Rabu, 22 September 2010

SURAT KUASA FIDUSIA DI BAWAH TANGAN


Dasar hukum:

  1. Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

  1. Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

Pertanyaan :

Bagaimana kedudukan Surat Kuasa Fidusia di bawah tangan yang biasa digunakan oleh Bank Umum/BPR untuk mengikat jaminan kendaraan bermotor, apakah bisa ditingkatkan menjadi Akta Jaminan Fidusia dan didaftarkan menjadi Sertifikat Jaminan Fidusia? Mohon penjelasannya.

Jawaban :

Dalam pembebanan jaminan fidusia, lazimnya yang dilakukan adalah langsung membuat akta Jaminan Fidusia-nya. Akta Jaminan Fidusia ini harus dibuat dalam bentuk akta notariil dan berbahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (“UU Fidusia”).

Akan tetapi, apabila salah satu pihak ingin diwakili dalam pembuatan akta Jaminan Fidusia tersebut, maka pihak tersebut dapat membuat surat kuasa. Surat kuasa ini tidak harus dibuat dalam bentuk akta notariil, akan tetapi sebaiknya dilegalisasi oleh notaris. Dilegalisasi di sini artinya, penandatanganan surat kuasa tersebut dilakukan di hadapan notaris. Jadi, bentuknya bukan akta notaris, akan tetapi ada notaris yang menyaksikan penandatanganan surat kuasa tersebut.

Jadi, apakah surat kuasa di bawah tangan tersebut dapat dipakai untuk membuat Akta Jaminan Fidusia, maka jawabannya adalah bisa.

Sebenarnya, setahu kami surat kuasa yang lazim ditandatangani dalam pengikatan jaminan fidusia dalam dunia perbankan adalah surat kuasa untuk mendaftarkan jaminan fidusia. Surat kuasa untuk mendaftarkan jaminan fidusia ini antara lain disebut dalam Pasal 13 ayat (2) UU Fidusia dan Pasal 2 ayat (4) PP No. 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia Dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia (“PP No. 86/2000”).

Seperti kita ketahui, jaminan fidusia tersebut harus didaftarkan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, untuk memperoleh Sertifikat Jaminan Fidusia. Pendaftaran fidusia ini dapat dilakukan oleh penerima fidusia, atau oleh wakilnya (Pasal 13 ayat (1) UU Fidusia). Untuk pendaftaran fidusia yang dilakukan oleh wakilnya, maka harus melampirkan surat kuasa atau surat pendelegasian wewenang untuk melakukan pendaftaran Jaminan Fidusia (Pasal 2 ayat (4) PP No. 86/2000). Surat kuasa ini sendiri tidak ada aturannya harus dibuat dalam bentuk tertentu, jadi surat kuasa ini bisa saja dalam bentuk akta notariil.

Demikian yang kami ketahui. Semoga bermanfaat.

PENDAFTARAN JAMINAN FIDUSIA

Fidusia yang tidak didaftarkan di kantor Pendaftaran Fidusia dalam tempo 60 hari dianggap tidak pernah ada dasarnya pasal 18 f.Jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal dicatatnya jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia; Untuk jelasnya mari kita baca artikel dibawah ini

Eksekusi Objek Jaminan Fidusia Dengan Akta Dibawah Tangan

Perjanjian fidusia adalah perjanjian hutang piutang kreditor kepada debitor yang melibatkan penjaminan. Jaminan tersebut kedudukannya masih dalam penguasaan pemilik jaminan.Tetapi untuk menjamin kepastian hukum bagi kreditor maka dibuat akta yang dibuat oleh notaris dan didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Nanti kreditor akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia berirah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, akan memiliki kekuatan eksekutorial langsung apabila debitor melakukan pelanggaran perjanjian fidusia (cidera janji) kepada kreditor (parate eksekusi), sesuai UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia.

Lalu, bagaimana dengan perjanjian fidusia yang tidak di buatkan akta notaris dan didaftarkan di kantor pendaftaran fidusia alias dibuat dibawah tangan?

Pengertian akta di bawah tangan adalah sebuah akta yang dibuat antara pihak-pihak dimana pembuatanya tidak di hadapan pejabat pembuat akta yang sah yang ditetapkan oleh undang-undang (notaris, PPAT dll).

Akta di bawah tangan bukanlah akta otentik yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Sebaliknya, akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau di depan pejabat yang ditunjuk oleh Undang-Undang dan memiliki kekuatan pembuktian sempurna. Untuk akta yang dilakukan di bawah tangan biasanya harus diotentikan ulang oleh para pihak jika hendak dijadikan alat bukti sah, misalnya di pengadilan (butuh keterangan dan pengakuan dari para pihak dalam akta). Pertanyaannya adalah apakah sah dan memiliki kekuatan bukti hukum suatu akta di bawah tangan? Menurut pendapat penulis, sah-sah saja digunakan asalkan para pihak mengakui keberadaan dan isi akta tersebut. Dalam prakteknya, di kampung atau karena kondisi tertentu menyebabkan hubungan hukum dibuat dengan akta di bawah tangan seperti dalam proses jual beli dan utang piutang.

Saat ini, banyak lembaga pembiayaan (finance) dan bank (bank umum maupun perkreditan) menyelenggarakan pembiayaan bagi konsumen (consumer finance), sewa guna usaha (leasing), anjak piutang (factoring). Mereka umumnya menggunakan tata cara perjanjian yang mengikutkan adanya jaminan fidusia bagi objek benda jaminan fidusia. Prakteknya lembaga pembiayaan menyediakan barang bergerak yang diminta konsumen (semisal kenderaan bermotor atau mesin industri) kemudian diatasnamakan konsumen sebagai debitur (penerima kredit/pinjaman). Konsekuensinya debitur menyerahkan kepada kreditur (pemberi kredit) secara fidusia. Artinya debitur sebagai pemilik atas nama barang menjadi pemberi fidusia kepada kreditur yang dalam posisi sebagai penerima fidusia. Praktek sederhana dalam jaminan fidusia adalah debitur/pihak yang punya barang mengajukan pembiayaan kepada kreditor, lalu kedua belah sama-sama sepakat mengunakan jaminan fidusia terhadap benda milik debitor dan dibuatkan akta notaris lalu didaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Kreditur sebagai penerima fidusia akan mendapat sertifkat fidusia, dan salinannya diberikan kepada debitur. Dengan mendapat sertifikat jaminan fidusia maka kreditur/penerima fidusia serta merta mempunyai hak eksekusi langsung (parate eksekusi), seperti terjadi dalam pinjam meminjam dalam perbankan. Kekuatan hukum sertifikat tersebut sama dengan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Namun, fakta di lapangan menunjukan, lembaga pembiayaan dalam melakukan perjanjian pembiayaan mencamtumkan kata-kata dijaminkan secara fidusia. Tetapi ironisnya tidak dibuat dalam akta notaris dan tidak didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia untuk mendapat sertifikat. Akta semacam itu dapat disebut akta jaminan fidusia di bawah tangan oleh karena itu fidusia sebagai jaminan kebendaan tidaklah lahir, dengan demikian kreditor tersebut bukanlah kreditor pemegang jaminan kebendaan.

Jika penerima fidusia mengalami kesulitan di lapangan, maka ia dapat meminta pengadilan setempat melalui juru sita membuat surat penetapan permohonan bantuan pengamanan eksekusi. Bantuan pengamanan eksekusi ini bisa ditujukan kepada aparat kepolisian, pamong praja dan pamong desa/kelurahan dimana benda objek jaminan fidusia berada. Dengan demikian bahwa pembuatan sertifikat jaminan fidusia melindungi penerima fidusia jika pemberi fidusia gagal memenuhi kewajiban sebagaimana tertuang dalam perjanjian kedua belah pihak.

Akibat Hukum
Jaminan fidusia yang tidak dibuatkan sertifikat jaminan fidusia menimbulkan akibat hukum yang kompleks dan beresiko. Kreditor bisa melakukan hak eksekusinya karena dianggap sepihak dan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan dari kreditor. Bisa juga karena mengingat pembiayaan atas barang objek fidusia biasanya tidak full sesuai dengan nilai barang. Atau, debitur sudah melaksanakan kewajiban sebagian dari perjanjian yang dilakukan, sehingga dapat dikatakan bahwa diatas barang tersebut berdiri hak sebagian milik debitor dan sebagian milik kreditor. Apalagi jika eksekusi tersebut tidak melalui badan penilai harga yang resmi atau badan pelelangan umum. Tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH) sesuai diatur dalam Pasal 1365 BW dan dapat digugat ganti kerugian.

Dalam konsepsi hukum pidana, eksekusi objek fidusia di bawah tangan masuk dalam tindak pidana Pasal 368 KUHPidana jika kreditor melakukan pemaksaan dan ancaman perampasan. Pasal ini menyebutkan:

1. Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan.

2. Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Situasi ini dapat terjadi jika kreditor dalam eksekusi melakukan pemaksaan dan mengambil barang secara sepihak, padahal diketahui dalam barang tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain. Walaupun juga diketahui bahwa sebagian dari barang tersebut adalah milik kreditor yang mau mengeksekusi tetapi tidak didaftarkan dalam di kantor fidusia. Bahkan pengenaan pasal-pasal lain dapat terjadi mengingat bahwa dimana-mana eksekusi merupakan bukan hal yang mudah, untuk itu butuh jaminan hukum dan dukungan aparat hukum secara legal. Inilah urgensi perlindungan hukum yang seimbang antara kreditor dan debitor. Bahkan apabila debitor mengalihkan benda objek fidusia yang dilakukan dibawah tangan kepada pihak lain tidak dapat dijerat dengan UU No. 42 Tahun 1999 Tentang jaminan fidusia, karena fidusia tersebut tidak sah atau legalnya perjanjian jaminan fidusia yang dibuat. 
Mungkin saja debitor yang mengalihkan barang objek jaminan fidusia di laporkan atas tuduhan penggelapan sesuai Pasal 372 KUHPidana menandaskan: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.

Oleh kreditor, tetapi ini juga bisa jadi blunder karena bisa saling melaporkan karena sebagian dari barang tersebut menjadi milik berdua baik kreditor dan debitor, dibutuhkan keputusan perdata oleh pengadilan negeri setempat untuk mendudukan porsi masing-masing pemilik barang tersebut untuk kedua belah pihak. Jika hal ini ditempuh maka akan terjadi proses hukum yang panjang, melelahkan dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Akibatnya, margin yang hendak dicapai perusahaan tidak terealisir bahkan mungkin merugi, termasuk rugi waktu dan pemikiran.

Lembaga pembiayaan yang tidak mendaftarkan jaminan fidusia sebenarnya rugi sendiri karena tidak punya hak eksekutorial yang legal. Problem bisnis yang membutuhkan kecepatan dan pelayanan yang prima selalu tidak sejalan dengan logika hukum yang ada. Mungkin karena kekosongan hukum atau hukum yang tidak selalu secepat perkembangan zaman.

Saat ini banyak lembaga pembiayaan melakukan eksekusi pada objek barang yang dibebani jaminan fidusia yang tidak didaftarkan. Bisa bernama remedial, rof coll, atau remove. Selama ini perusahaan pembiayaan merasa tindakan mereka aman dan lancar saja. Menurut penulis, hal ini terjadi karena masih lemahnya daya tawar nasabah terhadap kreditor sebagai pemilik dana. Ditambah lagi pengetahuan hukum masyarakat yang masih rendah. Kelemahan ini termanfaatkan oleh pelaku bisnis industri keuangan, khususnya sektor lembaga pembiayaan dan bank yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.

Penulis juga mengkhawatirkan adanya dugaan pengemplangan pendapatan negara non pajak sesuai UU No. 20 Tahun 1997 Tentang Pendapatan Negara Non Pajak, karena jutaan pembiayaan (konsumsi, manufaktur dan industri) dengan jaminan fidusia tidak didaftarkan dan mempunyai potensi besar merugikan keuangan pendapatan negara.

Proses Eksekusi

Bahwa asas perjanjian  pacta sun servanda yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh pihak-pihak yang bersepakat, akan menjadi undang-undang bagi keduanya, tetap berlaku dan menjadi asas utama dalam hukum perjanjian. Tetapi terhadap perjanjian yang memberikan penjaminan fidusia di bawah tangan tidak dapat dilakukan eksekusi sendiri. Proses eksekusi harus dilakukan dengan cara mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri melalui proses hukum acara yang normal hingga turunnya putusan pengadilan. Inilah pilihan yang prosedural hukum formil agar dapat menjaga keadilan dan penegakan terhadap hukum materiil yang dikandungnya.

Proses ini hampir pasti memakan waktu panjang, kalau para pihak menggunakan semua upaya hukum yang tersedia. Biaya yang musti dikeluarkan pun tidak sedikit. Tentu saja, ini sebuah pilihan dilematis. Dalih mengejar margin besar juga harus mempertimbangkan rasa keadilan semua pihak. Masyarakat yang umumnya menjadi nasabah juga harus lebih kritis dan teliti dalam melakukan transaksi. Sementara bagi Pemerintah, kepastian, keadilan dan ketertiban hukum adalah penting dan mendesak.

INKONSISTENSI PASAL PASAL PADA UNDANG UNDANG NO 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA



1.      Pasal 11 ayat (1) dengan Pasal 12 ayat (1) UUJF

            Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa, “Benda yang dibebani jaminan fidusia wajib didaftarkan.”

            Pasal 12 ayat (1) menyatakan bahwa, “Pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia.”

            Dari kedua ketentuan ini menimbulkan pertanyaan, apakah yang didaftarkan bendanya atau jaminan fidusianya?

            Pasal 1 ayat (2), “Jaminan Fidusia adalah hak atas jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak Khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UUHT yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.” Kemudian Pasal 1 ayat (4), “Benda adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang bergerak maupun yang tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan atau hipotek.”

            Selanjutnya dalam Pasal 4, “Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok bukan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.” dan Pasal 5 ayat (1), “Pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta …… dan merupakan akta Jaminan Fidusia.”

            Apabila dilihat dari pengertian benda yang terdapat pada pasal 1 ayat (4), bahwa benda yang dapat dijadikan jaminan fidusia dapat benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Kemudian, jaminan fidusia merupakan perjanjian ikutan yang tertuang dalam akta jaminan fidusia sebagai agunan bagi pelunasan uang tertentu. Jaminan fidusia ini menjadi preferen bagi kreditor apabila jaminan fidusia ini didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia. Hal ini dikarenakan  kedudukan preferen dijamin karena adanya pendaftaran jaminan fidusia.

            Dari pertimbangan di atas, maka menurut saya yang didaftarkan oleh Penerima Fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia adalah Jaminan Fidusianya, bukan bendanya. Sesuai dengan pengertian benda pada pasal 1 ayat (4), benda dalam jaminan fidusia dapat benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar. Kemudian dikarenakan jaminan fidusia merupakan perjanjian, maka seperti dalam praktek bahwa dalam perjanjian memuat klausula-klausula perjanjian. Dalam hal ini dalam akta Jaminan Fidusia mungkin mengatur mengenai benda yang menjadi jaminan fidusia. Oleh sebab itu, akta Jaminan fidusia ini perlu didaftarkan untuk menjamin hak kreditur yang preferen. Secara keseluruhan menurut saya, jaminan fidusia cakupannya lebih luas, artinya mencakup benda yang menjadi jaminan fidusia yang sudah tertuang dalam akta Jaminan Fidusia itu sendiri.    



2.      Pasal 15 Ayat (2) dan (3), 29 Ayat (1) huruf a dengan Pasal 29 Ayat (1) huruf b, c.

Pasal 15 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Sertipikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang setara dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Pasal 15 Ayat (3) menyatakan bahwa, “Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri.”

Pasal 29 Ayat (1) menyatakan bahwa, “Apabila debitor atau pemberi fidusia cidera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia

dapat dilakukan dengan cara:

1.      pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) oleh penerima fidusia;
2.      penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.
3.      penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.



Undang-undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (UUJF) mengikuti cara eksekusi barang jaminan yang digunakan oleh UU Hak Tanggungan yaitu memberikan alternatif eksekusi barang jaminan fidusia melalui penjualan secara lelang da penjualan di bawah tangan.[1] Eksekusi jaminan fidusia menurur UUJF sebenarnya hanya mengenal dua cara eksekusi meskipun perumusannya seakan-akan menganut tiga cara. Kedua cara tersebut yaitu:

-Melaksanakan titel eksekusi dengan menjual objek jaminan fidusia melalui lelang atas kekuasaan penerima fidusia sendiri dengan menggunakan Parate Eksekusi. Arti parate eksekusi menurut kamus hukum, ialah pelaksanaan yang langsung tanpa melewati proses (pengadilan atau hakim). Arti parate eksekusi yang diberikan doktrin adalah kewenangan untuk menjual atas kekuassaan sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan, tanpa harus minta fiat dari ketua pengadilan.[2] Di sinilah letak inkonsistensi dari pasal-pasal tersebut di atas, pengertian Parate Eksekusi di dalam UUJF kurang lebih merupakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang atau oleh putusan pengadilan oleh salah satu pihak untuk melaksanakan sendiri secara paksa isi perjanjian atau putusan hakim manakala pihak yang lainnya cidera janji. Pasal 15 ayat (2) dan (3) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a dinyatakan bahwa sertipiakat jaminan fidusia memiliki title eksekusi yang memiliki kekuatan hukum tetap yang setara dengan putusan pengadilan.

Menurut saya, pelaksanaan title eksekusi ini tidak memerlukan putusan ketua pengadilan negeri untuk pelaksanaannya, hal ini untuk memudahkan dalam eksekusi barang yang dijaminkan secara fidusia. Walaupun dalam prakteknya, eksekusi barang jaminan fidusia tidak dengan mudah dilakukan karena barang yang menjadi jaminan fidusia dikuasai oleh debitor. Diperlukan tindakan pengambil alihan penguasaan terlebih dahulu karena pada umumnya barang jaminan fidusia adalah barang bergerak, berbeda dengan Hak Tanggungan yang perlu pengosongan terlebih dahulu untuk mengeksekusi.

Namun kemudian, dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b merumuskan bahwa penjualan benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) menyatakan bahwa, “…….. Dalam undang-undang ini dipandang perlu diatur secara khusus tentang eksekusi jaminan fidusia melalui lembaga eksekusi.” Jika debitor cidera janji, maka pemegang jaminan fidusia dapat melaksanakan janji tersebut dengan menjual lelang atas kekuasaan sendiri (parate eksekusi). Pemahaman dari penjelasan Pasal 15 ayat (3) terhadap lembaga parate eksekusi, menunjukkan kehendak pembentuk undang-undang melalui penafsiran otentik untuk mengatur lembaga parate eksekusi, maksudnya pengaturan lembaga parate eksekusi masuk dalam ranah Hukum Acara Perdata. Karena eksekusi barang jaminan fidusia dalam UUJF meniru eksekusi Hak Tanggungan pada UUHT, maka kasus yang dihadapi sama dengan inkonsistensi Pasal 6 dan Penjelasan Pasal 9 UUHT. Ada unsur yang sama dalam eksekusi Hak Tanggungan dengan eksekusi jaminan fidusia, yaitu:

a.       Debitor cidera janji;

b.      Kreditur penerima jaminan mempunyai hak menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri;

c.       Syarat penjualan pelelangan umum;

d.      Hak kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan.

 Sebelum ada UUJF, eksekusi barang bergerak yang didikat dengan fidusia pada umumya tidak melalui lelang tetapi dengan mengefektifkan kuitansi kosong yang sebelumnya telah ditandatangani oleh pemilik barang jaminan atau debitor.[3] Pada waktu yang lalu, mungkin tidak ada eksekusi jaminan fidusia yang melalui pelelangan umum. Oleh karena itu, seyogyanya eksekusi barang jaminan fidusia yang telah mempunyai titel eksekusi tidak melalui pelelangan umum. Karena secara umum, pelelangan umum diperlukan suatu keputusan ketua Pengadilan untuk melaksanakan lelang. Sehingga menyimpang dari ketentuan titel eksekusi yang tidak memerlukan campur tangan pengadilan atau hakim dalam pelaksanaan jaminan fidusia.

- Menjual objek jaminan fidusia secara di bawah tangan atas dasar kesepakatan pemberi dan penerima jaminan fidusia. Seperti halnya dalam UUHT, maka UUJF ini penjualan di bawah tangan objek fidusia juga mengandung beberapa persyaratan yang relatif berat untuk dilaksanakan.



3.      Pasal 17 dengan Pasal 28 UUJF

            Pasal 17 menyatakan bahwa, “Pemberi fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang sudah terdaftar.”  Penjelasan Pasal 17, “Fidusia ulang oleh pemberi fidusia, baik debitor maupun penjamin pihak ketiga, tidak dimungkinkan atas benda yang menjadi objek jaminan fidusia karena hak kepemilikan atas benda tersebut telah beralih kepada penerima fidusia.”

            Pasal 28 menyatakan bahwa, “Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia.”

            Dari Pasal 28 di atas, secara logika bahwa objek yang menjadi jaminan fidusia dapat didaftarkan untuk kedua kalinya. Padahal hal ini bertentangan dengan Pasal 17 yang melarang atas benda yang sama yang menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian. Dalam praktek, banyak terjadi fidusia ulang terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia. Pasal 17 menjadi bias, karena dalam prakteknya fidusia ulang dapat dilakukan terhadap benda yang menjadi jaminan fidusia tergantung kepada nilai kredit dan jaminan yang ditanggung oleh jaminan fidusia. Misalkan nilai benda yang menjadi jaminan fidusia Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah), namun debitor mengajukan kredit dengan jaminan fidusia Rp 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah). Sisa nilai benda ini pada umumnya dapat di fidusiakan ulang untuk memenuhi nilai tersebut. Namun demikian sesuai ketentuan Pasal 28, maka kreditur yang diutamakan apabila perjanjian fidusia lebih dari satu adalah perjanjian fidusia yang jaminannya didaftar terlebih dahulu di Kantor Pendaftaran Fidusia.



_________________________
[1] Bachtiar Sibarani, Aspek Hukum Eksekusi Jaminan Fidusia, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 11 Tahun 2000,  Jakarta: Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Hal. 21.

[2] Ny. Ari S Hutagalung, Praktek Pembebanan dan Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-38 No. 2 (April-Juni 2008), Jakarta: Badan Penerbit FHUI. Hal. 162.

[3] Bachtiar Sibarani. op.cit, hal. 21.

Senin, 13 September 2010

GAMBARAN KONSEP FRANCHISE (WARALABA)


1. pengertian franchise (waralaba)

Perkembangan ekonomi yang dinilai cukup pesat dan persaingan yang ketat menjadikan produsen suatu barang harus berfikir cermat dalam mempertahankan eksistensinya. Pemikiran yang tidak hanya pada lingkup pengembangan metode produksi barang tetapi juga pendistribusiannya,sehingga keuntungan dapat dicapai secara maksimal. Dalam hal ini dibutuhkan suatu jaringan kerja yang luas untuk memperkenalkan produk tersebut dan memperkuat eksistensi produk tersebut dalam pasar ekonomi.

Dengan latar belakang yang demikian,sistem keagenan dinilai paling tepat dalam pengembangan bisnis baik secara nasional maupun internasional. Sistem ini kemudian dikenal dengan sistem waralaba atau franchise. Bisnis dengan biaya murah dan bahan yang sudah disediakan,juga pendiriannya yang tidak memakan banyak tempat dan waktu menjadikan frachise banyak diminati dalam bisnis. Berikut pengertian dari waralaba atau franchise yang kami kutip dari berbagai sumber.

Dalam buku Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, mengutip dari European Code of Ethics for Franchising, definisi franchise adalah :
“... is a system of marketing goods and /or services and /or tecnology,which is based upon a close and on going collaboration between legally and financially separate and independent undertakings, the franchisoe and its individual franchisees,whereby the franchissors grants its individual Franchisees the right,and imposses the obligation, to conduct a bussines in accordance withn the franchisor’s consept.”
The right in titles and compels the individual frenchisee, in exchange of a direct or indirect financial consideration, to use the frenchisor’s trade name, and/or service mark, know how(*), bussines and technical methods, procedural system, and the industrial and/or intelectual property right, supported by continuing proffision of commersial and tecnical assistance, within the framework and for the term of written frenchisee agreement, concluded between parties for this purpose.
(*) ”know how”means a body of nonpatented practical information,resulting of experience and testing of the franchisor,which is secret,subtantial and identified.
“secret” means that the know how,as a body or in the precise configuration and assembly of its component , is not generally known or easily accesible;it isn’t limited in the narrow sense that individual component of the know how should be totally unknown or unobtainable outside the franchisor’s business.
“subtantial” means that the know how includes which is of importance for the sale of goods or the provision of services to end users, and in the particular of presentation of goods for sale,the processing of goods on connection with the provision of the services, method of dealing with customers, and administration and financial management,; the know how must be usefull for the franchisee by seeing capable,at the date of conclution of the agreement,of improving the competitive position of the frenchisee, in particular by improving the frenchisee’s performance or helping it to enter a new market.
“identifie” means that the know how must be described in a sufficiently comprehensive manner so as make itpossible to verify that it fulfills the criteria of secrecy and substantiality : the descreption of know-how can either be set out in the frenchise agreementor iIn a separate document or recorded in in any other appropiate form.”

Henry Champabell Black dalam Black’s Law Dictionary memberikan definisi franchise yang diterjemahkan oleh Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu sebagai berikut :

“Franchise adalah hak istimewa untuk melakukan hal-hal tertentu yang diberikan pemerintah pada individu atau perusahaan yang berbentuk badan hukum, dan (hak tersebut) tidak dimiliki oleh penduduk pada umumnya.

Franchise adalah hak istimewa untuk menggunakan nama atau untuk menjual produk/jasa layanan. Hak itu diberikan oleh pengusaha pabrik atau penyedia pada penjual eceran untuk mengguanakan berbagai produk dan nama dengan berdasarkan pada syarat-syarat yang telah disetujui (dalam hubungan yng saling menguntungkan).”

Rooseno hardjowidigdo mengemukakan definisi dari franchise sebagai berikut :
“... suatu sistem usaha yang sudah khas atau memiliki ciri mengenai bisnis di bidang perdagangan atau jasa, berupa jenis produk dan bentuk yang diusahakan, identitas perusahaan (logo, desain, merek bahkan termasuk pakaian dan penampilan karyawan perusahaan), rencana pemasaran dan bantuan operasional”

Menurut pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang tata cara pendaftaran waralaba, pengertian waralaba (frenchise) adalah : “perikatan dimana salah satu pihak diberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau kekayaan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan imbalan berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut dalam rangka penyediaan dan/atau penjualan barang atau jasa.”

Kata “waralaba” dikenalkan pertama kali oleh Lembaga Pembinaan dan Pembinaan Manajemen (LPPM) sebagai padanan dari istilah franchise. Amir Karamoy dalam bukunya “Sukses Usaha Lewat Waralaba” menyatakan bahwa waralaba bukanlah terjemahan langsung dari konsep franchise. Waralaba berasal dari kata “wara” yang berarti lebih atau istimewa dan kata “laba” berarti untung. Jadi,waralaba adalah usaha yang memberikan keuntungan lebih/istimewa. Dan secara hukum,waralaba berarti persetujuan legal atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari pemilik (pewaralaba) kepada pihak lain (terwaralaba) yang diatur dalam suatu peraturan tertentu. Dalam konteks bisnis, franchise berarti kebebasan untuk menjalankan usaha secara mandiri di wilayah tertentu.

2.  Sejarah Perkembangan Franchise
Kata franchise berasal dari bahasa Prancis kuno yang berarti “bebas”. Pada abad pertengahan, kata franchise diartikan sebagai “hak utama” atau “kebebasan”. Dalam sejarahnya, franchise terlahir di Inggris yang dikenal dalam aktifitas bisnis. Pada intinya, raja memberikan hak monopoli pada seseorang untuk melaksanakan aktifitas bisnis tertentu. Pada tahun 1840-an,konsep franchising berkembang di Jerman dengan diberikannya hak khusus dalam menjual minuman, yang merupakan awal dari konsep franchising yang kita kenal sekarang.

Konsep Franchise berkembang sangat pesat di Amerika. Dimulai pada tahun 1951, perusahaan mesin jahit singer mulai memberikan distribution franchise yang dilakukan secara tertulis yang merupakan awal lahirnya perjanjian franchise modern. Franchise berkembang tanpa adanya peraturan dari pemerintah Amerika dan menimbulkan resiko besar dengan maraknya penipuan pada franchise. Sehingga dibentuklah The International Franchise Assosiation (IFA) yang beranggotakan negara-negara di dunia dan berkedudukan di Washington DC.

IFA didirikan dengan tujuan khusus untuk mengangkat pamor bisnis Franchise dan mengadakan pelatihan-pelatihan khusus untuk meningkatkan citra franchise dan memperbaiki hubungan franchissor dan franchisee. IFA membuat kode etik yang harus ditaati anggotanya dan bekerjasama dengan Federal Trace Commision (FTC) Amerika.

Pada tahun 1978,FTC mengeluarkan dokumen yang mengatur tentang Franchise yang disebut dengan The Uniform Offering Circulation (UFOC). UFOC merupakan dokumen yang harus dibuat oleh Franchisor sebelum menjual bisnisnya dengan metode franchise. Diharapkan UFOC dapat menjadi sumber informasi bagi Franchisee sebelum menentukan bergabung dalam usaha bisnis dengan metode franchise.

Di Indonesia bisnis Franchise sudah lama berkembang. Sebagai contoh adalah pendistribusian minyak oleh pertamina. Pada tahun 1996 tercatat telah ada 119 franchise asing dan 36 franchise lokal. Metode bisnis ini semakin dikembangkan mengingat bisnis dengan metode ini menguntungkan bagi franchisor,franchisee dan perekonomian nasional.

3.  Unsur-unsur dan ruang lingkup kontrak franchise (waralaba)

Dari pengertian franchise dalam pasal 1 ayat (1) peraturan pemerintah nomor 16 tahun 1997 tentang waralaba diatas, tercantum perumusan unsur-unsur waralaba sebagai berikut :
1. adanya perikatan
2. adanya obyek, yaitu hak kekayaan intelektual.
3. Adanya imbalan atau jasa
4. adanya persyaratan dan penjualan barang atau jasa

Dari segi yuridis, franchise memiliki unsur-unsur yang meliputi :
1. adanya subyek hukum
2. adanya lisensi atas merek barang dan jasa
3. untuk jangka waktu tertentu
4. adanya pembayaran royalti

Berdasarkan definisi franchise dari black’s law dictionary, dalam aspek bisnis, unsur-unsur franchise adalah sebagai berikut :
1. metode produksi
2. adanya ijin dari pemilik
3. adanya suatu merek atau nama dagang
4. Untuk menjual produk atau jasa
5. Dibawah merek atau dagang dari franchise

Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya kontrak franchise berada diantara kontrak lisensi dan distributor.

Dalam hukum positif Indonesia definisi tentang lisensi terdapat dalam beberapa perudangan negara. Diantaranya adalah dalam Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2001 tentang desain Industri, Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang desain tata letak sirkuit terpadu, Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Dan kesemua perundangan tersebut mengatur tentang hak atas kekayaan intelektual.

Dan salah satu pengertian lisensi dalam perudangan tersebut adalah sebagai berikut :
Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pemegang hak rahasia dagang kepada pihak lain melalui suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk menikmati manfaat ekonomi dari suatu rahasia dagang yang diberi perlindungan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu. ( Undang-Undang no. 30 Tahun 2000)

Dalam bukunya, gunawan Widjaja menyatakan suatu kesimpulan bahwa lisensi adalah suatu bentuk pemberian ijin pemanfaatan atau pemberian hak atas Kekayaan Intelektual,yang bukan pengalihan hak, yang dimiliki oleh penilik lisensi kepada penerima lisensi, dengan imbalan berupa loyalti.

Dalam pernyataan diatas, diketahui bahwa penerima lisensi menjalankan sendiri usahanya tersebut dengan menggunakan atau memanfaatkan hak atas kekayaan intelektual milik pemilik lisensi. Untuk hal ini, penerima lisensi membayar royalti kepada pemilik lisensi.

Meskipun dalam jangka waktu kontrak lisensi waralaba ini dapat ditentukan oleh para pihak dalam perikatan tersebut, pemerintah melalui Menteri Perindustrian dan Perdagangan menetapkan jangka waktu perjanjian waralaba sekurang-kurangnya lima tahun dan dapat diperpanjang lagi setelahnya.


4.  Elemen-elemen pokok dalam Franchise

Dalam bahasan yang kami paparkan diatas menunjukkan bahwa franchise mengandung elemen-elemen pokok sebagai berikut :
1.      Franchisor, yaitu pihak pemilik atau produsen barang atau jasa dengan merek tertentu dan melisensikan hak eksklusif tertentu untuk pemasaran produknya tersebut.
2.      Franchisee, yaitu penerima hak eksklusif dari Franchisor.
3.      Adanya penyerahan hak eksklusif dari franchisor terhadap franchisee.
4.      Adanya penetapan wilayah tertentu.
5.      Adanya imbal-prestasi yang berupa biaya-biaya yang telah disepakati oleh Franchisor dan franchisee.
6.      Adanya standart mutu yang ditetapkan franchisor kepada franchisee.
7.      Adanya pelatihan awal dan pelatihan berkesinambungan guna meningkatkan profesionalisme franchisee.


5.  Macam-macam franchise

Berdasarkan pada bentuknya, franchise dibedakan dalam dua bentuk, yaitu waralaba produk dan merek dagang (product and trade franchise) dan waralaba format bisnis (bussiness format franchise ). Waralaba produk dan merek dagang adalah bentuk waralaba yang paling sederhana. Dalam bentuk ini pemberi waralaba memberikan hak pada penerima waralaba untuk memasarkan produk yang dikembangkannya dan menggunakan namanya. Untuk itu, biasanya pewaralaba mendapatkan sesuatu yang disebut royalty. Contohnya adalah dealer mobil seperti auto 2000 dari toyota.

Sedangkan waralaba format bisnis adalah pemberian suatu lisensi kepada pihak lain. Dalam lisensi ini termasuk di dalamnya ijin untuk berusaha dengan merek dagang tersebut dan menggunakan seluruh paket yang terdiri atas elemen-elemen yang dibutuhkan oleh seseorang yang awam atau belum terlatih untuk menjadi terampil dalam bisnis dan mampu menjalankan usaha tersebut dengan bantuan yang terus-menerus sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati. Waralaba dalam bentuk ini terdiri atas :
a.       Konsep bisnis yang menyeluruh dari pemberi waralaba
b.      Adanya proses permulaan dan pelatihan atas seluruh aspek pengolahan bisnis, sesuai dengan konsep pemberi waralaba
c.       Proses bantuan dan bimbingan secara terus-menerus dari pihak pemberi waralaba

Menurut IFA, terdapat empat jenis waralaba yang biasa digunakan di Amerika Serikat, yaitu :
a. Product franchise
b. Manufacturing franchises
c. Bussiness opportunity ventures
d. Bussiness format franchising

Menurut FTC di Amerika, terdapat tiga jenis franchise, yaitu :
a. Product franchising
b. Manufacturing franchises
c. Bussiness format franchising

Selain itu terdapat satu jenis lagi, yaitu bussiness oppurtunity ventures, akan tetapi terdapat ketentuan yang harus dipenuhi agar usaha tersebut dapat diatur dalam FTC.

Ketentuan itu adalah :
a.       Franchisee harus menjual produk yang telah disediakan franchisor, yaitu suplier yang telah ditentukan.
b.      Franchisor harus terlibat dalam penyediaan outlet-outlet eceran dan akuntansinya.
c.       Franchise harus memberikan bayaran kepada franchisor atau prestasi lain sebagai imbalan dari hak yang diperolehnya dalam usaha franchise ini.

Stuart D. Brown menyatakan bahwa format bisnis franchise ini terbagi lagi menjadi tiga jenis , yaitu :
a. Franchise pekerjaan
b. Franchise usaha
c. Franchise investasi

Franchise banyak dikatakan sebagai pola baru dalam perdagangan. Tentu saja konsepnya akan berbeda dengan konsep bisnis yang lama seperti keagenan dan distributorship. Meskipun demikian masih terdapat beberapa kesamaan dalam pola bisnis ini. Kesamaan-kesamaan itu adalah pergerakannya dalam pendistribusian barang dan jasa, dan hingga saat ini diatur secara umum dengan berdasar pada buku III KUHPer .

KONTRAK FRANCHISE (WARALABA)


Asas Hukum Kontrak Umum dan Islam

Dalam melakukan perjanjian atau kontrak, selain harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang ada, diharuskan juga mengikuti asas-asas dalam perjanjian yang ada. Secara umum , asas tersebut adalah :
1. asas kebebasan berkontrak, yang diatur dalam pasal 1338 KUHPer.
2. Asas kesepakatan atau konsensual
3. Asas itikad baik
4. Asas kekuatan mengikat ( pacta sunt servanda )
5. Asas berlakunya perjanjian
6. Asas kepatutan dan kebiasaan

Dalam perkembangan perekonomian dewasa ini, pengaruh Islam dalam perkembangan perekonomian tidak dapat dipandang sebelah mata. Islam yang merupakan agama yang lengkap dan sempurna mengatur kehidupan umatnya secara kompleks. Baik dari peribadatan hingga urusan kenegaraan dan perekonomian.

Dalam hal perekonomian Islam memiliki ketentuan tersendiri bagi umatnya, yang bersumber pada Al-Qur’an dan As sunnah.

Asas dalam perikatan Islam adalah :
1. Asas ilahiyyah
2. Asas kebebasan
3. Asas persamaan atau penyetaraan
4. Asas keadilan
5. Asas kerelaan
6. Asas kejujuran dan kebenaran
7. Asas tertulis


Bentuk dan substansi (klausul) kontrak franchise

Lahirnya suatu kontrak menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang berupa hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban itulah yang menjadi akibat hukum dari suatu kontrak. Dengan kata lain, akibat hukum kontrak sebenarnya adalah pelaksanaan dari isi kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPer menyatakan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.

Tentang hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak tertuang dalam isi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak. Dalam pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tantang waralaba dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, telah ditentukan bahwa bentuk perjanjian waralaba adalah dalam bentuk tertulis . Perjanjian ini dibuat dengan bahasa Indonesia dan berlaku di dalamnya hukum Indonesia. Salim menyatakan bahwa yang harus disampaikan oleh pemilik waralaba kepada penerima waralaba adalah :
a.       Identitas pemberi waralaba, berikut keterangan usaha dan neraca serta daftar untung ruginya selama minimal dua tahun terakhir.
b.      Hak atas kekayaan intelektual,yang menjadi obyek waralaba.
c.       Persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba.
d.      Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan oleh pemilik waralaba kepada penerima waralaba.
e.       Hak dan kewajiban pemilik waralaba dan penerima waralaba.
f.        Cara-cara dan syarat pengakhiran, pemutusan dan perjanjian waralaba.
g.       Hal-hal lain yang harus diketahui penerima waralaba dalam rangka melaksanakan perjanjian waralaba. (Pasal 5 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba)

Berdasarkan PP no. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba, dinyatakan klausul yang seharusnya ada dalam kontrak waralaba adalah :
a.       Obyek waralaba
b.      Perlindungan terhadapa hak kekayaan intelektual yang menjadi obyek perjanjian
c.       Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh penerima waralaba
d.      Hak dan kewaiban pemberi dan penerima waralaba
e.       Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan kontrak waralaba
f.        Klausul persyaratan local content (mengutamakan barang atau produk dalam negeri)
g.       Standart mutu produk
h.       Pembinaan atau bimbingan dan pelatihan oleh pemberi kepada penerima waralaba
i.         Tempat usaha dan wilayah waralaba

Dalam Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba telah ditentukan hal-hal yang harus termuat dalam perjanjian franchise atau waralaba sebagai berikut :
a.       Nama, alamat, dan tempat kedudukan masing-masing pihak.
b.      Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang menandatangani perjanjian.
c.       Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha.
d.      Hak dan kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas yang diberikan kepada penerima waralaba.
e.       Wilayah pemasaran
f.        Jangka waktu perjanjian dan tata cara perpanjangan perjanjian beserta syarat-syaratnya.
g.       Cara penyelesaian persengketaan.
h.       Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat menyebabkan berakhirnya perjanjian atau berakhirnya perjanjian.
i.         Ganti rugi dalam hal pemutusan perjanjian.
j.        Tata cara pembayaran imbalan.
k.      Penggunaan barang atau bahan hasil pengolahan industri dalam negeri yang dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil.
l.         Pembinaan, pelatihan dan pembimbingan kepada penerima waralaba.

Bila dilakukan identifikasi terhadap pokok-pokok materi yang terkandung dalam kontrak waralaba, dapat kita temukan klausul-klausu pokok sebagai berikut :
a.       Obyek yang di-franchise-kan.
b.      Tempat berbisnis
c.       Wilayah franchise
d.      Sewa guna
e.       Pelatihan dan bantuan teknik dari franchisor.
f.        Standart operasional
g.       Pertimbangan-pertimbangan keuangan
h.       Klausula-klausula kerahasiaan
i.         Klausula-klausula yang membatasi persaingan
j.        Pertanggungjawaban
k.      Pengiklanan dan strategi pemasaran
l.         Penetapan harga dan pembelian-pembelian
m.     Status badan usaha atau perusahaan
n.       Hak untuk menggunakan nama dan merek dagang
o.      Masa berlaku dan kemungkinan pembaharuan atau perpanjangan kontrak
p.      Pengakhiran perjanjian
q.      Penafsiran terhadap perjanjian
r.        Pilihan hukum dan forum.

Sifat perjanjian franchise adalah sebagai berikut :
a.       Suatu perjanjian dikuatkan oleh hukum (legal agreement)
b.      Memberi kemungkinan pada pewaralaba/franchisor tetap memiliki hak atas nama dagang atau merek dagang, format atau pola usaha, dan hal-hal khusus yang digunakan untuk mengembangkan usaha tersebut.
c.       Memberi kemungkinan pewaralaba atau franchisor untuk mengendalikan sistem usaha yang dilisensikan.
d.      Hak, kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima pewaralaba/franchisor.

Dalam seminar yang diadakan oleh IPPM ( Institut Pengembangan dan Pembinaan Manajemen), ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian franchise adalah sebagai berikut :
a.       Hak yang diberikan oleh franchisor pada franchisee, yang meliputi penggunaan metode atau resep khusus, penggunaan merek dan nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, wilayah kegiatan dan hak lain yang berhubungan dengan pembelian kebutuhan operasi bila ada.
b.      Kewajiban dari penerima waralaba (franchisee) sebagai imbalan atas hak yang diterima dan sebagai imbalan kegiatan yang dilakukan franchisor saat memulai usaha maupun selama menjadi anggota sistem waralaba.
c.       Hak yang berkaitan dengan penjualan hak waralaba kepada pihak lain, apabila penerima waralaba tidak berkenan melanjutkan sendiri usaha tersebut.
d.      Hak yang berkaitan dengan pengakhiran kesepakatan kerjasama.

ASPEK HUKUM DALAM KONTRAK WARALABA


Aspek hukum dalam perjanjian franchise
Sesungguhnya aspek hukum yang paling pokok dalam bisnis franchise ini adalah aspek hukum perjanjian. Namun demikian terdapat beberapa aspek yang timbul dari perjanjian bisnis ini.

a. Hak cipta, paten dan merek
Di Indonesia masalah logo/desain/merek ini diatur dalam :
  • Undang-undang nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta yang diperbarui dengan Undang-undang nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas Undang-undang nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek yang menggantikan Undang-undang nomor 21 Tahun 1961 dan Undang-undang No. 6 Tahun 1989 tentang Paten. Kesemua perundangan ini dapat dijadikan dasar bagi usaha bisnis Franchise dalam rangka memberi perlindungan terhadap bisnis ini dari pihak ketiga yang dapat merugikan pemilik bisnis ini.

b. Aspek hukum ketenagakerjaan
Hubungan antara franchisee dan franchisor dalam bisnis ini adalah hubungan antara pekerja dan pengusaha yang diatur dalam perjanjian kerja. Dalam hal ini franchisor dapat dianggap sebagai pemimpin perusahaan atau pengusaha dan franchisee sebagai tenaga kerja.

Tentang kesepakatan kerja dalam kontrak tersebut diatur dalam :
  • Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per-2/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu. Demikian pula hal-hal yang menyangkut ketenagakerjaan, seperti masalah pembinaan profesionalisme pekerja ( Pasal 8 UU no. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja dan PP no.71 tahun 1991 tentang Latihan Kerja), masalah pembinaan dan perlindungan kerja ( Pasal 9 dan 10 UU no. 14 Tahun 1969), masalah hubungan ketenagakerjaan ( Pasal 11 s/d 15 UU no 14 Tahun 1969, Kepmen no. 382/1992, UU no 21 Tahun 1954, UU no 7 Tahun 1963, Pasal 6 UU no 22 Tahun 1957, UU no. 3 Tahun 1992, PP no. 14 tahun 1993), dan masalah pengawasan ketenagakerjaan ( UU no.3 Tahun 1951 dan pasal 16 UU no 14 Tahun 1969).

c. Aspek hukum perpajakan
Hubungan bisnis franchise merupakan hubungan hukum uyang memiliki potensi fiskal sehingga hubungan ini menjadi obyek kena pajak. Hal ini adalah konsekwensi dari prinsip hukum perpajakan yang menerapkan asas yang menegakkan bahwa semua perjanjian niaga berpotensi fiskal. Aturan pajak yang berhubungan dengan franchise adalah :
  • UU no 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, 
  • UU no. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Pertambahan Nilai atau Barang Mewah, 
  • PP no. 75 Tahun 1991 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Eceran Besar, dan 
  • Keputusan Menteri Keuangan RI no. 1289/KMK.04/1991 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Dan Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Eceran Besar.

FRANCHISE DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Dengan meneliti format dan konsep bisnis waralaba, dapat kita ambil kesimpulan bahwa keberadaan waralaba dewasa ini merupakan akibat dari perkembangan ekonomi dalam hal transaksi bisnis. Bisnis ini dilakukan oleh dua pihak yang berakad, baik berupa badan usaha maupun perorangan sebagai subyek hukumnya. Kekhasan dalam sistem ini terletak pada obyek perjanjian atau kontrak yang berupa hak kekayaan intelektual (HAKI). Yang hukumnya dalam fikih muamalah adalah mubah atau boleh. Dan kebolehan ini terjadi selama tidak ada unsur keharaman dalam obyeknya. Baik dari segi dzat (lidzatihi) maupun nondzatnya (lighairihi). Dan selama tidah bertentangan dengan akad syariah dan asas-asasnya.

Obyek dalam akad ini adalah hak kekayaan intelektual yang bisa dikategorikan ke dalam benda (‘ain) dan format bisnis yang terkategori dalam perbuatan (fi’il). Meskipun keduanya tak terpisahkan tetapi tetap saja tidak menggugurkan keberlakuan asas-asas dan prinsip muamalah dalam Islam.

Dalam hal ini,prinsip bisnis yang digunakan adalah ijarah (sewa-menyewa). Franchisor adalah pemilik hak atas kekayaan intelektual yang dijadikan obyek akad. Dan pemanfaatannya oleh franchisee akan dikenai suatu kompensasi yang berupa pembayaran sejumlah uang sebagai imbalannya. Dalam ijarah, kompensasi tersebut dapat diberikan secara tunai (naqdan) atau tangguh (mu’ajjal). Mengenai jumlah imbalan, selain dapat diketahui dengan perkiraan dapat pula diketahui dari hasil penjualan produk (royalty).

Dari analisis yang kami temukan, akad dalam bisnis waralaba dapat berupa akad berbentuk ijarah, berprinsip tijarah dalam penjualan barang yang dikelola dan dipasarkan oleh penerima waralaba, dan dapat bersistim mudhorobah atau bagi hasil sehingga ia berhak menerima nisbah dari investasinya atau menanggung resiko finansial atas modal yang disertakannya.

Dalam sistem bisnis waralaba Islami diperlukan sistem syariah sebagai pembatas atau filter-nya, dengan tujuan menghindari penyimpangan moral bisnis ( moral hazard ). Filter tersebut adalah menjauhi pantangan yang tujuh atau yang disebut dengan MAGHRIB . 

Maghrib disini adalah berupa :
a. Maysir
b. Asusila
c. Gharar
d. Haram
e. Riba
f. Ikhtikar atau pemonopolian
g. Berbahaya