Sabtu, 24 Agustus 2013

TANTANGAN NOTARIS DALAM MEMERANGI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

TANTANGAN NOTARIS
DALAM MEMERANGI PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

 A.   Pendahuluan
Pembangunan ekonomi Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang dewasa ini, berdampak pada peningkatan berbagai aktifitas bisnis dan berbagai dimensi sosial kemasyarakatan lainnya terutama keperdataan.  Tidak dapat dipungkiri, semakin beragamnya transaksi bisnis masyarakat menuntut perlunya dokumentasi yang sah. Keasadaran sosial terhadap pentingnya keamanan dan keabsahan kepemilikan atas properti tertentu, juga menuntut keberadaan dokumen yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Keseluruhan dokumentasi ini dibutuhkan bukan hanya sekedar sebagai catatan peristiwa keperdataan, tetapi lebih penting dari itu dimaksudkan untuk pembuktian dikemudian hari.

Setiap transaksi memiliki dampak hukum, sehingga menuntut akan adanya kepastian hukum terhadap hubungan hukum individu maupun subyek hukum lainnya. Untuk itulah kehadiran profesi Notaris dan PPAT sangat dinantikan. Jaminan kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan Notaris dan PPAT. Di sisi lain, Notaris dan PPAT dalam menjalankan profesi dalam pelayanan masyarakat perlu juga mendapatkan perlindungan dan jaminan demi tercapainya kepastian hukum.Akta-akta yang dibuat inilah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum di kemudian hari bagi para pihak yang berkepentingan.

Di sisi lain, Notaris dan PPAT merupakan profesi yang memiliki kedudukan sangat terhormat dengan tugas yang sangat mulia. Konsekuensi dari peran inilah yang menimbulkan tanggung jawab besar bukan hanya untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi secara keseluruhan tetapi juga bagi masing-masing pejabat Notaris dan PPAT harus mampu menjaga dirinya dari risiko profesi yang diembannya. Bisa dibayangkan apa yang terjadi apabila terdapat Notaris maupun PPAT yang secara sadar membantu terjadinya perbuatan melawan hukum melalui pembuatan akta sesuai kewenangannya? Tentu risiko yang dihadapi bukan hanya yang bersangkutan akan berurusan dengan proses pidana, tetapi juga dapat berdampak pada menurunnya martabat dan kehormatan profesi secara keseluruhan.

Dengan kata lain, risiko reputasi bagi profesi menjadi taruhannya. Atau bagaimana dampak yang dirasakan ketika notaris atau ppat lalai karena jasanya dimanfaatkan oleh pengguna jasa (penghadap atau klien) untuk melakukan perbuatan melawan hukum. Walaupun dinyatakan tidak terlibat dalam proses pidana tetapi yang bersangkutan banyak terlibat dalam urusan penyelesaian kasus tersebut, dan hal ini sangat menyita waktu dan tenaga, yang pada akhirnya fungsi pelayanan masyarakat tidak optimal, bahkan reputasi profesi bisa terkena imbasnya.

Dari uraian di atas, terlihat bahwa profesi Notaris maupun PPAT memiliki kharakteristik yang tidak jauh berbeda dengan berbagai penyedia jasa lainnya terutama mengenai risiko yang dihadapi apabila tidak menerapkan prinsip kehati-hatian dalam menjalani profesinya. Oleh karena itu, dalam upaya meminimalkan risiko melalui penerapan prinsip tata kelola yang baik (good governance) dan memperhatikan praktik-praktik yang baik secara internasional (international best practice), serta dalam upaya memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat, peran Notaris dan PPAT sangat dinantikan dalam memerangi kegiatan pencucian uang  di Indonesia.

 B.       Pengenalan Anti Pencucian Uang

 1.          Follow The Money
Pendekatan follow the money merupakan istilah lain bagi Pendekatan Anti Pencucian Uang, yaitu mendahulukan mencari uang atau harta kekayaan hasil tindak pidana dibandingkan dengan mencari pelaku kejahatan. Setelah hasil tindak pidana diperoleh melalui pendekatan analisa transaksi keuangan (financial analysis) kemudian dicarilah pelakunya dan tindak pidana yang dilakukan.

Beberapa manfaat atau kelebihan yang didapatkan melalui pendekatan follow the money adalah:
-          jangkauannya lebih jauh sehingga dirasakan lebih adil;
-          dapat dilakukan dengan ”diam-diam”, sehingga lebih mudah, dan risiko lebih kecil karena tidak berhadapan langsung dengan pelaku yang kerap memiliki potensi melakukan perlawanan;
-          pendekatan merampas hasil kejahatan mengurangi atau menghilangkan motivasi orang untuk melakukan tindak pidana.
-          Adanya insentif pengecualian ketentuan rahasia bank dan ketentuan kerahasiaan lainnya.

 2.       Pemberantasan pencucian uang bagian dari upaya global menghadapi kejahatan
Peran dan tanggungjawab Indonesia dalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang memberikan kontribusi yang riil dalam kancah tata pergaulan internasional. Tindak pidana ini merupakan persoalan  dan perhatian  warga dunia. Untuk itu, berbagai organisasi  internasional dan regional telah dibentuk untuk memeranginya.

Menurut perkiraan beberapa lembaga international, pencucian uang secara global diperkirakan mencapai sekitar USD 1 triliun sampai USD 2,5 triliun per tahun. Jumlah ini sangat besar mengingat nilai keseluruhan produk barang dan jasa yang diproduksi di Indonesia (PDB Indonesia) pada tahun 2007 hanya mencapai sekitar USD 435 milyar.

3.       Keberadaan PPATK
Dalam melaksanakan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, PPATK menerima beberapa laporan dari Pihak pelapor, yaitu Transaksi Keuangan Mencurigakan, Transaksi Keuangan Tunai, dan transfer dana internasional dari Penyedia Jasa Keuangan, serta transaksi senilai Rp. 500 juta atau lebih dari Penyedia barang dan atau Jasa. Dari Direktorat Jenderal bea dan Cukai, PPATK juga menerima laporan pembawaan uang tunai dan atau instrumen pembayaran senilai Rp 100 juta rupiah atau lebih baik yang masuk atau keluar wilayah Republik Indonesia. Semua laporan di atas menjadi sumber utama PPATK dalam melakukan analisis dan pemeriksaan.

Dalam hal terdapat indikasi tindak pidana pencucian uang dan  atau tindak pidana asal, PPATK meneruskannya kepada Penyidik yang berwenang dalam bentuk Laporan Hasil Analisis  (LHA) atau Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). Keseluruhan laporan dari Pihak Pelapor di atas bersifat rahasia, sedangkan  LHA dan LHP sebagai informasi intelijen yang wajib dirahasiakan juga.

Undang-undang yang mengatur tindak pidana pencucian uang telah beberapa kali disempurnakan. Pertama kali dikeluarkan Undang-Undang Nomor  15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, selanjutnya diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003. Pada tahun 2010, pengaturan pemberantasan tindak pidana pencucian uang digantikan melalui Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

4.        Tipologi Pencucian Uang
Pencucian uang dapat dilakukan dengan modus operandi yang sangat beragam, mulai dari menyimpan uang di bank hingga membeli rumah mewah atau saham. Namun, pada dasarnya seluruh modus tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis tipologi, yang tidak selalu terjadi secara bertahap, tetapi bahkan dilakukan secara bersamaan. Ketiga tahapan tipologi tersebut yaitu:  penempatan (placement), pemisahan/pelapisan (layering), dan penggabungan (integration).

Penempatan (placement) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan.

Pemisahan/pelapisan (layering) adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul dana. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai  hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut.

Penggabungan (integration) adalah  upaya menggabungkan atau menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai jenis produk keuangan dan bentuk material lainnya, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.

Modus operandi pencucian uang dari waktu ke waktu semakin kompleks menggunakan teknologi dan rekayasa keuangan yang cukup rumit. Hal itu terjadi baik pada tahap placement, layering, maupun integration, sehingga dalam penanganannya membutuhkan peningkatan kemampuan secara sistematis dan berkesinambungan.

a. Penempatan
Penempatan (placement) adalah tahapan pertama dalam pencucian uang, yaitu ketika harta hasil tindak pidana pertama kali masuk ke dalam sistem keuangan atau berubah bentuk. Dengan perkembangan teknologi sistem keuangan, setelah mendapatkan harta hasil tindak pidana, pelaku kejahatan memiliki banyak sekali pilihan untuk melakukan proses penempatan (placement) harta kekayaannya. Beberapa modus penempatan tersebut diantaranya:
  • Menempatkan uang dalam sistem perbankan
  • Menyelundupkan uang atau harta hasil tindak pidana ke negara lain
  • Melakukan konversi harta hasil tindak pidana
  • Melakukan penempatan secara elektronik
  • Memecah-mecah transaksi dalam jumlah yang lebih kecil (structuring)
  • Menggunakan beberapa pihak lain dalam melakukan transaksi (smurfing)                                  

b. Pemisahan (layering)
Pemisahan atau pelapisan (layering) adalah tahapan kedua dari perbuatan pencucian uang. Dalam tahapan ini, uang hasil tindak pidana dipindahkan, disebarkan, dan disamarkan untuk menyembunyikan asal usulnya. Pemisahan tersebut dapat dilakukan melalui serangkaian transaksi keuangan yang didesain dengan jejaring transaksi yang rumit untuk ditelusuri. Beberapa modus layering tersebut diantaranya:
  • Transfer dana secara elektronik
  • Transfer melalui kegiatan perbankan lepas pantai (offshore banking).
  • Transaksi menggunakan perusahaan boneka (shell corporation).
 c. Penggabungan atau penggunaan harta hasil tindak pidana (integration)
Integration (menggunakan harta kekayaan) adalah  upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kejayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Modus integration dalam pencucian uang dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya:
  • Melakukan investasi pada suatu kegiatan usaha.
  • Penjualan dan pembelian aset.
  • Pembiayaan korporasi.
 C.        Ketentuan Tindak Pidana Pencucian Uang
Sebelum membahas rumusan pidana pencucian uang, perlu terlebih dahulu memahami asal muasal terjadinya tindak pidana pencucian uang. Terdapat istilah no crime no money laundering, atau tidak akan pernah ada pencucian uang kalau tidak ada tindak pidana asal yang menghasilkan harta kekayaan.

Sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 2 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), bahwa tindak pidana asal (predicate crimes) merupakan sumber terciptanya Harta Kekayaan yang menjadi obyek Pencucian Uang.

Tindak Pidana tersebut adalah: korupsi; penyuapan; narkotika; psikotropika; penyelundupan tenaga kerja; penyelundupan migran; di bidang perbankan; di bidang Pasar Modal; di bidang perasuransian; kepabeanan; cukai; perdagangan orang; perdagangan senjata gelap; terorisme; penculikan; pencurian; penggelapan; penipuan; pemalsuan uang; perjudian; prostitusi; di bidang perpajakan; di bidang kehutanan; di bidang lingkungan hidup; di bidang kelautan dan perikanan; atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ini, maka dalam menentukan hasil tindak pidana, Undang-Undang tersebut menganut asas kriminalitas ganda (double criminality). Selanjutnya diatur bahwa Harta Kekayaan yang diketahui atau patut diduga akan digunakan dan/atau digunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris perseorangan disamakan sebagai hasil tindak pidana terorisme.

 1.          TPPU Aktif
 a. Pasal 3 UU TPPU,
“Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.10 Milyar”.

Dari rumusan TPPU dalam Pasal 3,  terdapat unsur-unsur penting sebagai berikut :
1)     “Yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana”
Yang diketahuinya:
suatu keadaan dimana seseorang dapat dinilai secara jelas dan pasti mengetahui bahwa suatu Harta Kekayaan tertentu berasal dari hasil tindak pidana. Dalam hal ini terdapat sikap kalbu atau batin yang dapat diklasifikasikan sebagai dolus (sengaja).

Untuk menilai adanya unsur kesengajaan ini dapat dilihat dari keterlibatan seseorang dalam tindak pidana yang menghasilkan Harta Kekayaan. Apabila seseorang adalah pelaku atau terlibat dalam perbuatan pidana dimaksud, maka mereka telah memenuhi unsur kesengajaan atau dengan kata lain harta kekayaan hasil tindak pidana dimaksud dikualifikasikan telah “diketahuinya”.

Patut diduganya:
suatu keadaan dimana seseorang dinilai mampu memperkirakan berdasarkan data atau informasi yang dimiliki atau berdasarkan kelaziman umum seseorang tersebut dapat menilai bahwa sejumlah uang atau Harta Kekayaan merupakan hasil dari suatu perbuatan pidana. Dalam hal ini terdapat sikap kalbu atau batin yang dapat diklasifikasikan sebagai culpa (lalai).

Untuk menilai adanya unsur kealfaan ini dapat dilihat dari data atau informasi yang dimiliki dan juga kelaziman yang diterima secara wajar oleh masyarakat. Kewajaran ini dapat diuji dengan pendekatan motif dilakukannya transaksi dan juga underlying transaction (transaksi yang mendasari).

2)      dengan maksud menyembunyikan  atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan
meliputi pengertian bahwa yang disembunyikan atau disamarkan disini bukanlah harta kekayaannnya melainkan asal usul harta kekayaannya.

Menyembunyikan:
kegiatan yang dilakukan dalam upaya agar orang lain tidak dapat mengetahui mengenai asal usul Harta Kekayaan dari hasil tindak pidana.
Contoh :
-        kepemilikan Harta Kekayaan diatas namakan pihak lain dengan diikuti perjanjian di bawah tangan.
-        menciptakan perusahaan fiktif untuk mentran-saksikan uang hasil kejahatan sehingga nampak seolah-olah uang atau Harta Kekayaan tersebut asal usulnya berasal dari kegiatan yang sah.

Menyamarkan:
perbuatan atau upaya yang dilakukan sehingga pihak lain termasuk aparat penegak hukum mengalami kesulitan dalam mengidentifikasi bahwa Harta Kekayaan tertentu asal usulnya dari hasil kejahatan. Dalam keadaan normal atau tanpa melalui penelusuran Transaksi dan pengumpulan informasi atau data (analisis atau Pemeriksaan, penyelidikan atau penyidikan)  seseorang termasuk aparat penegak hukum tidak mampu memastikan kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan tertentu. Contoh dari perbuatan tersebut :
1)       mencampur uang sah dengan uang tidak sah, baik secara langsung atau menggunakan perusahaan topengan atau perusahaan yang sah.
2)      Pengalihan aset dengan transaksi yang tidak riil

Semua transaksi atau perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan  asal usul Harta Kekayaan pada umumnya :
1)     tidak memiliki landasan Transaksi (underlying transaction) yang jelas.
2)    transaksinya yang dilakukan sulit dipertanggungjawabkan.
3)    identitas pihak-pihak yang sebenarnya disamarkan.
 b. Pasal 4
setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp.5 Milyar .
Adapun perbedaan antara Pasal 3 dan Pasal 4 dapat dikategorikan sebagai berikut :
1)       Pasal 3, mengatur tentang pelaku TPPU yang juga merupakan pelaku tindak pidana asal, atau setidak-tidaknya dia pelaku penyerta atau yang bersangkutan mengetahui secara pasti tentang objek yang disamarkan.
2)      Pasal 4, sasarannya ditujukan terhadap seseorang yang bukan pelaku tindak pidana asal, tetapi dia mengetahui bahwa Harta Kekayaan tersebut berasal dari kejahatan atau tindak pidana.

2. TPPU Pasif
TPPU pasif sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 5 UU TPPU lebih menekankan pada pengenaan sanksi pidana bagi :
      a. pelaku yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan, dan
      b. pelaku yang berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

Tindak pidana Pencucian Uang dilakukan secara pasif dalam hal pelaku melakukan perbuatan Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yaitu bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.

Dari rumusan Pasal 5 tersebut, untuk tindak pidana Pencucian Uang yang pasif seluruhnya unsurnya bersifat objektif, artinya penuntut umum tidak perlu mencari dan membuktikan aspek mens rea (unsur batin), cukup apabila perbuatan pelaku dimaksud memenuhi aspek actus reus (perbuatan nyata) yang bersifat limitatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dengan ketentuan unsur objektifnya yaitu objek perbuatan tersebut adalah Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana. Khusus untuk obyek perbuatan inilah yang perlu ada pembuktian mens rea-nya.

3. TPPU Korporasi
Tindak pidana Pencucian Uang oleh Korporasi secara tegas diatur dalam Pasal 6 bahwa dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi. Persyaratan pemidanaan dijatuhkan terhadap Korporasi (Pasal 6 Ayat 2), apabila tindak pidana Pencucian Uang :
a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi;
b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi.
Yang dimaksud dengan Korporasi menurut UU TPPU adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum (Pasal 1 Ayat 10).

4. Percobaan, Pembantuhan dan Permufakatan jahat
a. Percobaan
Percobaan melakukan kejahatan (Pasal 53 KUHP), mengandung arti bahwa niat si pelaku  untuk melakukan kejahatan itu sudah ada bahkan terlihat dari permulaan pelaksanaan perbuatan, namun  perbuatan itu tidak jadi  selesai/tuntas bukan karena kemauan pelaku tersebut, misalnya, seseorang sudah membuka paksa pintu mobil untuk mencuri sesuatu dari dalam mobil tersebut namun sebelum perbuatannya mengambil sesuatu dari mobil tersebut terlaksana pelaku tertangkap oleh Petugas Keamanan.

b. Pembantuan
Delik pembantuan diatur dalam Pasal 56 KUHP, dimana dikualifikasikan sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan adalah setiap orang yang dengan sengaja: membantu melakukan kejahatan dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu, dan bantuan itu dapat diberikan pada saat (waktu) atau sebelum kejahatan itu dilakukan. Sanksi bagi pelaku pembantuan ini dikenakan hukuman yang sama dengan pelaku  TPPU, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 UU TPPU.

c. Permufakatan Jahat
Permufakatan Jahat adalah dimana beberapa orang (lebih dari 1 orang) sepakat untuk melakukan kejahatan. Permufakatan Jahat menurut UU TPPU adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang.

 D.       Pihak-Pihak Yang Berperan
 1.        Masyarakat
Masyarakat yang dimaksudkan adalah masyarakat pengguna jasa keuangan atau yang berkaitan dengan keuangan, seperti nasabah bank, asuransi, perusahaan sekuritas, dana pensiun dan lainnya termasuk peserta lelang, pelanggan pedagang emas, properti, dan sebagainya.
Peran masyarakat ini adalah memberikan data dan informasi kepada Pihak Pelapo,r ketika melakukan hubungan usaha dengan Pihak Pelapor,  sekurang-kurangnya meliputi identitas diri, sumber dana dan tujuan Transaksi dengan mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan Dokumen pendukungnya. Hal ini selaras dengan slogan “Kalau Bersih Kenapa Risih”.

Di samping itu, masyarakat juga dapat berperan aktif dalam memberikan informasi kepada aparat penegak hukum yang berwenang atau PPATK apabila mengetahui adanya perbuatan yang berindikasi pencucian uang.

2.       Pihak Pelapor dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
  1. a.       Pihak Pelapor
Pihak Pelapor adalah pihak yang wajib menyampaikan laporan kepada PPATK sebagai berikut:
1)       Penyedia Jasa Keuangan (PJK)
Bank,  Perusahaan pembiayaan,       perusahaan asuransi dan perusahaan pialang asuransi, dana pensiun lembaga keuangan. perusahaan efek, manajer investasi, kustodian, wali amanat, perposan sebagai penyedia jasa giro, pedagang valuta asing,  penyelenggara alat pembayaran menggunakan kartu, penyelenggara e-money dan/atau  e-wallet,    koperasi yang melakukan kegiatan simpan pinjam, pegadaian, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan berjangka komoditas, ataupenyelenggara kegiatan usaha pengiriman uang.

Laporan yang wajib disampaikan oleh Penyedia Jasa keuangan ke PPATK:
  • Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
  • Laporan Transaksi Keuangan Tunai
  • Laporan Transaksi Keuangan Transfer Dana Dari Dan Ke Luar Negeri

2)      Penyedia Barang dan/atau Jasa (PBJ)
perusahaan properti/agen properti, pedagang kendaraan bermotor, pedagang permata dan perhiasan/logam mulia; pedagang barang seni dan antik; atau balai lelang.
Laporan yang wajib disampaikan oleh Penyedia Barang dan atau jasa ke PPATK:
  • Setiap transaksi yang dilakukan oleh Pengguna Jasa dengan mata uang rupiah dan/atau mata uang asing yang nilainya paling sedikit atau setara dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
b.      Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai berkewajiban membuat laporan mengenai pembawaan uang tunai dan atau instrumen pembayaran lain untuk selanjutnya disampaikan kepada PPATK.
Laporan yang disusun tersebut bersumber dari hasilpengawasan atas pemberitahuan setiap orang yang membawa Uang Tunai dan instrumen pembayaran lainnya yang keluar atau masuk wilayah pabean RI senilai Rp 100 juta  atau lebih.

3.    Lembaga Pengawas dan Pengatur
Lembaga Pengawas dan Pengatur adalah lembaga yang memiliki kewenangan pengawasan, pengaturan, dan/atau pengenaan sanksi terhadap Pihak Pelapor
Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap Pihak Pelapor dilaksanakan oleh PPATK apabila terhadap Pihak Pelapor yang bersangkuta belum terdapat Lembaga Pengawas dan Pengaturnya.

Pihak-pihak yang menjadi Lembaga Pengawas dan Pengatur terhadap Penyedia Jasa Keuangan antara lain Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (KEMKOMINFO),  Badan Pengawas Perdagangaan Berjangka Komoditi (BAPPEBTI),  Kementerian Koperasi dan UKM (Usaha Kecil dan Menengah)

4.    PPATK
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang secara umum dikenal sebagai unit intelijen keuangan (Financial Intelligence Unit/FIU), dibentuk sejak tahun 2002 melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan secara khusus diberikan mandat untuk mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang.

PPATK merupakan lembaga independen, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan melaporkan kinerjanya setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Lembaga Pengawas dan Pengatur.

Sebagai lembaga intelijen keuangan, PPATK berperan mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Kewenangan yang diberikan antara lain pengelolaan data base, menetapkan pedoman bagi Pihak Pelapor, mengkoordinasikan dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah,  mewakili Pemerintah dalam forum internasional, menyelenggarakan edukasi, melakukan audit kepatuhan dan audit khusus, memberikan rekomendasi dan atau sanksi kepada Pihak Pelapor, dan mengeluarkan ketentuan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa.

Di samping peran tersebut, peran utama lainnya adalah melakukan analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain, dengan beberapa kewenangan antara lain  meminta dan menerima laporan dan informasi dari berbagai pihak, meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian Transaksi, dan meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik.

 5.       Lembaga Penegak Hukum
 a.       Penyidikan
Kewenangan untuk melakukan penyidikan TPPU, yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), serta Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Penyidik tindak pidana asal dapat melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang apabila menemukan bukti permulaan yang cukup terjadinya tindak pidana pencucian uang saat melakukan penyidikan tindak pidana asal sesuai kewenangannya.

b.   Penuntutan
1)     Kejaksaan
melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal yang berasal dari pelimpahan berkas perkara oleh penyidik sesuai dengan kewenangan Kejaksaan sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.
2)    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melakukan penuntutan atas perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal yang berasal dari pelimpahan berkas perkara oleh penyidik KPK sesuai dengan kewenangan KPK sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan.

c.    Proses Pengadilan
1)     Pengadilan Umum
melakukan pemeriksaan atas perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal di luar tindak pidana korupsi
2)    Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
melakukan pemeriksaan di sidang pengadilan atas perkara tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana korupsi

6.    Pihak terkait lainnya
Berbagai pihak, baik lembaga pemerintah, perusahaan BUMN dan swasta, maupun masyarakat luas, menjadi bagian yang saling melengkapi dari sistem anti pencucian uang di Indonesia.

E.        Kewenangan dan Tugas Notaris dan PPAT
1.        Wewenang Notaris
Berdasarkan Pasal 15 UU JN secara tegas mengatur kewenangan Notaris, antara lain sebagai berikut :
  1. Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik,   menjamin   kepastian   tanggal   pembuatan   akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
  2. Kewenangan lain berkaitan dengan akta, yaitu :
1)       mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;
2)        membukukan  surat-surat  di  bawah  tangan  dengan mendaftar dalam buku  khusus;
3)        membuat  kopi  dari  asli  surat-surat  di  bawah  tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;
4)        melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5)        memberikan  penyuluhan  hukum  sehubungan  dengan pembuatan akta;
6)        membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7)        membuat akta risalah lelang.
8)        kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

2.       Kewajiban Notaris
Berdasarkan Pasal 16 UU JN, Notaris berkewajiban antara lain:
  1. Bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
  2. Membuat   akta   dalam   bentuk   Minuta   Akta   dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris.
  3. Mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta
  4. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
  5. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya  dan  segala  keterangan  yang  diperoleh  guna pembuatan  akta  sesuai  dengan  sumpah/janji  jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
  6. Menjilid  akta  yang  dibuatnya  dalam  1  (satu)  bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam  satu  buku,  akta  tersebut  dapat  dijilid  menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, bulan,  dan  tahun  pembuatannya  pada  sampul  setiap buku;
  7. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan;
  8. Mencatat  dalam  repertorium  tanggal  pengiriman  daftar  wasiat  pada setiap akhir bulan;
  9. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris.
Pembacaan akta tidak  wajib  dilakukan,  jika  penghadap  menghendaki  agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri,  mengetahui,  dan  memahami  isinya,  dengan ketentuan  bahwa  hal tersebut  dinyatakan dalam  penutup akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Jika salah satu syarat tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya  mempunyai  kekuatan  pembuktian  sebagai  akta  dibawah tangan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat.

 3.       Larangan Bagi Notaris
Berdasarkan Pasal 17 UU JN, diatur mengenai larangan bagi notaries antara lain yaitu :
1)       menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya;
2)      meninggalkan wilayah dalam 7 (tujuh) hari krja berturut-turut tanpa alasan yang sah;
3)      merangkap sebagai pegawai negeri;
4)      merangkap jabatan sebagai pejabat negara;
5)      merangkap jabatan sebagai advokat;
6)      merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah atau badan usaha swasta;
7)      merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris;
8)      menjadi Notaris Pengganti; atau
9)      melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris.

 4.      Tugas Pokok Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
Pasal 2 PP Jabatan PPAT mengatur bahwa PPAT memiliki tugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. Perbuatan hukum ini meliputi pembuatan akta :
1)       jual beli;
2)      tukar menukar;
3)      hibah;
4)      pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5)      pembagian hak bersama;
6)      pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7)      pemberian Hak Tanggungan;
8)      pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Untuk melaksanakan tugas pokok ini, seorang PPAT mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.

 b.      Kewenangan
PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Untuk akta tukar menukar, akta pemasukan ke dalam perusahaan dan akta pembagian hak bersama mengenai  beberapa  hak  atas  tanah  dan  Hak  Milik  Atas  Satuan  Rumah  Susun  yang  tidak semuanya terletak di dalam daerah kerja seorang PPAT dapat dibuat oleh PPAT yang daerah kerjanya meliputi salah satu bidang tanah atau satuan rumah susun yang haknya menjadi obyek perbuatan hukum dalam akta.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, lebih rinci diuraikan mengenai kegiatan yang dilakukan oleh PPAT.
1)           Pendaftaran Peralihan Dan Pembebanan Hak
2)         emindahan Hak Dengan Lelang
3)         Peralihan Hak Karena Pewarisan
4)        Peralihan Hak Karena Penggabungan Atau Peleburan Perseroan Atau Koperasi
5)         Pembebanan Hak

F.    Menjaga Martabat dan Profesionalisme 
Notaris dan PPAT adalah dua profesi yang berbeda dengan kewenangan yang juga berbeda. Walaupun, dalam keseharian kita banyak temui notaris yang juga berprofesi sebagai PPAT. Rangkap jabatan profesi notaris dan PPAT memang dimungkinkan oleh peraturan perundang-undangan

  1. Kode Etik Notaris
Setiap Notaris yang diangkat harus mengucapkan sumpah yang salah satu isinya adalah “bahwa saya akan menjaga sikap, tingkah laku saya, dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai Notaris” (Pasal 4 ayat [2] UUJN). Berarti kode etik profesi Notaris merupakan pedoman sikap dan tingkah laku jabatan Notaris. Kode Etik Notaris ditetapkan oleh Organisasi Notaris (Pasal 83 ayat [1] UUJN).
Kode etik notaris Indonesia terdiri dari :
  1. Kepribadian Notaris
  2. Notaris dalam menjalankan tugas
  3. Hubungan notaris dengan klien
  4. Hubungan notaris dengan sesama rekan notaris
  5. Pengawasan.
2. Kode etik PPAT
Kode etik profesi PPAT disusun oleh Organisasi PPAT dan/atau PPAT Sementara dan ditetapkan oleh Kepala BPN yang berlaku secara nasional (Pasal 69 Perka BPN 1/2006). Organisasi PPAT saat ini adalah Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT). Dalam Pasal 1 angka 2 Kode Etik Profesi PPAT, disebutkan bahwa: “Kode Etik PPAT dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan berdasarkan keputusan kongres dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang berlaku bagi serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota Perkumpulan IPPAT dan semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai PPAT, termasuk di dalamnya para PPAT Pengganti.”

Kewenangan pengawasan dan penindakan kode etik PPAT ada pada Majelis Kehormatan yang terdiri dari Majelis Kehormatan Daerah dan Majelis Kehormatan Pusat (Pasal 7 Kode Etik PPAT). Jadi, kode etik notaris berbeda dengan kode etik PPAT karena keduanya mengatur dua profesi yang berbeda, dan dikeluarkan oleh dua organisasi yang berbeda

3. Sumpah Jabatan
Sesuai Pasal 4 UU JN, mengatur bahwa sebelum menjalankan jabatannya, Notaris wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya di hadapan Menteri atau pejabat yang ditunjuk.

G.       Hubungan Profesi Notaris dan PPAT Dengan Program Anti Pencucian Uang
  1. Kegiatan mengenali pengguna jasa
Sesuai UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ( UU TPPU) terdapat pengaturan mengenai kewajiban Pengguna Jasa, orang perorangan atau korporasi yang melakukan transaksi dengan Pihak Pelapor.  Kewajiban Pengguna Jasa adalah :
  1. memberikan identitas dan informasi yang benar yang dibutuhkan oleh Pihak Pelapor, sekurang-kurangnya memuat :
  • Identitas diri
  • Sumber dana
  • Tujuan transaksi
  1. Mengisi formulir yang disediakan oleh Pihak Pelapor dan melampirkan dokumen pendukungnya.
  2. Apabila transaksi dilakukan untuk kepentingan pihak lain, maka Pengguna Jasa harus menyertakan informasi mengenai identitas diri, sumber dana, dan tujuan transaksi pihak lain tersebut.
Selanjutnya diatur bahwa Pihak pelapor memiliki kewajiban, antara lain :
  1. Menerapkan Prinsip mengenali Pengguna Jasa (PMPJ) yang ditetapkan oleh lembaga Pengawas dan Pengatur (LPP).
  2. Dalam menerapkan PMPJ, Pihak Pelapor wajib :
1)       Mengetahui pengguna jasa bertindak untuk diri sendiri atau untuk dan atas nama orang lain
2)      Meminta informasi identitas dan dokumen pendukun dari  pengguna jasa atau pihak lain
3)      Menolak transaksi jika identitas dan atau dokuemn pendukung tidak lengkap
4)      Menyimpan catatan dan dokumen identitas pelaku transaksi paling singkat 5 tahun sejak berakhirnya hubungan usaha

Dalam kaitan dengan profesi Jabatan Notaris dan PPAT, kegiatan seperti di atas kualitasnya lebih diutamakan dibandingkan dengan kuantitasnya. Kualitas yang dimaksudkan adalah kebenaran bagi Penghadap atau Pengguna Jasa Notaris, hingga dalam setiap akta selalu dinyatakan bahwa “ Penghadap dikenal oleh Notaris, atau diperkenalkan kepada Notaris” dengan melakukan verifikasi identitas dan membandingkannya dengan kebenaran Penghadap. Disamping itu, atas apa yang diterangkan oleh Penghadap, nyata bahwa transaksi atau perbuatan hukum yang dilakukan oleh Pengguna Jasa diketahui oleh Notaris dan PPAT. Walaupun dalam kaitan ini banyak pendapat yang mengatakan bahwa Notaris dan PPAT tidak bertanggung jawab atas kebenaran materiil dari apa yang diperjanjikan oleh Para Pihak. Sedangkan yang dimaksudkan dengan kuantitas adalah jumlah data dan informasi yang diperlukan oleh Notaris dan PPAT tidak sebanyak seperti Pengguna Jasa yang akan melakukan hubungan usaha dengan Penyedia Jasa Keuangan selaku Pihak Pelapor. Selama ini, ketika menghadap Notaris dan PPAT, yang harus diserahkan adalah identitas dan informasi yang memuat :
-          nama lengkap,
-           tempat dan tanggal lahir,
-          kewarganegaraan,
-          pekerjaan,
-          jabatan,
-          kedudukan,
-          tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;

Bahkan bagi saksi pengenal, mengenai : nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, serta pekerjaan, jabatan,  kedudukan, dan  tempat  tinggal dari  tiap-tiap saksi pengenal.

Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan kegiatan yang dilakukan oleh Pihak Pelapor, nampak bahwa Penghadap atau Pengguna Jasa Notaris juga melakukan hal yang sama, kecuali untuk beberapa hal seperti tidak adanya kewajiban dari Pengguna Jasa Notaris dan PPATK dalam menginformasikan mengenai sumber dana baik dana yang ditransaksikan maupun dana untuk membayar fee Notaris dan PPAT.

2. Pengelolaan Risiko
Penerapan PMPJ atau penerapan Program APU PPT, merupakan bagian penting bagi manajemen risiko yang baik, terutama dalam pengelolaan risiko reputasi, risiko operasi, risiko hukum dan risiko konsentrasi, yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Risiko reputasi berkaitan dengan sifat dari bisnis suatu industri, yang membutuhkan kepercayaan dari nasabah atau pengguna jasa. Publikasi negatif, entah akurat ataupun tidak, bagi suatu industri akan menyebabkan kehilangan kepercayaan atas integritas industri yang bersangkutan. Dampak dari risiko ini sangat dirasakan terutama bagi industri keuangan selaku lembaga kepercayaan.

Bagi profesi Notaris dan PPAT, reputasi merupakan hal yang sangat penting, bukan hanya karena tuntutan Pengguna Jasa, tetapi juga karena jabatan yang diemban membutuhkan tingkat kehormatan dan martabat yang tinggi dibandingkan dengan profesi lain. Dalam suatu keadaan dimana tingkat reputasi profesi Notaris dan PPAT rendah, maka produk yang dihasilkan banyak menimbulkan kesanksian bagi stakeholder. Sudah barang tentu pada akhirnya hal ini dapat mempengaruhi tingkat pembuktian atas akta yang dihasilkan. Selain itu, tingkat kepercayaan Pengguna jasa juga dapat mengalami penurunan, yang pada akhirnya tujuan pembangunan nasional tidak berjalan sesuai yang diharapkan.

Di samping risiko reputasi, Penerapan PMPJ juga ditujukan untuk mengelola risiko operasional. Dalam hal terdapat persoalan baik secara administratif maupun pidana berkaitan dengan pelaksanaan fungsi dan tugas yang menjadi kewajibannya, tentu hal demikian akan mengganggu operasional dari kegiatan bisnis yang dijalankan. Biasanya berkenaan dengan dampak risiko operasional ini membutuhkan alokasi sumber daya, baik tenaga, waktu, dan dana untuk mengatasinya. Demikian halnya bagi profesi Notaris dan PPAT, ketika muncul persoalan administratif dan hukum, opersional kantor menjadi terganggu dan untuk mengatasinya juga membutuhkan alokasi sumber daya, baik tenaga, waktu, dan dana yang tidak sebanding dengan hasil pendapatan yang diperoleh.

Sementara itu, dalam kaitan dengan risiko hukum, yaitu risiko kemungkinan adanya tuntutan hukum, keputusan institusi penegak hukum yang merugikan, atau kontrak yang pada akhirnya tidak dapat dipenuhi, kondisi ini dapat menggangu atau merugikan bagi operasional atau kondisi industri yang bersangkutan. Sama halnya dengan profesi Notaris dan PPAT, keterlibatan dalam suatu kasus hukum, berimplikasi pada biaya yang jauh lebih besar terutama untuk penyelesaian kasusnya. Risiko ini muncul terutama karena tidak efektifnya proses identifikasi dan verifikasi terhadappengguna jasa

3. Penatausahaan dokumen
Dalam rangka penerapan PMPJ, Pihak Pelapor memiliki kewajiban menyimpan catatan dan dokumen identitas pelaku transaksi paling singkat 5 tahun sejak berakhirnya hubungan usaha. Selebihnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai penatausahaan dokumen perusahaan.
Sama halnya bagi profesi Notaris dan PPATK yang memang dalam kegiatannya membuat akta untuk alat bukti, maka penatausahaan dokumen menjadi hal yang sangat vital.

4. Memenuhi prinsip Good Corporate Governance (GCG)
Saat ini semua perusahaan termasuk profesi untuk tetap bisa menjalankan fungsinya dengan baik, maka prinsip-prinsip GCG tidak bisa dihindari, dengan memperhatikan kharakteristik perusahaan atau profesi yang dijalani agar tidak melanggar ketentuan perundagan yang berlaku. Secara umum, prinsip GCG dapat dijabarkan dalam 5 prinsip, yaitu :
  1. transparansi (transparency) yaitu keterbukaan dalam mengemukakan informasi yang material dan relevan serta keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan;
  2. akuntabilitas (accountability) yaitu kejelasan fungsi dan pelaksanaan pertanggungjawaban, sehingga pengelolaannya berjalan secara efektif;
  3. pertanggungjawaban  (responsibility)  yaitu  kesesuaian pengelolaan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip pengelolaan yang sehat;
  4. independensi   (independency)   yaitu   pengelolaan   secara profesional tanpa pengaruh/tekanan dari pihak manapun; dan
  5. kewajaran (fairness) yaitu keadilan dan kesetaraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian  danperaturan  perundang-undangan   yang berlaku.
 5. Kegiatan yang dilakukan
Tugas dan tanggung jawab Notaris dan PPAT dalam memberikan layanan bagi Pengguna Jasa, terutama dalam pembuatan akta otentik secara ringkas dapat diuraikan tahapan kegiatan sebagai berikut :
-          Identifikasi Pengguna Jasa, Verifikasi Pengguna Jasa, dan pelaksanaan pembuatan akta
-          Kebijakan penerimaan dan penolakan Pengguna Jasa

PMPJ Pihak Pelapor Mengenal Penghadap
Identitas dan informasi :
-         nama lengkap,
-         tempat dan tanggal lahir,
-         kewarganegaraan,
-         pekerjaan,


Identitas dan Informasi :
-         nama lengkap,
-         tempat dan tanggal lahir,
-         kewarganegaraan,
-         pekerjaan,
-         jabatan,
-         kedudukan,
-         tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
-         keterangan mengenai kedudukan bertindak penghadap;
-         isi  akta  yang  merupakan  kehendak  dan  keinginan  dari pihak yang berkepentingan;
-         Identitas saksi pengenal

Beneficial Owner Benefecial Owner
Tujuan transaksi Tujuan menghadap
Sumber dana -
Verifikasi Verifikasi
Pengisian form KYC -                                                                                          
Penolakan Hubungan usaha dan transaksi Penolakan pembuatan akta
Pengendalian Risiko Pengendalian Risiko
Pemenuhan Prinsip GCG Menjaga martabat dan kehormatan melalui penerapan Prinsip GCG
Penatausahaan dokumen Penatausahaan dokumen
Pelaporan – teknologi informasi Pelaporan – teknologi informasi
Identifikasi Transaksi -
Pelaporan Pelaporan kepada 6 instansi

Jakarta, 1 Juli  2013

Sumber dari : Agus Triyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar