Sabtu, 24 Agustus 2013

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TANGGUNG JAWAB (JABATAN) NOTARIS TERKAIT DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013

PERLINDUNGAN HUKUM
TERHADAP TANGGUNG JAWAB (JABATAN) NOTARIS
TERKAIT DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013[1]

Oleh : TOMSON SITUMEANG, S.H.[2]

 A. PENDAHULUAN

Lembaga Notaris masuk ke Indonesia pada permulaan abad ke-17 seiring dengan kehadiran Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC), yaitu pada lalu lintas hukum perdagangan yang dilakukan dengan Akta Notariil, sebagaimana pendapat Notodisoerjo yang menyatakan bahwa “Lembaga Notariat dikenal di Indonesia sejak Indonesia dijajah oleh Belanda”[3]. Notaris sebagai Pejabat Umum[4] berwenang untuk membuat akta otentik sebagaimana yang dimaksud dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada Notaris[5]. Oleh karena itu, maka memang dibutuhkan adanya Perlindungan Hukum terhadap Notaris dalam menjalankan Jabatannya selaku Pejabat Umum.

Sebagai Pejabat Umum, Notaris mempunyai kewajiban untuk memasukkan bahwa apa yang termuat dalam Akta Notaris sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu dengan cara membacakannya, sehingga menjadi jelas isi Akta Notaris, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta Notaris yang akan ditandatanganinya[6].

Namun demikian, Akta otentik yang dibuat oleh Notaris tak jarang dipermasalahkan oleh salah satu pihak atau oleh pihak lain karena dianggap merugikan kepentingannya, baik itu dengan pengingkaran akan ISI, tanda-tangan maupun kehadiran pihak di hadapan Notaris, bahkan adanya dugaan dalam Akta Otentik tersebut ditemukan keterangan palsu. Hal ini dimungkinkan dengan begitu banyaknya jenis Akta otentik yang dapat dibuat oleh Notaris. Sebagai contoh, Akta Nomor 7, tanggal 19 Desember 2010 tentang Penyimpanan Surat, yang dibuat oleh Syane Runtulalo, S.H., Notaris di Cianjur[7].

Perlindungan Hukum yang diberikan terhadap (Jabatan) Notaris yang ternyata juga diikuti dengan adanya Hak Istimewa Lainnya dari Notaris, yaitu ketika dipanggil untuk dimintai keterangan, baik oleh Penyidik, Penuntut Umum maupun oleh Hakim harus dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah sebagaimana ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013), tidak menutup kemungkinan disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, baik itu melibatkan Notaris-nya ataupun tidak. Apabila Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris disalahgunakan, bukan tidak mungkin akan menghambat proses peradilan untuk mengungkap kejahatan. Apalagi terdapat beberapa jenis kejahatan terkait dengan Akta Notaris, diantaranya sebagai berikut[8]:
a.  membuat dan menggunakan surat palsu atau menyuruh orang lain memakai surat palsu;
b.  sengaja memakai surat palsu;
c.  melakukan pemalsuan surat, atas: akta-akta autentik, surat hutang, sertifikat utang, talon, tanda bukti deviden, suatu kredit atau surat dagang;
d.  menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta authentik;
e.  melakukan, menyuruh melakukan dan/atau turut serta melakukan kejahatan dalam ketentuan pasal-pasal sebelumnya (Pasal 55 KUHP juncto Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP atau Pasal 264 KUHP atau Pasal 266 KUHP);
f.  membantu melakukan kejahatan dalam ketentuan pasal-pasal sebelumnya (Pasal 56 KUHP juncto Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHP atau Pasal 264 KUHP atau Pasal 266 KUHP);
g.  pejabat menerima hadiah atau janji, karena kekuasaan atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya (Pasal 418 KUHP);
h.  pejabat menerima hadiah atau janji, untuk menggerakkan supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya (Pasal 419 KUHP);

B. PERLINDUNGAN HUKUM (JABATAN) NOTARIS SEBELUM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013

Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Khusus terkait dengan pembuatan Akta yang dilakukan oleh Notaris, Undang-Undang Jabatan Notaris memberi perlindungan hukum kepada Notaris sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) tentang Sumpah / Janji Notaris salah satunya berbunyi “…bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”. Lebih lanjut lagi diatur dalam kententuan Pasal 16 ayat (1) huruf e, yang berbunyi “…Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: e.merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain…”.
Akan tetapi batasan “…Undang-Undang menentukan lain…” ini tidak ditemukan pengaturannya. Bahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memberikan kesempatan bagi seseorang untuk dibebaskan dari kewajiban memberikan keterangan karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatan diwajibkan menyimpan rahasia. Demikian juga halnya ketentuan Pasal 1909 ayat (2) KUHPerdata dan ketentuan Pasal 322 ayat (1) KUHP. Namun, jika dipahami ketentuan-ketentuan tersebut, maka yang wajib dijaga kerahasiaannya adalah hanya mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.

Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris yang secara khusus terkait dengan pembuatan Akta diatur dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan Pasal 16 ayat (1) huruf e. tentang kewajiban Notaris untuk menjaga kerahasiaan atas akta yang dibuatnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta yang dibuatnya[9].

Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf b, Notaris wajib membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga keotentikan suatu akta, sehingga apabila ada pemalsuan atau penyalahgunaan grosse, salinan, atau kutipannya dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya[10]. Notaris hanya dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan isi akta, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, kepada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, atau orang yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Dalam memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan ISI AKTA, Notaris dapat memberikan, memperlihatkan, atau memberitahukan kepada:
  1. orang yang berkepentingan langsung pada akta;
  2. ahli waris; atau
  3. orang yang memperoleh hak.
Pengertian tentang “orang yang memperoleh hak” tidak dijelaskan atau diuraikan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, sehingga juga akan menimbulkan multitafsir, salah satunya adalah ketika seseorang yang merasa haknya dirugikan akibat adanya dugaan Akta Palsu atau Keterangan Palsu dalam akta, maka orang tersebut membuat Laporan / Pengaduan ke Kepolisian RI. Dengan dibuatnya Laporan / Pengaduan ke Kepolisian RI, maka Penyidik Kepolisian RI adalah “orang yang memperoleh hak” untuk melihat dan mengetahui ISI AKTA, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta, apakah Akta tersebut Palsu atau apakah terdapat Keterangan Palsu dalam akta tersebut, akan dapat segera diketahui dengan mudah dengan mencocokkannya dengan aslinya.

Namun Penyidik Kepolisian RI sebagai “orang yang memperoleh hak” untuk melihat dan mengetahui ISI AKTA, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta ternyata tidak dapat dengan mudah untuk melihat dan mengetahui ISI AKTA, Grosse Akta, Salinan Akta atau Kutipan Akta karena Penyidik harus juga tunduk dan patuh atas ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris (sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013), yaitu Penyidik dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris harus “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”. Hal inilah yang oleh Penulis disebutkan sebagai “Hak Istimewa Lainnya” dari Notaris, sehingga akan menyulitkan Penyidik Kepolisian RI untuk mengungkap/menyidik “apakah Akta tersebut Palsu” atau “apakah terdapat Keterangan Palsu dalam akta tersebut” dengan mencocokkannya dengan aslinya.

Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris tersebut juga diatur secara teknis dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007. Pada BAB III Permenkumham tersebut diatur tentang Syarat Dan Tata Cara Pengambilan Minuta Akta dan/atau Surat-Surat Yang Diletakan Pada Minuta Akta Atau Protokol Notaris Dalam Penyimpanan Notaris, yaitu dengan tata cara sebagai berikut:
  1. Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan untuk pengambilan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, apabila[11]:
    1. a.  ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris;
    2. b.  belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalarn peraturan perundang-undangan di bidang pidana;
    3. c.  ada penyangkalan keabsahan tanda tangan dari para pihak;
    4. d.  ada dugaan pengurangan atau penambahan dari Minuta Akta; atau
    5. e.  ada dugaan Notaris melakukan pemunduran tanggal akta (antidatum).
    6. Persetujuan Majelis Pengawas Daerah diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan[12].
    7. Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan[13].
    8. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui[14].
Selain itu, pada BAB IV Permenkumham tersebut diatur tentang Syarat dan Tata Cara Pemanggilan Notaris, yaitu dengan tata cara sebagai berikut:
  1. Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk kepentingan proses peradilan dapat memanggil Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa dengan mengajukan permohonan tertulis kepada Majelis Pengawas Daerah[15] dengan tembusan kepada Notaris yang bersangkutan[16].
  2. Permohonan tersebut memuat alasan pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa[17].
  3. Majelis Pengawas Daerah memberikan persetujuan pemanggilan Notaris apabila ada dugaan tindak pidana berkaitan dengan Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris, atau belum gugur hak menuntut berdasarkan ketentuan tentang daluwarsa dalam peraturan perundang-undangan di bidang pidana[18].
  4. Persetujuan Majelis Pengawas diberikan setelah mendengar keterangan dari Notaris yang bersangkutan[19].
  5. Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan kepada Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim untuk pemanggilan Notaris sebagai saksi, tersangka, atau terdakwa apabila tidak memenuhi ketentuan poin 3 di atas[20].
  6. Majelis Pengawas Daerah wajib memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan secara tertulis dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan[21].
  7. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya surat permohonan terlampaui, maka Majelis Pengawas Daerah dianggap menyetujui[22].
Namun, bagaimana apabila syarat-syarat yang ditentukan sudah terpenuhi, akan tetapi Majelis Pengawas Daerah tidak memberikan persetujuan? Apakah lantas pemeriksaan yang harus dilakukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim akan berhenti sampai di situ? Baik Undang-Undang Jabatan Notaris maupun Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tidak memberikan solusi atau upaya yang dapat dilakukan oleh pihak yang berkepentingan atau oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim atas hal tersebut.

C. PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013
Perlindungan Hukum yang diberikan terhadap (Jabatan) Notaris, baik yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris maupun dalam ketentuan-ketentuan peraturan lainnya, menurut Penulis sudah cukup untuk memberikan Perlindungan Hukum bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya guna menjaga kerahasiaan jabatannya. Perlindungan Hukum yang demikian, apabila tetap diikuti dengan “Hak Istimewa Lainnya, tidak menutup kemungkinan disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, baik itu melibatkan Notaris-nya ataupun tidak.

Namun pada saat ini, “Hak Istimewa Lainnya”yang dimiliki oleh Notaris sesuai dengan ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, pada tanggal 28 Mei 2013 yang lalu telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana termuat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, yang menyatakan:
  1. frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” dalam Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
Dinyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat lagi frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang termuat dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris, hilanglah “Hak Istimewa Lainnya”yang dimiliki oleh Notaris dan hal inilah yang membuat “GEGER” Notaris di Indonesia, bahkan hal tersebut menjadi bahan diskusi dan pembahasan oleh kalangan Notaris sebagaimana pemberitaan diberbagai laman berita on line, salah satunya laman website: www.medianotaris.com. Pertanyaannya, mengapa hal tersebut menjadi pembahasan yang hangat? Jawabannya adalah sebuah pertanyaan, yaitu “Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap Tanggug Jawab [Jabatan] Notaris Terkait Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut???

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013, maka Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris tidak lagi perlu “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”.

D. PERLINDUNGAN HUKUM (JABATAN) NOTARIS SETELAH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 49/PUU-X/2012, TANGGAL 28 MEI 2013

Sesungguhnya, Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum, baik sebelum dan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013 adalah SAMA, yaitu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan terkait dengan pembuatan Akta yang dilakukan oleh Notaris, Undang-Undang Jabatan Notaris memberi perlindungan hukum kepada Notaris sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) tentang Sumpah / Janji Notaris salah satunya berbunyi “…bahwa saya akan merahasiakan isi akta dan keterangan yang diperoleh dalam pelaksanaan jabatan saya…”. Lebih lanjut lagi diatur dalam kententuan Pasal 16 ayat (1) huruf e, yang berbunyi “…Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban: e.merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali Undang-Undang menentukan lain…”.

Yang berbeda adalah tata cara Perlindungan Hukum terhadap (Jabatan) Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya selaku Pejabat Umum. Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013, maka tata cara yang diatur dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris yang secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007 tidak berlaku lagi. Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dalam mengambil fotokopi Minuta Akta dan/atau surat-surat yang dilekatkan pada Minuta Akta atau Protokol Notaris dalam penyimpanan Notaris; dan memanggil Notaris untuk hadir dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta yang dibuatnya atau Protokol Notaris yang berada dalam penyimpanan Notaris tidak lagi perlu “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah”.

Hal tersebut sebenarnya bukanlah sesuatu hal yang harus dikhawatirkan, apabila Notaris dalam menjalankan tugas Jabatannya bertindak sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku serta sesuai dengan Kode Etik yang ada. Selain itu, Notaris juga masih tetap mempunyai “HAK INGKAR” yang juga sekaligus sebagai “KEWAJIBAN INGKAR” dalam menghadapi upaya pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim.

E.    HAK INGKAR ATAU KEWAJIBAN INGKAR (JABATAN) NOTARIS
Hak Ingkar yaitu hak yang dimiliki oleh Notaris untuk tidak menjawab pertanyaan dari (penyidik, penuntut umum atau) hakim, apabila diperiksa (dimintai keterangan) atas masalah yang timbul dalam akta notariil yang dibuatnya[23]. Hak Ingkar Notaris sering salah diartikan, seolah-olah ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris sebagai bagian dari Hak Ingkar. Penulis sependapat dengan Bambang S. Oyong, S.H., M.H. (Notaris-PPAT)[24] yang menyatakan bahwa keberadaan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris adalah merupakan bagian pengawasan yang diberikan oleh Undang-Undang terhadap (Jabatan) Notaris bukan merupakan bagian Hak Ingkar, dimana hak ingkar yang dimiliki oleh Notaris bukan dalam arti Notaris tidak dapat diperiksa untuk kepentingan peradilan, tetapi hak untuk tidak menjawab atas pertanyaan penyidik, penuntut umum atau hakim yang terkait dengan Rahasia Jabatannya, yaitu mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu.

Meskipun frasa “dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah” yang termuat dalam ketentuan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris dinyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, tidaklah menghilangkanHak Ingkar Notaris” akan tetapi hanya menghilangkan apa yang Penulis sebut sebagai “Hak Istimewa Lainnya”, sehingga (Jabatan) Notaris sebagai Pajabat Umum dalam menjalankan jabatannya tetap terlindungi.

Hak Ingkar yang dimiliki Notaris sekaligus menjadi Kewajiban Ingkar bagi Notaris untuk tidak memberian keterangan di hadapan Penyidik, Penuntut Umum atau Hakim terkait dengan Rahasia Jabatannya, yaitu mengenai hal-hal yang dipercayakan kepadanya karena kedudukan, pekerjaan dan jabatannya itu, berdasarkan ketentuan Pasal 170 ayat (1) KUHP, Pasal 1909 KUHPerdata serta ketentuan Pasal 322 ayat (1) KUHP.

F.    PENUTUP
Dengan Hak Ingkar, Notaris tetap dapat menjaga kerahasiaan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta. Adanya kekhawatiran dari kalangan Notaris akan “tindakan sewenang-wenang” dari oknum Penyidik, maka ada baiknya dibuat suatu aturan tentang tata cara pemanggilan dan pemeriksaan Notaris, baik sebagai Saksi ataupun Tersangka. Hal ini juga sejalan dengan Nota Kesepahaman antara Kepolisian RI dengan Ikatan Notaris Indonesia (INI) No.Pol: B/1056/V/2006 dan Nomor: 01/MOU/PP-INI-/V/2006 tentang Pembinaan Peningkatan Profesionalisme di Bidang Penegakan Hukum, tertanggal 9 Mai 2006, khususnya ketentuan Pasal 1 ayat 2 yang menyebutkan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan Penyelidik (Penyidik) sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1  berupa pemanggilan, pemeriksaan, penyitaan dan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab sesuai pada Pasal 7 ayat 1 huruf j KUHAP, dapat juga dilakukan kepada Notaris-PPAT baik selaku saksi maupun tersangka, terutama dalam kaitan suatu tindakan pidana dalam pembuatan akta Notaris-PPAT. Dan ada baiknya hal ini oleh Ikatan Notaris Indonesia dimasukkan sebagai masukan kepada DPR RI yang saat ini sedang membahas RUU tentang Jabatan Notaris yang baru.

Hal tersebut sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan “…bahwa Mahkamah pada sisi lain juga memahami pentingnya menjaga wibawa seorang notaris selaku pejabat umum yang harus dijaga kehormatannya sehingga diperlukan perlakuan khusus dalam rangka menjaga harkat dan martabat notaris yang bersangkutan dalam proses peradilan, termasuk terhadap notaris, diperlukan sikap kehati-hatian dari penegak hukum dalam melakukan tindakan hukum, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang antara lain adalah persamaan kedudukan di hadapan hukum dan prinsip independensi peradilan…”[25].


[1] Tulisan Hukum ini disampaikan pada Refleksi Hari Ulang Tahun Ikatan Notaris Indonesia ke-105, tanggal 1 Juli 2013, Sekretariat Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Jl. Hangtuah I No. 1 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
[2] Advokat (NIA : 08.11094) dan Managing Partner pada Law Firm RB Situmeang & Partners, Kuasa Hukum Pemohon Judicial Review UU Jabatan Notaris (Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013).
[3] G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan jabatan notaris (Notaris Reglement), Penerbit: Erlangga, 1980.
[4] Pasal 1868 KUHPerdata.
[5] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Bagian I. Umum, paragraph kelima.
[6] Ibid.
[7] Akta ini adalah Akta Penyimpanan Surat Jual Beli Saham-Saham antara Tuan KANT KAMAL dengan Nyonya JENNY yang disimpan oleh Nyonya JENI kepada Syane Runtulalo, S.H., Notaris di Cianjur, dimana di dalamnya terdapat “paragraph” dan “frasa” yang ditambah sehingga tidak sesuai dengan ISI Surat Jual Beli Saham-Saham yang disimpan. Inilah awal yang melatarbelakangi diajukannya Judicial Review Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Jabatan Notaris ke Mahkamah Konstitusi RI.
[8] Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013, hal. 14-15, poin 17.h.
[9] Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 16 ayat (1), huruf e., menyatakan “Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut”.
[10]     Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 16 ayat (1), huruf b., menyatakan “Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Pasal 16 ayat (1), huruf e., menyatakan “Kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan akta dan surat-surat lainnya adalah untuk melindungi kepentingan semua pihak yang terkait dengan akta tersebut”.”.
[11]     Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor: M.03.HT.03.10 Tahun 2007, Pasal 9.
[12]     Ibid, Pasal 10.
[13]     Ibid, Pasal 12 ayat (1).
[14]     Ibid, Pasal 12 ayat (2).
[15]     Ibid, Pasal 14 ayat (1).
[16]     Ibid, Pasal 14 ayat (2).
[17]     Ibid, Pasal 14 ayat (3).
[18]     Ibid, Pasal 15.
[19]     Ibid, Pasal 16.
[20]     Ibid, Pasal 17.
[21]     Ibid, Pasal 18 ayat (1).
[22]     Ibid, Pasal 18 ayat (2).
[25]     Putusan Mahkamah Konstitusi RI Nomor 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013, halaman 48, poin 3.18

Tidak ada komentar:

Posting Komentar