Sabtu, 17 Desember 2011

TANGGUNG JAWAB NOTARIS TERHADAP AKTA OTENTIK YANG DIBUATNYA


A. Latar Belakang

Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana kekuasaan tunduk pada hukum. Sebagai negara hukum, maka hukum mempunyai kedudukan paling tinggi dalam pemerintahan, hukum adalah perlindungan kepentingan manusia. Hukum mengatur segala hubungan antar individu atau perorangan dan individu dengan kelompok atau masyarakat maupun individu dengan pemerintah. Prinsip negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum menuntut antara lain bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subyek hukum dalam masyarakat. 

Tuntutan terhadap perlindungan hukum dalam kehidupan masyarakat salah satunya tercermin dalam lalu lintas hukum pembuktian, yaitu perlunya akta otentik dapat dilihat dari sejarah perkembangan notaris di Indonesia. Sejarah perkembangan notaris diawali pada zaman Romawi. "Perkataan Notaris berasal dari perkataan Notarius, ialah nama yang ada pada zaman Romawi, diberikan kepada orang - orang yang menjalankan pekerjaan menulis". Pada masa pemerintahan Gereja, Notariil dikenal dan mempunyai kedudukan yang penting. Notariil gereja ini dapat dibagi menjadi dua golongan: Mereka yang bekerja di bawah gereja atau di bawah pejabat gereja yang lebih rendah dari Paus; Mereka yang diangkat oleh gereja atau oleh pejabat gereja, dan ditugaskan untuk memberi bantuan kepada publik untuk urusan-urusan yang tidak semata-mata mengenai gereja. Mereka ini dinamakan "Clericus notarius publicus ".

Menurut GHS Lumban Tobing, dalam bukunya Peraturan Jabatan Notaris, lembaga notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 dengan beradanya Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia. Sejak kehadiran Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia lalu lintas hukum perdagangan dilakukan dengan akta notariil, hal ini berdasarkan pendapat Notodisoerjo menyatakan bahwa ”Lembaga Notariat telah dikenal di negara Indonesia, yaitu sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, semula lembaga ini diperuntukkan bagi golongan Eropa terutama dalam bidang hukum perdata, yaitu Burgelijk Wetboek”. Berdasarkan hal tersebut, lembaga notariat yang sebenarnya hanya diperuntukkan bagi kalangan golongan Eropa dalam lapangan hukum perdata, namun dalam perkembangan selanjutnya masyarakat Indonesia secara umum dapat membuat suatu perjanjian yang dilakukan di hadapan Notaris.  

Hal ini menjadikan Lembaga Notariat sangat dibutuhkan keberadaannya di tengah-tengah masyarakat. Setelah Indonesia merdeka, sejak tanggal 17 Agustus 1945, keberadaan notaris di Indonesia tetap diakui berdasarkan ketentuan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Dengan demikian peraturan tentang notaris pada jaman jajahan Belanda yaitu Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) tetap berlaku di Indonesia. Pada tanggal 13 Nopember 1954 telah diberlakukan Undang­Undang nomor 33 tahun 1954, yang menegaskan berlakunya Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) sebagai Reglement tentang Jabatan Notaris di Indonesia (pasal 1 huruf a) untuk notaris Indonesia. Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) pada tanggal 6 Oktober 2004, pasal 91 UUJN telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi : Reglement op Het Notaris Ambt in Nederlands Indie (Stbl.1860 : 3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam lembaran Negara 1954 Nomor 101; Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris; Undang-undang nomor 33 tahun 1954; Pasal 54 Undang-undang nomor 8 tahun 2004 tentang perubahan atas undang-undang nomor 2 tahun 1986 tentang peradilan umum; Peraturan pemerintah nomor 11 tahun 1949 tentang sumpah/janji Jabatan Notaris.

Jika dibandingkan fungsi Notaris pada zaman sekarang sangat berbeda dengan Notarius pada zaman Romawi tersebut. Pada abad ke-13 Masehi akta yang dibuat oleh notaris memiliki sifat sebagai akta umum yang diakui, dan untuk selanjutnya pada abad ke-15 barulah akte notaris memiliki kekuatan pembuktian. Meskipun hal ini tidak pernah diakui secara umum, tetapi para ahli berpendapat mengenai akta notaris sebagai alat bukti di persidangan dan secara substansial merupakan alat bukti yang mutlak sehingga mempunyai konsekuensi tersendiri dari sifat mutlaknya tersebut. Hal senada diutarakan oleh R. Soegondo Notodisoerjo, 1993 bahwa: Akta notaris dapat diterima dalam sidang di Pengadilan sebagai alat bukti yang mutlak mengenai isinya, walaupun terhadap akta itu masih dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh para saksi, apabila mereka yang membuktikan tersebut dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan dalam akte itu adalah tidak benar.

Perkembangan lalu lintas hukum yang komplek dalam kehidupan bermasyarakat, semakin menuntut akan adanya kepastian hukum terhadap hubungan hukum individu maupun subyek hukum. Semenjak itulah akte notaris dibuat tidak hanya sekedar catatan atau bukti untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, tetapi lebih ditujukan untuk kepentingan kekuatan pembuktiannya, sehingga diharapkan dapat memberikan kepastian hukum di kemudian hari. 

Dengan pesatnya lalu lintas hukum dan tuntutan masyarakat akan pentingnya kekuatan pembuktian suatu akta, sehingga menuntut peranan Notaris sebagai pejabat umum harus dapat selalu mengikuti perkembangan hukum dalam memberikan jasanya kepada masyarakat yang memerlukan dan menjaga akta-akta yang di buatnya untuk selalu dapat memberikan kepastian hukum. 

Dengan demikian diharapkan bahwa keberadaan akta otentik notaris akan memberikan jaminan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh. Seiring dengan semakin berkembangnya jaman, masyarakat semakin menyadari perlunya perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh para pihak dibuat secara otentik untuk menjamin kepastian hukum dan sebagai alat bukti yang kuat dikemudian hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keberadaan jabatan sebagai notaris sangat penting dan dibutuhkan masyarakat luas, mengingat fungsi notaris adalah sebagai Pejabat Umum yang membuat alat bukti tertulis berupa akte otentik. 

Akta Otentik yang dibuat oleh notaris ada 2 (dua) macam, yaitu : Ambtelijk acten, procesverbaal acten dan Party acten. Ambtelijk acten, procesverbaal acten dimaksudkan yaitu akta yang dibuat oleh (door enn) notaris atau yang dinamakan "akta relaas" atau "akta pejabat" (ambtelijke akten) sebagai akta yang dibuat oleh notaris berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh notaris tersebut. Akta jenis ini diantaranya akta berita acara rapat umum pemegang saham perseroan terbatas, akta pendaftaran atau inventarisasi harta peninggalan dan akta berita acara penarikan undian. 

Sedangkan Party acten atau akta para pihak dimaksudkan sebagai akta yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris berdasarkan kehendak atau keinginan para pihak dalam kaitannya dengan perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak tersebut, dinamakan "akta partij" (partij aktan). Akta jenis ini diantaranya akta jual beli, akta sewa menyewa, akta perjanjian kredit dan sebagainya. Uraian diatas menjelaskan bahwa ruang lingkup kewenangan notaris adalah dalam bidang hukum Perdata dalam rangka mencipkatan kepastian hukum melalui alat bukti akta otentik. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata, alat pembuktian meliputi, bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah, sedangkan bukti tertulis dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu berupa akta otentik dan akta dibawah tangan.

Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan penuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Sebagai alat bukti Pasal 1867 KUH Perdata “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan otentik atau dengan tulisan dibawah tangan”. Pasal 1868 KUH Perdata “Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”.  Yang sempurna maksudnya adalah kebenaran yang dinyatakan di dalam akta notaris itu tidak perlu dibuktikan dengan dibantu lagi dengan alat bukti yang lain. Undang­-undang memberikan kekuatan pembuktian demikian itu atas akta tersebut karena akta itu dibuat oleh atau di hadapan notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh Pemerintah.

Fungsi akta otentik dalam hal pembuktian tentunya diharapkan dapat menjelaskan secara lengkap dalam proses pembuktian di persidangan, karena pada proses peradilan berdasarkan hukum acara pidana, di dalamnya terdapat proses pembuktian, yang menekankan pada alat - alat bukti yang sah menurut pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), antara lain : Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa.

Akta otentik sebagai produk notaris dalam pembuktian di persidangan dikategorikan sebagai alat bukti surat. Sebagaimana yang diatur dalam pasal 1 angka 1 UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disingkat dengan UUJN) bahwa “Notaris adalah pejabat umum, yang berwenang membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana yang ditetapkan dalam undang-undang ini”.   

Eksistensi notaris sebagai Pejabat Umum didasarkan atas UUJN yang menetapkan rambu-rambu bagi "gerak langkah" seorang notaris. Notaris sebagai pejabat publik yang berwenang untuk membuat akta otentik, mempunyai peran penting dalam kehidupan masyarakat, banyak sektor kehidupan transaksi bisnis dari masyarakat yang memerlukan peran serta dari Notaris, bahkan beberapa ketentuan yang mengharuskan dibuat dengan Akta Notaris yang artinya jika tidak dibuat dengan Akta Notaris maka transaksi atau kegiatan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. 

Dalam pasal 1 angka 7 UUJN menyebutkan bahwa “Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang ini”. Pasal ini merupakan penegasan dari pasal 1868 KUH Perdata ”Suatu akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang di tentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Jelas bahwa salah satu akta otentik adalah akta yang dibuat oleh notaris. 

Berdasarkan bunyi pasal tersebut, dapat diketahui unsur-unsur dalam suatu akta, yang termaktub dalam Pasal 1868 KUH Perdata adalah : Akte itu dibuat sesuai Undang-undang; Akte itu dibuat dalam bentuk menurut Undang-undang; Akte itu dibuat oleh atau di hadapan Pejabat Umum; Akte itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang untuk membuatnya di mana akte itu dibuat. Kewenangan membuat akta otentik ini merupakan permintaan para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUH Perdata yaitu : untuk sah nya persetujuan diperlukan 4 syarat : Kesepakatan para pihak yang mengikatkan diri, Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, Obyek / hal yang tertentu, Suatu sebab yang halal. Atas dasar kewenangan tersebut, dalam menjalankan tugas dan kewajibannya notaris dituntut untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan pelayanan yang profesional. 

Dalam mewujudkan 2 (dua) sisi pekerjaan yang mengandung banyak resiko tersebut diperlukan pengetahuan hukum yang cukup dan ketelitian serta tanggung jawab yang tinggi. Untuk itu dalam praktek sehari-hari notaris diwajibkan untuk senantiasa menjunjung tinggi hukum dan asas negara serta bertindak sesuai dengan makna sumpah jabatan dan mengutamakan pengabdiannya kepada kepentingan masyarakat dan negara. 

Adanya kewajiban kepribadian yang baik dan tuntutan untuk menjunjung tinggi martabat jabatan notaris, dengan demikian dalam pelaksanaan jabatannya notaris tidak dibenarkan melakukan hal-hal dan/atau tindakan yang tidak sesuai dengan martabat dan kehormatan jabatan notaris. Notaris sebagai Pejabat Umum dalam menjalankan tugas jabatannya mengemban amanat yang berasal dari 2 (dua) sumber, seperti yang dinyatakan oleh Rachmat Setiawan, yaitu: anggota masyarakat yang menjadi klien notaris, menghendaki agar notaris membuatkan akta otentik yang berkepentingan; amanat berupa perintah dari undang - undang secara tidak langsung kepada notaris, agar untuk perbuatan hukum itu dituangkan dan dinyatakan dengan akta otentik, hal ini mengandung makna bahwa notaris terikat dan berkewajiban untuk mentaati peraturan yang mensyaratkan untuk sahnya sebagai akta otentik. 

Berkaitan dengan tugas dan kewenangan notaris tersebut, maka dapat dipahami bahwa keberadaan profesi notaris merupakan profesi yang sangat penting dan dibutuhkan dalam masyarakat, mengingat kewenangan dari notaris adalah sebagai pembuat alat bukti tertulis berupa akta-akta otentik. Sebagai pejabat umum publik notaris hendaknya dalam melaksanakan tugasnya selalu dijiwai oleh Pancasila, sadar dan taat kepada hukum dan Peraturan Jabatan Notaris (UUJN), sumpah jabatan, kode etik notaris dan berbahasa Indonesia yang baik. 

Notaris dalam melakukan profesinya harus memiliki perilaku profesional dan ikut serta dalam pembangunan Nasional khususnya di bidang hukum. Unsur-unsur perilaku profesionalisme yang dimaksud adalah bahwa notaris harus mempunyai keahlian yang didukung dengan pengetahuan dan pengalaman yang tinggi dan dalam pelaksanaan tugasnya selalu dilandasi dengan pertimbangan moral yang diselaraskan dengan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai-nilai sopan santun dan agama yang berlaku juga harus jujur, tidak saja pada pihak kedua atau pihak ketiga, tetapi juga pada dirinya sendiri, serta tidak boleh semata-mata didorong oleh pertimbangan uang dalam arti ia harus bersifat sosial dan tidak bersikap diskriminatif dengan membedakan antara orang yang mampu dan yang tidak mampu, untuk itu ia harus memegang teguh etik profesi dalam pelaksanaan tugas profesi yang baik, karena dalam kode etik profesi itulah ditentukan segala perilaku dimiliki oleh seorang notaris. 

Dengan berperilaku profesional serta memahami pengetahuan tentang aturan­aturan / ketentuan-ketentuan hukum yang terkait dengan pekerjaan notaris yaitu dalam rangka pembuatan akta otentik, diharapkan dalam pelaksanaan tugasnya, notaris akan terhindar dari segala akibat hukum terhadap akta-akta yang telah dan atau akan dibuatnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, sering manusia selalu dihadapkan pada tuntutan pemenuhan kebutuhan hidup yang semakin sulit. Keadaan ini yang membuat beberapa orang berpikir singkat untuk dapat segera memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan jalan pintas, tidak terkecuali dengan profesi notaris. Idealisme seakan menjadi barang baru dan aneh di tengah maraknya pragmatisme yang menjadi faham baru di tengah masyarakat. Notaris sebagai bagian dari individu dalam masyarakat menghadapi tantangan yang serupa. Di satu sisi notaris diminta menjaga idialismenya sebagai pejabat umum, namun di sisi lain notaris dihimpit oleh kehidupan materialisme gemerlap yang merobohkan benteng nurani. 

Profesi hukum khususnya notaris merupakan profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dan pengembangannya. Nilai moral merupakan kekuatan yang mengarahkan dan mendasari perbuatan luhur, oleh karena itu notaris dituntut supaya memiliki nilai moral yang kuat.  Kode etik hanya sebagai pagar pengingat mana yang boleh dan tidak boleh yang dinamis mengikuti perkembangan lingkungan dan para pihak yang berkepentingan. Organisasi profesi notaris yaitu INI (Ikatan Notaris Indonesia) telah membentuk Kode Etik Profesi yaitu Kode Etik INI. Kode Etik INI bagi para notaris hanya sampai pada tataran sanksi moral dan administratif. Meskipun telah diatur sedemikian rupa dalam Undang-undang Jabatan Notaris, dan Kode Etik Notaris yang merupakan keseluruhan kaedah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris Indonesia yang wajib ditaati oleh semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, baik dalam pelaksanaan tugas jabatan maupun dalam perilaku kehidupan sehari-hari.

Tekanan faktor eksternal dari lingkungan serta pertahanan diri yang lemah merupakan sebab betapa sebagian oknum notaris dewasa ini mudah terjerumus ke praktek kenotariatan tidak ideal yang mengurangi esensi keluhuran dan martabat sebagai pejabat umum. Data pelanggaran yang dilakukan oleh notaris sebagaimana disampaikan Kapolda Sumatera Utara pada pembukaan acara “Seminar pemeriksaan dan penyidikan oleh Polri terhadap notaris/PPAT sebagai Saksi/Tersangka atas perbuatan tindak pidana”.

Banyaknya kasus pidana yang berkaitan dengan profesi jabatan notaris, sehingga notaris harus dapat mempertanggung jawabkan terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana, mengharuskan notaris hadir dalam pemeriksaan awal yaitu penyidikan di tingkat Kepolisian, penuntutan di Kejaksaan sampai dengan proses persidangan di Pengadilan.

Perlunya pemanggilan dan kehadiran notaris dalam pemeriksaan perkara pidana dapat dibedakan sebagai berikut :

1.        Sebagai ahli, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai ahli hukum yang berwenang membuat akta otentik sehingga diperlukan pertimbangan hukum yang khusus sesuai keahliannya berkaitan dengan kewenangan dan tanggung jawab notaris serta hal­hal yang dapat memberikan penjelasan kepada penyidik di Kepolisian, Jaksa/penuntut umum, hakim, pengacara/penasehat hukum maupun pihak pencari keadilan.

2.        Sebagai Saksi, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana, dalam kapasitas sebagai pejabat umum yang membuat akta otentik, diperlukan kesaksiannya terhadap apa yang dilihat, didengar dan bukti-bukti pendukung dalam pembuatan akta otentik tersebut, yang ternyata terindikasi perkara pidana. Dalam kedudukan sebagai saksi ini apabila kuat dugaan notaris terlibat, maka dapat ditingkatkan statusnya menjadi tersangka.

3.        Sebagai tersangka, dalam hal ini notaris dipanggil dan perlu kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana sebagai tersangka berdasarkan bukti awal sehingga patut diduga adanya tindak pidana yang dilakukan notaris sebagai pembuat akta otentik, baik dilakukan sendiri maupun bersama-sama, yang ditemukan oleh penyidik, sehingga notaris harus mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dalam persidangan.

Dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pasal 68 UUJN, Notaris secara hirarkhis/berjenjang diawasi oleh Majelis Pengawas, yaitu : Majelis Pengawas Daerah untuk tingkat kabupaten atau kota; Majelis Pengawas Wilayah untuk tingkat Propinsi; Majelis Pengawas Pusat, untuk tingkat pusat di Jakarta. Mengenai ruang lingkup pengawasan terhadap notaris adalah meliputi keseharian/perilaku notaris dan pelaksanaan jabatan notaris, yaitu terhadap akta­aktanya. Pengawasan ini semula dilakukan secara hirarkis/berjenjang mulai dari Ketua Pengadilan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Tinggi, dan Ketua Mahkamah Agung. Namun sejak bulan Januari 2004 dengan dikeluarkannya Undang-undang No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya juga mengatur kewenangan pengawasan terhadap notaris, maka sejak saat itu kewenangan pengawasan beralih yang semula dilakukan oleh Pengadilan Negeri yang secara struktur berada dibawah Mahkamah Agung, kini beralih kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.



B. Perumusan Masalah

1.        Faktor apakah yang menyebabkan notaris diperlukan kehadirannya dalam pemeriksaan perkara pidana?

2.        Bagaimana tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum terhadap akta otentik yang dibuat dan berindikasi perbuatan pidana?

3.        Bagaimana fungsi dan peranan Majelis Pengawas Daerah terhadap pemanggilan notaris pada pemeriksaan perkara pidana ?

Silahkan di diskusikan  sebagai tugas akhir semester  mata kuliah Peraturan Jabatan dan Profesi Notaris di program Studi MKN FH Unsri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar