Jumat, 18 Desember 2009

TANAH NEGARA DAN WEWENANG PEMBERIAN HAKNYA

 
1. PENDAHULUAN

Sering kali kita mendengar sebidang tanah disebut sebagai tanah Negara jika ditanyakan apa yang dimaksud dengan tanah Negara, kenapa disebut demikian, apakah ada perbedaan dengan tanah jenis yang lain, dimana kita menemukan tanah Negara, dimana diatur mengenai tanah Negara ini, dan siapa yang berwenang mengaturnya. Untuk apa tanah Negara apakah kita bisa memiliki tanah Negara. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu maka sesuai dengan isu yang hendak dikemukakan yakni tanah Negara dan wewenang pemberian haknya diawali dari pengertian atau makna, selanjutnya sejarah dan ketentuan hukum wewenang pemberian haknya.


2. KONSEP TANAH NEGARA

Sebutan untuk “ Tanah” ( land ) dapat mempunyai arti yang berbeda tergantung dari sudut pandang keilmuan untuk pengartikannya. Dalam konsep hukum tanah tidak sekedar permukaan bumi, namun mempunyai tiga dimensi yakni ruang angkasa, permukaan bumi dan dibawah tubuh bumi ( lihat Peter butt, 2001). Dalam konteks hukum tanah, tanah diartikan sebagai “ permukaan bumi” ( lihat pasal 4 ayat 1UUPA).
“Tanah Negara” seperti hal sebutan tanah yang lain - misalnya tanah milik dan sebagainya - hal ini menunjukan suatu status hubungan hukum tertentu antara obyek dan subyeknya yang dalam konteks ini lebih kepada hubungan kepemilikanatau kepunyaan antara subyek dan obyek yang bersangkutan. Dalam pengertian tersebut maka jika kita menyebutkan tanah Negara artinya adalah tanah sebagai obyek dan Negara sebagai subyeknya dimana Negara sebagai subyek mempunyai hubungan hukum tertentu dengan obyeknya yakni tanah. adapun hubungan hukum itu dapat berupa hubungan kepemilikan kekuasaan atau kepunyaan.

Didalam konsep hukum Sebutan menguasai atu dikuasai dengan dimiliki ataupun kepunyaan dalam konteks yuridis mempunyai arti/makna berbeda dan menimbulkan akibat hukum yang berbeda pula. Arti dikuasai tidak sama dengan pengertian dimiliki. Jika kita menyebutkan tanah tersebut dikuasai atau menguasai dalam arti “ possession” makna yuridisnya adalah tanah tersebut dikuasai seseorang secara fisik dalam arti factual digarap, dihuni, namun belum tentu bahwa secara yuridis dia adalah pemilik atau yang punya tanah tersebut. Demikian juga bila menyebutkan bahwa tanah tersebut di miliki atau kepunyaan dalam arti “ Ownership” dalam pengertian juridis maka dapat diartikan bahwa tanah tersebut secara yuridis merupakan tanah milik atau kepunyaan, namun bukan berarti juga dia secara fisik menguasai tanah tersebut, karena mungkin adanya hubungan kerjasama atau kontraktual tertentu.

Bentuk lain bisa juga bahwa tanah tersebut diduduki oleh orang tanpa ijin yang berhak “ okupasi”. Makna okupasi atau “accupation” lebih kepada penguasaan secara pisik atau factual tanpa diikuti hak ( right) dalam arti sah secara hukum. “tanah Negara” diartikan sebagai pemilik dalam arti kepunyaan atas tanah dapat ditemukan pada masa pemerintahan Hindia Belanda dimana Indonesia sebagai bagian dari kerajaan Belanda. Berasal dari latar belakang system ketatanegara yang berbentuk absolute / monarchi, ( system feodalisme). Tanah dalam wilayah kekuasaan adalah tanah milik Raja / ratu sebagai pemilik. Wilayah kekuasaan cakupannya termasuk daerah jajahan - Indonesia bagian dari wilayah kerajaan Belanda - dan disisi yang lain rakyat yang berada diwilayah tersebut berposisi sebagai penggarap atau penyewa tanah (lihat pula Curzon, 1989). Konsekuensi logis dari model hubungan antara Raja sebagai pemilik dan rakyat sebagai penyewa dikenal sebagai system kepemilikan tanah yang disebut sebagai dotrin “ land tenure”.

Dalam tataran politik hukum tanah pada waktu itu tanah Negara adalah tanah milik Negara ( Raja/Ratu) diterapkan di Indonesia melalui produk hukum dalam peraturan “ agrarisch besluit” yang diundangkan dalam lembaran Negara “Staatblad” no. 118 tahun 1870 ( S. 1870-118).

Dalam pasal 1, disebutkan:

“ behoudens opvolging van de tweede en derde bepaling der voormelde wet, blijft het beginsel gehandhaafd, dat alle grond, waarop niet door anderen regt van eigendom wordt bewezen, domein van de Staat is”.

( dengan tidak mengurangi berlakunya ketentuan dalam pasal 2 dan 3 Agrarisch Wet, tetap dipertahankan asas, bahwa semua tanah pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein ( milik ) Negara). Ketentuan pasal 1 Agrarisch Besluit ini dikenal sebagai pernyataan kepemilikan “ Domein Verklaring” dari Negara dan dikenal sebagai pernyataan domein umum ( algemene Domein Verklaring ). Disamping itu, dikenal juga adanya pernyataan domein khusus ( speciale Domein Verklaring ) yang tercantum dalam peraturan perundangan tentang pengaturan hak erfpaht yang diundangkan dalam S. 1875 – 94f, S. 1877 – 55 dan S. 1888 – 55.

Rumusannya sebagai berikut:

“ alle woeste gronden in de Gouvernementsladen op…. berhooren, voorzoover daarop door leden der inheemsche bevolking gene aan het ontginningsrecht ontleende rechten worden uitgeoefend, tot het Staatsdomein. Over dit tot het Staatsdomein behoorende gronden, berust behoudens het ontginningsrecht der bevolking, de beschikking iutluitend bij het Gouvernement” ( Engelbrecht, 1960, halaman 2051).

“Semua tanah kosong dalam daerah pemerintahan langsung di… adalah domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah Negara tersebut kewenangan untuk memutuskan pemberiannnya kepada pihak lain hanya ada pada pemerintah, tanpa mengurangi hak yang sudah dipunyai oleh penduduk untuk membukanya”.

Pernyataan kepemilikan ini menjadikan landasan hukum Negara /pemerintahan pada waktu itu untuk memberikan tanah dengan hak kepemilikan dengan hak-hak barat yang diatur dalam KUUHPdt, seperti hak Erfpacht, hak Opstal dan lain2nya. Dalam rangka domein verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan dengan cara pemindahan hak milik Negara kepada penerima tanah dan sebagai alat pembuktian pemilikan tanah. ( lihat budi harsono, h. 43). Pernyataan domein Negara yang diatur dalam pasal 1 Agrarisch besluit ini paralel dengan yang diatur dalam BW. Dalam pasal 519 dan pasal 520 BW, mengatur bahwa setiap bidang tanah selalu ada yang memiliki. Kalau tidak dimiliki oleh perorangan atau badan hukum, maka negaralah pemiliknya.

Atas dasar pasal 1 Agrarisch besluit ini maka dikenal adanya dua bentuk tanah Negara yakni:

Pertama, tanah – tanah Negara yang disebut dengan tanah Negara bebas “ vrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang benar-benar bebas artinya bahwa tanah tersebut belum ada atau belum pernah dilekati oleh sesuatu hak apapun. Pengertian hak disini harus diartikan yuridis yang diatur dalam ketentuan hukum barat (BW) termasuk didalamnya hak rakyat atas tanah yang pada waktu itu tanah-tanah yang mendasarkan pada hukum adat setempat. Sepanjang tidak didaftarkan haknya dengan cara menundukkan diri secara suka rela kepada hukum barat maka tanah yang dikuasai rakyat merupakan bagian dari atau berstatus sebagai tanah Negara yang diistilahkan sebagai tanah Negara yang diduduki oleh rakyat. Dalam perkembangannya ternyata pemerintah Hindia Belanda juga berpendapat bahwa sebutan tanah Negara bebas ini cakupannya dibedakan menjadi dua:1. Tanah – tanah menjadi tanah Negara bebas karena dibebaskan dari hak-hak milik rakyat oleh suatu Instansi / departemen, dianggap tanah Negara dibawah penguasaan departemen yang membebaskan; 2. Tanah Negara bebas yang tidak ada penguasaan secara nyata diserahkan kepada suatu departemen, dianggap bahwa tanah tersebut dimasukkan kedalam penguasaan departemen dalam negeri ( Binnen van bestuur)

Kedua, tanah Negara yang tidak bebas “ onvrij landsdomein” yaitu tanah Negara yang diatasnya ada hak-hak rakyat atas tanah atau tanah yang dikuasai atau diduduki oleh rakyat berdasarkan pada hukum adat mereka ( hak ulayat masyarakat hokum adat).
Setelah kemerdekaan, sebelum terbitnya UU. No. 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria atau lebih dikenal dengan sebutan UUPA, pengertian Tanah Negara, ditemukan dalam PP No. 8 tahun 1953 ( L.N. 1953, No. 14, T.L.N. No. 362). Dalam PP tersebut Tanah Negara dimaknai sebagai “ tanah yang dikuasai penuh oleh negara”. Substansi dari pengertian tanah Negara ini adalah tanah-tanah memang bebas dari hak-hak yang melekat diatas tanah tersebut apakah hak barat maupun hak adat ( vrij landsdomein). Dengan terbitnya UUPA tahun 1960, pengertian tanah Negara ditegaskan bukan dikuasai penuh akan tetapi merupakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara (lihat, penjelasan umum II (2) UUPA), artinya negara di kontruksikan negara bukan pemilik tanah, Negara sebagai organisasi kekuasaan rakyat yang bertindak selaku badan penguasa, yang diberikan wewenang oleh rakyat: a. Mengatur dan menyelengarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaannya;b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas ( bagian dari ) bumi, air dan ruang angkasa itu; c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang mengenai buni, air dan ruang angkasa.” Substansi tanah Negara setelah UUPA, didalam berbagai peraturan perundangan disebutkan bahwa pengertian tanah Negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah.

Atas pemahaman konsep dan peraturan perundangan tentang pengertian tanah Negara dapat ditarik kesimpulan dalam tataran yuridis bahwa terdapat dua kategori tanah Negara dilihat dari asal usulnya:

1. Tanah Negara yang berasal dari tanah yang benar-benar belum pernah ada hak atas tanah yang melekatinya atau disebut sebagai tanah Negara bebas;

2. Tanah Negara yang berasal dari tanah-tanah yang sebelumnya ada haknya, karena sesuatu hal atau adanya perbuatan hukum tertentu menjadi tanah Negara. Tanah bekas hak barat, tanah dengan hak atas tanah tertentu yang telah berakhir jangka waktunya, tanah yang dicabut haknya, tanah yang dilepaskan secara sukarela oleh pemiliknya.


3. WEWENANG PEMBERIAN HAK

Pada prinsipnya karena status tanah merupakan tanah Negara maka baik pada masa pemerintah Hindia Belanda maupun pada masa pemerintahan RI, wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Negara, jika masa pemerintahan Hindia Belanda yang diwakili oleh gubernur jenderal, setelah merdeka wewenang pemberian hak atas tanah Negara ada pada Menteri selaku pejabat Negara yang mendapatkan wewenang pendelegasian dari Presiden. Dan selanjutnya menteri atau pejabat yang memperoleh delegasi dari presidan melimpahkan tugas dan wewenang tersebut kepada pejabat jajaran yang ada dibawahnya.

Didalam UU No. 7 tahun 1958, tentang peralihan tugas dan wewenang agraria, adalah merupakan peraturan perundangan awal kemerdekaan yang mengatur pelimpahan wewenang kementerian agraria. Di dalamnya disebutkan : Tugas dan wewenang yang menurut peraturan2 undang-undang dan ketentuan2 tata usaha yang tercantum dalam daftar lampiran dari undang2 ini diberikan kepada: a. Gubernur jenderal, direktur van Binnenlands Bestuur dan Menteri Dalam negeri; b. Hoofd van Gewestelijk bestuur, gubernur, residen, Hoofd van Plaatselijk Bestuur, bupati, walikota, wedana,dan pejabat2 pamongpraja lainnya, termasuk tugas dan wewenang yang menurut sesuatu peraturan atau keputusan telah ada atau telah diserahkan kepada sesuatu badan penguasa; dengan berlakunya undang-undang ini beralih kepada menteri agraria.

Pengaturan peraturan perundang-undangan tentang wewenang pemberian hak atas tanah Negara, di atur dalam beberapa peraturan sebagai berikut:

1. Keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/Ka/ 61, tentang pembagian tugas wewenang agrarian; ditetapkan tanggal 1 April 1961, berlaku surut sejak tanggal 1 Mei 1960; Dengan berlakunya peraturan ini mencabut Keputusan tanggal 22 Oktober 1959, No. SK/495 / Ka/ 59, yang disempurnakan dengan Keputusan tanggal 4 Mei 1960, No. SK/599/Ka/ 60

2. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 12 September 1962, No. SK. XIII/ 17/ Ka/ 1962, tentang penunjukan pejabat yang dimaksud dalam pasal 14 PP No. 221/ 1962. ketentuan ini mengatur tentang wewenang pemberian hak milik atas tanah yang dibagikan dalam rangka Landreform;

3. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria tanggal 21 Juli 1967, No. SK 4/ Ka, tentang perubahan keputusan Menteri Agraria No. SK. 112/ Ka/ 61. ketentuan ini merupakan pengaturan mengenai wewenang pemberian hak pakai yang menyimpang dari ketentuan yang diatur oleh Keputusan Menteri Agraria No. Sk. 112/ ka/61;

4. Keputusan Deputy Menteri Kepala Departemen Agraria tanggal 1 Juli 1966, No. SK. 45/ Depag/ 66, tentang Pembagian tugas dan wewenang agrarian dalam hubungannya dengan pemberian hak dan wewenang atas tanah;
Dengan berlakunya Peraturan ini maka peraturan wewenang yang diatur dalam Keputusan Menteri No. SK. 112/Ka/ 1961; Keputusan Menteri agrarian No. SK. XIII/
5/ Ka; Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No. SK. 4 / Ka; Keputusan Menteri Agraria No. SK. 336/ Ka; dan Keputusan Menteri Agraria No. SK. 3/ Ka/ 1962, sepanjang telah diatur dalam peraturan ini dicabut atau tidak berlaku.

5. PMDN NO. 1 TAHUN 1967 Tentang pembagian tugas dan wewenang agrarian; jo. PERATURAN MENERI DALAM NEGERI NO. 88 TAHUN 1972 tentang sususnan organisasi dan tata kerja Direktorat Agraria Propinsi dan sub direktorat agrarian kabupaten/ Kotamadya. dengan berlakunya peraturan ini, maka Surat keputusan Menteri Agraria No. SK 112/Ka/1961 dan Surat Keputusan Deputy Menteri Kepala Departeman Agraria No. Sk 45/ Depag/ 1966 dicabut kembali.

6. PMDN No. 6 tahun 1972, tentang pelimpahan wewenang pemberian Hak atas tanah;

7. Permenag/ KBPN No. 3 tahun 1999, tentang Pelimpahan wewenang pemberian hak atas tanah Negara;

Dengan terbitnya PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NO. 3 Tahun 1999 tentang Pelimpahan kewenangan pemberian dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah Negara, maka peraturan perundangan yang ada sebelumnya menjadi tidak berlaku. Peraturan ini mengatur sebagai berikut:

Didalam Pasal 2, disebutkan:

(1) dengan peraturan ini kewenangan pemberian hak atas tanah secara individual dan secara kolektif, dan pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada kepala kantor wilayah BPN atau Kepala kantor Pertanahan kabupaten / kota madya

(2) pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula keewenangan untuk menegasan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah adalah tanah Negara;

(3) dalam hal tidak ditentukan secara khusus dalam pasal atau ayat yang bersangkutan, maka pelimpahan kewenangan yang ditetapkan dalam peraturan ini hanya meliputi kewenangan mengenai hak atas tanah Negara yang sebagian kewenangan mengusai dari Negara tidak dilimpahkan kepada instansi atau badan lain dengan hak pengelolaan.

Kewenangan Kepala Kantor untuk memberikan hak diatur dalam Pasal 3, 4 dan 5 sebagai berikut:
Hak milik ( pasal 3), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:

1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih
2. pemberian hak milik atas atanh non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;

3. pemberian hak milik atas tanah dalam rangka pelaksanaan program: a. transmigrasi; b. redistribusi; c. Konsolidasi; d. pendaftaran tanah secara masal baik dalam rangka pelaksanaan pendaftaran tanah secara sistematik maupun sporadic

Hak Guna Bangunan (pasal 4), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:

a. pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna bangunan;

b. semua pemberian hak guna bangunan atas tanah hak pengelolaan;

Hak Pakai ( Pasal 5), Kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya memberi keputusan mengenai:

a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2 ha;

b. pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 2000m2, kecuali mengenai tanah bekas hak guna usaha;

c. semua pemberian hak pakai atas tanah hak pengelolaan;
didalam pasal 6 perubahan hak, kepala kantor pertanahan memberi keputusan mengenai semua perubahan hak atas tanah, kecuali perubahan hak guna usaha menjadi hak lain;


Kewenangan Kantor Wilayah BPN Propinsi diatur dalam Pasal 7, 8, 9 dan 10 sebagai berikut:

Pasal 7, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:
1. pemberian hak milik atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha;
2. pemberian hak milik atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 5000m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kota madya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3;

pasal 8 hak guna usaha, kepala kantor wilayah BPN propinsi memberikan keputusan mengenai pemberian hak guna usaha atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 200 ha.

pasal 9 hak guna bangunan, kepala kantor wilayah BPN Propinsi emberi keputusan mengenai pemberian hak guna bangunan atas tanah yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2, kecuali yang kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada Kepala Kantor pertanahan kabupaten / kotamadya.

Pasal 10 Hak pakai, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai:
a. pemberian hak pakai atas tanah pertanian yang luasnya lebih dari 2 ha.
b. Pemberian hak pakai atas tanah non pertanian yang luasnya tidak lebih dari 150.000 m2 kecuali kewenangan pemberiannya telah dilimpahkan kepada kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaiman dimaksuf dalam pasal 5;

Pasal 11 pemberian hak lain, Kepala kantor wilayah BPN Propinsi memberi keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang sudah dilimpahkan kewenangan pemberiannya kepada kepala kantor pertanahan kabpaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam bab II apabila atas laporan kepala kantor pertanahan kabupaten /kotamadya hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan

Pasal 12 pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah, Kepala kantor wilayah BPN propinsi memberi keputusan mengenai:

a. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang telah dikeluarkan oleh kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya yang terdapat cacat hukum dalam penerbitannya
b. pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah yang kewenangan pemberian nya dilimpahkan kepada kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya dan kepada kepala kantor wilayah BPN propinsi, untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap,

pasal 13, Menteri Negara Agraria / kepala BPN menetapkan pemberian hak atas tanah yang diberikan secara umum. Selanjutnya didalam Pasal 14 disebutnya:

(1) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tanah yang tidak dilimpahkan kewenangannya kepada kepala Kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud dalam Bab II dan Bab III

(2) Menteri Negara Agraria / KBPN memberi keputusan mengenai pemberian dan pembatalan hak atas tamah yang telah dilimpahkan kewenangannya kepada kepala kantor wilayah BPN Propinsi atau kepala kantor pertanahan kabupaten / kotamadya sebagaimana dimaksud bab II dan III apabila atas laporan kepala kantor wilayah BPN ptropinsi hal tersebut diperlukan berdasarkan keadaan dilapangan.


4. KARAKTER SERTIFIKAT DAN AKIBAT HUKUMNYA

Konstruksi hukum Sertifikat yang lahir dari pendaftaran tanah yang berasal dari tanah yang berstatus Negara mempunyai karakter yang bersifat “konstitutif”. Sifat karekter ini timbul sebagai akibat adanya suatu keputusan atau penetapan dari badan / pejabat tata Usaha Negara dalam hal ini BPN yang menetapkan pemberian hak atas tanah kepada seseorang atau badan hukum yang mengajukan permohonan suatu hak atas tanah yang berstatus tanah Negara. Fungsi dari surat keputusan pemberian hak tersebut adalah sebagai tanda bukti kepemilikan bahwa seseorang atau badan hokum memperoleh hak atas suatu bidang tanah.

Surat keputusan pemberian hak atas tanah yang diterbitkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha berfungsi sebagai dasar atau alas hak pengakuan Negara terhadap seorang atau badan hokum atas sebidang tanah yang dikuasainya. Kenapa demikian, karena untuk dapatnya sesorang atau badan hokum memiliki atau mengusai hak atas tanah yang berasal dari tanah Negara harus memenuhi persyaratan dan kewajiban yang diuraikan dalam surat keputusan tersebut. Bila mana syarat dan kewajiban dipenuhi maka harus didaftarkan agar memperoleh tanda bukti kepemilikan yang berupa sertifikat hak atas tanah.

Tulisan : Boedi djatmiko.
Seorang pemerhati masalah pertanahan, pendidikan terakhir S3 ilmu hukum Unair


Rabu, 16 Desember 2009

HAK TANGGUNGAN (PEMBERIAN DAN PENDAFTARAN)



Cara Pemberian Hak Tanggungan
Pemberian Hak Tanggungan harus dan hanya dapat diberikan melaui Akta Pembebanan Hak Tanggungan, yang dapat dilakukan :
1.        Secara langsung oleh yang berwenang untuk memberikan Hak Tanggungan,berdasarkan ketentuan paal 8 Undantg-undang Hak Tanggungan.
2.        Secara tidak langsung unutk melakukan dalam bentuk pemberian Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan. Untuk ini harus memenuhi ketentuan pasal 15 Undang-Undang Hak Tanggungan, dengan memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No.4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak

Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit tertentu.
Ketentuan formal mengenai bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) dapat dilihat dalam rumusan pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan yang menyatakan bahwa SKMHT harus dibuat dalam bentuk notaries atau akat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Dengan demikian berarti SKMHT yang tidak dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT tidaklah berlaku sebagai SKMHT.

Selanjutnya mengenai ketentuan materiil yang harus dimaut dalam SKMHT juga dapat ditemukan dalam Pasal 15 ayat (1) Hak Tanggungan, yang dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1.      Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukuman lain daripada membebankan Hak Tanggungan.

2.      Tidak memuat kuasa subtitusi;
Sehubungan sebagi kuasa substitusi asala pemberian dianggap dalam jangka penugasan yang bersifat perwakilan, misalnya Direksi Bank akan menugaskankepala abang atau pihak lain dala rangka pelaksanaan kuasa yang diberikan kepada bank.

1.      Mencantumkan secara jelas objek Hak Tanggungan, jumlah utang nilai tanggungan dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Jumlah utang yang dijamin dapat berupa utang yang tleah ada atau yang telah diperjaniikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat pernohonan eksekusi Hak Tanggungan dapat ditettukan berdasarkan perjanjian yang menjadi dasar timbulnya hubungan utang piutang.

Ini berarti SKMHT adala surat kuasa yang benar-benar khusus, hanya terbatar untuk memberikan atau membebankan Hak Tanggunagn semata-mata. Dalam hal SKMHT telah memenuhi syarat formal dan syarat substansil (materiil), maka ketentuan pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Hak Tanggungan menentukan bahwa Kuasa untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apaun juga, kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksankan atau karena telah habis jangka waktunya, yaitu karena :

a.      Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanh tang sudah terdaftar tidak diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam jangka waktu selambat-lambantnya 1 (satu) bukan sesudah diberikan;

b.      Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar tidaj diikuti dengan jangka waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) bula sesudah diberikan

Mengenai bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan dan Sertifikat Hak Tanggungan tersebut, yang wajib memuat keterangan-keterangan tersebut diatas.

Terhadap Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dibrikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, ketentuan tersebut tidak berlaku. Dalam hubungannya dengan jaminana pemberian kredit tertentu tealh dikeluarkan Peraturan Pemerintah Negara Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Kredit-kredit tertentu.  Peraturan Menteri Negaa Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional no.4 Tahun 1996, yang terdiri dari 3 pasal tersebur secara lengkap yang terdiri dari pasal 1, pasal 2, pasal 3.

Bagaimanakah Cara Pendaftaran Hak Tanggungan
Kewajiban pendafaftaran Hak Tanggungan dapat ditemukan rumusannya dala pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 13
1)     Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Perrtanahan

2)     Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkat lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.

3)     Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksdu pada ayat (1) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah atas tanh yang menjai objek Hak Tanggungan serta menyalin catatan resebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
4)     Tanggal buku tanah Hak Tanggunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkapa surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersankutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya.

5)     Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

Dari rumusan masalah pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggunagn tersebut dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan lahir pada saat pendaftaran Hak Tanggungan pada buku Tanah hak atas tanah yang dibebankan dengan hak tanah.

Sehubungan dengan pendaftaran Hak Tanggungan atas taanah ini, yang merupakan salah satu bentuk pandaftaran tanah ini, yang merupakan salah satu bentuk pendaftaran tanah, perlu diketahui bahwa sebelum berlakuanya Undang-Undang Pokok Agraria, system pendaftaran tanah yang dibelakukan adalah registration of dead, dengan registration of dead dimaksudkan bahwa yang didaftarkan adalah akata yang memuat perbuatan hukun yang melahirkan haka atas tanah, termasuk di dalamnya eigendom Hak Milik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Hukum Perdata.

System pendaftaran tanah yang demikian jelas menyulitkan, dan memakan waktu yang lama dan banyak manakala seseorang bermaksud unutk mencari tahu Hak Milik atas benda tidak bergerak, termasuk ada tidaknya beban-beban yang diletakkan di atasnya.

Untuk keperluan tersebut, maka Robert Richard Torrens menciptakan suatu system pendaftaran tanah, ynag selanjutnya disebut dengan registration of titles, atau system Torrens. Dalam system registration of titles ini, setipa penciptaan hak baru, peraliohan hak, termasuk pembebanannya harus dapat dibuktikan dengan suatu akta. Akan tetapi akta tersebut tidaklah didaftar, melainkan haknya yang dilahirkan dari akta tersebut yang didaftarkan.

Dengan demikian berarti akta hanyalah dipergunakan sebagai sumber data untuk memperoleh kejelasan mengeani terjadinya suatu hak, peralihan haka atau pembebanan hak. Setiap orang yang memerlukan data yuridis yang lengkap atat sauatu haka atas tanah, tidak nperlu lagi untuk mempelajari seluruh akta yang berhubungan dengan haka atas tanah tersebut, melainkan cukup bisa dipelajari urutan pemberian hak, perubahan pemegang hak, dan pembebanan yang dicatat dalam system yang dianut Undan-Undang Pokok Agraria, yang dilaksanakan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan selanjutnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 19997 tentang Pendaftaran Tanah yang menggantikn Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 tersebut. Demikianlah rumusan ketenuan pasal 19 Undang-Udang Pokok Agraria yang terdapat dan jelas pada pasal 19.
Dengan demikian berarti system pendaftaran tanah dibedakan ke dalam:

a.      Registration of dead, yang dilakukan dalam bentuk pendaftaran aktanya, yang berisikan perbuatan hukun yang menerbitkan hak atas tanah atau pembebanannya. Setiap kali terjadi perubahan, yang merupakan bukti satu-satunya dari terjadinya perubahan tersebut. Cacat dalam salah satu prosese peralihan atau pembebanan, akan mengakibatkan akta-akta yang dibuat setelah menjadi tidak berkekuatan hokum sama sekali. Jadi dalam hal ini yang terjadi adalah positif.

b.      Registration of title, yang mendaftarkan title hak yang diperoleh. Akta yang dibuat ubtuk menciptakan hak atau pembebanannya hanya dipergunakan unttuk menciptakan hak atau pembebanannya hanya dipergunakan sebagai rujukan pendaftaran hak  nya tersebut. Sehubungan dengan registration of title ini, dalam system Torrens Sertifikat Hak Atas tanah yang dikluarkan merupakan alat bukti sempurna bagi adanya hak atas tanah, perubahan atau adanya pembebanana hak atas tanah tersebut, serta tidak dapat diganggu gugat oleh siapa juga kecuali jika terbukti telah terjadi pemalsuan. Ini berarti dianut stelsel positif. Selain stelse positifl dianut dalam registrartion of title ini, juga dikelan stelsel negative. Jika dalam stelsel positif, pemegang Sertifikat Hak Atas  Tanah dilindungi, dalam stelsel negative, masih dimungkinkan proses pembuktian lain, selain dengan sertifikat hak atas tanah.

Jika diperhatikan ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria tersebut, secara umum dapat dikatakn bahwa pendaftaran dilakukan dengan tujuan untuk memberikan alat bukti yang kuat.

Hal ini menunjukkan pada kita semua bahwa dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang dianut dalam system pendaftaran yang dengan registration of title stelsel negative yang mengandung unsure positif.

Peningkatan sertifikat HGB ke SHM



 Ada suatu kasus dimana X membeli sebuah rumah melalui fasilitas KPR pada sebuah bank untuk jangka waktu lima tahun dari developer Y. Sebagai jaminannya adalah Sertifikat HGB atas nama developer Y yang sedang dalam proses balik nama atas nama X. Pertanyaannya adalah:

1. bagaimana cara meningkatkan sertifikat HGB ke SHM atas nama saya apabila kredit telah lunas?

2. bagaimana apabila developer Y bangkrut sebelum kredit X lunas, risiko apa saja yang dapat terjadi atas rumah dan sertifikat HGB tersebut?

3. berapa biaya yang harus X sediakan untuk kasus-kasus diatas?

Solusi:

1. Biasanya sertifikat HGB yang dijadikan jaminan dalam suatu perjanjian kredit oleh bank telah dipasang hak tanggungan. Apabila kredit telah lunas, maka X tinggal datang saja ke bank bersangkutan dan meminta surat keterangan lunas dari bank tersebut serta sertifikat HGB yang dijaminkan. Setelah itu X bisa datang ke kantor pertanahan dimana lokasi rumah tersebut berada untuk meminta hak tanggungan tersebut dicabut (roya) dengan memberikan bukti pelunasan kredit dari bank.

2. Apabila developer Y bangkrut sebelum kredit lunas, tidak akan menjadi masalah sepanjang sertifikat HGB telah dipecah dan sertifikat telah dipasang hak tanggungan atas nama X, sehingga tidak ada hubungan lagi dengan pihak developer. Timbul masalah apabila sertifikat masih atas nama developer. Maka harus dilakukan pemecahan yang biasanya bisa dilakukan roya parsial oleh bank, artinya bank akan datang ke BPN atas nama X dan melakukan roya parsial (pemecahan sebagian). Jika sertifikat telah diroya atas nama X, maka X dapat datang ke kantor pertanahan tempat lokasi rumah tersebut berada dan kemudian memohon peningkatan hak menjadi Hak Milik.

3. Suatu roya tidak memerlukan biaya, hanya biaya administrasi sekitar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah). Sedangkan untuk meningkatkan hak dari HGB menjadi HM telah diatur oleh kantor pertanahan berdasarkan luas tanah. Untuk luas tanah:

- <200 m2 dikenakan biaya administrasi Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)

-          200-400 m2 dikenakan biaya sebesar 0,5% dari NJOP (Nilai Jual Objek Pajak)
-           
Untuk rincian biaya-biaya tersebut dapat lebih jelasnya dilihat pada kantor Pendaftaran Tanah setempat.

PERSYARATAN PENDIRIAN CV

  

DATA-DATA YANG DIPERLUKAN :
1. Nama CV
2. Tempat kedudukan atau domisili
3. Susunan kepengurusan dan pesero komanditer
4. Maksud dan tujuan
5. Identitas para pengurus dan pesero komanditer

PENGURUSAN SURAT KETERANGAN DOMISILI
Menyerahkan berkas-berkas untuk buat Surat Keterangan Domisili ke Kelurahan tempat kedudukan CV .

BERKAS-BERKAS YANG DISERAHKAN:
a. Foto Copy anggaran dasar pendirian CV
b. Foto Copy Identitas pengurus dan pesero komanditer
c. SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) PBB Tahun terakhir .

PENGURUSAN PEMBUATAN NPWP KE KANTOR PELAYANAN PAJAK :
a. Foto copy Domisili
b. Foto copy salinan akta CV
c. Foto copy KTP Direktur

PENGURUSAN REKOMENDASI DIBUATKAN TDP, SIUP, SITU KE DINAS PERDAGANGAN DAN PERINDUSTRIAN

BERKAS-BERKAS YANG DISERAHKAN :
a. Asli dan foto copy Keterengan Domisili dari Kelurahan (minta kegalisir Kecamatan)
b. Foto copy KTP (3 lembar)
c. Foto copy NPWP CV tsb BENTUK “card” (3 lembar di cap dan paraf Notaris)
d. Foto copy NPWP CV
e. Foto copy Surat Keterangan Terdaftar dari Kantor Pajak (3 lembar di cap dan diketik, contoh:
f. Foto berwarna 4×6 = 3 lembar
g. Foto copy salinan akta pendirian CV yang telah di cap Notaris (3 rangkap, masing-masing halaman di cap Notaris, dan akhir halamannya diketik

PENGURUSAN PENDAFTARAN CV KE DEPARTEMEN HUKUM DAN HAM
a. Foto copy KTP
b. Foto copy kartu NPWP yang telah di cap dan diparaf notaris
c. Foto copy Surat Keterangan Terdaftar NPWP dari Kantor Pajak yang telah diketik dan ditandatangani Notaris:
d. Asli salinan Akta Pendirian CV
e. Asli Domisili
f. SIUP, TDP, SITU

Note :
Setelah tahapan mengurus CV telah selesai, maka semua asli dokumen dikembalikan kepada Klien dengan menerangkan hal-hal yang perlu/penting seperti:
1. Menjelaskan kapan harus lapor bagi wajib pajak ke Kantor Pajak Setempat;
2. Menjelaskan kapan harus lapor ke Perindag Setempat (TDP, SIUP = perpanjangan tiap 5 tahun 1x, sebelum masa berlaku habis yaitu 3 bulan sebelumnya; SITU = perpanjangan tiap 3 tahun 1x, -idem-; untuk SITU = pada lembar kedua ada formulir kosong yang harus diisi oleh CV tsb dan harus dilaporkan tiap 1 tahun 1x ke Perindag).

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN DAN IZIN PEMANFAATAN RUANG

1. IMB adalah izin yang wajib dimiliki oleh orang perorangan atau badan yang akan melaksanakan pembangunan bangunan.
-dalam hal orang perorangan atau badan akan melakukan kegiatan pengujian terhadap kelayakan tanah dilokasi rencana pembangunan bangunan, sebelum IMB diterbitkan, maka wajib memiliki Izin Pendahuluan.
-Izin Pendahuluan dan IMB ditetapkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk.
-pelaksanaan pembangunan, baru dapat dilaksanakan setelah IMB diperoleh.
-pelaksanaan pembangunan tersebut harus sesuai dengan fungsi bangunan dan rencana teknis yang tercantum dalam IMB.
-IMB diterbitkan berdasarkan rencana teknis yang direkomendasikan oleh Dinas.
-apabila pemegang IMB dalam tenggang waktu 6 bulan setelah diterbitkannya IMB tidak melaksanakan pembangunan, maka IMB dinyatakan tidak berlaku kecuali pemegang izin mengajukan perpanjangan izin sebelum tenggang waktu berakhir.
-IMB berjangka dapat diberikan kpd pemohon yg:
a. rencana pendirian bangunannya termasuk dalam rencana perluasan atau pelebaran jalan yang telah direncanakan.
b. mendirikan bangunan bersifat sementara
c. bangunannya berada pada lahan milik sendiri namun melanggar garis sempadan bangunan.
-untuk bangunan yang telah berdiri sebelum berlakunya Perda No.3/2006 tentang bangunan dan restribusi IMB dan secara teknis memenuhi persyaratan ketentuan2 bangunan, wajib melaksanakan pemutihan IMB.
-pemutihan IMB diberikan untuk bangunan yang minimal telah berusia 5 tahun pada saat permohonan diajukan.

2. Izin Pemanfaatan Ruang (IPR) adalah izin yang wajib dimiliki oleh orang perorangan atau badan yang akan melaksanakan pembangunan bangunan dalam rangka memberi kepastian hukum mengenai lokasi yang akan dilakukan pembangunan sebelum mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB).
-IPR dapat diberikan jika terhadap lokasi yang dimohon/diminta ada kesesuaian dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.
-IPR diberikan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk.
-IPR berlaku selama lokasi tersebut dipakai sesuai dengan pemanfaatannya dan tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
-setelah IPR diperoleh, untuk bangunan berbentuk komplek (lebih dari 3 bangunan) atau bangunan non rumah tinggal, baik perorangan atau badan hukum wajib membuat rencana tapak (site plan) yang disahkan oleh walikota atau pejabat yang ditunjuk.
-setiap perubahan pemanfaatan ruang baik yang meliputi alih fungsi maupun perubahan luas wajib memiliki izin secara tertulis dari walikota atau pejabat lain yang ditunjuk.


Tata Cara Pengajuan IMB dan IPR:
Pemohon IMB dan IPR atau mengajukan permohonan secara tertulis kepada walikota melalui kepala dinas dengan melampirkan persyaratan yang ditentukan. Khusus untuk IPR dengan LT <200 m2 dan pemutihan IMB fungsi hunian rumah tinggal tunggal permohonan tertulis diajukan kepada Walikota melalui camat.

Persyaratan Permohonan Perizinan:
1. IMB : Foto copy KTP, surat kuasa apabila penandatangan bukan
2. IPR : Foto copy surat bukti kepemilikan/penguasaan tanah, foto copy tanda lunas PBB tahun terakhir, foto copy KTP, peta lokasi.dilakukan oleh pemohon sendiri, foto copy surat bukti kepemilikan/penguasaan tanah, foto copy tanda lunas PBB tahun terakhir (5 th terakhir untuk pemutihan IMB), foto copy IPR, foto copy gambar rencana bangunan berikut penjelasannya skala 1:100, pengantar lurah dan camat, perhitungan konstruksi bagi bangunan bertingkat diatas 2 lantai dan luas bangunan lebih dari 2000m2, site plan untuk bangunan berbentuk komplek (lebih dari 3 bangunan) atau bangunan non rumah tinggal, rekomendasi instasi terkait, akte pendirian perusahaan dsb, rencana anggaran biaya untuk pembangunan tertentu, persyaratan lain yang diperlukan.

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM UU HAK TANGGUNGAN

   




Definisi Hak Tanggungan sesuai dengan Undang - undang no. 4 tanggal 9 April 1996 pasal 1 ayat 1 adalah:

" Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu terhadap kreditor-kreditor lain."

Obyek Hak Tanggungan adalah :
Hak - hak atas tanah yaitu Hak Milik (HM),
Hak Guna Bangunan (HGB),
Hak Guna Usaha (HGU),
Hak Pakai (HP) dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (HMASRS).

Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), adalah pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. [[Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tanggal 5 Maret 1998, Pasal 1 atat (1)

1. Dalam pemberian HT, pemberi HT wajib hadir dihadapan PPAT. Jika karena suatu sebab tidak dapat hadir sendiri, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasanya dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang berbentuk akta otentik. Pembuatan SKMHT selain kepada notaris, ditugaskan juga kepada PPAT yang keberadaannya sampai pada wilayah kecamatan.

2. Untuk memudahkan dan menyederhanakan pelaksanaan ketentuan UU ini bagi kepentingan pihak2 yang bersangkutan, kepada Ketua Pengadilan Negeri diberikan kewenangan tertentu yaitu penetapan memberikan kuasa kepada kreditor untuk mengelola obyek HT, penetapan hal2 yang berkaitan dengan permohonan pembersihan obyek HT dan pencoretan HT.

3. Jika HT dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam APHT yang bersangkutan bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing2 hak atas tanah yang merupakan bagian dari obyek HT, yang akan dibebaskan dari HT tersebut, sehingga selanjutnya HT itu hanya membebani sisa obyek HT untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Ini merupakan pengecualian dari asas bahwa HT mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi dan hal ini harus diperjanjikan secara tegas dalam APHT yang bersangkutan.

4. Pembebanan HT atas bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah yang pemiliknya lain daripada pemegang hak atas tanah, wajib dilakukan bersamaan dengan pemberian HT atas tanah yang bersangkutan dan dinyatakan didalam satu APHT, yang ditandatangani bersama oleh pemiliknya dan pemegang hak atas tanahnya, atau kuasa mereka, keduanya sebagai pihak pemberi HT.

5. Pemberian kewenangan kepada pemegang HT untuk menyelamatkan obyek HT, dalam hal ini termasuk pemberian kewenangan kepada pemegang HT untuk atas biaya pemberi HT mengurus perpanjangan hak atas tanah yang dijadikan obyek HT guna mencegah hapusnya HT karena hapusnya hak atas tanah, dan melakukan pekerjaan lain yang diperlukan untuk menjaga agar obyek HT tidak berkurang nilainya yang mengakibatkan berkurangnya harga penjualan sehingga tidak cukup untuk melunasi hutang yang dijamin.

6. Atas kesepakatan pemberi dan pemegang HT, penjualan obyek HT dapat dilaksanakan dibawah tangan jika dengan demikian itu dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak.

Syarat2nya :
-setelah lewat 1 bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang HT kepada pihak2 yang berkepentingan, mis: pemegang HT kedua, ketiga dan kreditor lain dari pemberi HT.

-diumumkan sedikit2nya dalam 2 surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat.
-tidak ada pihak yang menyatakan keberatan

DASAR PERHITUNGAN PAJAK ATAS PERBEDAAN LUAS ANTARA SERTIPIKAT DENGAN SPPT PBB

Apabila terjadi perbedaan luas antara sertipikat dengan yang tercantum dalam SPPT PBB maka yang dipergunakan sebagai perhitungan pajak adalah luas tanah yang tercantum pada sertipikat.

Contoh:
Perhitungan pajak dalam hal peralihan hak atas tanah berupa jual beli apabila luas tanah yang tercantum dalam sertipikat adalah 100 meter persegi,  sedangkan luas tanah yang tercantum dalam SPPT PBB 110 meter persegi maka yang dipergunakan adalah seluas yang tertera dalam sertipikat.

Luas tanah 100 meter persegi, NJOP 1.000.000 rupiah/meter persegi (letak tanah di Jakarta)Pajak Penjual (PPH) : 5% (100 x Rp 1.000.000,-) = Rp. 5.000.000,-Pajak Pembeli (BPHTB) : 5% x {(100 x Rp. 1.000.000,-) – Rp. 60.000.000,-} = Rp. 2.000.000,-


BEBERAPA HAL TENTANG PERALIHAN HAK ATAS TANAH

 

Peralihan hak atas tanah, yang dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dengan demikian berarti setiap peralihan hak milik atas tanah, yang dilakukan dalam bentuk jual beli, tukar menukar atau hibah harus dibuat di hadapan PPAT. 

Jual beli, tukar menukar atau hibah ini dalam konsepsi hukum adat adalah suatu perbuatan hukum yang bersifat terang dan tunai. Dengan terang dimaksudkan bahwa perbuatan hukum tersebut harus dibuat di hadapan pejabat yang berwenang yang menyaksikan dilaksanakan atau dibuatnya perbuatan hukum tersebut. Sedangkan dengan tunai diartikan bahwa dengan selesainya perbuatan hukum dihadapan PPAT berarti pula selesainya tindakan hukum yang dilakukan dengan segala akibat hukumnya. Ini berarti perbuatan hukum tersebut tidak dapat dibatalkan kembali, kecuali terdapat cacat cela secara substansi mengenai hak atas tanah (hak milik) yang dialihkan tersebut, atau cacat mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak atas bidang tanah tersebut.

Dengan demikian berarti, agar peralihan hak atas tanah, dan khususnya hak milik atas tanah tersebut dapat terselenggara secara benar, maka seorang PPAT yang akan membuat peralihan hak atas tanah harus memastikan kebenaran mengenai hak atas tanah (hak milik) tersebut, dan mengenai kecakapan dan kewenangan bertindak dari mereka yang akan mengalihkan dan menerima pengalihan hak atas tanah tersebut. 

Sehubungan dengan obyek hak atas tanah yang dipindahkan PPAT harus memeriksa kebenaran dari dokumen-dokumen:

a. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, sertifikat asli hak yang bersangkutan. Dalam hal serifikat tidak diserahkan atau sertifikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan; atau

b. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar:
- surat bukti yang membuktikan hak atas tanah yang lama yang belum dikonversi atau surat keterangan Kepala Desa/ Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut dengan itikad baik, dan tidak pernah ada permasalahan  yang timbul sehubungan dengan penguasaan tanahnya tersebut; dan
- surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertifikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/ Kelurahan; dan dalam hal surat tersebut tidak dapat diserahkan maka PPAT wajib menolak membuat akta pemindahan hak atas tanah tersebut termasuk hak milik atas tanah yang akan dialihkan tersebut.

AKTA-AKTA YANG HARUS DIBUAT SECARA NOTARIIL

Akta-akta Notariil yang harus dibuat dalam bentuk akta notariil dihadapan seorang Notaris berdasarkan UU 
 
I. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek):

- Buku I tentang Orang:
Pasal 70 : Pencegahan perkawinan dan Pencabutan Pencegahan perkawinan
Pasal 71 jo 35 : Ijin Kawin
Pasal 79 : Pengangkatan seorang wakil atau kuasa untuk melangsungkan perkawinan
Pasal 147 : Perjanjian Perkawinan
Pasal 148 : Perubahan Perjanjian Perkawinan
Pasal 176 : Pemberian Hibah berhubungan dengan perkawinan
Pasal 177 : Pernyataan penerimaan hibah
Pasal 191 : Pembagian harta percampuran perkawinan setelah diadakan pemisahan
Pasal 196 : Mengembalikan keadaan percampuran harta setelah perpisahan harta
Pasal 237 : Pengaturan syarat-syarat perpisahan meja dan ranjang
Pasal 253 jo 256 : Pengingkaran sahnya seorang anak
Pasal 281 : Pengakuan terhadap anak luar kawin
Pasal 355 : Pengangkatan wali oleh orang tua yang hidup lebih lama
Pasal 477 jo 483 : Pencatatan harta dari seorang yang tak hadir, oleh para ahli warisnya atau oleh suami/ isteri si tak hadir.

- Buku II tentang Kebendaan:
Pasal 783 : Pencatatan barang pinjam pakai jika pemilik tidak hadir
Pasal 931 jo 938 : Surat Wasiat
Pasal 932 jo 933 : Penyimpanan surat wasiat olografis
Pasal 934 : Pengembalian surat wasiat olografis
Pasal 938 : Pembuatan Wasiat Umum
Pasal 940 : Penyimpanan surat wasiat tertutup/rahasia (akta superscripsie)
Pasal 978 : Pengangkatan seorang pengurus guna mengurus benda-benda selama waktu beban dalam hal pemberian wasiat dengan lompat tangan (fidi comis)
Pasal 981 : Pengangkatan seorang bewindvoerder dalam hal penyerahan fidel comis
Pasal 990 : Pembuatan daftar pertelaan barang-barang yang diwasiatkan secara fidei comis setelah pewaris meninggal
Pasal 992 : Pencabutan surat wasiat
Pasal 1010 : Pembuatan daftar benda-benda yang termasuk harta peninggalan
Pasal 1019 : Pengangkatan seorang pengurus untuk mengurus harta peninggalannya selama ahli waris atau penerima hibah wasiat masih hidup
Pasal 1069 jo 1071 : Pemisahan dan pembagian harta peninggalan bilamana salah seorang ahli waris menolak atau lalai
Pasal 1074 : Pemisahan harta peninggalan
Pasal 1121 : Pembagian warisan oleh keluarga sedarah dalam garis lurus keatas kepada turunannya
Pasal 1171 : Surat Kuasa Memasang Hipotek (SKMHT) vide UUHT NO.4/1996 Ps. 15 (1)
Pasal 1172 : Penjualan, penyerahan serta pemberian suatu hutang hipotik
Pasal 1196 : KUasa untuk melakukan roya Hipotik

-Buku III tentang Perikatan
Pasal 1401 : dalam hal subrogasi
Pasal 1405 : Penawaran pembayaran tunai yang diikuti penyimpanan atau penitipan
Pasal 1406 : Penyimpanan atau konsinyasi dalam hal terjadi penawaran pembayaran tunai
Pasal 1682 : Hibak
Pasal 1683 : Kuasa menerima hibah
Pasal 1945 : Kuasa untuk mengangkat sumpah

II. Yang tercantum dalam UU no. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
Pasal 7 ayat 1 : Akta Pendirian atau Anggaran Dasar PT
Pasal 21 ayat 4 : Perubahan Anggaran Dasar Perseroan.

Selasa, 15 Desember 2009

PUTUSAN MA: SAUDARA BEDA AGAMA BOLEH MENDAPATKAN HARTA WARISAN


Selama ini, perbedaan agama dipandang sebagai salah satu faktor yang menghambat seseorang mendapatkan waris dari orang tuanya. Tetapi pandangan itu tampaknya mulai ditinggalkan. Pengadilan telah membuat putusan progresif.

Masyarakat Indonesia yang majemuk berpengaruh pada pola pembentukan keluarga. Acapkali ditemukan dalam satu keluarga, sesama saudara kandung memeluk agama yang berbeda. Mereka hidup rukun tanpa terusik oleh perbedaan keyakinan itu.

Namun dalam praktik, kerukunan itu sering terganggu oleh masalah pembagian harta warisan. Perbedaan agama telah menjadi penghalang. Menurut ajaran Islam, salah satu hijab hak waris adalah perbedaan agama. Seorang anak yang menganut agama lain di luar agama orang tuanya yang Muslim dengan sendirinya terhalang untuk mendapatkan waris.

Kaedah itu pula yang dianut hakim Pengadilan Agama Jakarta saat mengadili sengketa waris dalam keluarga alm H. Sanusi – Hj. Suyatmi. Pasangan suami istri ini memiliki enam orang anak yakni Djoko Sampurno, Untung Legianto, Siti Aisjah, Sri Widyastuti, Bambang Setyabudhi dan Esti Nuri Purwanti.

Sebelum H. Sanusi- Hj. Suyatmi meninggal dunia, salah seorang anaknya, bernama Sri Widyastuti, pindah agama. Meskipun berkali-kali diminta untuk kembali, Sri tetap pada pilihannya memeluk agama Kristen. Persoalan waris muncul ketika orang tua mereka meninggal dunia. Almarhum memang meninggalkan harta yang tersebar di Jakarta, Bogor dan Purworejo.

Anak kelima, Bambang Setyabudhi mengajukan gugatan dan meminta Pengadilan Agama Jakarta menetapkan ahli waris yang sah. Kebetulan seluruh anak-–minus Sri Widyastuti—sepakat harta waris orang tuanya dibagi berdasarkan hukum Islam. Di mata penggugat, Sri tidak layak lagi mendapatkan hak waris karena telah berpindah agama. Sebaliknya, Sri menolak pembagian secara Islam. Ia juga menganggap Pengadilan Agama (PA) bukan forum yang tepat untuk mengadili perkara waris yang dipersengketakan oleh orang yang berbeda agama. Menurut Sri, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, PA adalah forum peradilan bagi mereka yang beragama Islam; bukan bagi orang yang beragama Kristen seperti dirinya.

Rupanya PA Jakarta berpendapat lain. Mengacu pada Pasal 1 dan 2 jo Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, personal keislaman ditentukan oleh pewaris. Dalam kasus ini, karena pewaris H. Sanusi-Hj Suyatmi beragama Islam, maka yang diterapkan dalam pembagian waris adalah hukum Islam. Konsekuensinya, Sri Widyastuti terhijab untuk mendapatkan harta waris dari orang tuanya.

Argumen itu dimentahkan Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Jakarta dan Mahkamah Agung. Meskipun Sri Widyastuti tidak termasuk golongan ahli waris, ia tetap berhak atas harta warisan itu. Menariknya, majelis kasasi terdiri dari H. Taufiq, HM. Muhaimin dan H. Chabib Sjarbini, yang notabene adalah hakim-hakim agung kuat pemahaman keislamannya.

Menurut majelis kasasi, Sri Widyastuti berhak atas harta peninggalan kedua orang tuanya, baik harta peninggalan H. Sanusi maupun Hj. Suyatmi. Sri Widyatuti mendapatkan harta waris berdasarkan wasiat wajibah sebesar bagian anak perempuan ahli waris H. Sanusi dan Hj Suyatmi.

Pengadilan Tinggi Agama sebenarnya mengakui adanya hak Sri berdasarkan wasiat wajibah, tetapi jumlahnya hanya tiga perempat dari bagian seorang anak perempuan ahli waris. Mahkamah Agung mengubah jumlah harta yang bisa diperoleh Sri, dari tiga perempat menjadi sama dengan bagian yang diperoleh seorang ahli waris perempuan. Pertimbangan dan putusan MA yang mengakui hak anak yang berbeda agama atas waris terdapat dalam register perkara No. 368K/AG/1995. Putusan atas perkara ini baru dijatuhkan tiga tahun kemudian.


Catatan :
Wasiat dalam kewarisan hukum Islam merupakan suatu wadah untuk menampung hubungan antar generasi serta kedudukan masing-masing kaum krabat. Banyak pendapat tentang hukum dari wasiat ini. Antara lain, pendapat ulama Jumhur yaitu sunat hukumnya dan boleh untuk melakukan wasiat kepada siapa saja yang dikehendaki oleh si pemberi wasiat. 
 
Pendapat ibn Hazm mengatakan wasiat itu hukumnya wajib terutama untuk kaum krabat yang terhalang untuk mendapatkan warisan. Berawal dari pemikiran ibn Hazm, maka muncul wasiat wajibah yaitu wasiat yang pelaksanaanya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak si pewasiat, akan tetapi penguasa atau hakim sebagai aparat negara mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberikan putusan wasiat wajibah kepada kaum krabat tertentu. Hal itu telah dilakukan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam perkara No. 51.K/AG.1999. Wasiat wajibah yang diberikan Mahkamah Agung tersebut adalah untuk saudara kandung non muslim. 
 
Padahal, wasiat wajibah dalam Kompilasi Hukum Islam dianalogikan kepada anak angkat dan orang tua angkat. Sedangkan perbedaan agama tetap merupakan salah satu penghalang untuk dapat saling mewarisi. Setelah diteliti dari data-data yang telah dikumpulkan, Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim berdasarkan pemahaman Al-Quran surah Al-Baqarah /2:180., artinya wasiat suatu hal yang menjadi kewajiban bagi pemilik harta apabila ia telah mendekati ajalnya. Menurut ibn Hazm, kewajiban ini ditujukan untuk ayah dan ibu (orang tua) dan karib krabat terutama yang tidak dapat mewarisi apabila si pewaris sebelumnya tidak berwasiat. Pendapat ibn Hazm itulah jadi pertimbangan Mahkamah Agung dalam memberikan wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim yang kadar bagiannya sama dengan ahli waris saudara kandung muslim. Pertimbangan lainnya untuk menjaga keutuhan keluarga dan mengakomodir adanya realitas sosial masyarakat Indonesia yang pluralitas yang terdiri dari berbagai etnis dan keyakinan. Serta kemaslahatan untuk memenuhi rasa keadilan. Pemberian wasiat wajibah kepada saudara kandung non muslim ini telah memberikan sumbangan yang baru dalam pembaharuan hukum Islam di Indonesia, tapi bersifat terbatas. 
 
Artinya, ahli waris non muslim tetap sebagai orang yang terhalang untuk mendapatkan bagian dari harta peninggalan saudara kandungnya yang muslim. Upaya ini sebagai langkah positif bahwa hukum Islam tidaklah eksklusif dan diskriminatif terhadap pemeluk agama yang lain, tapi hukum Islam dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan kepada non muslim. 
 
Sebab Hukum Kewarisan Islam merupakan aspek yang sangat penting keberadaannya dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia. Karena hukum kewarisan Islam itu mengatur tentang peralihan kekayaan antar generasi dan kedudukan masing-masing kaum krabat. Persoalannya adalah Apakah masih ada hakim di peradilan agama yang menggunakan fikih dengan syariah untuk memutus perkara diperadilan agama?. Jika masih ada, tentunya putusan yang dihasilkan oleh peradilan agama akan berbeda-beda, meskipun dalam perkara yang sama, sehingga tidak ada kepastian hukum. Untuk itu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu menerbitkan suatu undang-undang sebagai pedoman bagi hakim peradilan agama dalam membuat keputusan bagi saudara kandung non muslim.

Other Description: The last will is Islamic legacy law is place where the inter-generation relationship and the position of respective relatives can be accommodated. There are many opinions concerning this Islamic legacy law. According to the Jumhur Islamic scholars, it is sunat which means that the last will can be given to anybody desired by the will giver while Ibn Hazm argued that the will is wajib to give the will especially to the relatives who have constraint to receive the legacy. The opinion of Ibn Hazm, resulted in the wasiat wajibah, a will whose implementation is not influenced or does not depend on the desire of the will giver but the judge as a government apparatus as an authority to force or decide to give the wasiat wajibah to a certain relative. This practice has been implemented by the Supreme Court of the Republic of Indonesia for the case No. 51.K.AG.1999. The wasiat wajibah given by by the Supreme Court is for a non- Moslem brother of the same parents even though, in the Compilation of Islamic Law, its analogy is for adopted parents and the different religion is still on of the constraints to mutually inherit. The result of the study on the collected data shows that the supreme Court gave the wasiat wajibah to a non-moslem brotherof the same parents was based on the understanding of Al-Quran surah Al-Baqarah 2:180 which means will is a must for the owner of property when he/she is dying. According to Ibn Hazm, this is compulsory to the ather or mother ( parents) and the relatives especially who cannot inherit if the property owner has not made his/her will. This opinion of Ibn Hazm became the consideration for the supreme Court in the process of giving the wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parents whose share is equal to that of his Moslem brother of the same parents. The other consideration was that it is important to maintain the unity of the family and to accommodate the social reality in the plural Indonesian community consisting of various ethicities and faiths and the good things to meet the feeling of justice. The provision of wasiat wajibah to a non- Moslem brother of the same parent has given a new contribution in the restricted development of Islamic law in Indonesia, meaning, that a non-moslem heir still a person who are constrained to have is/her share from the heritage belonged to his Moslem brother of the same parents. This is a positive step to show that Islamic las is exclusive and discriminative to the non- moslem because the Islamic law can give a protection and the feeling of justice to the non-moslems. The existence of the Islamic legacy law is an important aspect in the development of Islamic law in Indonesia because it regulated the inter generation property transfer and the position of respective relatives. The question is whether or not there is a judge in the religious (Islamic) court who still uses fikih and syariah as the base to make a court decision in the religious (Islamic) court? There still is, the decision made by the judge in the religious (Islamic) court must be different, even in the same case, that there will be no legal certainty. Hence, the government and the legislative members need to issue a law as a guidance for the judges saerving in the religious (Islamic) court in making their decision for the non-moslem brother of the same parents.


Fatwa Tentang Waris Beda Agama
MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA TAHUN 2005

KEPUTUSAN FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005
Tentang
KEWARISAN BEDA AGAMA

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII, pada 19-22 Jumadil
Akhir 1426 H. / 26-29 Juli 2005 M., setelah

MENIMBANG :
a. bahwa belakangan ini sering terjadi kewarisan beda agama;
b. bahwa sering dimunculkan pendapat-pendapat yang membolehkan kewarisan beda agama;
c. bahwa oleh karena itu MUI memandang perlu untuk menetapkan

MENGINGAT : 1. Firman Allah:
“Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Nisa [4] : 11)

“…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”. (QS. al-Nisa [4]: 141).

2. Hadis Rasul Allah s.a.w.
Dari Usamah bin Zaid r.a., sesungguhnya nabi s.a.w. bersabda:
“Orang Muslim tidak (boleh) mewarisi orang Kafir, dan orang Kafir tidak (boleh) mewarisi orang Muslim" (HR. muttafaq alaih).

Dari Abdullah bin Umar r.a., dia berkata: Rasul Allah s.a.w. bersabda:“tidak ada saling mewarisi antara dua pemeluk agama (yang berbeda) (HR. Ahmad, imam empat dan Turmudzi).

MEMPERHATIKAN:
1. Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
2. PP. no 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU no 1/1974 tentang Perkawinan.
3. Instruksi Presiden no 1 tahun 1990 tentang Kompilasi Hukum Islam.
4. Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEWARISAN BEDA AGAMA

1. Hukum waris Islam tidak memberikan hak saling mewarisi antar orang-orang yang berbeda agama (antara muslim dengan nonmuslim);
2. Pemberian harta antar orang yang berbeda agama hanya dapat dilakukan dalam bentuk hibah, wasiat dan hadiah.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H.
28 J u l i 2005 M

MUSYAWARAH NASIONAL VII
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa
Ketua, Ttd, K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris, Ttd, Drs. H. HASANUDIN, M.Ag
Pimpinan Sidang Pleno
Ketua, Ttd. Prof. Dr. H. UMAR SHIHAB
Sekretaris, Ttd. Prof. Dr. H.M. DIN SYAMSUDDIN