1. Pendahuluan
Apabila dikaji secara intern, detail dan terperinci maka ilmu hukum merupakan salah satu dari suatu bidang hukum. Tegasnya, jikalau dijabarkan lebih jauh pada hakiatnya ilmu hukum tidaklah identik dengan hukum oleh karena untuk menjadi hukum bukan harus selalu lahir dari proses pengembangan ilmu hukum. Dengan lain perkataan yang sederhana dapatlah diasumsikan bahwa setiap ilmu hukum itu akan berubah menjadi hukum apabila melalui proses keadilan masyarakat. Dalam perkembangannya, apabila ditinjau dari optik konsep ilmu maka secara konseptual ilmu hukum identik dengan ilmu-ilmu lainnya.
Akan tetapi jikalau konsep ilmu dalam ilmu hukum dipandang sebagai konsep yang khas dan berbeda dengan konsep umum pada ilmu-ilmu alam maka ilmu hukum menjadi suatu ilmu yang khas dan khusus oleh karena penerapan metode ilmu-ilmu alam dalam ilmu hukum menjadikan ilmu hukum dapat diklasifikasikan ke dalam ilmu sosial. Selain dari aspek tersebut dalam bangun yang lain maka kerap kali ilmu hukum dikategorikan ke dalam ilmu humaniora atau ilmu-ilmu kemanusiaan. Aspek ini terjadi oleh karena ilmu hukum bersifat manusiawi dimana sifat kemanusiaan dari ilmu hukum terlihat dari metode penemuan hukum.
Tegasnya, sifat konkrit dan individual mengakibatkan metode penemuan hukum mengarah pada manusia. Apabila ditelusuri mengenai latar belakang penempatan ilmu hukum ke dalam humaniora oleh karena dari aspek ini ilmu hukum tidak lepas dan berkolerasi dari agama. Menurut pandangan yahudi misalnya, Taurat dianggap sebagai hukum. Begitu pula halnya dalam agama Islam maka Al-qur’an adalah salah satu sumber hukum.
Dengan demikian maka pemahaman terhadap kitab suci sebagai sumber hukum dilakukan suatu penafsiran. Maka oleh karena itu sejak timbulnya negara bangsa, menimbulkan peraturan di mana dalam ilmu hukum metode penafsiran tetap dipergunakan seperti dalam hukum yang berdasarkan agama.
Dengan titik tolak demikian akan menimbulkan pertanyaan fundamental yakni apakah ilmu hukum dapat dikategorikan sebagai ilmu ataukah tidak? Terhadap aspek ini dapat dilihat dari 2 (dua) titik pandang. Pertama, di satu pihak menurut aliran positivistik maka ilmua hukum harus
dipisahkan hubungan antara hukum dengan moral sehingga ilmu hukum itu bukanlah ilmu oleh karena hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit sebagai ilmu. Sedangkan yang lainnya ternmasuk keahlian hukum terdidik (rechtsgeleerdheid) . Kedua, di lain pihak menurut aliran normatif maka hendaknya dipisahkan antara korelasi hukum dan moral sehingga tiap teori hukum dalam arti luas dapat menjadi ilmu.
Aspek ini lebih rinci dan lugas ditegaskan oleh J.J.H. Bruiggink dengan redaksional sebagai berikut:
“Hanya sosiologi hukum empirik dan teori hukum empirik dalam arti sempit yang dapat disebut ilmu berdasarkan kretarium positivistik. Kegiatan sosiologi hukum kontemplatif, dogmatika hukum (atau ilmu hukum dalam arti sempit). Teori hukum kontemplatif dalam arti sempit dan filsafat hukum harus dipandang sebagai bukan ilmu hukum, melainkan sebagai “rechtsgeleerdheid” (Keahlian hukum terdidik atau kemahiran hukum terdidik), setidak-tidaknya demikian menurut pandangan positvistik. menurut pandangan normatif, tiap teori hukum (dalam arti luas) dapat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan bagi ilmu, sehingga tiap cabang teori hukum (dalam arti luas) dapat menyandang gelar “ilmu”. (lihat J.J.H. Bruggink, (alih bahasa: Arief Sidharta), Refleksi Tentang Hukum, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm. 185 dan 187)
Dengan mengacu kepada aliran normatif maka ilmu hukum dapat diklasifikasikan sebagai ilmu. Oleh karena ilmu hukum adalah dalam ruang lingkup ilmu maka dalam perkembangan ternyata timbul 2 (dua) kecenderungan ilmu hukum, yaitu:
a. Kecenderungan pertama ilmu hukum ternyata terbagi dalam bidang yang seolah-olah berdiri sendiri-sendiri seperti adanya pembidangan Ilmu Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Perdata, dan lain-lain. Konsekuensi pembagian yang demikian mempunyai kecenderungan seolah-olah masing-masing berdiri sendiri. Dengan demikian kecenderungan ini membentuk ilmu hokum ke dalam ilmu yang bersifat normatif, empiris dan sosiologi. Lazimnya dengan dimensi demikian ini membawa pengaruh terkadang para penganut ketiga bidang ilmu hukum tersebut saling menafikan antara satu dengan lainnya.
b. Kecenderungan kedua menimbulkan prediksi ternyata ilmu hukum menumpang pada bidang ilmu lain sehingga menimbulkan wajah dimana ilmu hukum merupakan suatu ilmu yang berdiri sendiri dan unik. Aspek ini nampak terlihat ada pandangan yang menganalogikan ilmu hukum dengan sosiologi hukum dan antropologi hukum. Oleh karena itu, secara konkret dengan kecenderungan demikian mengakibatkan Ilmu Hukum menjadi disintegrasi. Padahal pada dewasa ini seharusnya ilmu hukum harus bersifat Integratif adalah suatu kebutuhan yang nampaknya merupakan keharusan ditinjau dari aspek ontologis, epistemologis dan axiologis, Anasir ini parallel dengan pendapat Sugijanto Darmadi bahwa:
“Adanya ilmu hukum yang bersifat integratif merupakan suatu kebutuhan. Kita dapat melihat adanya kelemahan dalam metode normatif, metode empiris maupun metode filosofi. Kita juga dapat melihat adanya kelemahan antara ilmu hukum yang murni teoritis semata-mata atau ilmu hokum yang terapan semata-mata. Jadi adanya kecenderungan tersebut mengakibatkan aanya disintegrasi dalam ilmu hukum secara ontologis, epistemologis mapun axiologis”. ( lihat 3 Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum Dalam Ilmu dan Filsafat, sebuah Eksplorasi Awal Menuju Ilmu Hukum yang Intregalistik Dan Otonomi, Penerbit: CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hlm. 58 ).
Oleh karena ilmu hukum hendaknya bersifat integratif maka dari aspek ontologi, ilmu hukum pada hakikatnya akan menjawab apakah titik tolak kajian subtansial dari ilmu hukum. Sedangkan dari aspek epistemologi ilmu hukum akan menjawab bagaimana mendapatkan kebenaran dengan melalui metode ilmu hukum dan axiologi akhirnya akan menjawab kegunaan dari ilmu hukum itu sendiri. Maka dengan latar belakang demikian dan kolerasi antara ontologi, epistemologi dan axiologi tersebut artikel ini akan mengkaji lebih intens, detail dan terperinci bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek ontologi ilmu, epistemologi ilmu dan dikaji dari aspek axiologi ilmu.
II. Pembahasan Ilmu Hukum Dikaji Dari Aspek Ontologi, Epistemologi dan
Axiologi Ilmu
1. Dari Aspek Ontologi Ilmu
Pada dasarnya, menurut Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab bebrapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti :
“obyek apa yang ditelaah ilmu ? bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut ? bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan ? (lihat Jujun S. Suriamantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar, Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 1996, hlm. 33)
Konkritnya, bidang telaah sebagaimana konteks diatas merupakan bidang Ontologi Ilmu. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu Hukum maka bidang Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum.
Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya menurut pandangan doktrina seperti E. Ultercht, Van Apeldoorn, Prof. Van Kant, Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi.
Oleh karena itu, menurut Penulis dengan titik tolak teoritik sebagaimana pandangan doktrina dan aspek praktek pada dunia peradilan maka secara Universal ada 3 (tiga) aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
a) Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain-lain. Apabila aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan bahwa “ nilai-nilai hukum “ ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang abstrak/teoritis.
b) Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret. Pada dasar “ kaidah-kaidah hukum “ ini dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft).
c) Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum. Singkatnya, konteks ini dikaji oleh Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum, Psikologi Hukum dan Sejarah Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis seperti : Rechts Filosofie, Rechts theorie dan Rechts Dogmatiek dengan aspek imperis/nyata yang merupakan kajian Recht en Rechtspratijkheid.
Dengan 3 (tiga) bidang dari Ilmu Hukum tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu.
Ternyata dari Optik Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum“. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian ini persoalannya timbul dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Seperti diuraikan konteks diatas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft).
Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu bersifat normative. Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan senirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang perilaku, terhadap nilai atau kaidah seperti Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum misalnya lebih menekankan pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.
Pada dasarnya, menurut J.J.H. Bruggink berpendapat bahwa perintah perilaku, yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :
a. Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu ;
b. Larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu ;
c. Pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan ; dan
d. Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
Selain dari aspek tersebut diatas maka kaidah hukum dapat juga ditentukan dalam hukum yang tercatat/terdokumentasikan seperti : hasil-hasil penelitian Hukum adat, penilaian ahli hukum, pandangan doktrina tentang hukum, pandangan filosofi seorang filsuf dan lain sebagainya.
Begitu pula kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis seperti : UU, Yurisprudensi, Keputusn Pemerintah Pusat/Daerah dan lain sebagainya. Kaidah hukum dapat pula ditemukan dalam kitab-kitab suci, ada kemungkinan hukum yang tercatat/tertulis berasal dari kenyataan hukum, tetapi pembentukannya bersifat rasional. Pembentuknya (seperti DPR/D, Kepala daerah, dan lain-lain) mempunyai kepentingan tertentu atau mempunyai pandangan tertentu yang cukup berperanan dalam terbentuknya hukum tersebut. Adanya kepentingan/pandangan tertentu turut dipertimbangkan mengakibatkan fakta empiris akan menjadai hukum setelah diolah secara rasional. Dalam pembentukan hukum yang terbentuk tidak berasal semata-mata dari kebiasaan tetapi timbul berdasarkan suatu pertimbangan dari pihak berwibawa sehingga anggota masyarakat patuh.
Hukum yang hidup (living Law) tidak bisa lepas dari pertimbangan pihak yang berwibawa. Pihak yang berwibawa sudah tentu mempertimbangkan perkara sesuai dengan kebiasaan yang sudah membiasa, serta sesuai dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat.
Dengan demikian ditinjau dari deskripsi diatas dapatlah ditarik 2 (dua) asumsi dasar, yaitu : Pertama, bahwasanya kaidah hukum dapat ditemukan dalam hukum tertulis dan tercatat. Kedua, bahwasanya pembentukan hukum yang hidup tidak lepas dari legitimasi kewibawaan yang mengakibatkan adanya pertimbangan nilai, maka dapat disimpulkan bahwa kaidah hukum tidak semata-mata terlihat berupa fakta empiris tetapi juga berupa hal rasional. Hukum tidak bisa diindetikkan begitu saja dengan fakta empiris yang alamiah dan fisik serta dapat diserap dengan panca indera. Hukum bersangkutan dengan manusia yang secara utuh bersosok monodualistis antara jiwa dan badan, individu dan masyarakat. Kaidah hukum berintikan keadilan. Adil dan tidak adil merupakan pendapat mengenai nilai secara pribadi. Kaidah hukum bersangkutan dengan martabat manusia (human dignity), bagaimana manusia terlindungi dari kesewenang-wenangan, bebas dari rasa takut dan lain-lain dan ini merupakan aspek personal dari hukum. Sedangkan terhadap pernyataan bahwa kaidah hukum berlaku bagi siapapun dan kapanpun, pedoman bagi anggota masyarakat bertingkah laku, dan untuk memperhatikan kaidah hukum tersebut dibentuklah pranata hukum dan lembaga hukum, adalah merupakan aspek sosial dari kaidah hukum.
Aspek personal dan aspek sosial dari kaidah hukum itu sepertinya saling bertentangan satu sama lainnya seperti tidak saling mendukung.
Usaha-usaha untuk mempertemukan antara keduanya dapat disebut usaha kultural. Tegasnya bahwa proses pembentukan dan penerapan kaidah hukum dimana hubungan timbal balik aspek personal dan aspek sosial merupakan proses berbudaya sehingga proses integrasi antara pribadi masyarakat dan kebudayaan merupakan inti diatur dari kaidah hukum yang secara substansial titik tolak kajian dari Ilmu Hukum.
Demikian deskripsi bagaimana ilmu hukum dikaji dari aspek Ontologi Ilmu.
2. Dari Aspek Epistemologi Ilmu
Bagaimanakah Ilmu Hukum apabila dikaji dari aspek Epistemologi Ilmu? Akan tetapi sebelum mengkajinya, penulis memandang perlu kiranya dibahas selintas pengertian “Epistemologi” ini. Ditinjau aspek etimologi maka epistologi berasal dari bahasa Yunani yang merupakan kata gabungan dari kata episteme dan logos, Episteme artinya pengetahuan dan logos lazim dipakai untuk menunjukkan adanya pengetahuan sistematik. Sehingga secara mudah epistemologi dapat diartikan sebagai pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Selanjutnya, menurut A.M.W. Pranarka menyebutkan, bahwa menurut:
“Webster Third New International Dictionary mengartikan epitemologi sebagai “the study of methol and grounds of knowledge, especially with reference to its limits and validity”. Pada tempat yang sama secara singkat dikemukakan bahwa Runnes didalam “The theory of knowledge”. Dalam pada itu Runnes didalam Dictionary of Philosophy memberikan keterangan bahwa epistemology merupakan the bronch of philosophy which investigates the origin, structure methode an validity of knowledge”. (lihat A.M.W. Pranarka, Epistemologi Dasar Suatu Pengantar, Penerbit : Yayasan Praklamasi, Centre For Strategic and International Studies Jakarta, 1987, hlm 1)
Selain itu secara terminologis, maka Epistemologi dikenal dengan istilah “Gnoseologi”, kemudian dalam bahasa Jerman diterjemahkan menjadi “Erkentnistheorie”. Di dalam bahasa Belanda dikenal istilah “Kennisteer” ataupun “Kenttheorien”.
Dari apa yang diuraikan diatas maka ditinjau melalui aspek Ilmu Hukum secara etimologi akan menjawab kebenaran dengan melalui metode Ilmu Hukum.
Pada dasarnya, apabila ilmu hukum sebagai ilmu maka bertujuan mencari kebenaran. Menurut Theori Korespodensi kebenaran merupakan persesuaian, antara pengetahuan dan obyeknya. Sehingga dengan demikian pengetahuan terletak dalam dimensi mentalitas manusia, sedangkan obyek dalam dunia nyata. Untuk menyatakan adanya hubungan inilah timbul pendapat antara faham empiris dan rasionalisme. Menurut empirisme pengetahuan adalah segenap pengalaman manusia, sedangkan menurut faham rasionalisme maka akallah/ratiolah yang dapat mengetahui obyek.
Akan tetapi, terhadap hakekat hukum tidak selalu berdasarkan empirisme/ rasionalisme saja oleh karena gejala hukum bukan saja berupa pengalaman manusia saja seperti perilaku hukum akan tetapi diluar pengalaman manusia seperti nilai-nilai hukum. Theori Kebenaran korespodensi dan pramatiklah yang dapat dicapai ilmu hukum. Maka untuk itu guna mencari keadilan yang benar digunakanlah sebuah metode. Oleh karena itu, sebagai pengaruh adanya kebenaran empirisme dan rasionalisme maka secara tradisional dibedakan dua metode ilmu yakin metode deduksi dan metode induksi. Selanjutnya, dalam perkembangannya timbul metode yang berusaha menggabungkan deduksi dan induksi, yaitu metode logiko – hipotetiko – verifikasi yang berdasarkan pandangan Karl R. Popper muncul theori faksifikasi. Dalam metode ini maka suatu masalah berusaha dipecahkan oleh pelbagai disiplin baik yang termasuk deduktif atau induktif. Istilah “ Logiko – hipotetiko “ menempatkan kaidah hukum sebagai hal mentah yang perlu dimasukkan ke dalam proses “Verifikasi” cenderung menjadi justifikasi/ pembenaran.
Dengan mengadakan verifikasi, maka sebab itu menurut Popper bukan verifikasi yang menjadi kretarium demarkasi antara ilmu dan bukan ilmu tetapi ialah faksifikasi yakni kemampuan untuk menyangkal kesalahan. Dengan demikian Popper mengganti verifikasi bersifat induktif dengan falsifikasi deduktif. Konkretnya, metode ilmu Hukum ditentukan oleh aspek Ontologis dan Axiologis dari hukum. Konsep mengenai metode dan ilmu sifatnya universal. Artinya, untuk bidang apa saja atau untuk jenis ilmu manapun adalah sama, tetapi pengaruh dari obyek suatu ilmu tentu tidak dapat dihindarkan. Sebab itu hakikat hukum dan fungsinya dalam praktek tak bisa dihindari pengaruh dalam menentukan metode yang digunakan dalam ilmu hukum.
Sebagaimana telah diuraikan dari aspek Ontologi maka fokus utama titik kajian substansial Ilmu Hukum adalah kaidah hukum. Tegasnya, eksistensi hukum ditentukan adanya kaidah hukum. Mungkin kaidah hukum mempunyai nilai/perilaku, tetapi nilai/perilaku itu dapat saja bukan hukum. Ciri pokok dari nilai dan perilaku sebagai hukum ialah sifat normatifnya. Sudah tentu kaidah hukum berisi nilai-nilai dan perilaku manusia. Konkretnya, hukum itu merupakan jalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Nilai merupakan turunan dari ide dan perilaku merupakan turunan realitas/fakta. Apabila kita mencita-citakan suatu ilmu tentang hukum/ilmu hukum maka penentuan metode Ilmu Hukum harus ditentukan prinsip intergralistis atau berjalinan kesatuan antara kaidah, nilai dan perilaku. Pada kaidah hukum tersirat antara nilai dan perilaku sehingga fokus sentral atau fundamental metode Ilmu Hukum adalah analisis atas kaidah. Sedangkan analisis nilai dan perilaku hanya bahan kajian sampingan dari analisis kaidah. Maka oleh karena itu secara ideal dalam Ilmu Hukum dari visi epistemologis mempergunakan metode logika-hipotetiko-verifikasi.
3. Dari Aspek Axiologi Ilmu
Menurut Jujun S Suriasumantri maka ditinjau dari aspek axiologi membahas dan menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:
“Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan ?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral ?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/referisonal ?”
Konkritnya, dari aspek tersebut Axiologi Ilmu Hukum akan berkoleratif terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri. Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Ilmu Hukum bersifat dinamis dalam artian mempunyai pengaruh dan fungsih yang khas dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain.
Apabila dijabarkan secara intens, detail dan terperinci maka peran/pengaruh Ilmu Hukum tersebut dari aspek Axiologi Ilmu adalah sebagai berikut :
Pertama, dalam proses pembentukan hukum Ilmu Hukum melalui hasil-hasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina sebagai bahan masukan yang penting dalam rangka menjadi masukan untuk menyusun RUU (Rancangan Undang-Undang) sehingga diharapkan nantinya Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi maksimal karena telah memenuhi analisis, filosofis, yuridis dan sosiologis;
Kedua, dalam praktek hukum lazim pada proses peradilan oleh hakim, jaksa/Penuntut Umum, Penasehat Hukum dipergunakan pendapat para doktrina untuk menyusun putusan, tuntutan dan pembelaan. Dari aspek ini merupakan perpaduan antara dunia teori dan dunia praktek;
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang akan berpengaruh kepada mutu pendidikan hukum dan lulusannya dan;
Keempat, Bahwa dengan pesat dan majunya Ilmu Hukum akan menarik, memacu dan berpengaruh kepada perkembangan bidang-bidang lainnya diluar hukum. Peranan Ilmu Hukum disini nampak kepada bidang-bidang yang memerlukan suatu kejelasan dan pengaturan dimana suatu sistem hukum berusaha mengatur bidang yang bersifat progresif dan interventif;
Sedangkan fungsi Ilmu Hukum dari aspek Axiologi Ilmu nampak dalam:
Pertama, Bahwa Ilmu hukum berusaha mensistemasi bahan-bahan hukum yang terpisah-pisah secara komprehensif dalam suatu buku hukum seperti: Kondefikasi, Unifikasi dan lain-lain;
Kedua, Bahwa adanya fungsi Ilmu Hukum yang mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dan diperlukan oleh bidang-bidang lain serta sehingga sebagai pencerahan guna mengatasi kesulitan dan kebuntuan yang meluas dalam dunia hukum khususnya terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legalitas;
III. Konklusi
Dikaji dari perspektif Ontologi Ilmu Hukum maka Ilmu Hukum menetapkan kajian substansial kepada kaidah-kaidah hukum tertulis ataupun tidak tertulis maupun kaidah bersifat abstrak ataupun kontrit sedangkan dari aspek Epistemologi Ilmu maka Ilmu Hukum menetapkan kajian fundamental kepada aspek kebenaran dengan theori Kebenaran (The Correspondence Theory of Truth) dan Theori Kebenaran Pragmatik (The Pragmatic Theory of Truth) serta dengan metode Logika – hipotetika – verifikasi dan ditinjau dari aspek Axiologi Ilmu maka Ilmu Hukum mempunyai 4 (empat) pengaruh pendidikan hukum dan untuk bidang-bidang lainnya
serta mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu fungsi sismatisasi fungsi pertimbangan dan pencerahan terhadap kebekuan yang melanda dunia hukum. Oleh karena demikian maka disarankan Ilmu Hukum harus bersifat integratif Pasca globalisasi oleh karena apabila tidak bersifat integratif akan mengakibatkan adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum secara Ontologis, Epistemologis maupun Axiologis dan untuk mencegah adanya disintegrasi dalam Ilmu Hukum maka perlu ditumbuhkembangkan iklim Integritas dalam diri para ahli teoritik dan praktik.
*) Oleh: Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H.
(Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Kini Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur
*****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar