TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN KUASA MUTLAK DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH NOTARIS / PPAT (PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH)
Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah dilakukan di hadapan seorang Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertipikat jual beli atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini dilakukan dihadapan notaris, yang dinamakan dengan Perjanjian Jual Beli/Perikatan Jual Beli. Perjanjian jual beli yang diikuti dengan kuasa mutlak merupakan perjanjian pendahuluan yang lazim ditemukan dalam praktek Notaris. Sehingga dengan demikian perjanjian jual beli dengan kuasa mutlak ini dilaksanakan mengawali jual belinya itu sendiri dihadapan PPAT.
Berdasarkan uraian di atas, akan dikaji mengenai mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan dan bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT serta bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak.
Bahwa kedudukan kuasa mutlak dalam perjanjian jual beli masih sering digunakan di kalangan masyarakat. Kuasa mutlak yang seharusnya digunakan adalah kuasa mutlak yang sesuai dengan isi Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor 594/1492/AGR tanggal 31 Maret 1982.
Dalam praktek sering dijumpai Akta Perjanjian Jual Beli tidak memakai klausula tidak dapat dicabut kembali, sehingga mengakibatkan kuasa tersebut menjadi tidak mutlak. Dalam hal pemakaian kuasa mutlak dalam perjanjian jual beli diperuntukkan demi kepentingan khususnya pihak pembeli.
Kuasa mutlak ini diberlakukan kembali disebabkan terdapat kemacetan dalam pengurusan surat-surat tanah sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, sehingga kemudian dikeluarkan kembali Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor 594/1492/AGR untuk melancarkan hal tersebut. Perlindungan hukum untuk pihak penjual yang tanahnya dialihkan dengan kuasa mutlak diperlukan apabila pihak pembeli membeli objek/tanah tersebut tidak dengan cara tunai.
Dari kesimpulan tersebut, maka disarankan agar Notaris tidak begitu saja melayani
permintaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian jual beli yang disertai dengan kuasa mutlak, dan agar lebih berhati-hati dalam pemakaian kuasa mutlak sehingga kuasa mutlak yang digunakan adalah kuasa mutlak yang tepat sesuai dengan IMDN No.14/1982 dan SDJA No. 594/1492/AGR. Disarankan pula, agar diberikan penyuluhan untuk para Notaris/PPAT yang lebih akurat mengenai kuasa mutlak ini oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar