemegang haknya dan surat tanda bukti sebagai ahli waris.

6. Penjelasan Pasal 42 ayat 1 alinea 3 dari PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Surat tanda bukti sebagai ahli waris dapat berupa Akta Keterangan Hak Mewaris, atau Surat Penetapan Ahli Waris atau Surat Keterangan Ahli Waris.”

7. Dengan demikian, maka PP No. 24 tahun 1997 dapat dianggap sebagai Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dari ketentuan Pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004.

8. Atas dasar uraian tersebut, maka Surat Direktur Jenderal Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt/12/63/12/69 tentang surat keterangan warisan dan pembuktian kewarganegaraan juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Juncto ketentuan pasal 111 ayat 1 huruf c Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang berbunyi :

c. Surat tanda bukti sebagai ahli waris yang dapat berupa :

   1.
          * Wasiat dari pewaris, atau
          * Putusan Pengadilan, atau
          * Penetapan Hakim/Ketua Pengadilan, atau

n bagi warga negara Indonesia penduduk asli : surat keterangan ahli waris yang dibuat oleh para ahli waris dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi dan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan dan Camat tempat tinggal pewaris pada waktu meninggal dunia.

n bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa : Akta keterangan hak mewaris dari Notaris.

n bagi warga negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya : Surat Keterangan waris dari Balai Harta Peninggalan.

Juga termasuk dalam pengertian “peraturan perundang-undangan” yang dimaksud dalam pasal 15 ayat 3 UUJN.

9. Berdasarkan penjelasan dan definisi mengenai pengertian “peraturan perundang-undangan” yang dimuat dalam penjelasan pasal 1 angka 2 UU No. 5 tahun 1986 dan ketentuan pasal 1 angka 2 UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Peundang-Undangan tersebut diatas, praktik pembuatan akta keterangan hak waris oleh Notaris bagi mereka yang tunduk pada Hukum Waris menurut KUHPerdata, masih dapat diberikan dan dilanjutkan berdasarkan ketentuan pasal 15 ayat 3 UUJN juncto Surat Dirjen Agraria a.n. Mendagri tertanggal 20 Desember 1969 No. Dpt 12/63/12/69 juncto pasal 42 ayat 1 PP No. 24 tahun 1997 juncto pasal 111 ayat 1 huruf c angka 3 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997 tersebut diatas.

10. UU No 30 tahun 2004 tidak mengatur secara tegas tentang kewenangan notaris untuk membuat akta keterangan hak mewaris sebagaimana pernah ada pada ketika masih dalam bentuk Rancangan Undang-undang, hal ini mungkin dengan pertimbangan karena hukum waris merupakan bagian dalam bidang hukum yang sangat rawan karena berkaitan dengan agama dan kebhinekaan adat istiadat, karena itu untuk sementara ini dibiarkan saja dan secara bertahap dikondisikan untuk secara mantap menuju cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa dengan cara melakukan unifikasi hukum.
Hingga saat ini di negara kita pembuktian sebagai ahli waris masih berdasarkan etnis/suku yang ada di negara kita ini, padahal Pasal 26 UUD 1945 telah menegaskan bahwa Negara Republik Indonesia dibangun tidak berdasarkan etnis/suku tertentu yang hidup di Indonesia, dan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 ditegaskan pula semua Warga Negara Indonesia mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum, selanjutnya dalam Pasal 3, 4 dan 5 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa setiap manusia dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama, berhak untuk memperoleh perlindungan hukum yang adil, tanpa ada diskriminasi, dan terakhir dalam Pasal 2 dan Penjelasannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Kewarganegaraan dan Pasal 3 Undang-undang Nomor 23 tentang Administrasi Kependudukan, yang menegaskan Bangsa Indonesia tidak berdasarkan etnis tertentu, tapi mereka yang sejak kelahirannya telah Warga Negara Indonesia. Dengan keberadaan aturan-aturan hukum tersebut sudah tidak pada tempatnya jika masih ada pembuktian sebagai ahli waris masih berdasarkan etnis/suku yang ada di bumi Indonesia, dan hal seperti itu sudah harus diakhiri karena tidak sesuai dengan cita-cita Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Substansi yang di kaji dalam "Pembuktian Sebagai Ahli Waris Dengan Akta Notaris Dalam Bentuk Akta Keterangan Ahli Waris” bisa dibaca dalam buku karangan Dr Habib Adjie dengan judul yang sama ini menempatkan Notaris sebagai salah satu agen pembaharuan hukum, dengan segala kewenangan yang ada pada Jabatan Notaris berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UUJN, dan berusaha untuk menempatkan Notaris sebagai satu-satunya institusi atau pejabat di Indonesia yang berwenang untuk membuat bukti ahli waris untuk seluruh penduduk dan Warga Negara Indonesia tidak berdasarkan etnis/suku, agama atau golongan penduduk apapun. Bukti sebagai ahli waris yang dibuat di hadapan Notaris dalam bentuk akta pihak sebagai pernyataan atau keterangan pihak yang diberikan di hadapan Notaris.

MENGELOLA ADMINISTRASI KANTOR NOTARIS


TERTIB ADMINISTRASI DAN
PENGELOLAAN ADMINISTRASI KANTOR NOTARIS
SEBAGAI PENUNJANG KEBERHASILAN TUGAS NOTARIS

A. PENDAHULUAN

Pengertian “administrasi” (Bel: administratie) seringkali diartikan dalam arti yang sempit, yaitu sebagai kegiatan ketatausahaan, yaitu pekerjaan yang bersifat tulis‑menulis belaka.  Administrasi dalam arti yang luas, yaitu sebagai suatu proses karja-sama yang telah ditentukan sebelumnya, juga seringkali dipertukarkan penggunaan dan pengertiannya dengan “manajemen”, yang merupakan proses pencapaian tujuan melalui dan dengan orang lain.

“Kantor” dapat dilihat dalam artian statis, yaitu keadaan fisik yang merupakan wadah atau tempat, dapat berupa gedung, rumah atau ruangan, dimana kegiatan-kegiatan tata usaha dilakukan.   Dalam arti yang dinamis, kantor merupakan suatu organisasi dimana terdapat struktur, tugas, tanggung jawab, hak dan wewenang dari setiap anggota organisasi yang bersangkutan.

Manajemen perkantoran atau administrasi perkantoran adalah proses perencanaan, pengorganisasian, dan pengkoordinasian manusia, bahan­-bahan, mesin-mesin, metoda, perlengkapan, peralatan, dan uang, serta pengarahan dan pengawasan atas pelaksanaan pekerjaan dalam rangka mencapai tujuan organisasi.

Pekerjaan kantor merupakan fungsi pendukung atau memberikan bantuan dalam melaksanakan tugas pokoknya.

Sebagai contoh, kantor Notaris yang membuat berbagai jenis akta, tidak akan dapat melaksanakannya dengan baik tanpa adanya catatan-catatan mengenai segala sesuatu tentang kliennya, tujuan dari dibuatnya akta, jenis akta yang diinginkan, dan sebagainya.

Disamping itu, komunikasi yang efektif dan efisien juga merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pekerjaan kantor.

Dengan demikian, pekerjaan kantor mencakup beberapa kegiatan pokok yang meliputi:
-         pencatatan, angka-angka dan
-         perhitungan-perhitungan.

Catatan adalah segala sesuatu yang tertulis mengenai fakta-fakta atau kejadian-kejadian untuk disimpan. Catatan­-catatan tersebut merupakan data, yang perlu diolah lebih lanjut untuk menjadi informasi.

Bagi suatu kantor Notaris, catatan itu antara lain dapat berupa :
Catatan mengenai klien (nama, alamat, usia, status, pekerjaan, dsb).

a.   Catatan mengenai jenis akta yang akan dibuat.
b.   Catatan mengenai keuangan.
c.    Catatan mengenai peraturan-peraturan,
d.   Catatan mengenai jumlah akta yang dibuat, dan lain-lain.

Untuk melaksanakan seluruh kegiatan tersebut diatas, diperlukan tersedianya ruangan yang diatur dengan baik, peralatan dan perlengkapan yang sesuai, tata kearsipan yang baik, pelaksanaan komunikasi kantor yang efektif, serta tersedianya pegawai yang mempunyai kejelasan tugas, wewenang, tanggungjawab dan haknya masing-masing.

B. Tata Ruang Kantor
Suatu kantor yang ditata dengan baik, akan menimbulkan rasa senang dan nyaman, baik bagi para pegawai kantor yang bersangkutan, maupun bagi tamu-tamu yang datang ke kantor yang bersangkutan.  Oleh sebab itu, penataan ruang kantor perlu mendapat perhatian bagi setiap pimpinan kantor. Dalam kaitan dengan tata ruang beberapa kondisi fisik yang perlu diperhatikan adalah:
1.   Penerangan atau cahaya yang cukup dan baik, sehingga pegawai dapat melihat dengan cepat, mudah, dan senang, Dengan penerangan yang baik, akan dapat meningkatkan hasil pekerjaan; dan, mengurangi kesalahan-kesalahan dan kelelahan, serta meningkatkan prestise kantor.
2.   Warna, yang tidak hanya untuk mempercantik ruang kerja, tetapi juga juga perlu diperhatikan faktor keindahan dan psikologis dari warna tersebut,
3.   Pilihan warna untuk kantor, disamping dapat memberikan kindahan, juga dapat mempengaruhi hasil kerja pegawai, karena warna dapat mempengaruhi perasaan, pengertian, dan pikiran seseorang.

Misalnya warna kuning, jingga, dan merah, dipandang sebagai warna yang panas, dan biasanya  memberikan  pengaruh psikologis yang mendorong kehangatan dan perasaan gembira. Sebaliknya, warna hijau tua, biru tua, dan ungu, memberikan pengaruh ketenangan, sedangkan warna ungu muda dan biru memberikan perasaan menekan.
4.   Pengatur suhu udara (air conditioning), yang dapat meningkatkan produktivitas, mutu kerja yang lebih tinggi, kesenangan pegawai, semangat kerja yang meningkat, dan kesan yang  menyenangkan bagi para tamu.
5.   Suara yang dapat berpengaruh terhadap konsentrasi pegawai,  menyebabkan timbulnya kesalahan dalam pekerjaan, mengganggu komunikasi, dan sebagainya.

Untuk penataan ruang kantor itu sendiri, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

1.   Kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan, diletakkan berdekatan.
2.   Bagian yang melayani tamu diletaknya di bagian depan.
3.   Mesin-mesin kantor yang menimbulkan gangguan suara, harus  dijauhkan dari pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan tempat  penerimaan tamu.
4.   Tempat rapat atau pertemuan diletakkan di tempat yang tidak terganggu oleh berbagai suara, baik berupa percakapan maupun, suara mesin-mesin, pegawai, semangat kerja yang meningkat, dan kesan yang menycnangkan bagi para tamu.
5.   Suara, yang dapat berpengaruh terhadap konsentrasi pegawai, menyebabkan timbulnya kesalahan dalam pekerjaan, mengganggu komunikasi, dan sebagainya.

Untuk penataan ruang kantor itu sendiri, perlu diperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

a.   Kegiatan-kegiatan yang saling berkaitan, diletakkan berdekatan.
b.   Bagian yang melayani tamu diletakkan di bagian depan.
c.    Mesin-mesin kantor yang menimbulkan gangguan suara, harus dijauhkan dari pekerjaan yang memerlukan konsentrasi dan tempat  penerimaan tamu.
d.   Tempat rapat atau pertemuan diletakkan di tempat yang tidak terganggu oleh berbagai suara, baik berupa percakapan maupun suara mesin-mesin.

C. Perlengkapan Dan Mesin-mesin Kantor
Penggunaan perlengkapan dan mesin-mesin kantor merupakan faktor penting bagi suatu kantor yang baik. Pilihan yang tepat terhadap perlengkapan dan mesin kantor, akan meningkatkan efisiensi kantor Dalam menentukan pilihan dan pengadaan perlengkapan dan mesin-­mesin kantor, beberapa hal yang perlu mendapat perhatian adalah:.
1.   Jenis pekerjaan dan Cara penyelesaiannya.
2.   kemampuan dan kebutuhan pegawai yang menggunakannya.
3.   Fleksibilitas penggunaan.
4.   Kualitas dan kuantitas pekerjaan.
5.   Harga dan layanan purna jual.
6.   Nilai keindahan.

D.Tata Kearsipan.

Tata kearsipan dapat diartikan sebagai cara pengaturan dan penyimpanan dokumen sehingga secara teratur, sehingga setiap saat diperlukan dapat dengan mudah dan cepat ditemukan kembali. Dengan demikian, tata kearsipan yang baik akan merupakan sumber informasi dan sumber dokumentasi, serta sumber ingatan dari para pegawai dalam pelaksanaan tugasnya masing - masing.

Berdasarkan Undang-Undang No.7 Tahun 1971 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kearsipan, yang dimaksud dengan arsip adalah:
1.   Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Lembaga Negara dan Badan-badan Pemerintah dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal maupun berkelompok dalam rangka pelaksanaan kegiatan pemerintah.
2.   Naskah-naskah yang dibuat dan diterima oleh Badan-Badan Swasta dan/atau perorangan, dalam bentuk corak apa pun, baik dalam keadaan tunggal maupun  berkelompok dalam rangka pelaksanaan kehidupan kebangsaan.

Dilihat dari fungsinya, arsip dapat dibedakan atas :
-pertama, arsip dinamis, yaitu arsip yang masih digunakan dalam pelaksanaan kegiatan kantor, baik secara terus menerus atau tidak. 
-  Kedua, arsip statis, yaitu arsip yang tidak digunakan secara langsung dalam perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan, tetapi masih perlu untuk disimpan memiliki nilai dalam rangka penyelenggaraan negara dan kehidupan kebangsaan.

Arsip statis ini disimpan di Arsip Nasional. Arsip dinamis dapat dirinci lebih lanjut menjadi:
1.   Arsip Aktif, yaitu arsip yang masih digunakan secara terus menerus dalam pelaksanaan pekerjaan di lingkungan unit pengolah dari suatu kantor.
2.   Arsip Semi Aktif, yaitu arsip yang frekuensi penggunaannya sudah mulai menurun.
3.   Arsip In-Aktif, yaitu arsip yang sudah jarang digunakan atau hanya digunakan sebagai referensi saja.

Tata kearsipan yang baik meliputi beberapa faktor sebagai berikut:
a.   Penerapan cara penyimpanan secara tepat, yaitu rangkaian yang teratur   menurut  suatu pedoman tertentu untuk menyusun/menyimpan dokumen sehingga bila diperlukan dapat ditemukan kembali secara cepat,
b.   Fasilitas kearsipan yang memenuhi syarat, yang meliputi: pertama, perlengkapan dan alat-alat korespondensi, seperti kertas, karbon, mesin tik, komputer, dsb.
c.    Kedua, perlengkapan untuk penerimaan surat, seperti kotak surat, meja tulis, rak, dsb. Ketiga alat penyimpan surat, seperti map, folder, lemari, filing cabinet, lemari, dll.

Untuk penyimpanan arsip terdapat beberapa cara, yaitu:
1.   Sistem abjad, yaitu cara penyimpanan dan penemuan kembali berdasarkan abjad. Dalam Cara ini, semua arsip atau dokumen diatur berdasarkan abjad, baik dari nama orang, kantor, atau perusahaan.
2.   Sistem pokok soal, yaitu penyimpanan yang didasarkan pada pokok masalah. Satu masalah kemudian dapat dipecah menjadi beberapa sub masalah. Misalnya jual beli, dapat dirinci dalam jual beli tanah, rumah, surat berharga, dsb.
3.   Sistem, tanggal, yaitu penyusunan arsip berdasarkan tahun, bulan, dan tanggal.
4.   Sistem nomor atau angka, yang sering disebut dengan kode klasifikasi persepuluhan. Pada sistem ini yang dijadikan kode surat adalah nomor yang ditetapkan sendiri oleh kantor yang bersangkutan. Misalnya, 000 Kepegawaian, 100 Keuangan, 200 Akta Jual Beli, 300 Akta Pendirian Perusahaan, dan seterusnya.
5.   Sistem wilayah/daerah. Dalam sistem ini, arsip diatur berdasarkan nama wilayah/daerah.

Untuk mengetahui proses penanganan suatu surat diperlukan kartu kendali, sebagai alat untuk memantau penyelesaian suatu surat hingga menjadi produk yang diinginkan, misalnya menjadi suatu akta.

Selain daripada itu, untuk menghindarkan hilangnya suatu arsip yang dipinjam oleh seorang pegawai, diperlukan kartu pinjam arsip, yang harus disimpan oleh petugas arsip sampai berkas yang dipinjam tersebut dikembalikan.

E. Komunikasi Kantor:
Komunikasi kantor adalah proses penyampaian berita dari suatu pihak kepada pihak lain, yang berlangsung atau yang terjadi dalam suatu kantor. Komunikasi ini dapat dilakukan secara lisan (langsung maupun dengan alat komunikasi), maupun dalam bentuk tulisan. Komunikasi kantor dapat dibedakan atas:
1.   Komunikasi internal, yaitu komunikasi yang terjadi di didalam dan diantara anggota organisasi yang bersangkutan. Komunikasi internal ini terdiri atas beberapa bentuk,
-Pertama, komunikasi vertikal, yaitu komunikasi yang tejadi antara atasan dengan bawahan dan komunikasi tersebut mengandung perintah dari atasan kepada bawahannya. Komunikasi ini disebut juga komunikasi fungsi.
-Kedua, adalah komunikasi yang tidak mengandung perintah, tetapi bersifat pengiriman informasi dalam rangka pelaksanaan pekerjaan kantor. Komunikasi ini disebut dengan komunikasi tata usaha.
-Ketiga, adalah komunikasi pribadi, yaitu komunikasi diantara individu dalam organisasi, tetapi tidak berkaitan langsung dcngan pekerjaan kantor.

2.   Komunikasi eksternal, yaitu komunikasi yang dilakukan oleh para pegawai kantor dengan pihak lain di luar kantornya. Misalnya antara staf kantor Notaris dengan klien.

3.   Kemampuan berkomunikasi secara efektif sangat diperlukan oleh setiap pegawai di kantor Notaris, karena melalui komunikasi yang efektif tersebut, dapat dengan mudah, cepat, dan tepat dapat dimengerti maksud dan tujuan seorang klien yang datang, dan menimbulkan kepuasan bagi klien yang bersangkutan.

F. Kepegawaian Kantor.
Untuk melaksanakan kegiatan kantor, diperlukan sejumlah pegawai yang memenuhi persyaratan sesuai dengan pekerjaan yang makin dilakukannya. Dalam hal ini, beberapa faktor yang perlu mendapatkan perhatian adalah:
1.   Kejelasan tugas, hak, wewenang, dan tanggung-jawab dari setiap pegawai.
2.   Pembayaran yang adil.
3.   Kesempatan untuk maju.
4.   Pengakuan atau penghargaan atas hasil pekerjaan.
5.   Perikuan sebagai manusia.
6.   Pengawasan yang efektif.

G. Penerapan Administrasi Kantor Pada Kantor Notaris.

Dari hasil pengamatan kebeberapa kantor Notaris dan informasi yang diterima, tertib administrasi kantor bagi karitor Notaris merupakan factor yang sebenarnya sangat penting, namun tampaknya belum sepenuhnya disadari oleh para Notaris yang bersangkutan.

Berbagai aspek dari administrasi kantor yang baik, seperti tata ruang, tata kearsipan,  prosedur surat menyurat, dan kepegawaian, masih belum mendapatkan perhatian sebagaimana yang diharapkan.

Beberapa kendala memang merupakan faktor yang tidak dapat dihindari, misalnya dalam hal penyimpanan akta akta, terutama bagi kantor Notaris yang cukup besar dan jumlah akta yang dibuat cukup besar pula jumlahnya.

Pemecahan masalah penyimpanan akta tampaknya bukan merupakan hal yang mudah, mengingat belum adanya kejelasan mengenai akta merupakan dokumen yang sangat penting, dan dijamin keasliannya, walaupun sudah bersifat statis.

Beberapa masalah yang terlihat pada kantor Notaris, antara lain adalah:
1.   Kurang tertatanya ruang kerja dengan balk.
2.   Belum adanya kejelasan tugas, wewenang, hak, dan tanggung-jawab dari setiap  pegawai. Hal ini terlihat terutama apabila dalam kantor Notaris itu, terdapat hubungan keluarga yang sangat dekat antara Notaris dengan pegawainya.
3.   Kurangnya kemampuan pegawai dalam mengikuti akan mengantisipasi pada perkembangan di luar kegiatan notaris yang akan membawa dampak terhadap kemajuan kantor Notaris yang bersangkutan.
4.   Belum adanya cara penyimpanan berkas yang baik, sehingga penemuan kembali surat-surat, seringkali hanya didasarkan pada ingatan saja.

Beberapa upaya pembenahan dalam penerapan administrasi kantor yang baik, antara lain adalah:
1.   Penataan kembali tata ruang sehingga situasi kantor lebih mendorong gairah kerja para pegawai, serta memberikan kenyamanan bagi para tamu yang datang.
2.   Perumusan tugas, hak, wewenang, dan tanggungjawab yang jelas bagi setiap pegawai.
3.   Pembuatan kartu kendali sebagai alat untuk memantau proses penyelesaian suatu akta.
4.   Penataan arsip dengan memilih metoda penyimpanan yang dirasakan paling sesuai dengan kantor Notaris yang bersangkutan.

Ditengah kemajuan teknologi informasi, semakin banyaknya jumlah Notaris, dan perkembangan global yang akan berdampak terhadap kegiatan Notaris, kajian yang lebih mendalam guna mengetahui akar permasalahan dan upaya pemecahannya, kiranya sangat diperlukan.