Hukum Mudhorobah
Secara bahasa mudhorobah berasal dari akar kata dhoroba – yadhribu – dhorban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudhorobah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi. Ini merujuk kepada usaha perniagaan pada zaman dahulu yang dilakukan dengan cara berjalan ke tempat-tempat yang jauh, misalnya dari Makkah ke Syam dan ke Yaman.Mudhorobah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qirodh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya. Kadang-kadang juga dinamakan dengan muqorodhoh yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan.Dalam istilah fikih muamalah, mudhorobah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha, yang selanjutnya disebut mudhorib, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Mudhorobah merupakan jenis akad tidak lazim yaitu suatu akad di mana salah satu pihak yang melaksanakan kontrak ini dapat membatalkan kontraknya tanpa harus menunggu persetujuan dari pihak yang lain. Mudhorobah dalam hal ini mirip wadiah.
Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudhorobah dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas.
“Dan orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari keutamaan Allah” Q.S. Al-Muzammil : 20. Ayat ini menjelaskan bahwa mudhorobah ( berjalan di muka bumi) dengan tujuan mendapatkan keutamaan dari Allah (rizki). Dalam ayat yang lain Allah berfirman : “Maka apabila sholat (jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah“. Q.S al-Jum’ah : 10. Ayat-ayat senada masih banyak ditemukan dalam al-Qur’an yang dipandang oleh para fukoha sebagai basis dari diperbolehkannya mudhorobah. Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha mudhorobah karena mudhorobah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Abbas bin Abdul Muttholib apabila membayarkan hartanya untuk mudhorobah memberikan persyaratan kepada sang Mudhorib agar tidak menuruni lembah atau membeli binatang yang berparu-paru basah. Jika ia tidak mengindahkan persyaratan ini, maka ia harus menanggung resiko yang terjadi karenanya. Persyaratan ini disampaikan kepada Rasulullah SAW dan beliau membolehkannya.” (H. R. Thabrani dalam al-Ausath dengan sanad yang lemah).Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tiga perkara yang di dalamnya terdapat berkah yaitu jual beli secara tangguh, mudhorobah dan mencampur gandum dan jelai untuk kepentingan keluarga dan bukan untuk dijual“. Hadis inipun sanadnya lemah.
Diriwayatkan dari sejumlah sahabat bahwa mereka membayarkan harta anak yatim secara mudhorobah dan tak seorangpun ada yang menyangkal hal itu. Hal ini jelas merupakan suatu bentuk ijma’ di kalangan para sahabat.
Mudhorobah dapat dipandang sama dengan Musaqoh yang memang dihajatkan dalam masyarakat. Ini disebabkan karena ada orang yang punya kebun atau tanah pertanian tetapi tidak memiliki kehlian untuk merawatnya dan memerlukan orang lain yang lebih ahli untuk mengelola kebun dan tanamannya itu. Dengan demikian dapat dipertemukan sinerji antara pemilik kebun dan pengelolanya kemudian berbagi keuntungan dari hasil yang telah dipetik.
Menurut madzhab Hanafi rukun mudhorobah itu ada dua yaitu Ijab dan Qobul. Sedangkan menurut jumhur ulama rukun mudhorobah ada tiga macam yaitu adanya pemilik modal dan mudhorib, adanya modal, kerja dan keuntungan dan adanya shighot yaitu Ijab dan Qobul.
Secara umum mudhorobah dapat dibagi menjadi dua macam golongan yaitu mudhorobah muthlaqoh dan mudhorobah muqoyyadah. Yang dimaksud dengan mudhorobah muthlaqoh adalah konttrak mudhorobah yang tidak memiliki ikatan tertentu. Misalnya dalam ijab si pemilik modal mengatakan ” Aku membayar harta ini sebagai modal mudhorobah dan keuntungan akan kita bagi 60% dan 40%”. Kalimat ini tidak mengandung ikatan apa-apa seperti tidak menyebutkan usaha apa yang akan dikerjakan dengan modal mudhorobah dan ketentuan-ketentuan lain.
Sementara itu mudhorobah muqoyyadah adalah jenis mudhorobah yang pada akadnya dicantumkan persyaratan-persyaratan tertentu misalnya hanya boleh berusaha di kota tertentu, untuk jual beli barang tertentu, dalam waktu tertentu atau dengan orang tertentu. Ikatan-ikatan ini membuat mudhorobah menjadi terikat dan sempit.
Kontrak mudhorobah sebelum diimplementasikan secara nyata dalam usaha oleh sang mudhorib belum menjadi akad lazim. Artinya ketika akad sudah disetujui oleh si pemilik modal dan pengusaha, masing-masing pihak masih memiliki hak untuk membatalkan akad itu. Misalnya si pemilik modal menarik kembali modalnya atau pengusaha mengembalikan modalnya kepadanya. Pembatalan semacam ini tidak menganggu sama sekali substansi mudhorobah. Hanya saja ketika akad ini sudah nyata-nyata dilaksanakan oleh sang mudhorib, maka ketika itu ia berubah menjadi akad lazim dan tidak diperbolehkan salah satu pihak untuk membatalkan tanpa persetujuan dari pihak yang lain.
Persyaratan dalam akad mudhorobah dapat merujuk kepada pihak yang melakukan akad seperti pemodal dan pengusaha, modal yang disetor dan keuntungan yang akan diraih. Adapun syarat utama bagi pemodal dan mudhorib (Aqidaan) adalah keduanya harus memiliki kemampuan untuk diwakili dan mewakilkan. Hal ini dikarenakan sang mudhorib mengelola modal orang lain dan ini mengandung makna perwakilan. Tidak disyaratkan mudhorobah harus dilakukan oleh seorang Muslim, ia dapat diusahakan oleh orang-orang non-Islam.
Persyaratan yang berkaitan dengan modal yang disetor antara lain, yang pertama adalah bahwa modal itu harus berupa mata uang yang berlaku di pasaran. Tidak diperbolehkan modal yang disetor itu dalam bentuk barang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Ini dimaksudkan agar nilai modal yang disetor itu mudah ditentukan. Seandainya modal itu berupa barang, maka kemungkinannya sulit menentukan nilai yang paling tepat dan berakibat pada ghoror yang mungkin akan menjadi faktor pemicu persengketaan di kemudian hari. Kedua, modal yang disetor harus diketahui ukurannya. Jika tidak diketahui ukurannya akan menimbulkan ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan. Ketiga, modal yang disetor harus berbentuk uang yang dihadirkan ketika usaha mudhorobah dilakasanakan dan bukan berupa utang atau harta lain yang tidak dapat dihadirkan. Keempat, modal yang disetor harus diserahkan kepada sang mudhorib. Bilamana tidak terjadi penyerahan modal kepadanya maka tidak ada makna bagi mudhorobah karena tidak mungkin diimplementasikan secara nyata.
Persyaratan yang berkaitan dengan keuntungan antara lain, pertama, keuntungan harus dapat diketahui ukurannya. Masing-masing pihak harus mendapatkan penjelasan yang benar, terang dan memadai tentang porsi keuntungannya. Tidak dibenarkan porsi keuntungan ini tidak diterangkan kepada mereka. Jika memang dalam akad tersebut tidak dijelaskan masing-masing porsi, maka pembagiannya menjadi 50% dan 50%. Hal ini dikarenakan akad mudhorobah mengandung pengertian pembagian keuntungan 50% dan 50% karena ia merupakan bentuk dari musyarokah yang menghendaki persamaan dalam porsi. Pertanyaan, jika dalam akad mudhorobah disyaratkan bahwa kerugian yang timbul akan ditanggung oleh sang mudhorib bagaimanakah hukumnya? Menurut madzhab Hanafi, persyaratan ini batal tetapi tidak membatalkan hukum mudhorobah yang sedang diimplementasikan. Artinya mudhorobah tetap sah dan tetap dapat dilanjutkan.
Kedua, keuntungan merupakan bagian yang dibagi bersama dengan perbandingan yang tegas seperti 30% : 70% atau 40% : 60% misalnya. Tidak diperbolehkan pembagian keuntungan dengan menyatakan nilai nominal misalnya Rp. 100.000,- bagi si pemodal atau Rp. 80.000,- bagi sang mudhorib karena hal itu belum tentu mencerminkan keuntungan sebenarnya yang diraih. Berapapun keuntungan yang direalisasikan dalam mudhorobah, maka hal itu harus dibagi bersama-sama kepada masing-masing pihak.
Kedudukan Hukum Mudhorobah yang Sah :1. Bagi sang mudhorib yang mengelola aset pemilik modal, maka kedudukan hukumnya adalah sebagai orang yang diberi amanat seperti halnya dalam wadiah. Ia menerima titipan dari sang pemilik modal tanpa ada penggantian seperti dalam jual beli. Bila mana ia melakukan transaksi apapun dalam usaha ini, maka itu semua dilakukan dalam kapasitasnya sebagai seorang wakil. 2. Berkaitan dengan pola pengelolaan mudhorobah oleh sang mudhorib, maka kedudukannya bisa berubah dengan mengacu kepada jenis-jenis mudhorobah yang dipilih. Kalau ia muthlaqoh, maka sang mudhorib bebas untuk melakukan usaha selama hal itu masih dalam batas-batas yang diperbolehkan oleh syara’. Dalam hal mudhorobah muqoyyadah, maka sang mudhorib tidak diperbolehkan bergerak leluasa dan bebas memilih peluang usaha yang ada. Ia harus tunduk kepada persyaratan dari pihak pemodal.
Ketentuan hukum tentang pengelolaan mudhorib dalam mudhorobah ada tiga macam, yaitu pertama, hal-hal yang dapat dilaksanakan oleh mudhorib di mana hal itu dianggap sudah menjadi kebiasaan menurut adat istiadat. Misalnya melakukan jual beli, mewakilkan kepada orang lain dan lain-lain. Kedua, hal-hal bukan menjadi wilayah kekuasaannya kecuali memang diberikan izin untuk mengelola dengan pendapatnya sendiri. Misalnya si pemodal mengatakan ” Niagakan hartaku ini dengan mudhorobah dan kamu dapat memanfaatkan pendapatmu sendiri di dalamnya atau mewakilkannya kepada orang lain”. Ketiga, hal-hal yang tidak boleh dilaksanakan kecuali telah mendapatkan izinnya secara terang seperti memberikan hibah kepada orang lain.
Mudhorib Melaksanakan mudhorobah yang Kedua.
Yang dimaksud dengan mudhorib melaksanakan mudhorobah yang kedua adalah kenyataan dalam lapangan bilamana sang mudhorib dalam perniagaannya melakukan akad mudhorobah kembali kepada orang lain dengan modal yang ia telah terima dari si pemilik modal. Menurut madzhab Hanafi hal ini tidak diperbolehkan kecuali jika modal itu diserahkan kepada pemilik modal. Golongan ini berpendapat bahwa mudhorib pertama tidak bertanggung jawab terhadap modal yang diserahkannya kepada mudhorib kedua kecuali jika yang terakhir ini telah benar-benar melaksanakan perniagaan dan mendapatkan keuntungan atau kerugian. Pembagian keuntungan di sini adalah sebagai berikut. Sang pemilik modal mendapatkannya sesuai dengan kesepakatan antara dia dan mudhorib pertama. Sementara itu bagian keuntungan dari mudhorib dibagi berdua dengan mudhorib yang kecua sesuai dengan porsi bagian yang telah disepakati antara keduanya. 3. Berkaitan dengan hak-hak mudhorib yang dapat ia nikmati pada saat menjalankan usaha mudhorobah yaitu, pertama, beaya operasi dan keuntungan yang disepakati dalam kontrak. Hanafiyah tidak membolehkan mudhorib menggunakan modal mudhorobah untuk beaya operasi kecuali diizinkan oleh pemodal. Sedangkan jumhur ulama membolehkannya. Adapun besarnya beaya operasi ini ditentukan oleh kebiasaan yang berlaku dengan menghindari kemubadziran. Beaya operasi ini akan diambil dari keuntungan , jika memang ada. Apabila ternyata usaha ini tidak mendapatkan keuntungan, maka hal itu diambilkan dari modal karena merupakan bagian penyusutan dari modal. Kedua, sang mudhorib mendapatkan bagian keuntungan yang telah disepakati dalam kontrak jika memang menghasilkan laba. Jika tidak ada laba, maka mudhorib tidak mendapatkan apa-apa. 4. Berkaitan dengan sang pemilik modal. Sudah jelas bahwa ia berhak mendapatkan labanya yang telah ditentukan porsinya di depan pada waktu akan disetujui. Akad mudhorobah akan berakhir atau batal dengan kejadian-kejadian di bawah ini :1. Mudhorobah gugur atau batal karena fasakh atau ada larangan untuk mengelola dan ini dinyatakan dalam persyaratan. 2. Meninggalnya salah satu dari orang yang melaksanakan akad seperti meningalnya pemilik modal atau mudhorib. Mudhorobah berakhir karena akad mudhorobah ini mengandung arti perwakilan dan dalam suatu akad yang menerima perwakilan menjadi gugur atau batal jika yang mewakilan atau yang melaksanakan perwakilan itu meninggal dunia. 3. Salah satu pihak hilang akal seperti gila. Ini membatalkan mudhorobah karena penyakit gila menghilangkan “ahliah” orang tersebut. Ahliah ialah kemampuan orang untuk dapat dibebani oleh hukum.4. Murtadnya si pemilik modal atau terbunuh dalam keadaan murtad. Ini tidak berlaku bagi sang mudhorib.
5. Hancurnya modal di tangan mudhorib sebelum dapat dilaksanakan kontrak mudhorobah ini. Ini membatalkannya karena tidak memungkinkan lagi dilanjutkan implementasi akad mudhorobah karena modalnya tidak ada.
Sumber :
- Al Jawi, Shiddiq. Kerjasama Bisnis (Syirkah) Dalam Islam. Majalah Al Waie 57
- An Nabhani, Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif. Surabaya: Risalah Gusti.
- Abu Bakr Jabr Al Jazairi, Ensiklopedia Muslim, Minhajul Muslim, Penerbit Buku Islam Kaffah, Edisi Revisi, 2005.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar