Kebutuhan untuk mengembangkan pemikiran interdisipliner dalam pengkajian terhadap hukum tentunya tidak akan timbul apabila sejak semula memang hukum tersebut sudah di siasati secara cukup komprehensif .oleh karena itu ,pengembangan pemikiran secara interdisipliner langsung muncul dari keadaan pengusaha dalam bidang studi hukum itu sendiri (the state of the affair).salah satu sifat dari pengusahaan tersebut adalah keinginannya untuk mengucilkan diri sebagai suatu bidang yang otonom .dengan demikian ,mempunyai kecenderungan kuat untuk bersifat eksklusif .pernyatan tersebut ,bisa diperkuat oleh penglihatan kalangan atau ilmuwan bukan hukum ,yang menyebutnya sebagai bidang yang esoterik,artinya yang hanya bisa dimasuki oleh mereka yang dipersiapkan untuk itu.oleh karena itu ,untuk waktu yang lama ,bidang hukum yang menurut mereka penuh dengan hal-hal yang teknis ,penggunaan istilah-istilah yang khas ,cara-cara berfikir ,mengkonseptualisasikan ,menganalisis ,yang sangat unik itu ,dikeluarkan dari agenda perhatian para ilmuwan sosial.
Sekedar contoh ,berikut ini di bicarakan tentang bagai mana sosiologi menghadapi hukum sebagai suatu subjek yang menentang untuk di pelajari ,tetapi sekaligus juga sulit untuk di masuki dengan begitu saja .
Beberapa faktor yang ditunjuk sebagai sebab dari keadaan tersebut adalah :
1.otonomi dari pengusaha ilmu hukum (legal scholarship) yamg bercirikan sifat teknis dan perkembangan yang rumit dari banyak pengertian ,hukum ,kekhususan sejarah hukum ,kebanggaan profesional yang mendalam ,dan keadaan pendidikan hukum yang secara relatif terisolasi.
2. gambaran tentang sulitnya menembus hukum secara intelektual, disebabkan oleh hal-hal yang telah dapat dicapai oleh para ahli hukum dalam kurun waktu berabad-abad .
3. adanya begitu banyak data yang membutuhkan keahlian khusus untuk menguasainya,yang pada kenyataannya menyebabkan kesulitan untuk menembus hukum sebagai mana diuraikan diatas .
4. pandangan para ahli sosiologi ,yang melihat sistem hukum sebagai seperangkat peraturan ,yang sama sekali jatuh ke dalam kawasan normatif ;suatu hal yang dirasakan sangat tidak menyenagkan mereka .
5.kesulitan dalam komunikasi antara para ahli hukum dengan para ahli sosiologi ,karena mereka tidak berbicara dalam bahasa yang sama .keadaan yang mengandung perbedaan tersebut membangkitkan ketidak pastian dalam usaha untuk menimbulkan keterlibatan dari kedua profesi tersebut ,yang gilirannya menyulitkan usaha untuk melakukan kerja sama interdisipliner .
6. para ahli hukum dan ahli sosiologi terlibat ke dalam kegiatan-kegiatan yang berbeda sifatnya .di satu pihak , para ahli hukum di tarik kepada pekerjaan dan perhatian tentang masalah kebijakan ,sedangkan para ahli sosiologi bersikap tidak berminat terhadap masalah seperti tersebut ,dan hanya ingin memburu penstukturan pengetahuan secara sistematis .
keadaannya sekarang tentu sudah jauh lebih baik dari keluhan-keluhan sebagaimana disebut diatas .sekarang kita dapat menjumpai hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial diluar hukum tentang proses-proses hukum ,pranata hukum ,dan lain-lain pokok permasalahan yang berhubungan dengan hukum .sudah tentu titik tolak serta sudut pandang yang dipakai oleh para ahli ilmu sosial tersebut berbeda dengan yang lazimnya dilakukan oleh para ahli hukum apabila mereka mengkaji hukum ,sebagaimana akan dikemukakan nanti.
Seperti dikemukakan pada butir-butir diatas ,ikhwal yang menyebabakan timbulnya kebutuhan untuk melakukan pengkajian interdisipliner terhadap hukum adalah pengucilan diri yang terlalu jauh dari hukum .tentu saja ada faktor-faktor lain yang menyebabkan munculnya kebutuhan untuk melakukan pengkajian secara interdisipliner tersebut ,namun faktor pengucilan tersebut yang dianggap memperkeras kebutuhan untuk melakukan pengkajian secara lintas disiplin tersebut .
Aliran positivisme bisa ditunjuk sebagai sumber utama yang menyebabkan hukum diperlakukan secara otonom dan terpisah dari kaitannya dengan proses-proses lain dalam masyarakat .aliran positivisme memang mempunyai sejarahnya sendiri ,karena positivisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran hukum alam atau naturalisme .
Berbeda dengan aliran naturalisme yang memusatkan perhatiannya kepada masalah keadilan yang abstrak ,maka positivisme mengutarakan masalah ketertiban dan ketepatan .dengan demikian ,merka didorong untuk membatasi perhatiannya terhadap objek yang jelas dan pasti .
Usaha untuk mencari objek pengkajian tersebut ,John Austin mengindentifikasikan hukum dengan perintah dan kekuasaan yang berdaulat di suatu negeri .diluar bentuk seperti itu ,orang tidak akan menemukan hukum .oleh karena itu ,aliran positivisme juga disebut dengan nama formalisme .dengan cara demikian ,objek studi hukum memang lalu dapat ditunjuk dan dibatasi secara jelas dan tegas ,tetapi bukan tanpa resiko .risiko tersebut seperti telah beberapa kali disinggung diatas ,adalah terjadi proses pengucilan hukum dari proses-proses diluarnya.
Aliran positivisme atau formalisme ini juga dinamakan ilmu hukum analitis ,dilihat dari cara bekerjanya .sesudah orang berhasil untuk melokalisasi objeknya,maka perhatiannya sekarang dipusatkan kepada peraturan-peraturan yang merupakan unsur pokok dari hukum positif tersebut .ilmu hukum analitis mengkaji pertautan logis ,baik antara peraturan-peraturan yang satu dengan lain, maupun antara bagian-bagian dari sistem hukum serta mengusahakan terciptanya pemakaian definisi-definisi dan pengertian-pengertian secara pasti dan menciptakan andaian-andaian yang akan meningkatkan pertautan (coherence) seperti tersebut diatas .kita bisa mengerti ,bagaimana kelanjutan-kelanjutan dari pengkajian terhadap hukum seperti itu ,antara lain timbulnya penglihatan tentang otonomi hukum dan munculnya persepsi diri yang besar dari para ahli hukum .
Suatu konsep yang sangat penting artinya ,karena menyangkut tentang metode dasar yang dipakai ,adalah yang dikemukakan oleh Hans Kelsen tentang ajaran hukum murni .Kelsen berkali-kali menekankan ilmu hukum hendaknya hanya berurusan dengan hukum positif ,dengan peraturan-peraturan hukum .oleh karena itu,ilmu hukum harus dipisahkan dari ilmu-ilmu yang tidak membahas peraturan-peraturan hukum tersebut,seperti psikologi ,sosiologi dan etik .
Ilmu hukum dituntut untuk menjawab pertanyaan tentang apa dan bagaimana hukum itu ,dan bukan pertanyaan tentang bagaimana hukum dalam kenyataannya atau bagaimana hukum seharusnya dibuat .ia adalah ilmu hukum dan bukan politik hukum .namun ,Kelsen juga mengakui dalam perkembangan sejarahnya telah terjadi sesuatu yang menyimpang dari ide ilmu hukum yang murni tersebut ,yaitu bergabungnya ilmu hukum dengan sosiologi ,psilologi,etik ,dan teori politik .terjadinya penggabungan tersebut ,karena ilmu-ilmu tersebut mempunyai objek yang ada kaitanya dengan hukum .Kelsen tidak menolak kenyataan tersebut ,melainkan hanya berusaha untuk menghindari terjadinya apa yang disebutnya sinkretisme dalam metode ,yang akan menjadikan gelapnya ilmu hukum dan menghapuskan batas-batas yang dilahirkan oleh sifat dari objek setiap ilmu tersebut .
Apapun yang telah terjadi pada waktu yang lampau dan bagaimanapun keyakinan ilmu seseorang ,namun kebutuhan untuk membicarakan hukum dalam konteks yang luas semangkin hari menjadi semangkin kuat saja .salah satu faktor yang secara kuat mendorong timbulnya kebutuhan tersebut adalah kenyataan tentang penyebaran peraturan-peraturan hukum yang makin luas dalam masyarakat .tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan hukum telah memasuki hanpir semua bidang kehidupan masyarakat .
Dalam keadaan tersebut ,tampaknya orang tidak bisa dengan tenang memuaskan keingintahuan intelektualnya hanya pengkajian terhadap hukum ,dengan cara memperlakukannya bagaikan suatu pulau yang terkucil di tengah-tengah lautan yang luas.perumpamaan tersebut dipakai untuk menggambarkan kedudukan hukum di tengah-tengah proses-proses sosial ,politik ,ekonomi ,yang berlangsung dalam masyarakat .apabila penyebaran yang meluas seperti disebut di atas telah terjadi ,maka kita bisa membayangkan kelanjutan-kelanjutan apa saja yang bisa terjadi .
Dengan demikian ,hukum merupakan sesuatu yang tidak bisa diabaikan dalam masyarakat ,apabila kita membicarakan hal-hal yang terjadi dalam masyarakat ,seperti keluarga,perkawinan,perdagangan ,kejahatan ,pendidikan dan lain-lain .hukum sekarang telah terkait dan terjalin dengan erat kepada masyarakat ,atau masyarakatlah yang telah terjalin secara erat kepada hukum.keingintahuan intelektual yang berkembang kearah keinginan untuk mengkaji hubungan antara hukum dan masyarakat ,atau keinginan untuk mengkaji hukum secara komprehensif memang mempunyai alasan yang kuat dan mendasar .seperti dikatakan oleh Arthur T.Vanderbilt,dikutip oleh Julius Stone ,”apabila hukum modern telah menjadi begitu luas dan kompleks, maka ia hanya akan bisa tetap mempertahankan isinya secara vital ,efisien dalam operasinya ,dan tepat dalam membidikkan arahnya,dengan cara meminjam kebenaran-kebenaran dari ilmu-ilmu politik ,sosial, ekonomi ,dan juga filsafat ”.
Dalam sejarah pemikiran hukum ,bisa dikemukakan semacam bibit-bibit yang nantinya bisa ditunjuk sebagai bagian dari usaha untuk memahami hukum secara komprehensif ,yaitu tidak hanya sebagai suatu susunan atau sistem peraturan-peraturan semata .pemikiran-pemikiran seperti tersebut akan memperlihatkan sikap reaktifnya atau sikap penolakannya yang kuat terhadap pikiran yang dominan yang menekankan pada segi-segi formal dari hukum .meminjam pensifatan terhadap kecendrungan ilmu-ilmu yang dibuat oleh Morton White ,Stone berbicara mengenai adanya suatu ”revolusi menentang formalisme ”.menurut Stone ,revolusi terhadap formalisme sebetulnya telah lebih dulu berkembang dalam ilmu hukum dibanding kejadiannya pada ilmu –ilmu sosial .Stone menunjuk kepada Savigny di Jerman dan Maine di Inggris ,sebagai pemikir-pemikir hukum yang sudah jauh lebih dulu melakukan pemberontakan terhadap formalisme tersebut.
Berbeda dengan pemikiran kelsen dan austin , ancangan sejarah dan antropologi memberikan perhatian terhadap isi dari hukum .reaksi-reaksi dan ’pemberontakan-pemberontakan ’diatas tidak dapat dilepaskan dari suburnya pemikiran yang timbul pada abad ke sembilanbelas .abad tersebut merupakan masa yang kaya dengan ide dan gerakan hukum baru .semuanya merupakan bagian dari suatu kehidupan manusia yang dipacu oleh berbagai kemajuan dibidang peradabannya .ilmu yang diusahakan oleh manusia telah mencapai suatu momentum yang memungkinkan dibukanya cakrawala baru ,seperti kemungkinan-kemungkinan yang dibawakan oleh penemuan-penemuan dibidang teknologi yang seolah-olah menjungkirbalikan pandangan-pandangan ,konsep-konsep ,serta irama kehidupan-kehidupan yang lampau.manusia semangkin meyakini kemampuannya sendiri ,dan mendorong keberaniannya untuk menembusi dunianya dengan pikiran-pikiran baru yang kritis ,juga dibidang filsafat ,hukum,dan lain-lain.
Pikiran –pikiran baru yang kritis tersebut,menampilkan dirinya dalam bentuk gerakan-gerakan ”pemberontakan”,yang dilakukan oleh aliran-aliran positivisme, sejarah , serta antropologi ,yang merupakan reaksi terhadap teori-teori hukum alam sebelumnya .kemenangan-kemenangan dan prestasi akan manusia yang telah dibuktikan melalui hasil-hasil penemuan teknologi,memacu orang untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif dan tidak spekulatif sifatnya .
Para pemikir pada masa itu tampaknya semangkin menyadari teori Locke dan “kontrak sosial “dari Rousseau ,tidak didasarkan pada kenyataan-kenyataan ,melaikan pada asumsi-asumsi menakjubkan .ancangan sejarah ini boleh disebut sebagai revolusi dari fakta teradap khayalan .tidak diperoleh kepastian mengenai bahan-bahan fakta sejarah yang dipakai untuk menyusun teori kontrak sosial tersebut .
Aliran sejarah yang dipelopori oleh Savigny menolak bahwa hukum itu dibuat ,dan menyatakan hukum ditemukan dalam masyarakat .baik kaum rasionalis maupun aliran sejarah berada pada dua ujung yang ekstrem . apabila kaum rasionalis telah berbuat kesalahan dengan mengagungkan waktu yang akan datang ,maka ancangan sejarah dianggap salah karena mengagungkan masa lampau .ketidak percayaannya terhadap pembuatan undang-undang ,terutama jika dikodifikasikan ,menunjukan adanya pandangan yang skeptis terhadap kemampuan manusia dan meragukan keberhasilan usaha manusia untuk menguasai dunia disekelilingnya .
Aliran sejarah telah membuka jalan bagi perhatian yang lebih besar terhadap sejarah dari suatu tata hukum ,dan mengembangkan pengertian hukum merupakan suatu unikum .keadaan tersebut menyuburkan dilakukannya penelitian-penelitian serta karya-karya yang bersifat antropologis .antropologi hukum menerima kehadiran hukum sebagai sesuatu yang sangat vital ,seperti mempertahankan kelangsungan kehidupan masyarakat ,mengatur produksi dan ditribusi kekayaan ,dan cara-cara untuk melindungi masyarakat dari dalam gangguan maupun musuh-musuh dari luar . dengan demikian ,hukum diterima dari sudut pandang yang sangat luas ,khususnya mengenai tempat dan peranannya dalam masyarakat .
Bagi ilmu hukum pada umumnya ,pendekatan antropologis telah menambahkan perspektif baru yang lebih luas .menurut ancangan tersebut ,apabila studi terhadap hukum hendak mencapai tingkat ketepatan yang tinggi ,maka dituntut suatu penglihatan yang menyeluruh terhadap masyarakat .studi hukum tidak dapat hanya dibatasi dengan pengamatan terhadap bentuk-bentuk dan lembaga-lembaga yang ada pada suatu waktu tertentu .sistem hukum tidak muncul secara terisolasi dari proses-proses lain kehidupan masyarakat,melainkan harus dilihat sistem-sistem hukum itu merupakan bagian dari pola kultur suatu bangsa ,dan hukum terintegrasikan didalamnya .
Menurut para ahli antropologi ,hukum adalah suatu bentuk manifestasi sosio-kultural .antropologi hukum juga menambahkan suatu perspektif kesejarahan terhadap studi hukum ,dan mendorong kita untuk membicarakan dan mempelajari perkembangan hukum .hukum yang ada pada suatu waktu tertentu hendaknya dilihat sebagai hasildari interaksi kekuatan –kekuatan sejarah ,dan kita perlu melihatnya dalam kerangka konsep-konsep budaya yang berubah pula . oleh karena itu ,studi terhadap masyarakat primitif diperlukan untuk bisa mengamati evolusi dari ide-ide dan bentuk-bentuk yang ada disitu .
Apabila antropologi diminta untuk mempelajari hukum ,seperti halnya antropologi hukum ,maka hal tersebut sebetulnya bagi ahli antropologi merupakan suatu kemunduran ,karena hukumnya hanya merupakan segi kecil saja dari suatu totalitas yang jauh lebih besar dan dalam .oleh karena itu ,bisa dimengerti kesulitan dan dihadapi oleh antropologi untuk menyesuaikan kepada definisi-definisi tentang hukum yang lazim dikenal dalam ilmu hukum positif .baginya hukum hendaknya diartikan lebih dari sekedar peraturan dan lembaga-lembaga pelaksanaannya yang formal .
Seperti berulang kali dikemukakan diatas ,antropologi hukum memperhatikan menerima hukum sebagai bagian dari proses-proses yang lebih tidak masyarakat . dengan demikian ,sesungguhnya antropologi hukum melihat hukum tidak secara statis ,melaikan dinamis ,dalam proses-proses menjadi dan menghilang .
Sesudah dengan panjang lebar membahas ancangan yang lebih komprehensif dalam pengkajian hukum ,yaitu secara antropologis ,sekarang akan dibicarakan ancangan yang bersifat sosiologis .seperti telah diutarakan pada bagian permulaan dari bab ini ,maka ciri utama yang mewarnai gerakan untuk mengkaji hukum dari ilmu-ilmu diluar hukum ,adalah pemberontakan terhadap formalisme ”,atau ”serangan terhadap eksklusivisme hukum .antara para penulis hukum ada yang menggunakan istilah ”gerakan sosiologis dalam hukum .
Pada tahun 1912,Roscoe Pound membuat programschrift yang kemudian menjadi sangat terkenal sebagai pemberi arah bagi aliran hukum sosiologis .Pound menyebutkan kelompoknya sendiri sebagi” sociological jurist,”,sedang ilmu hukum sosiologis (sociological jurisprudence )sendiri diterimanya sebagai suatu puncak dari perkembangan yang panjang ,berlangsung pada abad ke sembilan belas .
Menurut pound ,asal-usul ilmu sosiologis bisa dimulai dari para filsafat positif August Comte .pada dataran bersambung tersebut ,pound membedakan tiga tahap perkembangan yaitu:
(1). Tahap Mekanisme ;
(2). Tahap Biologis ;
(3). Tahap Psikologis ; dan
(4). Tahap Unifikasi
Dengan demikian ,hendak diperlihatkan tahap terakhir pada waktu pound menulis karangannya pada tahun 1911 ,merupakan puncak dari perkembangan pemikiran-pemikiran seperti tersebut diatas .
Pada tahap mekanis ,yaitu penggal pertama abad kesembilan belas ,pikiran orang masih sangat dipengaruhi oleh mekanisme dari dunia fisik .cara berfikir keilmuan tersebut juga merembes kedalam filsafat positif dari hukum ,pada tahap permulaan dari ilmu hukum sosiologis .pemikiran yang dimaksud adalah mempercayakan kepada bekerjanya kekuatan-kekuatan kadalam masyarakat ,yang seolah-olah bisa berlangsung secara eksak,pada akhirnya menghasilkan sesuatu resultante tertentu. Mekanisme alami tersebut tidak dapat dikuasai oleh manusia dan oleh karena itu menolak peranan dari peraturan perundang-undangan serta ahli hukum .
Pada tahap biologis ,yang muncul pada periode terakhir dari bagian ketiga abad ke sembilan belas ,banyak ahli hukum mulai melihat persoalannya secara harfiah atau sebagai perumpamaan dari kacamata biologis .pada masa ini ,para ahli hukum tertarik kepada masalah seleksi alamiah.perjuangan untuk tetap hidup ,atau untuk survive ,diterima sebagai suatu yang fundamental dalam ilmu hukum . hal tersebut memperkuat keyakinan mereka akan kebenaran dari pemikiran pada tahap sebelumnya ,yaitu tahap mekanitis .
Melalui jalan lain, pemikiran secara biologis tersebut juga sampai pada hasil yang dicapai oleh pemikiran sebelumnya ,yang mempercayakan kepada kekuatan-kekuatan yang bekerja dengan sendirinya dalam masyarakat dan yang membuahkan hasil-hasil tertentu ,tanpa manusia dapat mencampurinya .pemikiran pada tahap tersebut ,memerima tujuan hukum untuk menyediakan suatu medan perjuangan bebas ,yang berlangsung secara tertip dan terkendali , dengan sasaran untuk menyingkirkan mereka yang tidak mempu (the unfit). Hukum hendaknya didorong dilakukannya seleksi melalui perjuangan sosial yang teratur baik untuk mempertahankan hidup . keadan tersebut ,dicontohkan melalui campur tangan untuk meniadakan konflik ,seperti larangan untuk memiliki sesuatu dengan cara merebut
Pemimpin sebagai syarat kelangsungan hidup masyarakat .
Dari tangan orang yang sudah memilikinya secara syah; menghukum pencuri, perampok dan menciptakan lembaga pemilikan. Perjuangan untuk mempertahankan hidup atau suasana seleksi alamiah, juga terjadi antar lembaga - lembaga dan peraturan – peraturan, sehingga yang tidak bisa bertahan akan tersingkir dengan sendirinya.
Tahap psikologis dimulai sejak para ahli hukum sosiologis memalingkan perhatian kepada psikolog, yang menurut pound didorong oleh tiga hal sebagai berikut :
1. Pengkajian terhadap kepribadian dan kemauan kelompok yang menuntun kearah gerakan psikologis dalam filsafat – filsafat hukum dan politik
2. Terjadinya perubahan yang sempurna dalam metode ilmu – ilmu sosial, yang muncul dari tesis ward bahwa “ketakkutan – ketakutan psikis adalah sama nyata dan alamiayahnya seperti kekuatan – kekuatan fisik dan kekuatan – kekuatan tersebut merupakan sebab – sebab yang sebenarnya dari semua fenomen sosial”
3. Pemaparan oleh tarde yang menguraikan tenntang jangkauan dari imitasi sebagai faktor dalam perkembangan lembaga – lembaga hukum dan pemerinciannya lebih lanjut mengenai hukum – hukum psikologi dan sosiologi dari imitasi. Dengan teorinya tersebut, tarde telah memberikan asas pokok kepada kita yang secara tidak disadari mementukan arah dari perbuatan dan penentuan hukum (pound, 1911)
Ketiga tahap yang mendahului lahirnya ilmu hukum sosiologis tersebut telah memperkaya ilmu yang disebut terakhir, yang menyimpan dan meramu semua pemikiran dan metode yang dipakai oleh tahap – tahap yang mendahuluinya tersebut. Menurut pound, masalah utama yang dihadapai oleh ahli hukum sosiologis adalah memungkinkan dan mendorong pembuatan hukum, agar memperhitungkan dengan sungguh – sungguh fakta – fakta sosial yang harus dihadapi oleh hukum dan terhadap fakta tersebut hukum harus diterapkan.
Lebih lanjut, pound mendesak agar diperhatikan enam butir berikut ini :
1. Membuat studi tentang efek – efek sosial yang nyata dari lembaga – lembaga hukum dan doktrin – doktrin hukum.
2. Melakukan pengkajian sosiologis dalam hubungan dengan studi hukum untuk mempersiapkan pembuatan undang – undang. Cara ilmiah yang diterima disini adalah untuk mempelajari pembuatan undang – undang yang lain secara analitis. Studi perbandingan peraturan perundang – undangan ini dianggap sebagai landasan yang paling baik bagi pembuatan hukum yang bijaksana. Meskipun begitu, dianggap masih kurang cukup apabila orang hanya melakkukan perbandingan di antara undang – undang saja. Yang lebih penting adalah untuk mengkaji bekerjanya dalam masyarakat serta efek – efek yang ditimbulkannya, apabila hal tersebut memang ada dan menjadikan landasan untuk berbuat.
3. Melakukan pengkajian terhadap semua hal yang disebutkan di atas bearti menjadikan peraturan – peraturan hukum efektif. Hal inilah yang telah dilalaikan pada waktu yang lampau. Orang telah mengkaji pembuatan hukum dengan tekun sekali. Hampir dari seluruh energi dari sistem peradilan dikerahkan untuk membuat himpunan keputusan tersusun secara konsisten, logis dan terperinci secara rapi. Tetapi jantung kehidupan hukum terletak dalam penerapannya. Suatu pengkajian ilmiah yang bersungguh – sungguh tentang bagaimana menjadikan hasil peraturan perundang – undangan dan keputusan pengadilan yang begitu banyak efektif, merupakan suatu keharusan.
4. Pengkajian yang bersifat kesejarah, yaitu studi yang tidak hanya ditujukan kepada bagaimana doktrin – doktrin berubah dan berkembang semata – mata sebagai bahan hukum, melainkan mempelajari tentang efek – efek sosial apa yang telah ditimbulkan oleh doktrin – doktrin hukum pada masa lalu dan bagaimana menghasilkan efek – efek tersebut. Studi tersebut akan menunjukkan kepada kita, bagaimana hukum pada waktu lalu tumbuh dari lingkungan keadaan sosial, ekonomi dan psikologis, bagaimana ia berhubungan dan menyesuaikan dirinya dengan lingkungan tersebut, seberapa jauh kita bisa melangkah maju berdasarkan hukum itu sebagai landasannya, atau seberapa ia bisa diabaikan, semuanya dengan dasar yang beralasan untuk mencari hasil yang dikehendaki.
5. ikhwal yang lain adalah pentingnya penyelesaian kasus – kasus individual secara bernalar dan adil, yang pada masa lalu terlalu sering dikorbankan untuk mencapai tingkat kepastian hukum yang sebetulnya tidak mungkin dijangkau. Secara umum ahli hukum sosiologis memihak kepada apa yang disebut penerapan hukum yang layak (equitable); ini berarti mereka menerima peraturan hukum sebagai suatu pedoman umum bagi para hakim, yang akan menuntun dirinya kepada keputusan yang adil, tetapi yang sekaligus mendesak agar dalam batas – batas tertentu ia bebas untuk berurusan dan bebas memperlakukan kasus – kasus secara individual, sehingga dapat dicapai tuntutan keadilan diantara para pihak yang terlibat dan juga bersesuaian dengan jalan pikiran orang biasa.
6. Akhirnya, semua hal yang telah dibicarakan diatas sesengguhnya sekedar sarana saja untuk menju suatu tujuan, yaitu untuk melakukan usaha – usaha secara lebih efektif guna mencapai tujuan dari hukum. (pound, 1911)
Selanjutnya, sebagai suatu reaksi terhadap pengusahaan hukum yang bersifat formal-normatif, pound pound memperincinya dalam bentuk perbedaan pandangan antara ahli hukum yang berpandangan seperti tersebut diatas dengan para ahli hukum sosiologis, sebagai berikut :
1. Para ahli hukum sosiologis lebih mengarahkan penglihatannya kepada bekerjanya hukum dari pada isinya yang abstrak.
2. Memandang hukum sebagai suatu lembaga sosial yang dapat dikembangkan melalui usaha manusia dan menganggap sebagai kewajiban mereka untuk menemukan cara terbaik dalam memajukan dan mengarahkan usaha tersebut.
3. Lebih menekankan tujuan – tujuan sosial yang dilayani oleh hukum dari pada sanksinya.
4. Menekankan aturan – aturan hukum tersebut harus lebih dipandang sebagai pedoman untuk mencapai hasil – hasil yang dianggap adil oleh masyarakat dari pada sebagai kerangka yang kaku (pound,1911)
Demikianlah, pound telah meramu berbagai pemikiran sebelumnya, yang disebutnya sebagai tahap – tahap pendahuluan bagi ilmu hukum sosiologis, kedalam suatu rumusan pemikiran dalam bentuk uraian tentang ruang lingkup dan tujuan dari ilmu hukum sosiologis.
Para pengkritik melihat kelemahan – kelemahan yang dibuat oleh pound dari segi pembentukan teori sosial tentang hukum, tetapi memujinya sebagai tokoh yang penting dalam gerakan sosiologis dalam hukum (hunt,1978:33).
Kita tidak akan membahas masalah kritik tersebut lebuh lanjut, karena segi yang menarik dari Roscoe Pound bagi kita adalah pemikirannya yang mendorong ke arah dilakukannya pengusahaan hukum secara interdisipliner.
Masih ada dua nama besar lagi yang tidak dapat ditinggalkan apabila membahas tentang pengkajian hukum secara interdisipliner, khususnya dalam hubungannya dengan gerakan pemikiran sosiologis dalam hukum. Kedua nama tersebut adalah Emile Durkheim dan Max Weber.
Emile Durkheim dibahas dalam rangka pengkajian interdisipliner terhadap hukum, karena Durkheim telah membuat perkaitan yang bersifat mendasar dan sistematis antara sistem hukum dan struktur masyarakatnya. Dengan demikian, kita tidak dapat membiarkan hukum untuk dikaji dalam keadaan terisolasi dari cara – cara masyarakat tempatnya bekerja di organisasi.
Durkheim adalah seorang ahli sosiologi dan mempunyai perhatian terhadap hukum, hanya sebagai bagian atau sampingan dari pekerjaannya yang utama, yaitu sebagai ahli sosiologi. Durkheim sampai kepada hukum dibawa oleh perkembangan dari penelitiannya terhadap inti persoalan masyarakat, atau kehidupan manusia bermasyarakat. Sebagai seorang ahli sosiologi ia terikat kepada metode empiris, yaitu menyusun pendapat atas dasar data kenyataan – kenyataan dalam masyarakat. Pernyataan besar yang senantiasa menghantui Durkheim dalam pekerjaannya di bidang sosiologi ialah tentang “apa yang menyebabkan terjadinya masyarakat”. Bukankah setiap orang mempunyai kepentingan dan keinginan sendiri – sendiri? Sekalipun demikian, mengapa mereka tersebut bisa hidup dalam ikatan kebersamaan? Apa yang menyebabkan mereka terikat dalam satu kesatuan kehidupan?
Teorinya yang mencoba untuk menjawab pertanyaan besar tersebut dipaparkan dalam bukunya yang telah menjadi klasik, yaitu De la division du travail social (1893) yang diterjemahkan kedalam bahasa inggris dengan judul The division, of labor in society (Durkheim, 1964). Durkheim menemukan jawaban terhadap pertanyaan besar tersebut dalam bentuk “solidaritas sosial”. Menurut Durkheim, hal yang utama dalam kehidupan manusia adalah kehidupan bermasyarakat, bukan kehidupan perorangan. Baginya, yang pertama ada adalah kesadaran sosial, bukan individual.
Perhatian Durkheim dipusatkan kepada fenomenasolidaritas sosial yang terdapat pada orang – orang dalam masyarakat. Pada saat periode solidaritas tersebut belum terbentuk, yaitu pada saat hubungan antara orang – orang dalam suatu wilayah hanya bersifat kadang kala, maka disitu belum terbentuk masyarakat dengan pengaturannya yang terperinci.
Durkheim mengajukan suatu tesis, masyarakat menghasilkan dua bentuk solidaritas sosial yang berbeda, yang mekanik dan organik. Solidaritas mekanik merupakan karakteristik dari masyarakat sederhana, yang didalamnya dapat dijumpai pembagian kerja yang terbatas sekali. Ciri utama dari masyarakat tersebut adalah “kepaduan” dan “kesamaan antar orang”. Mereka tersebut tersekap didalam perbuatan – perbuatan yang sama, dan menghayati nilai – nilai dan cita – cita yang sama. Sedangkan solidaritas organik ditandai oleh pembagian kerja yang sudah maju. Semangat kolektif telah menurun digantikan oleh individualisme yang bisa berkembang dalam suasana kerjasama individual, suatu pola hubungan yang didasarkan kepada konsep kebebasan dari setiap individu untuk merancang tindakannya.
Untuk mengamati tipe – tipe solidaritas tersebut, Durkheim membutuhkan lambang yang bisa ditangkap secara indarawi dan dapat diukur. Lambang yang mencerminkan solidaritas sosial tersebut ditemmukannya dalam hukum, seperti dikatakannya:
Lambang yang bisa dilihat adalah hukum. Dalam kenyataannya, kendatipun ia mempunyai sifat imaterial, apabila dijumpai suatu solidaritas sosial, hukum tidak sekedar berupa suatu potensi, melainkan menampilkan diri dalam bentuk wujud – wujud yang bisa ditangkap. Apabila hukum kuat, sering dalam bentuk mengaitkan mereka kedalam kontak, melipatgandakan kesempatan – kesempatan pada saat orang – orang berhubungan satu sama lain (Durkheim, 1964).
Sulit untuk mengetahui, apakah solidaritas sosial tersebut yang menghasilkan keadaan tersebut ataukah sebaliknya. Semakin besar keterikatan anggota – anggota dalam suatu masyarakat, semakin terlibat mereka kedalam berbagai hubungan yang satu dengan yang lain, atau dengan kelompoknya sebagai suatu kolektiva. Karena, apabila pertemuan mereka jarang terjadi, maka merekapun akan jarang terikat anatara satu kepada yang lainnya. Lebih dari itu jumlah dari hubungan – hubungan tersebut berbanding proporsional dengan peraturan – peraturan hukum yang menetukan hubungan – hubungan tersebut.
Sesungguhnya, kehidupan sosial, terutama apabila berlangsung untuk waktu yang berkepanjangan, tentu cendrung untuk menerima suatu bentuk tertentu dan mengorganisasikan dirinya sendiri, sedangkan hukum tidak lain adalah organisasi itu sendiri, sejauh ini menunjukkan stabilitas dan kecermatan yang lebih besar. Kehidupan masyarakat tidak dapat berkembang, tanpa hukumnya juga berkembang pada saat yang sama dan dalam kaitan yang langsung. Dengan demikian, bisa dipastikan akan ditemukan semua ikhwal yang esensial dari solidaritas sosial, tercermin dalam hukum (Durkheim, 1964: 64,65).
Dari kutipan tersebut, tampak betapa besar yang diberikan oleh Durkheim kepada hukum sebagai pengorganisasian masyarakat. Intensitas pekerjaan yang dilakukan oleh hukum dalam masyarakat berbanding proporsional dengan intensitas dari hubungan – hubungan diantara anggota – anggota masyarakat itu sendiri. Seperti yang disebutkan dalam kutiban tersebut, itensitas bekerjanya hukum diwujudkan dalam jumlah peraturan yang diciptakan, termasuk didalamnya kesempatan – kesempatan yang disediakan oleh hukum untuk memperlancar hubungan – hubungan antara sesama anggota masyarakat.
Perandingan antara pekerjaan hukum dan intensitas hubungan antara sesama anggota masyarakat, oleh Durkheim dikemukakan dalam bentuk tipe – tipe hukum, yaitu hukum yang refresif dan yang restitutif. Sistem yang refresif terdapat pada masyarakat dengan solidaritas sosial yang mekanik. Dengan demikian, hukum yang represif tersebut merupakan suatu bentuk pengorganisasian masyarakat yang didasarkan atas pola kehidupan bersama yang kolektif, dengan keterkaitan dan kesamaan yang besar diantara anggotanya. Sebagai akibatnya, maka hukum yang dilahirkan disitu adalah yang bisa menjamin dan mempertahankan sifat – sifat keterpaduan yang amat besar. Hukum ini harus bisa menjamin bahwa keterpaduan, kesamaan dalam nilai – nilai dan cita – cita, singkat kata kehidupan yang kolektif tersebut, bisa ditegakkan secara berkepanjangan.
Pengorganisasian kehidupan bersama seperti tersebut hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi kebebasan bergerak dan kemerdekaan untuk melakukan pilihan – pilihan anggota – anggota masyarakat. Dengan perkataan lain, hukum harus lebih banyak bekerja dengan menggunakan ancaman – ancaman hukuman. Dengan demikian, hukum represif pun tercipta.
Peralihan kepada solidaritas organik, menurut Durkheim, ditandai dengan menurunya ikatan kolektivitas dan naiknya individualitas. Disini mulai terjadi hubungan – hubungan yang bersifat pribadi, yang tidak lagi terikat kepada pola kesamaan, melainkan terbuka untuk didasarkan atas rancangan – rancangan yang dibuat sendiri oleh para pihak yang berkehendak untuk melakukan hubungan tersebut. Apabila keadaan sudah berkembang seperti tersebut, maka lambat laun akan terciptalah suatu pola pembagian kerja yang makin maju dalam masyarakat. Pembagian kerja seperti tersebut belum dapat diharapkan timbul pada saat kehidupan bersama masih bersifat kolektif danm statis. Hukum pun dituntut untuk mampu menyediakan fasilitas yang memberikan dukungan bagi rancangan – rancangan bebas yang dilakukan oleh para anggota masyarakat dalam hubungan yang satu dengan yang lain. Dengan demikian, maka diversifikasikan dalam aturan – aturan hukum dan bidang – bidang hukum, mulai berkembang.
Organisasi masyarakat yang mampu mewadahi solidaritas dan hubungan – hubungan yang telah berubah tersebut, dituntut untuk memberikan keleluasaan yang cukup besar kepada annggota – anggota masyarakat untuk memiliki sendiri bentuk – bentuk hubungan yang mereka kehendaki dan merancangnya. Menghadapi tuntutan tersebut, pengorganisasian masyarakat yang berorientasi kepada soal bagaimana membuat perilaku anggota – anggota masyarakat menjadi seragam, tentulah tidak bisa dipertahankan lagi. Yang diperlukan sekarang bukannya bagaimana organisasi tersebut bisa mengendalikan dan menghambat kebebasan – kebebasan, tetapi justru memberikan kesempatan agar kebebasan dalam hubungan – hubungan antara para anggota masyarakat bisa terjamin.
Pengorganisasian sosial seperti tersebut dilaksanakan dengan cara mendorong anggota – anggota masyarakat untuk merencanakan hubungan – hubungannya sendiri. Organisasi sekedar menjaga agar tidak ada pihak – pihak yang dirugikan didalam lau lintas sosial tersebut. Maka lahirlah tipe hukum yang oleh Durkheim disebut “restitutif”, yang hendak mengembalikan persoalannya kepada keadaannya semula. Dengan perkataan lain, keadilan bersifat komutatif, keadilan yang menyeimbangkan kembali.
Tokoh berikutnya yang akan dibicarakan adalah Max Weber (bahan – bahan diambil dari Rahardjo, 1982: 261 – 264). Berbeda dengan Durkheim yang tertarik kepada hukum, sebagai kelanjutan dari pekerjaannya sebagai seorang sosiologi, Max Weber memang sudah sejak semula berkecimpung dalam bidang hukum, dimulai dari pendidikan akademisnya. Namun demikian, sebagai lazimnya para ahli hukum sosiologis, maka pendidikan hukumnya justru mengembangkan suatu sikap anti formal. Sikap seperti tersebut berfungsi sebagai dasar pemikiran interdisipliner dalam mengkaji hukum.
Max Weber mempelajari hukum pada saat aliran sejarah sedang menanjak. Sekalipun Weber nantinya memberikan reaksi yang kuat terhadap aliran tersebut, namun karya – karya pertamanya ditanai oleh pengaruh yang datang dari aliran tersebut. Karya – karya intelektualnya dibakar oleh keingin tahuannya dan keterlibatannya kepada masalah – masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat dan negara Jerman. Perhatiannya tertuju kepada usaha untuk bisa memaparkan karakteristik umum dari perkembangan dunia barat. Dengan demikian, Weber telah masuk kedalam kawasan pemikiran hubungan antara hukum dan politik.
Weber disebut – sebut sebagai tokoh dalam sosiologi modern yang menggarap hukum secara komprehensif dengan metode sosiologis. Hukum merupakan segi yang sangat penting dalam studinya mengenai Herrschaft (dominasi) dalam masyarakat. Dominasi tersebut bertolak dari struktur yang kharismatis dan traditional menuju struktur yang legal – rational. Uruutan perkembangan tersebut sebagai berikut :
1. Pengadaan hukum melalui pewahyuan (revelation) secara kharismatis. Dalam istilah Weber, pengadaan hukum secara demikian, terjadi melalui apa yang disebutnya “law prophets”. Weber berpendapat cara pengadaan hukum seperti tersebut yang benar – benar dapat disebut sebagai pengadaan hukum yang kreatif, yaitu menciptakan sesuatu dari nol. Pengadaan hukum yang dilakukan oleh para ahli hukum, bagaimanapun orisinalnya, tetaplah bertolak dari kaidah hukum yang sudah ada sebelumnya (Weber, 1954:320)
2. Penciptaan dan penemuan hukum secara empiris oleh para “legal honoratiores”, yaitu penciptaan hukum oleh para Kautelarjuristen. Cara tersebut mengandung suatu seni dan keterampilan untuk menciptakan dan melakukan inovasi hukum. Dengan tahap tersebut, Weber hendak menunjuk kepada pengadaan hukum yang tidak begitu saja jatuh dari keadaan antah – berantah seperti pada tahap terdahulu, melainkan hukum yang tercipta dari teknik – teknik dan keterampilan sendiri. Dalam penciptaan ini, hukum terikat kepada preseden.
3. Pembebasan (imposition) hukum oleh kekuatan – kekuatan sekuler atau teokratis.
4. Tahap yang terakhir adalah penggarapan hukum secara sistematis dan penyelenggaraan hukum yang dijalankan secara profesional oleh orang – orang yang mendapatkan pendidikan hukum dengan cara ilmiah dan logis – formal.
Perkembangan sebagaimana diuraikan diatas, hendaknya dikaitan kepada tiga tipe dasar dari kekuasaan yang sah, yaitu masing – masing bersifat :
1. Karismatis, yaitu yang bertumpu pada kesetiaan, kepada keistimewaan yang menonjol dari seseorang dan tatanan yang dikeluarkan oleh orang yang menjadi sanjungan kesetiaan tersebut.
2. Tradisional, yaitu didasarkan pada kepercayaan yang telah mapan dan melembaga mengenai tradisi turun menurun, termasuk kepercayaan kepada legitimasi dari mereka yang menjalankan kekuasaan atas dasar tradisi.
3. Rasional, yaitu bertumpu pada kepercayaan terhadap kesahihan pola – pola dari kaidah – kaidah normatif dan terhadap hak dari mereka yang memiliki otoritas, yang muncul dari kaidah – kaidah tersebut, untuk mengeluarkan perintah – perintah.
Usaha Weber untuk menyingkap ciri yang menonjol dari masyarakat barat membawanya kepada rasionalitas sebagai kuncinya. Hal tersebut menjadi landasan baginya untuk menyusun tipologinya mengenai hukum atas dasar dua sumbu, yaitu sumbu formal substantif dan sumbu irasional – rasional. Sumbu formal – substantif menyangkut perbedaan tentang bagaimana suatu sistem (hukum) disusun hingga merupakan suatu sistem yang mampu menentukan sendiri peraturan dan prosedur yang dipakai untuk mengambil suatu keputusan. Sistem formal melakukannya atas dasar ketentuan – ketentuan yang dibuat sendiri oleh sistemnya, sehingga bersifat internal. Sedangkan yang kedua (substantif) bersifat eksternal, karena menunjukkan kepada ukuran – ukuran di luarnya, terutama kepada nilai – nilai agama, etik dan politik.
Adapun perangkat sumbu yang kedua berkisar pada variabel – variabel yang rasional berhadapan dengan irasional. Keduanya menyangkut perbedaan mengenai cara penggunaan bahan dari masing – masing sistem tersebut diatas (formal atau substantif), termasuk didalamnya peraturan – peraturan serta prosedur – prosedurnya (Hunt, 1978:105). Tipologinnya menjadi sebagai berikut :
1. Irasional : a) Irasionalitas formal
b) Irasionalitas substantif
2. Rasional : a) Rasionalitas formal
b) Rasionalitas substantif
Digambarkan dalam bentuk tabel, maka model perkembangan rasionalisasi hukum dari Weber adalah sebagai berikut :
Ragaan 8
Cara
Penyelenggaraan
Kualitas Formalnya
Tipe Keadilannya
Kharismatis
Empiris
Teokratis
Profesional Irasionalitas formal
Irasionalitas substantif
Rasionalitas substantif
Rasionalitas Formal Keadilan kharismatis
Keadilan khadi
Keadilan empiris
Keadilan rasional
Penjelajahan dalam dimensi sejarah pemikiran tentang hukum sebagaimana diuraikan dalam bab ini mencoba untuk menunjukkan pemikiran secara antar disiplin atau interdisipliner yang menjadi pokok pembicaraan buku ini, bukanlah hal yang sama sekali asing. Apabila mengambil titk tolak ancangan normatif dan dogmatis dalam studi hukum sebagai sesuatu yang dominan, atau setidak – tidaknya mengklaim dirinya sebagai satu – satunya cara yang sah untuk mempelajari hukum, maka selalu saja dapat kita jumpai adanya reaksi atau counter approach terhadap ancangan tersebut. Pandangan alternatif tersebut, juga dikenal sebagai anti – formalisme yang bersifat sosiologis, antropologis, biologis, ekonomis, politis, ataupun lainnya, sama – sama mengingatkan kepada kita untuk menyadari hasil – hasil studi hukum akan menjadi terlalu miskin, apabila hanya dilakukan secara dogmatis – normatis. Apalagi, apabila kita sekarang dihadapkan kepada masa pembangunan yang akan menempatkan kedudukan hukum pada posisi serba terkait kepada bidang – bidang dan proses sosial diluarnya.
(catatan Kecil Kuliah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar