Kehadiran Majelis Pengawas Daerah seperti yang diatur dalam Pasal 66 UUJN telah memberikan harapan mengenai seharusnya seperti apa Notaris dan akta Notaris dinilai oleh insitusi yang memahami dan mengerti Notaris. Sudah tentu dalam melakukan pemeriksaan Notaris atas permintaan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan, MPD akan bersidang dan menilai tindakan Notaris dan akta Notaris yang bersangkutan berdasarkan Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) dan Hukum Kenotariatan Indonesia.
Ketika MPD tidak mengizinkan seorang Notaris untuk memenuhi panggilan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim dengan alasan Notaris yang bersangkutan dalam membuat akta telah sesuai dengan prosedur pembuatan akta yang benar berdasarkan UUJN, maka untuk Notaris yang bersangkutan telah selesai perbuatan hukumnya, artinya, akta yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris telah memenuhi syarat lahir, formal dan materil.
Dalam praktek sekarang ini banyak ditemukan suatu kenyataan, ketika seorang Notaris oleh MPD tidak diizinkan untuk memenuhi panggilan Penyidik, Penuntut Umum, Hakim, maka (khususnya Penyidik dari Kepolisian) akan berupaya untuk mencari cara atau celah lain, dengan maksud untuk memperoleh kebenaran materil, dan yang dilakukan oleh Penyidik yaitu memanggil saksi-saksi akta. atau membidik saksi-saksi yang tersebut dalam akhir akta, dengan keterangan yang diperoleh dari saksi akta tersebut, berharap dapat memeriksa Notaris yang bersangkutan atau terkadang dibalik para saksi akta dipanggil terlebih dahulu, setelah mendapat keterangan dari para saksi tersebut, kemudian Penyidik akan memanggil Notarisnya melalui MPD. Sehingga apakah yang dilakukan oleh Penyidik, hakim atau Kejaksaan sesuatu yang benar menurut UUJN ? Apakah ini berarti telah terjadi membuka rahasia jabatan Notaris melalui Saksi Akta ?
Kita bisa membayangkan tidak akan ada kepastian hukum, jika saksi dalam akta Notaris diperlakukan seperti itu, dan selama hidupnya saksi akta akan dihantui pemanggilan oleh penyidik entah kapan saja, tidak menutup kemungkinan ketika mantan saksi tersebut sudah tua renta tanpa daya dan upaya dipanggil sebagai saksi oleh Penyidik.
Saksi secara umum. Saksi ada 2 (dua), yaitu : (1) mereka yang secara kebetulan melihat, mendengar sendiri peristiwa-peristiwa yang jadi persoalan, dan (2) saksi-saksi yang pada waktu perbuatan hukum dilakukan sengaja telah diminta untuk menjadi saksi. Menurut Pasal 171 HIR bahwa yang diterangkan oleh saksi adalah apa yang ia lihat, dengar atau rasakan sendiri, lagi pula tiap-tiap kesaksian harus disertai alasan-alasan apa sebabnya, bagaimana ia sampai mengetahui hal-hal yang diterangkan olehnya. Perasaan yang istimewa, yang terjadi karena akal, tidak dipandang sebagai penyaksian.
Kedudukan Saksi Akta Notaris berbeda dengan saksi pada umumnya sebagaimana tersebut di atas. Selain Akta Notaris atau saksi pada umumnya merupakan saksi yang mendengar, melihat sendiri suatu peristiwa yang terjadi, misalnya jika terjadi jual beli dan dilakukan penyerahan uang pembelian dari pembeli kepada penjual, maka secara fisik saksi tersebut melihat sendiri peristiwa tersebut. Tapi dalam saksi akta, jika para pembeli telah menyerahkan uang pembelian kepada penjual yang dilakukan transfers antar bank, yang hanya dapat dibuktikan dengan bukti transfers, kemudian akta jual belinya di hadapan Notaris, apakah sama pengetahuan saksi pada kedua peristiwa hukum tersebut mengenai penyerahan uang pembelian ? Maka saksi selain saksi akta mengetahui dengan betul peristiwa hukum yang terjadi dalam transaksi tersebut, sedangkan saksi akta tidak tahu apapun tentang penyerahan uang tersebut secara fisik. Berdasarkan ilustrasi sederhana tersebut bahwa kedudukan saksi akta Notaris merupakan perintah undang-undang (UUJN) untuk memenuhi syarat formal akta Notaris.
Saksi Akta Notaris merupakan para saksi yang ikut serta di dalam pembuatan terjadinya akta (instrumen), maka dari itulah disebut Saksi Instrumentair (Instrumentaire Getuigen). Mereka dengan jalan membubuhkan tanda tangan mereka, memberikan kesaksian tentang kebenaran adanya dilakukan dan dipenuhinya formalitas-formalitas yang diharuskan oleh UUJN, yang disebutkan dalam akta tersebut.
Bahwa salah satu syarat formal akta Notaris sebagaimana tersebut dalam Pasal 38 UUJN, dan mengenai Saksi (Saksi Instrumentair) ini ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (4) huruf c UUJN, bahwa pada akhir atau penutup akta harus memuat nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan tempat tinggal dari tiap-tiap saksi. Ketika syarat formal ini tidak dipenuhi, maka akta tersebut terdegradasi kedudukannya menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan (Pasal 1869 – 1870 KUHPerdata).
Secara keseluruhan akta Notaris, akan disebut akta Notaris lengkap jika semua syarat formal tersebut dipenuhi sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kedudukan saksi akta yang merupakan salah satu syarat formal sudah dipertanggungjawabkan secara hukum, oleh karena itu ketika Notaris oleh MPD tidak diperkenankan untuk memenuhi panggilan Penyidik, yang berarti akta tersebut telah benar secara hukum. Oleh karena itu tidak perlu lagi Penyidik mengambil tindakkan hukum lain, dengan cara memanggil saksi akta untuk diminta keterangan, yang dari keterangan saksi akta tersebut akan dikonfrontasikan dengan Notarisnya atau sebaliknya saksi aktanya dipanggil terlebih dahulu, kemudian dipanggil Notarisnya dan nanti diknfrontasikan dengan keterangan saksi akta. Cara apapun yang dilakukan tersebut sudah tidak sesuai dengan UUJN dan Hukum Kenotaritan Indonesia.
Notaris merupakan jabatan kepercayaan, hal ini mengandung makna, yaitu mereka yang menjalankan tugas jabatan dapat dipercaya dan karena jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan, sehingga jabatan Notaris sebagai jabatan kepercayaan dan orang yang menjalankan tugas jabatan juga dapat dipercaya yang keduanya saling menunjang. Oleh karena itu Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya punya kewajiban merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 16 ayat (1) huruf e UUJN). Ditegaskan pula dalam Penjelasan huruf e bahwa kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut. Sudah menjadi kewajiban Notaris untuk mempertahankan rahasia jabatan tersebut, karena bagaimana jadinya Notaris akan disebut sebagai jabatan yang dipercaya, ternyata rahasia jabatan kepercayaan tersebut dapat dibongkar oleh Penyidik melalui keterangan Saksi Akta yang dipanggil oleh Penyidik ?. Bagi Notaris sendiri melakukan pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dijatuhi sanksi sebagaimana tersebut dalam Pasal 85 UUJN.
Sehingga ketika Notaris tidak diizinkan MPD untuk memenuhi panggilan Penyidik, tapi kemudian Penyidik bertindak memanggil saksai akta Notaris, maka sebenarnya telah terjadi pembongkaran rahasia jabatan melalui Saksi Akta. Inilah makna yang tidak diketahui dan dipahami oleh Penyidik yang dapat melululantakkan sendi-sendi otensitas akta Notaris.
Padahal seharusnya dipahami, sebuah akta Notaris tidak boleh diperlakukan secara parsial di hadapan hukum, tapi harus dipahami secara menyeluruh (holistic-integral), mulai dari awal akta sampai akhir akta, dengan kata lain pemanggilan saksi akta tersebut membuktikan ketidakmampuan pihak-pihak tertentu tersebut dalam memahami akta Notaris, dengan kata lain pemanggilan saksi akta yang tersebut dalam akhir akta tersebut merupakan suatu penyimpangan dan kesalahkaprahan dan tidak perlu dilakukan dan telah terjadi pembongkaran rahasia melalui pemanggilan dan keterangan dari Saksi Akta.
Berdasarkan uraian di atas, dapat kita mengerti, jika mereka yang namanya dalam akta sebut karena tidak mau melaksanakan isi akta atau ada pihak yang dirugikan bukan dengan cara menyeret Notaris dan para Saksi Akta kepada kepolisian atau Penyidik. Tapi aktanya yang menjadi dasar, karena akan terjadi ketidakkonsistenan dalam pembuktian, ketika Notaris dan Saksi Aktanya masih hidup, maka Notaris dan Saksi Aktanya akan dimintai keterangan, tapi ketika Notaris dan Saksi Aktanya sudah meninggal dunia, sudah tidak mungkin lagi dimintai keterangan, kecuali dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di atas batu nisan yang bersangkutan. Oleh karena itu fokusnya pada aktanya, bukan mempersoalkan Notaris dan Saksi Akta. Jadi sangat tidak sesuai atau bertentangan dengan UUJN jika Penyidik, Hakim, Kejaksaan memanggil Saksi Akta, karena Saksi Akta merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari formalitas-formalitas akta Notaris sebagai akta otentiik.
-------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar