Bank Indonesia (BI) menyatakan, aturan Loan To Value (LTV) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Down Payment (DP) Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) sudah disiapkan sejak lama.
Bank sentral menilai saat ini adalah momen yang tepat dalam penerapannya. Kalau dilihat kecepatan perkembangan ekonomi, kemungkinan perlambatan itu ada. Tapi, bagaimana pun juga harus ada keberanian untuk dimulai sekarang.
Kalau pun pertumbuhan kredit secara keseluruhan terus berlangsung, namun untuk kredit konsumsi bisa diperlambat pertumbuhannya melalui aturan tersebut. Dalam beleid baru, aturannya adalah DP untuk motor 25% dan mobil 30%, sementara untuk mobil keperluan produktif 20%.
Terkait hal tersebut, bank sentral mengeluarkan Surat Edaran Ekstern No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB).
Untuk LTV KPR ditetapkan maksimal sebesar 70% untuk kriteria bangunan di atas 70 m2, dengan demikian penetapan uang muka atau Down Payment (DP) untuk KPR minimal sebesar 30% dari harga jual.
Rasio LTV adalah angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan pada saat awal pemberian kredit, dan ditetapkan maksimal 70%. Ruang lingkup KPR yang dimaksud meliputi kredit konsumsi kepemilikan rumah tinggal, termasuk rumah susun atau apartemen namun tidak termasuk rumah kantor dan rumah toko, dengan tipe bangunan lebih dari tujuh puluh meter persegi.
Pengaturan mengenai LTV dikecualikan terhadap KPR dalam rangka pelaksanaan program perumahan pemerintah.
Penjelasan untuk keperluan produktf sesuai pengaturan Surat Edaran, adalah bila memenuhi salah satu syarat yakni merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang dikeluarkan pihak berwenang untuk melakukan kegiatan usaha tertentu, atau diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu yang dikeluarkan pihak berwenang dan digunakan untuk mendukung kegiatan operasional dari usaha yang dimiliki.
Penetapan uang muka yang lebih rendah untuk kendaraan bermotor yang bersifat produktif bertujuan untuk mewujudkan keberpihakan pada pihak-pihak yang memanfaatkan kredit kendaraan bermotor yang secara resmi digunakan untuk kegiatan produktif namun tetap mempertimbangkan aspek prudensial.
Terhitung sejak penetapan ketentuan, BI memberikan masa transisi ketentuan selama tiga bulan. Waktu tersebut dianggap memadai bagi bank untuk melakukan penyesuaian Standard Operating Procedures (SOP), sosialisasi serta penyesuaian pelaporan ke BI. Setelah masa transisi, seluruh KPR dan KKB harus diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengenaan sanksi diberikan kepada bank yang melanggar ketentuan tersebut di atas berupa pengenaan sanksi adminsitratif sebagaimana tertuang dalam PBI No. 11/25/PBI/2009 tanggal 1 Juli 2009 mengenai Penerapan manajemen Risiko.
Hakikatnya BI memang ingin mendorong pertumbuhan kredit, tapi untuk pertumbuhan kredit yang sifatnya konsumtif diharapkan dapat lebih lambat, pertimbangan lain adalah agar pemberian kredit tidak dilakukan tanpa down payment yang jelas. Itulah mendasari lahirnya Surat Edaran Bank Indonesia No. 14/10/DPNP tentang Penerapan Manajemen Risiko pada Bank yang Melakukan Pemberian Kredit Pemilikan Rumah dan Kredit Kendaraan Bermotor.
Besaran LTV yang ditetapkan tersebut diambil dengan pertimbangan bahwa angka itu tidak jauh dari praktik di lapangan selama ini serta membandingkan dengan kelaziman yang berlaku di negara-negara lain.
Gayung bersambut, ternyata Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) juga menyepakati aturan mengenai pembatasan kredit itu dan akan mengeluarkan kebijakan serupa bagi lembaga keuangan. Jadi substansi aturan baru ini lebih bagus lagi karena sama-sama ditujukan bagi lembaga perbankan dan pembiayaan,
Sejauh ini pertumbuhan kredit konsumtif, yaitu KPR dan KKB pada 2011 adalah sekitar 33%, atau lebih besar dibanding pertumbuhan kredit keseluruhan yang hanya sebesar 24-25%. BI berkilah, dampak pengaturan ini besar, tapi hanya memperlambat. Selain untuk mengurangi kredit konsumtif, keputusan tersebut juga ditujukan untuk memperlambat impor kendaraan bermotor.
Masalahnya yang dihadapi sekarang adalah pertumbuhan impor lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekspor sehingga perlu untuk memperlambat impor. Dalam konteks ini, sebenarnya mobil dan motor pun diimpor walaupun kemudian dirakit di Indonesia. Jadi BI optimis pembatasan KPR dan KKB tidak akan berdampak besar pada perhitungan konsumsi rumah tangga yang dijadikan pemerintah sebagai motor pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012.
Bagaimana respon pelaku industry terhadap peraturan yang baru itu? Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai, ada baiknya masalah penentuan DP kredit kendaraan bermotor ada diserahkan ke perusahaan pembiayaan (multifinance).
Hal ini dilakukan karena mengenai masalah ini pihak perusahaan pembiayaan jauh lebih mengerti mengenai kondisi konsumen. Berdasarkan pengalaman mereka, perusahaan pembiayaan jauh lebih pintar. Bila bercermin dari pengalaman saat konsumen membeli kendaraan dan ketika ditawarkan DP yang bersangkutan tidak menawar, justru konsumen seperti ini yang berbahaya dan berpotensi terjadinya kredit macet karena tak mampu membayar.
Karena itu, melihat kondisi ini ketentuan penetapan DP minimum 30% oleh BI tidak diberlakukan. Karena berdasarkan data Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), kredit bermasalah (NPL)-nya telah menurun ke level 1,3%.
Perbankan menilai kebijakan BI ini memang bagus karena dimaksudkan untuk menekan NPL dan potensi bubble di kredit konsumtif. Karena dengan demikian kualitas kredit dapat dijaga dengan baik.
Masyarakat konsumen tentu tidak akan keberatan dengan beleid baru BI ini karena spiritnya bagus yakni melindungi kepentingan debitur konsumtif. Seleksi alam juga terjadi karena calon debitur yang berkemampuan finansial pasa-pasan tidak akan sembrono mengajukan kredit. Jadi yang mengajukan kredit konsumtif memang yang benar-benar berkualitas baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar