Pembeli Bisa Minta Bantuan Polisi Setelah kewenangan Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BPUPLN) dikurangi, kerja pengadilan justru kian menumpuk. Sebab, banyak kasus sengketa lelang bermuara di lembaga peradilan.
Terobosan pun dibuat. Tak semua urusan lelang harus diproses di pengadilan, tapi dengan cara parate eksekusi.
Berikut kutipan wawancara dengan Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung DR. HARIFIN A. TUMPA, SH, MH. (sekarang Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia).
Banyak sengketa lelang yang terjadi. Misalnya, seorang pemenang lelang tak bisa mengambil alih aset karena dihalang-halangi debitor. Bagaimana solusinya?
Harus dipahami bahwa pelelangan terhadap suatu objek bisa terjadi karena melalui putusan peradilan.
Yakni, tergugat dihukum membayar sejumlah uang tetapi dia tidak mau, sehingga barang-barangnya disita kemudian dilelang.
Kemungkinan yang kedua, pelelangan yang terjadi atas permintaan dari kreditor (bank) yang berdasarkan UU Hak Tanggungan (UU No 4 Tahun 1996) kreditor memang bisa menjual sendiri barang yang dijadikan hak tanggungan atau parate eksekusi.
Masalahnya? Permasalahannya, kadang pembeli lelang yang akan menguasai barang, tak bisa karena pihak pemilik lama tak mau menyerahkan. Maka, dia bisa mempergunakan pasal 200 ayat 11 HIR (soal eksekusi pengosongan).
Dalam Rakernas Makassar 2007, MA menetapkan terobosan. Walaupun pelelangan itu dilakukan tanpa melalui proses hukum pengadilan (parate eksekusi), maka dia (pembeli lelang) bisa minta menggunakan Pasal 200 ayat 11 HIR tersebut.
Latar belakangnya, ada pengadilan yang mau menerima permohonan dan ada yang menolak dan pemohon harus mengakukan gugatan lagi ke pengadilan.
Menurut pendapat MA, itu suatu hal yang berbelit-belit dan tidak punya dasar. Bagaimana prosedur pemakaian pasal 200 ayat 11 HIR? Dalam pasal dikatakan pembeli lelang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan.
Yakni, pengosongan atas perintah pengadilan. Kalau perlu bisa minta bantuan polisi untuk mengosongkan.
Bagaimana kalau asetnya berupa benda bergerak, misalnya saham?
Kalau saham, hampir-hampir tak mungkin dilakukan penyitaan karena merupakan barang yang tidak berwujud. Yang bisa dilakukan sesuai UU Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal), pihak yang bersangkutan bisa minta ketua pengadilan lantas diteruskan ke Ketua Pengadilan Tinggi yang kemudian meminta Bapepam untuk melakukan pemblokiran. Meski penyitaan tak dilarang dalam hukum acara, tetapi dalam praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan.
Bagaimana dengan upaya perlawanan pihak pemilik aset? Setiap upaya eksekusi (pengosongan) dapat diajukan perlawanan. Apabila ada perlawanan, maka perlawanan harus diperiksa lebih dahulu.
Perlawanan sebenarnya tidak menunda eksekusi, kecuali ketua PN menganggap perlawanan beralasan atau ada tanda-tanda beralasan. Maka dia bisa mengeluarkan perintah untuk ditunda.
Semua eksekusi bisa dilakukan perlawanan oleh pihak ketiga.
Misalnya, tahu-tahu tanah dilelang padahal (dia) punya sertifikat. Putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Begitupun hak tanggungan itu.
Jika gugatan perlawanan diterima, bagaimana status aset?
Perlawanan adalah semacam perkara. Kalau dalam perlawanan itu, dia bisa buktikan bahwa dasar eksekusi cacat atau ada cacat dalam eksekusi, maka mungkin saja itu dikabulkan. Itu nanti berdasarkan bukti-bukti apakah si pelawan bisa membuktikan eksekusi cacat atau dasar eksekusi cacat.
Siapa yang bertanggungjawab atas biaya yang telanjur dikeluarkan pihak pembeli lelang? Dia bisa minta pada penjual lelang itu atau pemohon penjual lelang.Tanggung jawabnya ada pada penjual lelang. Lewat pengadilan, si pembeli lelang bisa minta ganti rugi.
Untuk menghindari sengketa di kemudian hari, apa yang bsia dilakukan para peserta lelang?
Pertama, memastikan aset yang dilelang adalah milik penjual lelang.
Kedua, dia harus betul-betul memenuhi prosedur lelang. Apakah sebelum lelang sudah diumumkan, apakah harga taksiran lelang sudah ada?
Soal pengumuman lelang itu punya arti penting? Agar terbuka bagi umum dan tak ada kongkalikong di situ. Kalau dilakukan secara tertutup itu bukan lelang namanya. Pelelangan harus melibatkan masyarakat secara umum, tak bisa satu orang. Setiap orang boleh ajukan penawaran. Kalau tak diumumkan, bagaimana orang lain bisa tahu. Semakin terbuka semakin kredibel.
Jika prosedur tak diperhatikan, apakah fatal?
Kalau prosedur benar, bisa dipastikan yang jual barang yang punya, ya aman saja. Kalau ada prosedur cacat, bisa saja lelang dibatalkan oleh pengadilan. Katakanlah tidak diumumkan sesuai syarat, yakni dua kali, tapi hanya satu kali atau tidak sama sekali. Itu prosedur cacat. Bisa jadi pertimbangan hakim untuk membatalkan lelang.
Terobosan pun dibuat. Tak semua urusan lelang harus diproses di pengadilan, tapi dengan cara parate eksekusi.
Berikut kutipan wawancara dengan Ketua Muda Perdata Mahkamah Agung DR. HARIFIN A. TUMPA, SH, MH. (sekarang Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia).
Banyak sengketa lelang yang terjadi. Misalnya, seorang pemenang lelang tak bisa mengambil alih aset karena dihalang-halangi debitor. Bagaimana solusinya?
Harus dipahami bahwa pelelangan terhadap suatu objek bisa terjadi karena melalui putusan peradilan.
Yakni, tergugat dihukum membayar sejumlah uang tetapi dia tidak mau, sehingga barang-barangnya disita kemudian dilelang.
Kemungkinan yang kedua, pelelangan yang terjadi atas permintaan dari kreditor (bank) yang berdasarkan UU Hak Tanggungan (UU No 4 Tahun 1996) kreditor memang bisa menjual sendiri barang yang dijadikan hak tanggungan atau parate eksekusi.
Masalahnya? Permasalahannya, kadang pembeli lelang yang akan menguasai barang, tak bisa karena pihak pemilik lama tak mau menyerahkan. Maka, dia bisa mempergunakan pasal 200 ayat 11 HIR (soal eksekusi pengosongan).
Dalam Rakernas Makassar 2007, MA menetapkan terobosan. Walaupun pelelangan itu dilakukan tanpa melalui proses hukum pengadilan (parate eksekusi), maka dia (pembeli lelang) bisa minta menggunakan Pasal 200 ayat 11 HIR tersebut.
Latar belakangnya, ada pengadilan yang mau menerima permohonan dan ada yang menolak dan pemohon harus mengakukan gugatan lagi ke pengadilan.
Menurut pendapat MA, itu suatu hal yang berbelit-belit dan tidak punya dasar. Bagaimana prosedur pemakaian pasal 200 ayat 11 HIR? Dalam pasal dikatakan pembeli lelang dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan.
Yakni, pengosongan atas perintah pengadilan. Kalau perlu bisa minta bantuan polisi untuk mengosongkan.
Bagaimana kalau asetnya berupa benda bergerak, misalnya saham?
Kalau saham, hampir-hampir tak mungkin dilakukan penyitaan karena merupakan barang yang tidak berwujud. Yang bisa dilakukan sesuai UU Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal), pihak yang bersangkutan bisa minta ketua pengadilan lantas diteruskan ke Ketua Pengadilan Tinggi yang kemudian meminta Bapepam untuk melakukan pemblokiran. Meski penyitaan tak dilarang dalam hukum acara, tetapi dalam praktiknya hal itu tidak mungkin dilakukan.
Bagaimana dengan upaya perlawanan pihak pemilik aset? Setiap upaya eksekusi (pengosongan) dapat diajukan perlawanan. Apabila ada perlawanan, maka perlawanan harus diperiksa lebih dahulu.
Perlawanan sebenarnya tidak menunda eksekusi, kecuali ketua PN menganggap perlawanan beralasan atau ada tanda-tanda beralasan. Maka dia bisa mengeluarkan perintah untuk ditunda.
Semua eksekusi bisa dilakukan perlawanan oleh pihak ketiga.
Misalnya, tahu-tahu tanah dilelang padahal (dia) punya sertifikat. Putusan pengadilan hanya mengikat pihak-pihak yang bersengketa. Begitupun hak tanggungan itu.
Jika gugatan perlawanan diterima, bagaimana status aset?
Perlawanan adalah semacam perkara. Kalau dalam perlawanan itu, dia bisa buktikan bahwa dasar eksekusi cacat atau ada cacat dalam eksekusi, maka mungkin saja itu dikabulkan. Itu nanti berdasarkan bukti-bukti apakah si pelawan bisa membuktikan eksekusi cacat atau dasar eksekusi cacat.
Siapa yang bertanggungjawab atas biaya yang telanjur dikeluarkan pihak pembeli lelang? Dia bisa minta pada penjual lelang itu atau pemohon penjual lelang.Tanggung jawabnya ada pada penjual lelang. Lewat pengadilan, si pembeli lelang bisa minta ganti rugi.
Untuk menghindari sengketa di kemudian hari, apa yang bsia dilakukan para peserta lelang?
Pertama, memastikan aset yang dilelang adalah milik penjual lelang.
Kedua, dia harus betul-betul memenuhi prosedur lelang. Apakah sebelum lelang sudah diumumkan, apakah harga taksiran lelang sudah ada?
Soal pengumuman lelang itu punya arti penting? Agar terbuka bagi umum dan tak ada kongkalikong di situ. Kalau dilakukan secara tertutup itu bukan lelang namanya. Pelelangan harus melibatkan masyarakat secara umum, tak bisa satu orang. Setiap orang boleh ajukan penawaran. Kalau tak diumumkan, bagaimana orang lain bisa tahu. Semakin terbuka semakin kredibel.
Jika prosedur tak diperhatikan, apakah fatal?
Kalau prosedur benar, bisa dipastikan yang jual barang yang punya, ya aman saja. Kalau ada prosedur cacat, bisa saja lelang dibatalkan oleh pengadilan. Katakanlah tidak diumumkan sesuai syarat, yakni dua kali, tapi hanya satu kali atau tidak sama sekali. Itu prosedur cacat. Bisa jadi pertimbangan hakim untuk membatalkan lelang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar