Bagaimanakah wacana CSR sebagai instrumen pemotongan pajak? Masalah apa saja yang muncul sehubungan dengan kewajiban CSR sebagai Instrumen pemotongan pajak?
Seminar Partai Demokrat - hukumonline. Foto : Sgp.
Tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) menjadi hal yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Semakin marak dan menguatnya prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis.
Menurut Alyson Warhust, CSR didefinisikan sebagai upaya sungguh-sungguh entitas bisnis untuk meminimumkan dampak negative dan memaksimalkan dampak positif operasi perusahaan seluruh pemangku kepentingan dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Definisi ini sesuai dengan konsep triple bottom line atau piramida CSR Archie Carrol yang sangat terkenal.
Di dalam piramida tersebut dijelaskan bahwa tanggung jawab untuk menjalankan bisnis sesuai dengan norma-norma positif yang didukung oleh masyarakat luas dimana bisnis itu beroperasi ditaruh di tingkat tiga. Tingkat pertama adalah tanggung jawab ekonomi (mencari keuntungan), kedua adalah tanggung jawab untuk patuh terhadap hukum yang berlaku dan di puncak piramida adalah tanggung jawab tambahan atau fiduciary.
Di Indonesia, Corporate Social Responsibility (CSR) diatur ketat dalam regulasi melalui Pasal 74 UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas dan Pasal 15 huruf (b) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. CSR tersebut dianggap sebagai bagian dari kewajiban yang dilekati sanksi. Meskipun hal tersebut masih menjadi perdebatan hingga saat ini karena dianggap tidak sesuai dengan konsep asli CSR yang sifatnya sukarela dan tidak diatur oleh regulasi atau beyond regulation. Meskipun demikian, CSR telah ditegaskan sebagai kewajiban melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 yang sifatnya final dan binding. Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana implementasi CSR sebagai kewajiban tersebut setelah dikeluarkannya Putusan MK tersebut? Dampak apa sajakah yang timbul?
Masalah lain yang muncul adalah masalah penyediaan dana CSR terkait erat dengan kondisi perpajakan, apabila dilihat dari perspektif perusahaan. Dari sudut Pajak Penghasilan (PPh), perusahaan biasanya harus memilih strategi sehingga semua biaya yang dikeluarkan untuk program CSR yang dipilih dapat dibebankan sebagai biaya yang mengurangi laba kena pajak. Sementara dari sudut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perusahaan biasanya memilih strategi tertentu sehingga barang atau jasa yang diberikan kepada pihak penerima tidak terhutang PPN atau kalaupun terhutang diupayakan seminimal mungkin.
CSR bagi perusahaan adalah pengeluaran, begitu pula dengan pajak yang harus mereka bayarkan. Sederhananya, membayar pajak sekaligus mengeluarkan anggaran untuk kegiatan CSR berarti pengeluaran ganda bagi perusahaan. Perhitungan ekonomis akan melihat pengeluaran ini sebagai kerugian perusahaan.
Oleh karena itu, para pengusaha mendorong Pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) atas implementasi Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2007 tentang pembebasan pajak dari tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR). Pasalnya, saat ini perseroan terpaksa harus rela dipotong anggaran CSR-nya hanya untuk pajak CSR sebesar 30-35%. Padahal, di Amerika Serikat misalnya, dengan pertimbangan penguatan kelompok-kelompok masyarakat sipil, maka perusahaan yang menyumbang kepada kelompok yang masuk dalam kategori 501 (c) 3, akan mendapatkan pemotongan pajak. Hal tersebut juga terjadi di beberapa negara Eropa.
Oleh karena itu, kabar mengenai akan dikeluarkannya peraturan pemerintah (PP) tentang pengurangan pajak yang drafnya selesai dibahas pada 30 November mendatang mendapat banyak masukan dari para pengusaha. RPP ini merupakan turunan dari UU No 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh). Di dalam RPP tersebut, donasi untuk kegiatan sosial atau filantropi akan menjadi pengurang pembayaran pajak penghasilan (PPh) pribadi maupun perusahaan. Para pengusaha berharap RPP tersebut juga mengatur mengenai pengurangan pajak untuk program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar