Jumat, 18 Juni 2010

CONTOH-CONTOH AKTE NOTARIIL

Bagi yang menginginkan Contoh2 Akte Notariil silahkan di unduh disini :

http://www.4shared.com/account/file/ZmOWFCXc/CONTO_AKTA_2008-2010.html



Semoga ada manfaatnya
h3r

Kamis, 10 Juni 2010

STATUS PERKAWINAN DAN HARTA PERKAWINAN



BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia merdeka dari penjajahan sejak tahun 1945 dan telah memiliki landasan dasar negara, yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Namun, sampai sekarang pengaruh hukum Belanda masih mendominasi dalam sistem perundang-undangan nasional. Contoh yang paling konkrit adalah di dalam bidang hukum privat, Indonesia masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Tetapi dalam rangka pembentukan hukum nasional, beberapa ketentuan di dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku, seperti dalam bidang hukum kebendaan yang sudah diatur dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta hukum perorangan dan kekeluargaan yang telah diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu bagian yang diatur didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah tentang harta benda perkawinan. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 macam-macam harta perkawinan dibagi menjadi:

  * Harta pribadi, yaitu harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
  * Harta bersama (syirkah), yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami isteri selama ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

Status Harta Perkawinanpun menjadi berbeda ketika adanya suatu ikatan maupun tidak adanya ikatan dengan tali perkawinan, oleh karena itu, status harta perkawinan dibagi menjadi 2, yaitu::

  * Pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan.
  * Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing, kecuali para pihak menentkan lain dalam perjanjian perkawinan.

Adapun tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan:

  * Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri.
  * Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya.
  * Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.
  * Apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing. Hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila masih belum mencukupi.

Status harta bersama dalam perkawinan poligami:

  * Masing-masing isteri memiliki harta bersama secara terpisah dan sendiri-sendiri.
  * Pemilikan harta bersamanya dihitung pada saat berlangsungnya akad nikah yang kedua, ketiga atau yang keempat.

Pembagian harta bersama:

  * Jika terjadi cerai mati maka separuh dari harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.
  * Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak atas setengah dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

Sedangkan pengaturan di dalam KUHPerdata menyatakan bahwa semua harta bawaan yang berasal dari bawaan suami maupun harta bawaan isteri dengan sendirinya menjadi satu kekayaan bersama yang menjadi milik bersama dari suami isteri tersebut, kecuali diadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan.

Perbedaan pengertian harta perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 dan pengertian harta perkawinan menurut KUHPerdata inilah yang membuat terjadinya pertentangan dalam kasus yang akan dibahas dalam makalah ini.

B. Pokok Permasalahan

Dari uraian

  1. Bagaimana status tanah berikut rumah dan perusahaan cat milik Agustono Setiobudi dalam perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974?
  2. Apakah putusan Majelis Hakim Pada Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung sudah tepat?

BAB II

KASUS POSISI

Agustono Setiobudi dan Yanti Harumina Tanudjaja melangsungkan perkawinan pada tahun berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974. Pada awal perkawinan, Agustono telah berjanji secara lisan kepada Yanti untuk memberikan sebagian harta yang telah dimiliki Agustono sebelum perkawinan jika terjadi sesuatu pada perkawinan mereka. Harta tersebut berupa sebidang tanah berikut rumah yang terletak di Jalan Mayjen Panjaitan dan sebuah perusahaan pabrik cat ”Telaga Mas” berikut alat-alat perlengkapannya. Harta tersebut merupakan harta bawaan yang diperoleh Agustono dari perkawinannya dengan isteri terdahulu yang telah meninggal dunia.

Pada suatu ketika, Agustono tanpa sepengetahuan Yanti menjual harta tersebut kepada Gunawan Setyo Pranoto. Harta itu dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya dengan Yanti. Ternyata perkawinan Agustono dan Yanti tidak berlangsung lama, mereka bercerai dan Yanti menuntut haknya. Disinilah permasalahan mulai timbul. Yanti yang berstatus sebagai mantan isteri Agustono merasa berhak atas rumah dan perusahaan cat ”Telaga Mas” tersebut karena Agustono telah menjanjikan hal tersebut kepada Yanti sebelum perkawinan. Sedangkan Gunawan juga merasa berhak atas rumah dan perusahaan cat ”Telaga Mas” tersebut karena ia telah membelinya secara sah dari Agustono.

Pada awalnya, Mahkamah Agung menyatakan barang yang dipersengketakan adalah harta bersama Agustono dan Yanti yang diperoleh saat pernikahan mereka, meskipun pada kenyataannya harta tersebut sudah dimiliki Agustono sebelum menikah dengan Yanti. Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 287 K/ SIP/ 1982 Tanggal 30 Oktober 1985 untuk melakukan sita eksekusi atas sebidang tanah berikut rumah dan perusahaan cat ”Telaga Mas” tersebut. Gunawan sebagai pihak ketiga yang telah membeli rumah dan perusahaan itu merasa dirugikan, lalu ia mengajukan gugatan perlawanan ke Pengadilan Negeri Surabaya. Pengadilan Negeri Surabaya mengeluarkan putusan No.30/PLW/1986/PN SBY Tanggal 29 September 1986 yang menyatakan pembatalan sita eksekusi terhadap harta yang dipersengketakan. Yanti kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi, kemudian Pengadilan Tinggi Surabaya mengeluarkan putusan No. 283/PDT/1988/PT SBY Tanggal 19 Desember 1988 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya dan mengadili sendiri perkara tersebut.

BAB III

ANALISA KASUS

A. Analisa Putusan Pengadilan Tinggi

Peristiwa hukum perceraian antara Agustono dan Yanti terjadi saat Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berlaku. Jadi dapat diasumsikan bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.283/PDT/1988/PT SBY Tanggal 19 Desember 1988 tersebut seharusnya diputuskan dengan mempertimbangkan hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, khususnya mengenai harta bersama.

Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, ditentukan bahwa:

(1). Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

(2). Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 di dalam suatu keluarga mungkin terdapat lebih dari satu kelompok harta.

Hal ini berbeda dengan sistem yang dianut di dalam KUHPerdata. Berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata maka setelah perkawinan berlangsung terjadi harta percampuran bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, kecuali telah diadakan perjanjian kawin sebelumnya yang mengatur mengenai masalah pemisahan harta. Dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa menurut KUHPerdata di dalam suatu keluarga hanya ada satu kelompok harta, yaitu harta persatuan suami isteri.

Pengadilan Tinggi Surabaya membuat putusan yang berbeda dengan putusan yang dibuat oleh Pengadilan Negeri. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya yaitu:

§ Menyatakan bahwa perlawanan terhadap sita eksekutorial yang diajukan Gunawan Setyo Pranoto tidak beralasan.

§ Menyatakan Gunawan Setyo Pranoto adalah Pelawan Terbanding yang tidak benar.

§ Mempertahankan sita eksekutorial tersebut.

§ Menghukum pelawan terbanding tersebut diatas untuk membayar biaya perkara, baik dalam pengadilan tingkat pertama maupun dalam tingkat banding, yang dalam tingkat banding ini ditetapkan Rp 10.000 (sepuluh ribu rupiah).

Berdasarkan analisa penulis, terdapat dua kemungkinan yang terjadi dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 283/PDT/1988/PT SBY Tanggal 19 Desember 1988 tersebut. Kemungkinan pertama, hakim tidak menelaah lebih jauh mengenai rumah dan perusahaan tersebut, apakah benar harta itu diperoleh selama perkawinan Agustono dan Yanti atau diperoleh sebelum pernikahan mereka. Jika harta tersebut diperoleh selama pernikahan, maka benar harta tersebut adalah harta bersama Agustono dan Yanti. Namun jika secara formil dapat dibuktikan bahwa harta tersebut diperoleh sebelum terjadi perkawinan, maka harta tersebut adalah harta bawaan Agustono. Kemungkinan kedua, Agustono tidak punya cukup bukti untuk meyakinkan hakim bahwa rumah dan perusahaan tersebut telah dimilikinya sebelum menikah dengan Yanti, sehingga hakim Mahkamah Agung pada putusan gugatan perceraian awal memutuskan rumah dan perusahaan tersebut adalah harta bersama.

Dalam putusannya hakim pengadilan tinggi yang memeriksa permohonan banding Yanti menilai bahwa rumah dan perusahaan yang dipersengketakan adalah harta bersama Agustono dan Yanti, sehingga Yanti juga memiliki hak atas harta tersebut. Selanjutnya dengan memakai dasar hukum Pasal 1340 KUHPerdata, Pengadilan Tinggi Surabaya menganggap Yanti sebagai pihak ketiga yang dirugikan atas perjanjian jual beli antara Agustono dan Gunawan. Maka demi hukum, hak-hak dari Yanti tetap harus dipertahankan atas harta yang dipersengketakan.

Akibatnya, akta perjanjian yang dibuat oleh Agustono Setiobudi dan Gunawan Setyo Pranoto yang menjadikan harta yang dipersengketakan tersebut berada dalam status sita jaminan dinyatakan tidak sah dan batal demi hukum karena dibuat tanpa sepengetahuan Yanti. Hal ini didasarkan pada Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa ”mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas perjanjian kedua belah pihak.” Hakim menilai tidak dilibatkannya Yanti dalam perjanjian merupakan sebab yang terlarang sebagaimana diatur dalam Pasal 1335 KUHPerdata.Sehingga akta tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Dari putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi tersebut, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, antara lain:

§ Bagaimana pertimbangan dan dasar dari Pengadilan Tinggi Surabaya sehingga dapat menyatakan bahwa harta yang menjadi sengketa tersebut adalah harta bersama?

§ Mengapa Pengadilan Tinggi Surabaya dapat mengatakan bahwa Yanti adalah pihak ketiga yang dirugikan atas sebuah perjanjian yang dibuat antara Agustono Setyobudi dengan Gunawan Setyo Pranoto? Padahal masih belum jelas apakah Yanti adalah pihak ketiga yang berhak atas harta sengketa yang dimaksud dan ia telah dirugikan.

Dari putusan yang dikeluarkan oleh pengadilan tinggi tersebut, maka ada beberapa hal yang harus dikoreksi, antara lain:

§ Mengenai pendapat Pengadilan Tinggi Surabaya yang telah menyatakan bahwa harta yang dipersengketakan adalah harta bersama. Padahal harta yang dimaksud itu diperoleh Agustono sebelum menikah dengan Yanti, sehingga harta tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai harta bersama, melainkan harta bawaan. Dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 dinyatakan dengan jelas bahwa harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Atas dasar itulah maka Agustono berhak sepenuhnya untuk berbuat apapun atas harta yang dipersoalkan itu, karena itu memang sepenuhnya harta Agustono.

§ Karena harta tersebut adalah sepenuhnya milik dari Agustono, maka perjanjian jual beli yang telah dilakukan adalah sebuah perjanjian yang sah dan memiliki kekuatan hukum, bukan seperti pendapat yang dikemukakan oleh pengadilan tinggi yang menyatakan bahwa perjanjian yang diperbuat adalah sebuah perjanjian yang dapat batal demi hukum.

§ Pengadilan Tinggi Surabaya menyatakan bahwa Yanti juga memiliki hak atas harta yang dipersengketakan, padahal diketahui bahwa sewaktu pernikahannya dengan Agustono, Yanti tidak membawa harta apapun. Oleh karena itu tidak ada harta bawaan yang menjadi haknya, termasuk harta yang menjadi objek sengketa ini. Maka tidak ada hak apapun dari Yanti atas harta ini.

§ Seharusnya Pengadilan Tinggi Surabaya dengan pertimbangan-pertimbangan diatas menyatakan bahwa pihak Agustono adalah pelawan yang benar, bukan sebaliknya malah menyatakan bahwa pihak Agustono adalah pelawan yang tidak benar.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ada beberapa kesimpulan yang bisa diambil dari kasus diatas, yakni:

a. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, macam-macam harta perkawinan, yaitu:

§ Harta pribadi, adalah harta bawaan dari masing-masing suami isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.

§ Harta bersama (syirkah), adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri maupun bersama suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.

b. Status harta perkawinan pada dasarnya tidak ada percampuran harta pribadi masing-masing karena perkawinan. Suami dan isteri berhak dan berkuasa penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta pribadi masing-masing. Kecuali para pihak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

c. Tanggung jawab suami isteri terhadap harta perkawinan yaitu: Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri dan hartanya sendiri; Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya; Suami isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama; dan apabila ada hutang suami atau isteri, maka dibebankan pada hartanya masing-masing, hutang keluarga dibebankan pada harta bersama, jika tidak mencukupi dibebankan pada harta suami, selanjutnya baru dibebankan pada harta isteri apabila masih belum mencukupi.

d. Dari seluruh putusan yang dikeluarkan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi inti permasalahan adalah apakah barang yang dipersengketakan tersebut termasuk harta bersama ataukah harta bawaan? Dalam kasus posisi diketahui bahwa harta tersebut merupakan harta bawaan Agustono, dimana ia memperolehnya sebelum melangsungkan perkawinan dengan Yanti. Agustono pun hanya berjanji secara lisan kepada Yanti akan membagi harta tersebut jika pada akhirnya perkawinan mereka bermasalah. Oleh karena Agustono hanya berjanji secara lisan saja, maka janji Agustono tersebut tidak termasuk dalam perjanjian perkawinan. Dimana berdasarkan Pasal 29 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, suatu perjanjian perkawinan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

§ Persetujuan suami isteri

§ Harus tertulis

§ Harus disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan

§ Isi perjanjian tersebut berlaku untuk pihak ketiga, apabila pihak ketiga tersangkut.

Sehingga jelaslah bahwa harta sengketa tersebut bukan harta bersama.

B. Saran

Saran yang penulis berikan atas adanya kasus sengketa harta perkawinan ini adalah: Diperlukan adanya ketentuan yang mewajibkan adanya pencatatan harta bawaan masing-masing pihak agar status harta bawaan tersebut jelas dan pasti. Karena ketentuan di dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menentukan bahwa pemisahan secara otomatis (demi hukum) antara harta bawaan dengan harta bersama tanpa disertai dengan kewajiban untuk mengadakan pencatatan pada saat akan dilangsungkannya perkawinan atau sebelumnya dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari, terutama dalam segi pembuktian asal usul harta pada waktu pembagian harta saat perceraian.

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 1112 K/PDT/1990

Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1112 K/Pdt/1990


Dari permasalahan dalam kasus tersebut, menurut Putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara pembagian harta warisan sudah tepat. Adapun alasan kami adalah sebagai berikut:

1. Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.[1] Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[2] Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasa 27 KUHPerdata.[3]

2. Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si pewaris meninggal dunia.

Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam substansi dari pembagian harta warisan, dapat dilihat pengaturan mengenai putusan kasasi dalam hal perbedaan pembagian harta warisan, dimana Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung.[4] Berdasarkan kewenangannya artinya Mahkamah Agung juga mempunyai andil dalam memutus dan mengadili kasus persengketaan harta warisan dalam perkara aquo.

Dalam kasus tersebut terdapat perbedaan hasil putusan dari tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan Mahkamah Agung. Kasus ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri yang memutus:

1. Penggugat (I BENGNGA) mendapatkan ¼ bagian dan Tergugat I (BESSE RAWE) mendapatkan ½ bagian, dan sisanya ½ bagian diberikan kepada jandanya cq. Penggugat dan Tergugat III (anaknya Besse Rawe) serta Tergugat IV (anaknya Ino Upe/Istri I yang sudah meninggal) dan Tergugat V, VI, dan VII (anaknya Penggugat).

2. Menghukum Tergugat I (BESSE RAWE) untuk menyerahkan ¾ bagian harta sengketa kepada:

a. Penggugat sebesar ¼ bagian dari harta bersama.

b. Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII dengan memperoleh 1/6 x ½ bagian harta sengketa.

Sedangkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan juga menguatkan judex factie yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sengkang, akan tetapi kembali Mahkamah Agung harus mengadili sendiri putusan pengadilan dibawahnya dengan alasan yaitu salah menerapkan hukum sehingga haruslah dibatalkan, dimana Pengadilan Negeri membenarkan harta sengketa adalah harta bersama antara pewaris dengan Istrinya ke III (Tergugat I, BESSE RAWE). Namun, di pihak lain, Penggugat (I BENGNGA) berhak atas harta bersama antara Istri ke III dengan pewaris.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan mengingat salah satu sumber hukum yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung No. 561 K/Sip/1968 yang menyatakan bahwa “Harta warisan yang bersifat gono-gini. Barang sengketa sebagai peninggalan almarhum diputuskan harus dibagi antara penggugat dan tergugat masing-masing separoh.”

Dalam kasus ini terjadi kekosongan hukum, dimana dalam KUHPerdata tidak mengatur mengenai poligami dan pembagian harta warisan dalam keadaan poligami, maka sesuai dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung diatas, maka pembagian harta warisan yang seharusnya adalah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung bahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dar seorang (poligami), maka harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya harta bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya. Selain itu, dari fakta-fakta yang terungkap dinyatakan bahwa harta yang disengketakan telah terbukti merupakan harta bersama antara pewaris dengan istri ke-III yaitu Besse Rawe (Tergugat I). Bilamana pewaris meninggal dunia, maka pembagian harta bersamanya menjadi dua bagian:

1. setengah (½) bagian menjadi hak istri yang mempunyai harta bersama.

2. setengah (½) bagian menjadi hak pewaris yang kemudian jatuh kepada semua ahli waris yaitu para janda dan anak-anak pewaris.

Dengan demikian, dapat disimpulkan perolehan harta warisan dari masing-masing ahli warisnya adalah:

Tergugat I (BESSE RAWE) = ½ bagian harta bersama

Penggugat (I BENGNGA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat III (BASO) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat IV (I SUBE) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat V (SITI) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat VI (JAYA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat VII (ALIMUDIN) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

[1] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.

[2] Dr. Wienarsih Imam Subekti, SH., MH. dan Sri Soesilowati Mahdi, SH., Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hlm 44.

[3] Ibid., hlm. 35.

[4] Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.

BAGIAN HARTA WARIS BAGI AHLI WARIS YANG DIANGGAP HILANG (MAFQUD)


Sebagai bangsa Indonesia yang di dasarkan atas salah sumber hukum yaitu Hukum Islam meliputi Alquran, As-Sunnah, dan Ra’yu,[1] yang dihadapkan pada permasalahan yang begitu kompleksnya tentang kewarisan Islam di Indonesia, sering kali menimbulkan kesulitan dalam memutuskan dan mempertimbangkan sesuatu yang masih belum mempunyai kekuatan hukum tetap, seperti halnya dalam kewarisan yang terjadi apabila seseorang dinggap hilang (Mafqud).

Permasalahan kewarisan ini yang membuat para ulama fikih dan hakim peradilan agama harus menggali kebenaran, keadilan serta bukti-bukti yang mendukung adanya peristiwa Mafqud. Oleh karena itu, dibutuhkan kejelasan utama atas status dari seseorang yang hilang sehingga adanya kejelasan dari tanda-tanda masih hidupnya bahtera rumah tangga mereka, karena salah satu hakikat asas hukum Islam adalah untuk selama-lamanya, dimana kedua belah pasangan menunjukan perkawinan dilaksanakan untuk melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup.[2]

Kata Mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar Faqada yang berarti hilang[3] Menurut para Faradhiyun Mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.[4] Selain itu, ada yang mengartikan Mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudan meninggal.[5]

Dalam pembahasan ulama fikih, penentuan status bagi Mafqud, apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban dari si Mafqud tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri.[6]

A. Pandangan ulama fikih dan dasar hukum yang mengatur Mafqud

Dalam menetapkan status bagi mafqud (apakah ia masih hidup atau tidak), para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain.

Akan tetapi, anggapan masih hidup tersebut tidak bisa dipertahankan terus menerus, karena ini akan menimbulkan kerugian bagi orang lain.[7] Oleh karena itu, harus digunakan suatu pertimbangan hukum untuk mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud (para ulama fikih telah sepakat bahwa yang berhak untuk menetapkan status bagi orang hilang tersebut adalah hakim, baik untuk menetapkan bahwa orang hilang telah wafat atau belum.[8]

Ada dua macam pertimbangan hukum yang dapat digunakan dalam mencari kejelasan status hukum bagi si mafqud, yaitu:[9]

1. Berdasarkan bukti-bukti yang otentik, yang dibenarkan oleh syariat, yang dapat menetapkan suatu ketetapan hukum, sebagaimana dalam kaidah:

"Tsa bitu bil bayyinati katssabinati bil mu'aa yanah" artinya, "yang tetap berdasarkan bukti bagaikan yang tetap berdasarkan kenyataan".

Misalnya, ada dua orang yang adil dan dapat dipercaya untuk memberikan kesaksian bahwa si fulan yang hilang telah meninggal dunia, maka hakim dapat menjadikan dasar persaksian tersebut untuk memutuskan status kematian bagi si mafqud. Jika demikian halnya, maka si mafqud sudah hilang status mafqudnya. Ia ditetapkan seperti orang yang mati haqiqy.

2. Berdasarkan tenggang waktu lamanya si mafqud pergi atau berdasarkan kadaluwarsa.

Para ulama berbeda pendapat perihal tenggang waktu untuk menghukumi/menetapkan kematian bagi si mafqud. Mereka terbagi kedalam beberapa mazhab:

  1. Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang diperbolehkan bagi hakim memberi vonis kematian si mafqud ialah 4 (empat) tahun. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Umar bin Khattab yang menyatakan:

"Setiap isteri yang ditinggalkan oleh suaminya, sedang dia tidak mengetahui dimana suaminya, maka ia menunggu empat tahun, kemudian dia ber'iddah selama empat bulan sepuluh hari, kemudian lepaslah dia...." (HR Bukhari)[10]

  2. Imam Syafi'i, Imam Hanafi, Abu Yusuf dan Muhamad bin al-Hasan berpendapat bahwa si mafqud boleh diputuskan kematiannya oleh hakim bila sudah tidak ada kawan sebayanya yang masih hidup. Secara pasti hal tersebut tidak dapat ditentukan. Oleh sebab itu, beliau menyerahkan kepada Ijtihad hakim. Hakim dapat memberi vonis kematian si mafqud menurut ijtihad-nya demi suatu kemashalatan.
  3. Abdul Malik Ibnul-Majisyun mefatwakan agar si mafqud tersebt mencapai umur 90 tahun beserta umur sewaktu kepergiannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi "Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun."
  4. Imam Ahmad berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat "situasi" hilangnya si mafqud tersebut. manurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas:

i. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpannya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya.

ii. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebaginya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya.

Walaupun demikian, praktek pelaksanaannya di pengadilan agama, bahwa mengenai ada atau tidaknya kewenangan untuk menetapkan/menghukumi status bagi mafqud tersebut (dengan menyatakan ia telah meninggal atau belum) masih bersifat masih dapat diperdebatkan (debatable).[11]

C. Pembagian warisan seseorang yang dianggap hilang (Mafqud)

Permasalahan yang berkenaan dengan kewarisan, hingga saat ini belum ada ketentuan-ketentuan kapan seseorang yang hilang dapat ditentukan statusnya. Oleh karena itu, dalam menetapkan status bagi si mafqud diperlukan suatu pembuktian yang sangat cermat. Lalu yang menjadi permasalahan, kapan harta si mafqud dapat diwarisi oleh para ahli warisnya?

Menurut para ulama, setelah hakim memutuskan si mafqud telah meninggal dunia pada suatu tanggal yang ditentukan berdasarkan pada dalil-dalil yang menimbulkan dugaan kuat kematiannya, maka mafqud itu dipandang meninggal dunia, pada waktu keluarnya penetapan hakim.[12]

CONTOH KASUS

Seseorang yang meninggal dunia meninggalkan seorang Isteri yaitu Asyimah binti Kalil (A), Ibu yaitu Juheriah binti Massere (B), seorang anak laki-laki yang mafqud yaitu Wawan bin Aman Irah (C), seorang anak perempuan yaitu Nani binti Aman Irah (D) dan serta seorang saudara kandung bernama yaitu Yusuf bin Ali Umar (E). Harta peninggalannya sejumlah Rp.120.000.000,- Bagaimanakah pembagian warisannya menurut ajaran patrilineal syafi’i?

Skema Kasus

 

 

C
 

D


Apabila mafqud belum dinyatakan mati

A = 1/8 df (Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-

B = 1/6 df (Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-

Sisa = Rp.120.000.000 - Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 = Rp.85.000.000,-

C dan D memperoleh sisa sebagai asabah

C : D = 2 : 1 (Q.4:11a)

C = 2/3 x sisa = 2/3 x Rp.85.000 = Rp.56.700.000,-

D = 1/3 x sisa = 2/3 x Rp.85.000 = Rp.28.300.000,-

E = Terhijab oleh C

A + B + C + D + E = Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.56.700.000 + Rp.28.300.000 = Rp.12.000.000,- (harta habis dibagi).

Apabila mafqud telah dinyatakan mati

A = 1/8 df (Q.4:12e) x Rp.120.000.000 = Rp.15.000.000,-

B = 1/6 df (Q.4:11d) x Rp.120.000.000 = Rp.20.000.000,-

D = 1/2 df (Q.4:11c) x Rp.120.000.000 = Rp.60.000.000,-

E mendapat sisa sebagai asabah (Q.4:176c) yaitu Rp.120.000.000 - Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.25.000.000,-

A + B + D + E = Rp.15.000.000 + Rp.20.000.000 + Rp.60.000.000 = Rp.120.000.000,- (harta habis dibagi).

Dengan demikian, harta peninggalan mafqud diwariskan oleh ahli waris yang ada pada waktu itu. Para ahli waris yang telah meninggal dunia sebelum adanya penetapan hakim tidak mewarisinya, karena tidak terpenuhinya syarat kewarisan, yaitu meninggalnya si pewaris baik secara hakikatnya (mati haqiqy)[13] maupun secara hukum (mati hukmy)[14]. Oleh karena itu, harta warisan yang sudah dibagi dan ketika si mafqud hadir kembali sudah melampaui 4 (empat) tahun, maka ia tidak bisa meminta kembali harta warisan yang sudah dibagikan. Apabila si mafqud hadir sebelum 4 (empat) tahun, maka ia dapat memintakan kembali harta yang belum dipakai oleh ahli warisnya yang merupakan harta warisan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas dapat penulis mengambil benang merah, antara lain:

1. Status hukum bagi si mafqud (meninggal atau tidak) sangat berpengaruh pada kehidupan bahtera keluarga, terlebih apabila menyangkut dengan keluarga besar yang terdiri dari orangtua, saudara-saudara.

2. Status hukum si mafqud dapat ditetapkan dan dimintakan kepada hakim pengadilan negeri, atas suatu persitiwa yang menimpa pihak-pihak yang berkepentingan, sehingga akan semakin jelas dari pihak-pihak yang ditinggalkan.

3. Dalam menetapkan status si mafqud, seorang hakim harus berasaskan bebas tapi terikat, yang artinya bebas memakai penafsiran dan berijtihad dengan dalil-dalil dengan sungguh-sungguh, tetapi terikat dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat dan peraturan perundang-undangan di Indonesia, sehingga dalam pembagian warisan kepada masing-masing pihak yang berkepentingan tidak menimbulkan konflik dan adanya pembagian yang seadil-adilnya.

B. Saran

Dari kesimpulan yang dijabarkan diatas penulis dapat memberi rekomendasi antara lain:

  1. Dalam memutuskan perkara, maka hakim peradilan agama benar-benar harus menggali dan berijtihad dengan sungguh-sungguh agar dalam memutuskan perkara tidak ada kesalahan dan tidak ada rasa ragu-ragu.
  2. Selain itu, ada kekurangan dalam produk legislasi Indonesia, dimana tidak mengatur dengan jelas dan tegas dalam undang-undang bagaimana penyelesaian serta akibat-akibat yang harus ditanggung ketika ada seseorang yang hilang, seperti halnya dalam bidang kewarisan.

DAFTAR PUSTAKA

I. BUKU

Al-Halawy, Muhammad Abdul Aziz, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab: Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, (Surabaya: Risalaha Gusti, 1999).

Ali, Prof. H. Mohammad Daud, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991).

Ash – Shiddieqy, T. M. Hasbi Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Aziz, Abdul, Ensiklopedia Hukum Islam I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997).

Hasan, M. Ali, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996).

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973).

Idris Djakfar, Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995).

Masalik, Mabadlul, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma'shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994).

Rahman, Fachtur, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981).

Ramulyo, Moh. Idris, Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek di P.A. dan P.N., (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1994).

Rofiq, Ahmad, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995).

Sani, Abdullah, Kewarisan Bagi Orang Hilang menurut hukum Islam, skripsi sarjana Reguler (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000).

Sarmadi, A. Sukris, Trandensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997).

II. INTERNET

“Warisan Untuk Mafqud” http://www.islamhouse.com/p/22885

[1] Prof. H. Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1991), hal. 78.

[2] Ibid., hal. 140, dalam pembahasannya mencantumkan QS Al-Rūm (30): 21.

[3] Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma'shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994), hal. 146.

[4] Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.

[5] Lihat juga “Warisan Untuk Mafqud” http://www.islamhouse.com/p/22885

[6] Abdullah Sani, Kewarisan Bagi Orang Hilang menurut hukum Islam, skripsi sarjana Reguler (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal. 98.

[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, diterjemahkan oleh A. Hanafi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), ed. VII, hal. 296. Pendapat Prof. Hazairin tentang hal ini menyatakan seperti perumpamaan “Menggantungkan tanpa tali”, artinya tidak ada kejelasan status bagi seseorang dalam keluarga atau dalam bahtera rumah tangga.

[8] Lihat Abdul Aziz, et. al., Ensiklopedia Hukum Islam I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 1037.

[9] Lihat Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), hal.134, Idris Djakfar, Taufik Yahya, Kompilasi Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), hal. 52-53, Fachtur Rahman, op. cit. hal. 507.

[10] Muhammad Abdul Aziz al-Halawy, Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khattab: Ensiklopedia Berbagai Persoalan Fiqih, (Surabaya: Risalaha Gusti, 1999), hal. 187-188.

[11] Sementara itu, A. Sukris Sarmadi secara tegas menyatakan bahwa penentuan status bagi orang mafqud diputuskan melalui keputusan pengadilan agama secara legal. Lihat A. Sukris Sarmadi, Trandensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hal. 234. Demikian pula pendapat M. Idris Ramulyo, salah seorang pengasuh mata kuliah hukum kewarisan Islam di FHUI.

[12] T. M. Hasbi Ash – Shiddieqy, Fiqhul Mawaris, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hal. 273.

[13] Moh. Idris Ramulyo, Studi Kasus Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dan Praktek di P.A. dan P.N., (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1994), hal. 49.

[14] M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 15.

SARAN DAN MASUKAN TERHADAP UU ZAKAT


Peraturan yang Mengatur Zakat

a. Undang-undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;

b. Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat;

c. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 373 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat;

d. Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 581 Tahun 1999 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.


a. Kelebihan

Dengan adanya Undang- undang no.38/1999 telah memberikan kewenangan kepada pemerintah dengan pembentukan Badan Amil Zakat dengan semua tingkatannya (pasal 6) dan masyarakat untuk membuat Lembaga Amil Zakat (pasal 7). Hal tersebut menjadika zakat semakin mudah diajngkau bagi masyarakat luas. Kemuadian UU No.38/1999 juga memuat sanksi yang jelas bagi para amil zakat yang melakukan penyelewengan dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengumpul serta penyalur zakat. Hal ini dapat menjadikan umat Islam bertambah kepercayaannya dalam membayar zakat.

b. Kekurangan

i. Asas equality (persamaan) antara mustahik-muzakki (orang yang berhak zakat dan wajib zakat). Dalam pasal 21 UU Zakat, Amil Zakat yang statusnya sebagai mustahik dikenakan sanksi dengan hukuman pidana kurungan selama 3 bulan dan denda sebesar 300 juta. Sementara muzakki ditempatkan sebagai yang tidak dapat sanksi dan hanya jika melaporkan daftar kekayaannya (pasal 14 ayat 1-2). Artinya, muzakki yang secara syariah diwajibkan dan secara sosial agar sadar atas realitas kemiskinan, seolah diberi hati oleh UU Zakat –untuk tidak menyebutnya dilindungi. Padahal keduanya merupakan objek hukum yang harus ditempatkan sama di hadapan hukum sebagaimana laiknya ada pada peraturan perundangan.

ii. Ketentuan dalam UU No. 38/1999 dan UU No. 17/2000 terasa kontradiktif dalam masalah relasi pajak dan zakat. Dalam pasal 14 ayat 3 dinyatakan “zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat dan lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku”. Jadi, zakat dapat mereduksi semua harta muzakki. Di pasal 9 huruf g UU No. 17/2000 hanya ditentukan reduksi zakat atas penghasilan kena pajak. Artinya, relasi dua UU ini melahirkan asumsi : apakah perubahan UU Zakat disesuaikan ke UU Pajak? UU Pajak diamandemen dan disesuaikan dengan UU Zakat? dan atau keduanya harus diamandemen disesuaikan salah satu dengan lainnya. Idealnya, berzakat dapat mengurangi semua beban pajak seperti di Malaysia dan atau mengurangi kewajiban pajak layaknya di Saudi Arabia.

iii. Masalah pemusatan pengelolaan zakat pada satu badan yang lebih dikenal dengan istilah Central of LPZ. Yang diyakini, kemungkinan direpresentasikan oleh sosok Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang sudah terbentuk belakangan ini. Basis argumen pembuatan BAZNAS dialamatkan pada tafsiran normatif-otentik, bahwa yang berhak memaksa adalah otoritas negara (pemerintah). Hanya saja di tengah kepercayaan yang belum terbentuk secara kuat dan rapih, maka inisiatif ke arah itu tidak mustahil mengundang nada kritisisme. Ironisnya, secara faktual-institusional telah hadir di lapangan sosok Lembaga Amil Zakat Nasional (LAZNAS), seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat dan lainnya. Lalu, apa yang akan dilakukan? peleburan institusi zakat ke BAZNAS atau penggabungan laiknya “marger bank”.

iv. Sistem informasi dan tata kelola zakat yang belum memadai sebagai pedoman bagi masyarakat untuk menyalurkan zakatnya.

v. Secara kelembagaan pengelolaan zakat terdapat dua masalah, yakni di satu sisi akan dipusatkan di Baznas dan di sisi lain diberikan izin berdirinya lembaga pengelola zakat yang independen.

STUDI KASUS PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN DI PENGADILAN NEGERI

PEMERIKSAAN SAKSI PERKARA PERMOHONAN: STUDI KASUS PERMOHONAN AKTA KELAHIRAN DI PENGADILAN NEGERI DEPOK Nomor Register Perkara: 226/Pdt.P/2009/PN.DPK

Bab I

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Pembuktian

Berbicara mengenai tahap pembuktian, maka akan berkaitan dengan pepatah “siapa yang mendalilkan, dia harus membuktikan”, sementara itu pembuktian menurut Bachtiar Effendi adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk menjadikan dasar putusannya, terutama mengenai pemeriksaan saksi.

Dalam hukum acara perdata pembuktian dengan saksi sangat penting artinya, terutana untuk perjanjian-perjanjian dalam hukum adat, dimana pada umumnya karena adanya saling percaya mempercayai tidak dibuatnya sehelai surat pun.[1] Oleh karena itu, bukti berupa surat tidak ada, pihak-pihak akan berusaha untuk mengajukan saksi yang dapat membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang dimajukan di muka persidangan.[2] Hal ini ditujukan agar putusan hakim tersebut tidak bias karena adanya belas kasihan (argumentum ad misteri cordiam) atau adanya ancaman (argumentum ad baculum).[3]

B. Alat Bukti Saksi

Alat bukti saksi sangat penting artinya dalam pembuktian hukum acara perdata, terutama untuk perjanjian-perjanjian adat yang pada umumnya dilakukan secara lisan, tidak dibuat dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, alat bukti saksi diperlukan untuk membenarkan atau menguatkan dalil-dalil yang diajukan dalam persidangan.

Kesaksian menjadi alat bukti yang penting, mengingat seorang tergugat selalu berusaha untuk menyingkirkan bukti-bukti yang dapat mengungkapkan kesalahannya, sehingga untuk mengetahui dengan jelas mengenai perbuatan hukum yang dilakukan, maka bukti-bukti harus dicari dan dikumpulkan dari keterangan-keterangan orang yang kebetulan melihat, mendengar atau mengalami kejadian-kejadian sehubungan dengan peristiwa tersebut.

Walaupun demikian, dalam prakteknya seringkali asas yang terdapat hukum acara pidana terlanggarkan, seperti kebebasan memberikan keterangan tanpa adanya tekanan[4] sering teabaikan. Mengingat adanya suatu kepentingan dari pihak yang berlainan, bukan yang dicapai adalah penegakan hukum (law enforcement), akan tetapi penegakan kepentingan. Demikian juga das solen dan das sein dalam praktek tidak seindah apa yang tertulis dalam undang-undang, sehingga membuat hukum tertinggal jauh antara kenyataan atau prakteknya dengan hukum materiilnya.

Alat bukti keterangan saksi mempunyai syarat baik syarat formil maupun materiil. Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif, sehingga bila salah satu syaratnya cacat, alat bukti saksi tersebut menjadi tidak sah.

Adapun syarat-syarat alat bukti saksi tersebut adalah :

1. Syarat formil :

  * Orang yang cakap menjadi saksi ; Tidak semua orang dapat menjadi saksi karena berdasarkan undang–undang ( HIR pasal 145-146 ) ada beberapa golongan orang yang tidak dapat didengar sebagai saksi serta boleh mengundurkan diri untuk memberi kesaksian.
  * Keterangan disampaikan didepan sidang pengadilan; keterangan saksi yang sah adalah keterangan saksi yang disampaikan didepan sidang pengadilan. Keterangan yang diberikan saksi diluar sidang pengadilan (out of court )tidak sah sebagaialatbuktisehingga tidak memiliki kekuatan pembuktian.
  * Diperiksa satu per satu ;saksi tidak boleh dihadapkan dan diperiksa secara bersamaan dalam waktu yang sama untukmenjaga netralitas keterangan saksi
  * Mengucapkan sumpah ; merupakan pernyataan akan menerangkan apa yang sebenarnyaatau voir dire yakni berkata benar

2. Syarat materiil :

  * Unus Testis Nullus Testis ; “satu saksi bukan saksi “. Keterangan seorang saksi saja tanpa adanya bukti lain tidak cukup untuk membuktikan.
  * Keterangan Berdasarkan Alasan dan Sumber Pengetahuan ; keterangan yang diberikan saksi haruslah mengenai apa yang dia lihat,dengar, atau rasakan sendiri. Disertai dengan alasan-alasan penyebabnya dan bagaimana sampai ia mengetahui hal-hal yang ia terangkan.
  * Saling persesuaian ;terdapat kecocokan antara keterangan saksi satu dengan saksi lainnya atau adanya kesesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lainnya sehingga mampu memberi dan membentuk suatu kesimpulan yang utuh tentang peristiwa atau fakta yang disengketakan.
  * Latar belakang hidup saksi ; hal ini perlu diketahui oleh hakim sebagai dasar untuk menentukan kepercayaan (reliability) sebagai saksi.(pasal 172 HIR, 1908 KUHPerdata )

Tata Cara Pemeriksaan Saksi diatur dalam Pasal 150, 151, dan 152 HIR yaitu :

1. Memberi hak kepada para pihak mengajukan pertanyaan. Pada tahap ini, kedua belah pihak yang berperkara dapat mengajukan pertanyaan kepada saksi. Biasanya dalam praktek pihak yang aktif mengajukan pertanyaan adalah pihak yang mengajukan saksi tersebut.

2. Saksi didampingi juru bahasa, apabila yang menjadi saksi adalah orang asing yang tidak bisa berbahasa Indonesia atau orang bisu tuli.

3. Keterangan saksi dituangkan dalam berita acara, dimana setiap keterangan saksi harus dicatat dalam berita acara oleh panitera. (pasal 152 HIR).

Testimonium de Auditu adalah keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain, saksi tidak mendengarnya atau mengalaminya sendiri,melainkan mendengar dari orang lain tentang kejadian atau hal-hal tersebut, misalnya saksi menerangkan bahwa ia mendengar dari kakeknya yang sekarang sudah wafat bahwa sawah sengketa semula adalah milik almarhum yang oleh almarhum telah dijual terhadap tergugat.

Testimonium de Auditu tidak mempunyai nilai pembuktian, akan tetapi secara kasuistik dapat digunakan sebagai sumber persangkaan atau untuk melengkapi keterangan saksi-saksi yang bisa dipercayai.[5]

C. GUGATAN PERMOHONAN ATAU GUGATAN VOLUNTAIR

  * Istilah dan sebutan

Gugatan Permohonan[6] adalah gugatan yang diajukan secara sepihak tanpa ada pihak lain yang ditarik sebagai tergugat. Berdasarkan permohonan yang diajukan itu, makan hakim akan mengeluarkan suatu penetapan. Adapun ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah :

a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata.

b. Permasalahan yang dimohon penyesuaian pada Pengadilan Negeri, pada prinsipnya tanpa sengketa dar pihak lain.

c. Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan.

  * Petitum Permohonan

Permohonan memiliki tujuan yaitu untuk menyelesaikan kepentingan permohonan itu sendiri. Dengan latar belakang itulah maka petitum permohonan harus mengacu pada penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak. Petitum permohonan dalam hal ini haruslah mengacu pada penyelesaian kepentingan pemohon secara sepihak.

Acuan dari petitum permohonan itu sendiri adalah:

  1. Isi petitum permohonan merupakan hal yang bersifat deklaratif.
  2. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
  3. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum).
  4. Petitum permohonan, harus dirinci satu per satu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk ditetapkan Pengadilan kepadanya.
  5. Petitum tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono.

· Proses pemeriksaan permohonan secara ex - parte

Oleh karena yang terlibat dalam permohonan hanya sepihak, yaitu pemohon sendiri , proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak atau bersifat ex – parte, sedangkan yang tampil atau yang hadir dalam pemeriksaan persidangan hanya pemohon atau kuasanya. Tidak ada tergugat atau pihak lawan dalam pemeriksaan siding yang benar – benar hadir untuk kepentingan pemohon. Oleh sebab itu yang terlibat dalam penyelesaian permasalahan hukum, hanya sepihak yaitu pemohon.

Di dalam proses persidangan yang bersifat ex – parte, hanya keterangan dan bukti – bukti pemohon yang diperiksa pengadilan. Dalam proses pemeriksaan, tidak ada bantahan dari pihak lain. Hanya dalam proses pemeriksaan gugatan dimana terdapat penggugat dan tergugat. Dalam hal ini keterangan dan bukti – bukti yang diajukan penggugat dapat dibantah oleh tergugat dan demikian sebaliknya.

· Prinsip pembuktian dalam permohonan

Prinsip ajaran pembuktian harus dilaksanakan sepenuhnya dalam penyelesaian permohonan. Sebab apabila hal tersebut tidak dilaksanakan, maka dapat mengakibatkan hal sangat fatal. Prinsip dan sistem pembuktian yanh harus ditegakan dan diterapkan, adalah :

a. Pembuktian harus berdasarkan alat bukti yang ditentukan oleh Undang – Undang ( sesuai Pasal 163 HIR dan 1866 KUHPerdata). Alat bukti yang sah[7] adalah :

- Tulisan

Alat bukti tulisan yang dapat dijadikan sebagai bukti dalam permohonan adalah tulisan yang memenuhi syarat seperti adanya tanda baca, disusun berupa kalimat sebagai pernyataan, ditulis pada bahan tulisan, ditandatangani pihak yang membuat, dan mencantumkan tanggal.

- Keterangan saksi

Pemohon dapat menghadirkan saksi- saksi sebagai alat bukti untuk membuktikan dalil – dalil permohonannya. Saksi yang diajukan merupakan saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang dimohonkan tersebut.

- Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang – undang atau hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui oleh umum kearah suatu peristiwa yang tidak diketahui oleh umum.

- Pengakuan

Pengakuan adalah pernyataan atau keterangan yang dikemukakan oleh pihak lain dalam proses pemeriksaan suatu perkara. Pernyataan atau keterangan itu dilakukan dimuka hakim atau dalam sidang pengadilan. Keterangan itu merupakan pengakuan, bahwa apa yang domohonkan oleh pemohon adalah benar.

- Sumpah

Sumpah juga dapat digunkana sebagai alat bukti yang diajukan oleh pemohon. Sumpah adalah suatu keterangan atau pernyataan yang dikuatkan atan nama Tuhan dengan tujuan agar orang yang bersumpah dalam memberi keterangan atau pernyataan itu, takut atas murka Tuhan apabila ia berbohong.

b. Ajaran pembebanan pembuktian berdasarkan pasal 163 HIR dan Pasal 1865 KUHPerdata. Dalam hal ini beban pembuktian sepenuhnya diserahkan kepada pemohon.

c. Nilai kekuatan pembuktian yang sah, harus mencapai batas minimal pembuktian. Alat bukti yang diajukan pemohon yang hanya merupakan alat bukti permulaan (unus testis) maka tidak dapat diajukan oleh pemohon untuk membuktikan dalil permohonan.

d. Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil.

· Putusan Permohonan

1. Bentuk Penetapan.

Putusan ini berisi pertimbangan dan diktum penyelesaian permohonan.

2. Diktum bersifat deklarator.

- Diktum hanya berisi penegasan pernyataan atau deklarasi hukum tentang hal yang diminta.

- Pengadilan tidak boleh mencantumkan diktum condemnatoir terhadap siapapun juga.

- Tidak memuar amar konstitutif, yaitu yang menciptakan suatu keadaan baru, seperti membatalkan perjanjian, yaitu menyatakan sebagai pemilik atas suatu barang, dan sebagainya.

  * Kekuatan Pembuktian Penetapan.

1. Penetapan sebagai akta otentik.

Setiap produk yang diterbitkan oleh hakim atau pengadilan dalam menyelesaikan permasalahan yang diajukan kepadanya, dengan sendirinya merupakan akta otentik; yaitu merupakan akta resmi yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu. Hal ini sesuai dengan pasal 1870 KUHPer, pada diri putusan itu melekat nilai ketentuan permbuktian yang sempurna dan mengikat.

2. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada penetapan permohonan hanya terbatas pada diri pemohon.

Dalam proses pemeriksaan yang bersifat ex-parte atau sepihak, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada penetapan sama dengan sifat ex-parte itu sendiri, dalam arti:

- Nilai kekuatan pembuktian hanya mengikat pada diri pemohon saja.

- Tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada orang lain atau kepada pihak ketiga.

3. Pada penetapan tidak melekat asas Ne bis In Idem.

Penetapan hanya mengikat secara sepihak pihak pemohon, jadi tidak mengikat dan tidak mempunyai kekuatan pembuktian pada pihak manapun. Oleh karena itu penetapannya tidak memiliki nebis in idem.

  * Upaya Hukum Terhadap Penetapan.

1. Penetapan atas permohonan merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir.

2. Terhadap putusan peradilan tingkat pertama yang bersifat pertama dan terakhir, tidak dapat diajukan banding.

3. Upaya hukum yang dapat diajukan adalah kasasi.

  * Upaya Meluruskan atau Koreksi Terhadap Permohonan Yang Keliru.

Cara yang dapat ditempuh dan dilakukan oleh orang yang berkepentingan atau orang yang merasa dirugikan atas penetapan voluntair adalah sebagai berikut:

  1. Mengajukan perlawanan terhadap permohonan selama proses pemeriksaan berlangsung.
  2. Mengajukan gugatan perdata.
  3. Mengajukan permintaan pembatalan kepada MA atas penetapan.
  4. Mengajukan upaya peninjauan kembali (PK).


Bab II

Hasil Observasi

A. Kronologis Kasus

Pemohon: Erwin

Nomor Register Perkara: 226/Pdt.P/2009/PN.DPK

Hakim: Lindawati, S.H., M.H.

Panitera: Dedi Poerwanto

Agenda: Pemeriksaan saksi Ahmad bin jabaliyah,

Tempat, Tanggal Lahir: Bogor, 5 Maret 1946

Agama: Islam

Kronologis Jalannya Persidangan

  1. Hakim ketua bertanya kesiapan para pihak yang hadir dan membuka sidang dengan diikuti kata-kata “dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum”.
  2. Hakim ketua memeriksa saksi yang dihadirkan oleh pemohon;
  3. Hakim ketua menanyakan identitas saksi yang tinggal dan hubungannya dengan para pihak yang terkait dengan perkara lalu kemudian saksi disumpah sesuai dengan agamanya, dengan lafal sumpah: “Demi Allah saya bersumpah bahwa saya sebagai saksi dalam perkara ini akan memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang sebenarnya”;
  4. Hakim menanyakan kepada saksi mengenai apa yang ia lihat, dengar, dan alami.
  5. Bahwa saksi memberikan keterangan sebagai berikut:
  1. Bahwa saksi merupakan saudara dari Pemohon yang mengetahui adanya anak dari Pemohon yang belum memiliki Akte Kelahiran
  2. Bahwa tidak adanya akte kelahiran, diakibatkan oleh kelalaian oleh pihak pemohon, dimana terjadi pada anak ke-2 pemohon yang juga sebagai keponakan Saksi.
  3. Bahwa saksi mengetahui Istri Pemohon bernama Wiryati Purnanomo, dimana Pemohon menikah dengan istrinya pada tanggal 14 Mei 1996.
  4. Bahwa saksi mengetahui Pemohon memiliki 3 orang anak, yang bernama:

i. Suprapto, lahir di brebes 12 September 1996

ii. Dwi Wenny, lahir di brebes 31 Oktober 1999

iii. Rizky prasetyo, lahir di Depok, 20 Juli 2001

  5. Bahwa saksi menyatakan Anak ke-2 Pemohon belum dibuatkan Akte Kelahiran

Bahwa setelah pemeriksaan saksi, Hakim yang memeriksa langsung mempertimbangkan permohonan Pemohon dikabulkan, oleh karena terdapat persesuaian antara fakta dengan alat bukti yang mendukung satu sama lain. Putusan Permohonan ini sering disebut sebagai Penetapan.

Bab III

Analisis Terhadap Hasil Observasi

Analisa Pemeriksaan Saksi dalam Sidang Permohonan Pengesahan Akta Kelahiran Anak

Proses pemeriksaan saksi yang kami hadiri di Pengadilan Negeri Depok, dalam hal permohonan pengesahan akta kelahiran anak berlangsung sangat singkat. Proses Pemeriksaan saksi tersebut dipimpin oleh seorang hakim. Pertama – tama saksi dipanggil maju ke depan sidang, kemudian hakim bertanya kepada saksi mengenai identitas diri saksi , hubungan antara saksi dengan orang tua anak yang sedang dimohonkan pengesahan akta kelahirannya. Setelah itu, saksi disumpah berdasarkan agamanya, dalam sidang tersebut saksi disumpah secara agama Islam. Setelah disumpah, hakim menanyakan kepada saksi mengenai hal – hal yang saksi ketahui tentang kebenaran adanya pernikahan antara kedua orang tua anak yang dimohonkan akta kelahirannya, kapan anak tersebut dilahirkan, nama dari anak tersebut.

Menurut kami, hal yang menarik dari proses pemeriksaaan saksi tersebut adalah saksi yang diperiksa hanyalah satu saksi. Hanya adanya ssatu orang saksi tersebut tentunya tidak sesuai dengan prinsip “Unus Testis Nullus Testis” yang artinya “satu saksi bukan saksi”. Akan tetapi , menurut kami keterangan yang berasal dari satu orang saksi tersebut dapat dipakai sebagai bukti apabila pihak pemohon dapat memberikan alat bukti lain yang menunjang keterangan saksi tersebut.

Mengenai tata cara pemeriksaan saksi tersebut, menurut kami sudah sesuai dengan prosedur pemeriksaan saksi yang diatur dalam HIR pasal 144 yaitu hakim memeriksa identitas saksi sebelum melakukan pemeriksaan , pasal 147 HIR yaitu saksi diambil sumpahnya sebelum memberikan kesaksian. Adapaun sumpah yang dilakukan oleh saksi dalam siding tersebut disebut juga sebagai sumpah promissoris.

Dari kasus diatas dapat dianalisa terdapat kecacatan hukum dalam hal pembuatan Penetapan Hakim, karena Penetapan (Beschikking) tidak bisa dibuat secara lisan, akan tetapi harus ada jangka waktu untuk merancang Penetapan dan mempertimbangkan dari bukti-bukti yang diajukan oleh Pemohon apakah sesuai dengan yang dimintakan, ataukah sebaliknya. Jangka waktu untuk mengeluarkan penetapan tidak diatur dalam HIR, akan tetapi dalam praktek pengadilan yang menjadi hal yang biasa terjadi bahwa Penetapan dikeluarkan 1 minggu atau 7 hari kalender, akan tetapi apabila hari ke-7 jatuh pada hari besar, maka diundur menjadi hari berikutnya.

Jangka waktu ini menjadi bahan untuk ditelaah lebih lanjut, dimana sudah ada pengaturan yang jelas dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Perdata. Pada Pasal 50 ayat (3) disebutkan Jangka Waktu dikeluarkan Penetapan adalah paling lambat 3 (tiga) hari.

[1] Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2005), hal. 70.

[2] Ibid.

[3] Iwan K. Kusumah, ‘Dosa Profesi Penegak Hukum’, Majalah Ombudsman Edisi No. 89, (Jakarta: PT. Alusi Au Indonesia sejati, April 2007), hal. 32.

[4] Indonesia, Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, UU Nomor 13 Tahun 2006, LN Nomor 64 Tahun 2006, TLN Nomor 4635 Tahun 2006.

[5] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 623.

[6] Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika,2006) hal. 28

[7] Ibid., hal.40

PANDANGAN TERHADAP KOPERASI SEBAGAI SUATU SISTEM PEREKONOMIAN DAN SEBAGAI SUATU LEMBAGA

PANDANGAN TERHADAP KOPERASI SEBAGAI SUATU SISTEM PEREKONOMIAN DAN SEBAGAI SUATU LEMBAGA

Dalam perkembangannya saat ini, pengembangan koperasi belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Perkembangan koperasi yang ada di Indonesia saat ini begitu sangat lambat. Meskipun berbagai kebijakan telah dicanangkan oleh pemerintah, keberadaan koperasi di Indonesia masih belum dapat memenuhi kondisi sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. Salah satu penyebabnya adalah kurang diminatinya koperasi oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena selama ini koperasi hanya dipandang sebagai lembaga saja, bukan sebagai sistem perekonomian.

Apabila kita melihat koperasi dari segi lembaga, maka kita dapat melihat koperasi tersebut sebagai perkumpulan dan sebagai badan usaha. Sebagai sebuah perkumpulan, dapat kita lihat dari pengertian koperasi itu sendiri yang merupakan perkumpulan orang-orang, dimana orang-orang tersebut saling bekerjasama untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama, yaitu meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Dalam hal ini, kumpulan orang-orang tersebut merupakan prasyarat dari pembentukan suatu koperasi, dimana dalam peraturan koperasi Indonesia, koperasi baru dapat didirikan apabila ada minimal 20 orang. Selain iyu, sebagai sebuah perkumpulan atau organisasi, maka dalam koperasi diperlukan adanya pengurus untuk mengelola dan mewakili koperasi itu dalam menjalankan usahanya dan mencapai tujuannya.

Selain sebagai suatu perkumpulan, dalam konteks yang sama koperasi juga merupakan suatu badan usaha. Sebagai badan usaha, eksistensinya tercantum dalam pasal pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian dimana telah menetapkan bahwa koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi yang melakukan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dari pengertian dalam pasal itu dapat kita lihat bahwa selain sebagai suatu perkumpulan orang-orang seperti yang dijelaskan sebelumnya, koperasi juga merupakan salah satu dari berbagai macam badan usaha, yang artinya koperasi dapat menjalankan usahanya dengan ditunjang oleh manajemen dan modal tertentu. Apabila kita melihat koperasi sebagai suatu badan usaha, maka koperasi sama dengan badan usaha lain dimana kebutuhan akan modal menjadi sesuatu yang sangat penting dalam menjalankan usaha. Meskipun koperasi merupakan kumpulan orang, bukan kumpulan modal seperti badan usaha lain, akan tetapi bukan berarti koperasi tidak membutuhkan modal. Modal itu dibutuhkan untuk dapat menjalankan usaha-usaha koperasi. Disamping itu, sebagai badan usaha, koperasi pun harus memiliki manajemen yang baik. Manajemen yang baik ini sangat diperlukan agar usaha yang dijalankan koperasi dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sehingga dapat mencapai tujuan yang dimaksud. Jadi, disini koperasi merupakan badan usaha yang berusaha mengakumulasikan modal yang kecil untuk menjalankan usahanya, dan diharapkan dari modal yang kecil itu dengan berjalannya waktu serta pengelolaan yang baik, dapat menjadi modal yang besar, sehingga dapat mencapai tujuan dari koperasi tersebut, yaitu mensejahterakan para anggotanya.

Selain itu, sebagai badan usaha, koperasi harus dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi. Dalam hal ini, koperasi memiliki tujuan yang sama dengan badan usaha lain, yaitu mencari keuntungan. Namun, berbeda dengan badan usaha yang lain, keuntungan disini ditujukan untuk kepentingan seuruh anggotanya dalam rangka memperbaiki kehidupan ekonomi dan kesejahteraan seluruh anggotanya. Tidak seperti badan usaha lain yang berusaha mencari keuntungan untuk kepentingan para pemodal atau pemegang sahamnya saja. Sama seperti badan usaha lainnya pula, koperasi tunduk pada peraturan-peraturan yang mengatur tentang kewajiban sebagai badan usaha seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1983 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yaitu dalam pendiriannya wajib didaftarkan dan diumumkan untuk memperoleh status badan hukum.

Dalam pasal 3 Bab II Undang-undang nomor 25 tahun 1992, tercantum tujuan dari koperasi, yaitu memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu menunjukan bahwa koperasi bukan hanya sebuah perkumpulan/badan usaha saja, namun juga dapat dipandang sebagai suatu sistem perekonomian dimana koperasi merupakan faham atau idielogi yang harus menjadi panutan bagi pelaku ekonomi nasional. Koperasi adalah salah satu pelaku ekonomi, yang artinya koperasi merupakan bagian dari penyelenggara perekonomian yang berdasarkan demokrasi ekonomi.

Dalam hal ini, koperasi berperan sebagai badan usaha yang melakukan peran untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi dari orang-orang yang lemah ekonominya, dengan cara saling bekerjasama antara satu dan yang lainnya dalam suatu wadah yang diorganisir dan mempunyai program yang teratur dan dikelola bersama-sama secara demokratis. Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa karakteristik dari system perekonomian koperasi ini adalah prinsip kebersamaan, yaitu kebersamaan dalam menjalankan dalam rangka meningkatkan kemampuan ekonomi para anggotanya, serta adanya demokrasi ekonomi. Koperasi sebagai sistem perekonomian ini adalah gerakan yang tumbuh berdasarkan kepentingan bersama. Oleh karena itu, dinamika koperasi harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Hal ini merupakan implikasi dari adanya prinsip kebersamaan yang merupakan salah satu karakteristik dari system perekonomian koperasi.

Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dinyatakan bahwa: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Apabila kita tinjau pasal tersebut, hal ini mengandung maksud bahwa perekonomian Indonesia disusun berdasarkan demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki adanya pemusatan ekonomi hanya pada satu tangan, tetapi harus merata bagi setiap warga. Badan usaha yang sesuai dengan ketentuan ini adalah koperasi, dimana koperasi merupakan suatu badan usaha dan sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang mengutamakan kepentingan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya dengan berdasarkan atas asas kekeluargaan. Dengan demikian, koperasi sebagai suatu system perekonomian ini mempunyai kedudukan politik yang cukup kuat karena memiliki landasan konstitusional.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, dalam pasal 33 UUD 1945 tercantum peran koperasi sebagai upaya menuju demokrasi ekonomi.dimana koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat yang melandaskan kegiatannya dengan prinsip koperasi, yaitu kebersamaan, dan asas kekeluargaan. Dua ciri inilah yang membedakan koperasi dengan badan usaha lain. Adanya asas kekeluargaan dan prinsip kebersamaan yang mendukung partisipasi anggota inilah yang membuat koperasi dapat berperan untuk menciptakan demokrasi ekonomi tersebut. Dan dengan adanya demokrasi ekonomi, maka dapat meningkatkan kehidupan para pengusaha yang lemah. Hal ini disebabkan koperasi dalam menjalankan usahanya akan cenderung melihat kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan segelintir orang atau pribadi saja. Dengan demikian, disini koperasi dapat berpotensi untuk ikut serta memecahkan persoalan sosial ekonomi masyarakat dan berpeluang untuk mengisi sistem ekonomi yang lebih baik.

Untuk itu, masyarakat seharusnya memandang eksistensi koperasi secara keseluruhan. Tidak hanya sebagai sebuah perkumpulan semata atau suatu badan usaha yang memerlukan modal dan manajemen dalam menjalankan usahanya. Akan tetapi lebih melihat koperasi itu sendiri sebagai suatu sistem perekonomian, yaitu koperasi sebagai bagian dari penyelenggara perekonomian yang berdasarkan atau sebagai upaya demokrasi ekonomi, dimana koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat yang melandaskan kegiatannya dengan prinsip koperasi, yaitu kebersamaan, dan asas kekeluargaan, sehingga masyarakat dapat tersadar bahwa koperasi dapat memecahkan masalah sosial ekonomi yang ada di masyarakat atau sebagai salah satu cara agar masyarakat dapat mengubah kehidupannya menjadi lebih baik.

PEMERIKSAAN KEUANGAN KOPERASI (BAGIAN 12)

Pengertian

Yang dimaksud dengan pengertian kegiatan pemeriksanaan keuangan koperasi adalah suatu tindakan pemeriksaan yang sistematis terhadap catatan, rekening, tanda penerimaan, dan pengeluaran, dan buku-buku yang dibuat selama menjalankan perusahaan dan neraca keuangan suatu perusahaan. Jenis pemeriksaan keuangan ada dua, yaitu:

1. Pemeriksaan keuangan formal

Yaitu pemeriksaan ketetapan matematis hasil pengelolaan (manajemen) yang diperlihatkan dalam neraca keuangan. Dalam pemeriksaan keuangan formal ini tidak termasuk penilaian tentang kegiatan pengelolaan yang memberikan hasil ini.

2. Pemeriksaan keuangan material

Yaitu pemeriksaan dan penilaian keputusan-keputusan pengelolaan. Tugas pemeriksa yang melakukan pemeriksaan keuangan material adalah memberikan penilaian obyektif tentang kualitas pengelolaan selama periode yang sedang diperiksa.

Pemeriksaan Keuangan Pengusaha Individual

Dalam hal pengusaha individual atau suatu, orang yang mengadakan hubungan dagang dengan pihak ketiga bertanggung jawab secara pribadi atas segala akibat perbuatannya itu.

Pengusaha individual bebas mempekerjakan pemeriksakeuangan material, jika ia merasa perlu. Namun demikian, pihak ketiga tidak mempunyai kepentingan yang logis dalam pemeriksaan keuangan material yang reguler.

Pemeriksa Keuangan Perusahaan Dagang Berstatus Badan Hukum

Dalam hal perusahaan dagang seperti yang berbentuk perseroan terbatas, yang dimaksud dengan kekayaan badan hukum adalah modal saham, dan urusan badan hukum itu dikelola oleh Dewan Pengurus dan oleh manajer profesional yang memutuskan dan bertindak atas nama badan hukum itu. Pihak-pihak yang mempunyai kepentingan untuk memperoleh informasi yang tepat dan obyektif mengenai kualitas manajemen dan mengenai situasi keuangan perusahaan yang berstatus badan hukum itu:

a. Para pemegang saham yang berkepentingan mengetahui penggunaan modal yang mereka tanam dalam perusahaan yang berstatus badan hukum itu

b. Para kreditur perusahaan yang berstatus badan hukum itu mungkin sebagai penanam modal yang turut membiayai perusahaan itu dengan memberi pinjaman

c. Para direktur atau manajer perusahaan yang berstatus badan hukum

d. Pemerintah berkepentingan dalam pemeriksaan keuangan reguler untuk mencegah penyalahgunaan bentuk hukum perusahaan yang berstatus badan hukum

Pemeriksaan Keuangan Koperasi

Karena tujuan utama badan usaha koperasi yang berbeda yaitu untuk memajukan kepentingan ekonomis para anggota, dalam hal pemeriksaan keuangan dilakukan dengan cara yang khusus yaitu dengan cara menentukan pemeriksaan keuangan material yang diwajibkan dalam interval teratur bagi setiap koperasi tedaftar.

PEMBIAYAAN KOPERASI (BAGIAN 11)

 
1. Pertimbangan Umum Mengenai Modal Dasar Koperasi

Untuk mendapatkan pemecahan yang sesuai dan praktis, seseorang harus memperhatikan ciri-ciri bentuk organisasi koperasi yang relevan dalam konteks pembiayaan koperasi, yaitu:

a. koperasi pada umumnya adalah himpunan orang-orang yang mencari kemungkinan memajukan keadaan ekonomi mereka sekarang.

b. Alat untuk memajukan ekonomi anggota itu ialah mendirikan badan usaha bersama, yang harus dibiayai oleh para anggota.

c. Bagi koperasi sebagai perhimpunan untuk memajukan para anggota berlaku asas identitas, yaitu semua anggota pada waktu yang bersamaan harus merupakan pemilik bersama dan nasabah badan usaha koperasi itu.

d. Jumlah orang-orang yang dapat dipertimbangkan sebagai calon anggota suatu koperasi tidak dapat ditingkatkan secara sewenang-wenang.

e. Koperasi sebagai badan usaha berdikari pada pokoknya terbuka bagi siapa saja yang ingin ikut serta.

f. Koperasi membentuk suatu badan usaha yang di satu pihak harus meningkatkan pelayanan bagi para anggotanya, dan di lain pihak harus mengadakan hubungan dagang dengan pihak ketiga supaya meningkatkan pelayanan tersebut.

g. Badan usha koperasi membutuhkan modal dasar yang cukup kuat untuk menjamin kelangsungan ekonomis jangka panjang, meskipun anggota berubah-ubah dan persaingan dengan perusahaan dagang swasta.

2. Kelemahan Struktural Koperasi Dalam Pembiayaan

Terdapat beberapa kelemahan struktural yang selalu ada sejauh bersangkutan dengan dasar pembiayaan badan usaha koperasi, yaitu:

a. kemungkinan mengumpulkan sejumlah besar modal saham

b. jumlah calon anggota adalah terbatas

c. modal saham adalah berubah-ubah

d. dalam koperasi yang merupakan himpunan orang-orang dengan struktur demokratis internal , para angota kurang berminat mengambil alih saham yang lebih daripada minimum yang diperlukan

3. Bagaimana Dapat Diciptakan Modal Dasar yang Kuat dan Cukup bagi Badan Usaha Koperasi

Sumber keuangan yang mungkin bagi badan usaha koperasi adalah sama dengan sumber keuangan dalam badan usaha lain, seperti modal saham, dana cadangan, dan modal pinjaman.

Modal Saham

Sumber pertama modal dasar untuk membiayai koperasi adalah kontribusi para anggota. Karena itu, saham dalam koperasi bukanlah penanaman modal seperti saham dalam perseroan lainnya. Saham koperasi adalah sejumlah uang yang disediakan oleh para anggota untuk koperasinya selama keanggotaannya itu membantu membiayai fasilitas bersama. Setiap anggota harus membayar kontribusi keuangan dan hanya para anggota yang dapat mengambil alih saham. Berbeda dengan perseroan, saham koperasi tidak dapat dijual atau dipindahkan, kecuali dengan persetujuan pengurus atau dewan pengurus. Anggota suatu koperasi memenuhi kontribusi modalnya bukan sebagai suatu investasi, tetapi sebagai uang muka yang diperlukan selama periode keanggotaannya untuk menutupi biaya usaha bersama.

Dana Cadangan

Dana cadangan merupakan modal kolektif yang stabil sebagai suatu imbangan yang perlu terhadap modal saham yang berubah-ubah yang melekat pada keanggotaan yang berubah-ubah. Untuk memelihara stabilitas dana cadangan sebagai imbangan terhadap modal saham yang berubah-ubah, asas tidak dapat dibagi dari pada cadangan telah ditetapkan bagi koperasi.

Modal Pinjaman

untuk mengatasi kesulitan memperoleh pinjaman, pembuat UU di banyak negara memungkinkan supaya koperasi mengatur dalam anggaran dasarnya tanggung jawab tambahan para anggotanya (terbatas atau tidak terbatas) bagi hutang-hutang koperasi mereka. Tanggung jawab para anggotanya ini berarti bahwa dalam hal kepailitan koperasi, para anggota berkewajiban memenuhi pembayaran tambahan diluar dana pribadinya menjadi dana koperasi, sejauh ini perlu untuk memenuhi tuntutan para kreditur dan dalam batas tanggung jawab mereka. Dengan cara ini koperasi dapat meningkatkan kelayakan kreditnya dan para anggotanya tidak harus membayar lebih daripada kontribusi modal saham minimum.

Usaha lain untuk meningkatkan kelayakan kredit koperasi adalah syarat pemeriksaan keuangan tahunan wajib terhadap setiap koperasi terdaftar. Aspek lain dalam konteks kelayakan kredit koperasi adalah pembentukan dana jaminan kolektif dari kelompok pada tingkat regional atau nasional.

4. Masalah Khusus Dalam Koperasi yang Disponsori Pemerintah

Di negara-negara dimana pengembangn koperasi disponsori oleh pemerintah, pembentukan koperasi baru sering diberi fasilitas dengan menawarkan pinjaman atau pemberian (grant) diluar dan pemerintah yang dibagikan oleh bank pembangunan untuk menggantikan kekurangan modal dasar.

Sebelum pendaftaran koperasi, survei ekonomi harus dilakukan dalam mana dipelajari secara detail antara lain apakah prasyarat keuangan bagi perkembangan yang sehat dipenuhi. Untuk tujuan ini, neraca percobaan harus dibuat, yang menunjukan pemasukan dan pengeluaran yang diperkirakan pada tahun fiskal pertama.

Persoalan sulit lainnya sehubungan dengan pinjaman pemerintah kepada koperasi ialah persoalan pengawasan penggunanan dana sebagaimana mestinya oleh Dinas Keuangan (Dinas Anggaran)

KEDUDUKAN HUKUM PENGURUS DALAM KOPERASI, KEKUASAAN, DAN TANGGUNG JAWABNYA (BAGIAN 10)

1. Pentingnya Pengurus bagi Perkembangan Koperasi dan Keberhasilannya.

Dinyatakan pentingnya pengurus yang kompeten dan pejabat koperasi yang kompeten bagi kemajuan dan keberhasilan koperasi berdasarkan syarat-syarat dewasa ini, tampaknya sangat esensil bahwa (seperti dalam hukum modern) status hukum daripada pengurus. Kewajiban dan tanggung jawab pejabat koperasi seharusnya ditetapkan dalam UU koperasi

2. Definisi Istilah-Istilah

Menurut ketentuan tradisional, pengurus itu dirumuskan sebagai badan pemerintahan terhadap sipa pengelolaan urusan koperasi itu dipercayakan. Karena itu pengurus adalah badan eksekutif yang bertugas di bidang pengelolaan, sedangkan para anggota dalam rapat umum adalah pembuat kebijaksanaan dengan kekuasaan untuk memutuskan segala hal yang berkenaan dengan koperasi dan urusan-urusannya, dan memberikan petunjuk-petunjuk kepada pengurus mengenai soal pengelolaan sehari-hari.

Kekuasaan membuat kebijaksanan itu harus didelegasikan kepada pengurus, yang dialin pihak kebanyakn membuktikan tidak dapat mengurus pekerjaan koperasi hanya di waktu sore-sore hari atau pada rapat mingguan.

3. Status Hukum Pejabat dan Pengurus atau Dewan Pengurus

Status hukum para pejabat koperasi harus ditentukan dalam konteks sistem hukum dari negara yang bersangkutan.

Menurut Sistem Common Law

Menurut sistem ini, badan hukum dianggap sebagai fiksi dengan tidak ada dasar yang nyata, suatu barang buatan belaka. Kecakapan hukum badan buatan semacam itu dianggap dibatasi oleh obyek sebagaimana dinyatakan dalam anggran dasar menurut doktrin itu.

Badan hukum demikian tidak mempunyai kecakapan untuk bertindak sendiri. Ia hanya dapat bertindak melalui wakilnya yaitu melalui manusia pribadi yang diberi kekuasaan untuk bertindak atas nama badan hukum. oleh karena itu, kedudukan hukum pengurus atau dewan pengurus koperasi adalah sebagai seorang wakil yang bertindak atas nama prinsipal badan hukum, yaitu koperasi.

Menurut Sistem Hukum Eropa Kontinental

Menurut sistem ini, badan hukum dianggap mempunyai kecakapan bertindak melalui alat perlengkapannya. Alat perlengkapan itu adalah jabatan yang diciptakan dalam struktur organisasi koperasi. Jabatan ini dilengkapi dengan tugas dan wewenang tertentu yang ditetapkan dalam UU yang mengatur tipe badan hukum yang demikian itu. Tindakan para pejabat dianggap sebagi tindakan badan hukum.

Perbedaannya denagn sistem common law adalah mengenai kepentingan praktis sehubungan dengan soal tanggung jawab pidana atau perdata daripada badan hukum sebagai akibat tindakan alat perlengkapan atau wakilnya yang harus diputuskan.

4. Pemilihan dan Pemberhentian Pejabat

Pemilihan Pejabat Koperasi

Biasanya para pejabat koperasi diipilih oleh para anggota dalam rapat umum. Tetapi apbila anggota dalam rapat umum tidak dapat memilih orang-orang denagn tepat dan mempunyai kelihaian berusaha untuk bertugas sebagai pengurus atau dewan pengurus, maka UU memperkenankan cara lain, misalnya pemilihan anggota dewan pengurus oleh dewan pengurus yang menjadi panitia kerja dari rapat umum tahunan yang bertugas mengawasi pekerjaan dewan pengurus dan manajer yang dipekerjakan.

Pemberhentian Pejabat Koperasi

Dalam koperais, para pejabat dapat diberhentikan dari jabatannya denagn suara mayoritas para anggota yang hadir dan memberikan suara dalam rapat umum. Hal ini mungkin dilakukan tanpa memberikan alasan khusus apabila para anggota tidak puas dengan pelaksanaan pekerjaan oleh pengurus atau dewan pengurus, atau dengan pekerjaan pejabat individual

5. Masa Jabatan

Masa Jabatan Anngota Pengurus atau Dewan Pengurus

Para anggota pengurus atau dewan pengurus biasanya dipilih untuk bertugas selama masa jabatan tiga tahun. Pengurus atau dewan pengurus seharusnya mengundurkan diri secara bergiliran supaya menjamin kontinuitas penyelesaian pekerjaan koperasi, dan seharusnya dapat diterima untuk dipilih kembali.

Masa Jabatan Pejabat Koperasi

Para pejabat koperasi biasanya dipilih dari anggota-anggota pengurus atau dewan pengurus untuk jangka waktu satu tahun.

6. Tugas dan Wewenang Pengurus atau Dewan Pengurus

Pada umumnya kekuasaan pengurus/dewan pengurus koperasi adalah:

  1. mewakili koperasi dalam hubungan dengan pihak ketiga
  2. bertindak atas nama koperasi, yang mengikat koperasi secara sah
  3. mengambil keputusan kebijaksanaan sesuai dengan AD dan resolusi rapat umum.
  4. Mendelegasikan pengelolaan sehari-hari.

Tugas pengurus koperasi adalah:

  1. mematuhi AD dan resolusu rapat umum
  2. melaksanakan kebijaksanaan dan kehati-hatian
  3. setia denagn koperasi
  4. memberikan informasi mengenai masalah koperasi

7. Tanggung Jawab Pejabat Koperasi

Tindakan Ultra Vires Koperasi

Para anggota pengurus yang bertindak ultravires koperasi adalah berhadapan denagn pihak ketiga secara pribadi, sehingga tidak mengikat koperasi

Tindakan Intra Vires Koperasi Tanpa Kuasa Untuk Bertindak Atas Nama Koperasi

Apabila pengurus koperasi bertindak diluar batas wewenangnya, koperasi tiak terikat dengan tindakan itu. Namun demikian, koperasi boleh mengesahkan tindakan wakil itu.

Tanggung Jawab Karena Perbuatan Melawan Hukum

Menurut hukum pemberian kuasa, wakil itu secara pribadi menanggung perbuatan melawan hukum yang ia lakukan, bahkan apabila secara tegas dilakukan atas nama koperasi

Pertanggungjawaban Pidana

Menurut asas umum pemberian kuasa, koperasi hany bertanggung jawab apabila ia ikut serta dalam tindakan itu atau pabila dengan tegas memberi kuasa unutk bertindak.

8. Pelanggaran Pidana Khusus oleh Pengurus atau Dewan Pengurus dalam Undang-Undang Koperasi

Untuk menjamin bahwa para pejabat koperasi tidak menyalahgunakan kedudukan mereka yang secara relatif kuat dan tidak terkontrol, UU koperasi Jerman membuat ketentuan pidana khusus yang memberikan ancaman pidana yang berat bagi pejabat koperasi yang:

1. Dengan sengaja memberikan informasi yang salah mengenai masalah-masalah tertentu yang berhubungan dengan koperasi.
2. Dengan sengaja atau karena kelalaiannya tidak mengundang rapat umum dalam hal kerugian berat yang ditimbulkan koperasi.
3. Karena seseorang pemeriksa yang membuat laporan palsu atau tidak mengungkapkan kesalahan-kesalahan yang ditemukannya.
4. Karena seorang pejabat yang mengungkapkan rahasia perusahan atau fakta-fakta lain yang diketahuinya dalam kedudukannya sebagai pejabat.
5. Karena anggota-anggota yang menerima keutungan sebagai imbalan memberikan suara untuk atau melawan mosi atau calon dalam rapat umum dan bagi orang-orang yang menawarkan keuntungan semacam itu sebagi imbalan suara yang diberikannya.

STRUKTUR PERHIMPUNAN KOPERASI (BAGIAN 9)


1. Pertimbangan Umum

Koperasi ditentukan oleh beberapa ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh koperasi. Kerangka yang sesuai bagi jenis perhimpunan ini haus berupa:

a. Status kelompok sebagai kesatuan yang menjamin eksistensi yang tetap dan terus-menerus terlepas dari perubahan keanggotaan yang timbul akibat penerimaan dan pengunduran diri para anggota.

b. Pola organisasi internal yang membolehkan sejumlah besar orang sebagai anggota dan jumlahnya dapat berubah-ubah, untuk mengambil keputusan terus-menerus dan untuk bertindak sebagai satu kesatuan.

c. Kemampuan perhimpunan secara keseluruhan.

d. Struktur internal, dalam mana dua ciri koperasi yang bertentangan dapat diajukan bersama

e. Pola perhimpunan yang dirangka sedemikian rupa, sehingga badan usaha yang dibentuk bersama itu dapat diatur dan dikelola sesuai dengan syarat-syarat, yaitu mempunyai kelangsungan hidup secara ekonomis dan tujuan utama pembentukan koperasi.

2. Struktur Organisasi Koperasi dan Badan Usaha Koperasi

Menurut hukum Jerman dan Prancis, kerangka hukum bagi koperasi adalah kerangka perhimpunan orang-orang dengan struktur badan hukum dan status badan hukum.

Badan Hukum dan Struktur Badan Hukum

Status badan hukum yang diperoleh dengan mendaftarkan perhimpunan tersebut sesuai UU berarti secara teknis membebaskan perhimpunan itu dan modal dasar yang dikumpulkan para anggota, dengan mengakui perhimpunan itu sebagai orang buatan dengan wewenang memiliki harta kekayaan, membuat perjanjian, menggugat dan digugat, dan melakukan segala hal yang dianggap perlu untuk tujuan konstitusinya.

Struktur badan hukum berarti bahwa struktur internal perhimpunan itu diatur dalam UU atas dasar mana perhimpunan ini didaftarkan. Hal ini dilakukan dengan menciptakan jabatan-jabatan tertentu dalam UU yang dilengkapi dengan wewenang dan tugas yang ditentukan dengan baik yang ditentukan UU atau lebih tepatnya dalam anggaran dasar.

Pengambilan Keputusan dalam Perhimpunan

Untuk memungkinkan koperasi mengambil tindakan bersama, perlu mengubah kehendak individual menjadi kehendak koperasi. Terdapat beberapa cara untuk mengubah kehendak tersebut, diantaranya adalah:

a. keputusan semua anggota dengan suara bulat

b. keputusan semua anggota yang hadir dalam rapat dengan suara bulat

c. keputusan semua anggota dengan suara terbanyak

d. keputusan semua anggota yang hadir dalam rapat dengan suara terbanyak

e. suara terbanyak semua anggota yang hadir dan yang memberikan suara dalam rapat.

Untuk perhimpunan yang relatif besar, suara mayoritas para anggota diterima oleh pembuat UU dipandang sudah cukup untuk membentuk kehendak perhimpunan. Berdasarkan fakta koperasi dibentuk dengan maksud untuk mendirikan suatu perhimpunan usaha yang efisien, maka dengan menekankan pada kepentingan memperoleh keputusan bersama yang sah harus diperlakukan, walaupun memiliki resiko tidak memperoleh sejumlah anggota sebenarnya yang ikut serta dalam proses pengambilan keputusan. Biasanya diperoleh dengan menetapkan peraturan tentang kourum, yaitu sejumlah anggota minimum yang ditetapkan dalam UU atau AD yang harus hadir dalam Rapat umum atau rapat pengurus. Jika tidak, maka keputusan tidak akan sah.

Pembagian Kekuasaan Antara Organ Koperasi

Keputusan yang harus diambildapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori besar, yaitu:

a. keputusan yang berenaan dengan masalah internal koperasi sebagai perhimpunan orang-orang.

b. Keputusan yang berkenaan dengan pengelolaan badan usaha koperasi, termasuk hubungan koperasi dengan pihak ketiga.

Rapat umum bukan organ yang sesuai untuk mengambil keputusan mengenai segala hal yang harus diputuskan dengan jangka waktu yang singkat atau dengan segera, karena rapat umum biasnya diadakan sekali atau dua kali dalam setahun saja. Oleh karena itu, keputusan yang berkenaan dengan urusan badan usaha koperasi sehari-hari tidak dapat diambil oleh para anggota dalam rapat umum. Dengan demikian dibutuhkan badan pengambil keputusan kedua, yaitu suatu organ yang dibentuk dari sejumlah orang individual yang lebih sedikit, yang dapat sering kali mengadakan rapat, untuk mengambil keputusan mengenai masalah badan usaha koperasi yang mendesak dan mengenai perhimpunan sebagai keseluruhan.

Demi kepentingan memiliki suatu badan hukum koperasi yang efisien, pengurus atau dewan pengurus harus diberi kedudukan otonom sejauh mengenai pengelolaan atau masalah badan hukum koperasi sekarang ini, sedangkan para anggota dalam rapat umum harus dibatasi pada tugas pengawasan atas pelaksanaan oleh pengurus, sehingga meyakinkan bahwa semua kegiatan koperasi diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan yang optimal kepada para anggotanya.

Keputusan Pengurus atau Dewan Pengurus yang Memberi Prioritas Kemajuan Anggota

Pembuat UU mengembangkan beberapa cara dan alat yang mempertautkan pengelolaan koperasi dengan tujuan memjukan para anggota, yaitu:

a. Dalam koperasi, hanya anggota yang dapat diterima sebagai pengurus atau dewan pengurus.

• Segi positifnya adalah kepentingan para anggota secara langsung dapat terwakili karena pengurus berasal dari anggota sendiri.

• Segi negatifnya adalah pemilihan pengurus yang mampu/cakap terbatas sekali karena kebanyakan para anggota tidak profesional dan tidak memiliki kemampuan serta pengalaman yang cukup, sehingga harus diangkat manajer profesional yang tetap sebagai penasehat yang mengambil alih pengelolaan sehari-hari atas nama pengurus/dewan pengurus, serta bekerja dibawah pengawasan pengurus/ dewan pengurus.

b. Dengan menerapkan asas emapat mata, yaitu dalam koperasi hanya dua anggota pengurus atau dewan pengurus secara bersama-sama dapat mengambil keputusan yang sah, yang mengikat koperasi secara keseluruhan.

c. Kedudukan otonomi pengurus/dewan pengurus sebagai badan pengambil keputusan yang independen dalam pengelolaan sehari-hari ditetapkan dalam UU atau anggaran dasar koperasi. Ketentuan dan tanggung jawabnya pun diatur dengan lebih ketat setaraf dengan otonomi yang ditingkatkan.

• Karena dalam rapat umum para anggota tidak selalu diundang rapat untuk melakukan pengawasan tetap atas pengelolaan koperasi, maka harus dibentuk dewan suatu badan khusus untuk bertindak sebagai orang yang melakukan pengawasan tetap, yaitu dewan pengurus.yang berasal dari anggota yang dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada rapat umum para anggota.

d. Cara pembagian kekuasan antara pengurus/dewan pengurus dan para angota alam rapat umum.

• Rapat umum berwenang untuk memutuskan semua persoalan yang berkenaan dengan koperasi secara keseluruhan dan mempunyai kekuasaan yang menjamin kedudukannya sebagai pengawas, seperti pemilihan dan pemberhentian pengurus, serta pembagian keuntungan tahunan badan usaha koperasi.

• Para anggota dalam rapat umum tidak berwenang ikut campur secara langsung dalam pengelolaan sehari-hari koperasi , tetapi diserahkan pada pengurus/ dewan pengurus.

3. Penerapan Peraturan dalam Praktek

Di Jerman, struktur organisasi koperasi memerlukan penasehat ahli dan pemeriksa keuangan dari luar sebagai suplemen. Tugas ini dimbil alih oleh Badan Pemeriksa Keuangan untuk membantu para pengurus dengan memberi informasi, nasihat dan memeriksa keuangan yang komprehensif. Hasil pemeriksaan ini dilaporkan kepada dewan pengawas dan rapat umum para anggota. Informasi ini memungkinkan para anggota memperoleh kejelasan tentang pelaksanaan koperasi dan mencapai penilaian yang realistis mengenai kepentingan ekonomis mereka sendiri dan kepentingan koperasi secara keseluruhan atas dasar mana mereka dapat mendasarkan keputusannya dalam rapat umum. Oleh karena itu, ketentuan semacam inipun diperlukan oleh negara-negara berkembang agar koperasi di negara tersebut dapat berjalan secara efektif.

STATUS HUKUM ANGGOTA KOPERASI (BAGIAN 8)

1. Pertimbangan Umum

Tujuan khusus yang membedakan koperasi dengan bentuk perhimpunan lain adalah memajukan kepentingan ekonomi para anggota melalui jasa-jasa yang diberikan oleh badan usaha koperasi kepada badan usaha anggota/rumah tangga anggota. Tujuan yang istimewa inilah yang menentukan sedemikian jauh cara dengan mana status para anggota itu harus diatur.

Koperasi sebagai perhimpunan orang-orang

Yang paling diutamakan dalam koperasi adalah keikutsertaan aktif para anggota dalam kehidupan koperasi itu dan pada pemanfaatan badan usaha koperasi oleh anggota dalam kedudukannya sebagai nasabah. Akibat dari sifat koperasi sebagai perhimpunan orang adalah pembuatan keputusan yang demokratis dan perwakilan yang demokratis.

Asas identitas

Dalam koperasi, para anggota pada waktu yang bersamaan sebagai pemilik bersama koperasi dan nasabah badan usaha koperasi. Hal ini agar tujuan koperasi dapat tercapai. Peranan rangkap para anggota koperasi ini identik sering disebut asas identitas.

Keanggotaan terbuka

Sikap keterbukaan secara prinsip untuk menerima anggota-anggota baru sesuai dengan ciri koperasi sebagai perhimpunan berdikari. Asas pintu terbuka ini berarti bahwa tidak akan ada pembatasan untuk menjadi anggota baru dan tidak akan ada diskriminasi, namun bukan berarti setiap orang memiliki hak untuk menjadi koperasi. Terdapat pembatasan-pembatasan yang diisyaratkan oleh sifat koperasi, yaitu kepentingan bersama para anggota yang ada sekarang/ pembatasan berdasarkan kriteria obyektif. Jadi, seseorang dapat menjadi anggota koperasi apabila dia memiliki kriteria yang sesuai dengan jenis koperasi tersebut. Tujuannya ialah untuk membentuk kelompok koperasi yang secara relatif homogen.

Keanggotaan sukarela

Asas keanggotan sukarela adalah kepentingan yang menentukan bagi berfungsinya koperasi. Asas tersebut berlaku sebagai alat otomatis untuk menjaga kelompok koperasi ituhomogen selama jangka waktu yang diperluas. Asas ini adalah salah satu syarat pokok bagi keberlangsungan hidup koperasi, sehingga kepentingan anggota secara individual dan kepentingan koperasi tetap sejalan dan tidak bertentangan satu sama lain.

Koperasi sebagai organisasi usaha

Keanggotaan yang berubah-ubah menurut penerimaan anggota-anggota baru dan pengunduran diri dari keanggotaan berhubungan erat sekali dengan modal berubah-ubah dari koperasi itu. Agar dapat menambah modal yang berubah-ubah dan lemah tersebut, maka pembuat UU di kebanyakan negara menyatakan bahwa para anggota harus mengambil alih tanggung jawab pribadi tambahan bagi hutang-hutang koperasi.

2. Hak dan Kewajiban Anggota Koperasi

Hak-hak perorangan

Hak-hak perorangan anggota koperasi adalah:

a. hak untuk menghadiri rapat dan mengajukan usul

b. hak untuk memberi suara

c. hak untuk memilih pengurus dan untuk dipilih

d. hak untuk memanfaatkan fasilitas koperasi

e. hak untuk diberi tahu mengenai sesuatu hal yang berkenaan dengan koperasi

f. hak untuk melindungi kelompok minoritas

g. hak untuk mengundurkan diri dari perhimpunan dan hak semua anggota untuk diperlakukan sama

Hak keuangan

Hak keuangan dapat juga diklasifikasikan sebagai hak perorangan anggota, yaitu:

a. Hak untuk menggunakan dan menarik keuntungan keuangan dari fasilitas koperasi.

b. Hak untuk menerima kembali uang keanggotaan, keuntungan, bonus dan/atau bunga atas modal saham yang disetor

c. Hak untuk menuntut pembayaran kembali kontribusi modal saham dari dana koperasi karena pengunduran diri dari keanggotaan.

d. Hak untuk menerima kembali sahan dari kekayaan koperasi yang dilikuidasi, setelah koperasi dibubarkan atau berakhir.

Kewajiban perorangan

Kewajiban perorangan yang utama dari anggota ialah:

a. Kewajiban ikut serta secara perorangan dalam usaha bersama supaya tercapai tujuan bersama.

Ketaatan terhadap kewajiban ini adalah hal yan terpenting bagi berfungsinya koperasi sebagai perhimpunan orang-orang yang berdikari.

b. Kewajiban untuk setia pada koperasi.

Pekerjaan suatu koperasi didasarkan atas saling mempercayai dan kerjasama semua anggota. Kewajiban setia kepada koperasi dapat dilihat dari aspek positif dan aspek negatif.

Kewajiban keuangan

Terdapat tiga kewajiban pokok yang harus dikemukakan, yaitu:

a. Kewajiban untuk membayar kontribusi keuangan yang ditentukan dalam anggaran dasar.

Jumlah kontribusi modal minimum sama untuk semua anggota, berupa sejumlah uang yang relatif kecil, ditetapkan dengan situasi keuangan anggota yang terlemah dari koperasi itu. Para anggota boleh mengambil alih saham tambahan, tetapi kontribusi modal saham yang lebih tinggi tidak memperkuat kedudukannya sebagai seorang anggota.

b. Kewajiban bertanggung jawab atas hutang koperasi.

Tanggung jawab koperasi terhadap para krediturnya hanya terbatas pada harta kekayaan koperasi itu sendiri. Kewajiban para anggota untuk bertanggung jawab atas hutang koperasi dapat dibatasi hingga jumlah tertentu(dibatasi dengan jaminan) atau tidak terbatas.

c. Kewajiban untuk memanfaatkan fasilitas badan usaha koperasi.

3. Penerapan Ketentuan-ketentuan Ini Terhadap Koperasi yang Disponsori Pemerintah

Apabila koperasi diciptakan melalui inisiatif pemerintah, maka titik mula pertimbangan-pertimbangan yang berkenaan dengan status hukum para anggota serta pengaturan hak dan kewajiban mereka adalah berbeda. Dengan adanya campur tangan dari pemerintah dalam koperasi, peranan rangkap anggota koperasi hanya terjadi sebagai suatu fiksi dan kurang aktifnya keikutsertaan para anggotanya. Dalam hal ini tujuan pengembangan koperasi yang disponsori pemerintah tidak dapat tercapai. Tujuan untuk manganjurkan perhimpunan berdikari untuk memainkan peranan aktif dalam pembangunan negara telah dikesampingan.

Koperasi tidak dapat berkembang untuk jangka waktu yang lama, jika para anggota tidak didasari oleh kepentingan ekonomis mereka sendiri supaya ikut serta aktif dalam pekerjaan koperasi. Oleh karena itu, jika tujuan pengembangan koperasi yang disponsori pemerintah itu untuk mendorong pertumbuhan koperasi yang percaya pada diri sendiri, maka yang harus diutamakan oleh para anggota dan pengurus koperasi ialah motivasi, pendidikan, latihan, dan jasa-jasa penasihat, serta para anggota harus memainkan peranannya. Status anggota dalam peranan rangkapnya serta hak dan kewajiban anggota tidak hanya bersifat fiksi, tetapi harus menjadi nyata, jika pengembangan koperasi jangka panjang akan dicapai.