Obyek undang-undang kepailitan adalah Debitor, yaitu Debitor yang tidak membayar utang-utangnya kepada para Kreditornya. Undang-undang berbagai negara membedakan antara aturan kepailitan bagi Debitor orang perorangan (individu) dan Debitor bukan perorangan atau badan hukum. Apakah UUK mengatur secara berbeda-beda pula kepailitan orang perorangan dan bukan orang perorangan?
Tidak seperti di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut common law system, UUK tidak membedakan aturan bagi kepailitan Debitor yang merupakan badan hukum maupun orang perorangan (individu).
Bahwa ruang lingkup UUK meliputi baik Debitor badan hukum maupun Debitor orang perorangan memang tidak tegas-tegas ditentukan dalam Undang-undang tersebut, tetapi hal itu dapat disimpulkan dari bunyi pasal-pasalnya. Misalnya dari Pasal 2 ayat (5) UUK yang mengemukakan bahwa "Dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya". Pasal 3 ayat (1) UUK mengemukakan bahwa "Dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istri".
Kepailitan bukan saja dapat diajukan terhadap Badan Usaha Milik Swasta atau badan-badan hukum swasta tetapi dapat juga diajukan terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Kepailitan Holding Company
Dapatkah permohonan pernyataan pailit diajukan terhadap suatu Holding Company? Penulis berpendapat permohonan itu dapat saja diajukan, oleh karena suatu Holding Company adalah suatu perusahaan. Adalah menarik mencermati putusan Pengadilan Niaga dalam perkara Ometraco, yaitu Putusan No.3/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst dan No.4/Pailit/1998/PN.Niaga/Jkt.Pst yang menolak permohonan kepailitan terhadap Holding Company dengan pertimbangan bahwa seharusnya permohonan-permohonan terhadap Holding Company dan terhadap anak perusahaan tersebut diajukan dalam satu permohonan.
Terhadap putusan ini Kartini Muljadi, S.H., salah satu perancang Perpu No. 1 Tahun 1998, berpendapat bahwa pertimbangan Pengadilan Niaga tersebut kurang tepat. Permohonan pailit terhadap Holding Company dan anak perusahaannya oleh UUK tidak diwajibkan untuk diajukan dalam satu permohonan. Mereka merupakan badan hukum yang berbeda, mempunyai Kreditor yang berbeda, mungkin pula Holding Company adalah Kreditor dari anak perusahaannya. Penulis sangat mendukung pendapat yang dikemukakan oleh Kartini Muljadi tersebut di atas.
Kepailitan Bank dan Perusahaan Efek
Undang-undang Kepailitan membedakan antara Debitor bank dan bukan bank, antara Debitor perusahaan efek dan bukan perusahaan efek. Pembedaan itu dilakukan berkaitan dengan ketentuan undang-undang ini mengenai siapa yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit.
Kepailitan Penjamin
Berkaitan dengan pemberian guarantee yang biasanya diminta oleh perbankan dalam pemberian kredit bank, dengan undang-undang ini seorang penjamin atau penanggung yang memberikan personal guarantee atau suatu perusahaan yang memberikan corporate guarantee dapat dimohonkan untuk dinyatakan pailit. Selama ini sering tidak disadari baik oleh bank maupun oleh para pengusaha bahwa seorang personal guarantor dapat mempunyai konsekuensi hukum yang jauh apabila personal guarantor itu tidak melaksanakan kewajibannya. Konsekuensinya ialah bahwa guarantor (baik personal guarantee maupun corporate guarantee) dapat dinyatakan pailit.
Banyak bankir merasa bahwa personal guarantee hanya memberikan ikatan moral saja dari penjamin (guarantor)-nya. Hal itu tidak benar. Menurut Pasal 22 Fv, dengan pernyataan pailit, Debitor pailit demi hukum kehilangan hak untuk menguasai kekayaannya yang dimasukkan dalam harta pailit terhitung sejak hari pernyataan pailit diputuskan. Dengan demikian, seorang penjamin yang dinyatakan pailit oleh pengadilan tidak lagi dapat melakukan bisnis untuk dan atas nama pribadinya.
Dalam KUH Perdata, penjaminan atau penanggungan diatur di dalam Pasal 1831 s.d. Pasal 1850. Dari ketentuan-ketentuan dalam KUH Perdata itu dapat disimpulkan bahwa seorang penjamin atau penanggung adalah juga seorang Debitor. Penjamin atau penanggung adalah juga seorang Debitor yang berkewajiban untuk melunasi utang Debitor kepada Kreditor atau para Kreditornya apabila Debitor tidak membayar utang yang telah jatuh waktu dan atau dapat ditagih. Oleh karena penjamin atau penanggung adalah Debitor, maka penjamin atau penanggung dapat dinyatakan pailit berdasarkan UUK.
UUK mengatur mengenai penjaminan, dalam istilah Fv disebut penanggungan, dalam Pasal 131, Pasal 154 dan Pasal 155 Fv. Dari bunyi pasal-pasal tersebut tidak ternyata bahwa penjamin atau penanggung tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit terhadapnya.
Dalam putusannya No. 39K/N/1999 mengenai kepailitan antara PT Deemte Sakti Indo melawan PT Bank Kesawan, dalam tingkat Kasasi, Majelis Hakim Mahkamah Agung antara lain berpendapat sebagai berikut:
Bahwa i.e. Termohon sebagai guarantor telah melepaskan hak-hak istimewanya raaka Kreditor dapat secara langsung menuntut Termohon untuk memenuhi kewajibannya. Bahwa karena Termohon tidak memenuhi kewajibannya secara suka-rela, maka Kreditor/Pemohon mohon agar Termohon dipailitkan dan sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Pengadilan Niaga secara tepat dan benar Termohon telah memenuhi syarat untuk dinyatakan pailit.
Dalam putusan Mahkamah Agung yang lain mengenai kepailitan penjamin, yaitu Putusan No. 42K/N/1999 dalam perkara kepailitan antara (1) Bank Artha Graha dan (2) PT Bank Pan Indonesia, Tbk. (PT Bank Panin, Tbk.) melawan (1) Cheng Basuki dan (2) Aven Siswoyo, Majelis Hakim Kasasi mengemukakan pendapat, sebagaimana ternyata dari pertimbangannya, sebagai berikut:
Bahwa dengan perjanjian penjaminan No. 50 dan perjanjian jaminan No. 51 (bukti P2 dan P3) yang di antaranya menyatakan bahwa para Termohon Kasasi selaku para penjamin melepaskan segala hak-hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang penjamin, berarti para Termohon Kasasi sebagai para penjamin adalah menggantikan kedudukan Debitor (PT Tensindo) dalam melaksanakan kewajiban Debitor (PT Tensindo) terhadap para Pemohon (para Pemohon Kasasi) sehingga para Termohon (Termohon Kasasi) dapat dikategorikan sebagai debitor.
Bagaimana halnya apabila penjamin atau penanggung hanya menjamin atau menanggung utang Debitor terhadap suatu Kreditor dan ternyata penjamin atau penanggung itu tidak melaksanakan kewajibannya untuk membayar utang Debitor kepada Kreditor yang dijaminnya dan ternyata Kreditor yang dijamin olehnya itu adalah satu-satunya Kreditor baginya? Apakah terhadap penjamin atau penanggung itu dapat diajukan permohonan pernyataan pailit? Menurut hemat penulis apabila penjamin atau penanggung tersebut tidak memiliki lebih dari satu Kreditor, sehingga tidak terpenuhi asas concursus creditorum sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 1 ayat (1) UUK, maka terhadap penjamin atau penanggung itu tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit.
Secara yuridis murni berdasarkan penafsiran gramatikal terhadap ketentuan-ketentuan dalam UUK, seorang penanggung tidak dapat dinyatakan pailit sebelum harta kekayaan Debitor terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Hal itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata yang menentukan bahwa penjamin (penanggung) tidak diwajibkan membayar utang Debitor kepada Kreditor selain apabila Debitor lalai dan harta kekayaan Debitor telah terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata tersebut mensyaratkan pula bahwa penjamin atau penanggung hanya dapat dituntut untuk membayar kekurangan utang yang tidak dapat dilunasi dari hasil penjualan harta kekayaan Debitor itu.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata itu, seorang penjamin atau penanggung tidak dapat dinyatakan pailit tanpa sebelumnya menyatakan Debitor pailit. Hak Kreditor yang ditanggung untuk menuntut penjamin atau penanggung hanyalah apabila dari hasil likuidasi terhadap harta kekayaan Debitor masih terdapat sisa utang yang belum lunas. Berdasarkan ketentuan Pasal 1832 angka 4 KUH Perdata, penjamin atau penanggung tidak dapat menuntut supaya harta kekayaan Debitor disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya apabila berada di dalam keadaan pailit. Dengan kata lain, kewajiban membayar dari penjamin atau penanggung merupakan bagian dari harta pailit seketika Debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan. Namun ketentuan Pasal 1832 angka 4 KUH Perdata itu tidak mengakibatkan penjamin atau penanggung itu pailit.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 1 KUH Perdata, pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap seorang penjamin atau penanggung dapat diajukan tanpa mengajukan permohonan pailit pula kepada Debitor hanyalah apabila penjamin atau penanggung telah melepaskan Hak Istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda atau, harta kekayaan Debitor disita dan dijual terlebih dahulu.
Sejalan dengan dengan ketentuan Pasal 1832 angka 2, 3, 4, dan 5 KUH Perdata, terhadap penjamin atau penanggung dapat diajukan permohonan pernyataan pailit, selain karena telah melepaskan Hak Istimewanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1832 huruf 1 KUH Perdata sebagaimana dikemukakan di atas, apabila:
Angka 2: penjamin telah bersama-sama dengan Debitor mengikatkan dirinya secara tanggung renteng.
Angka 3: Debitor dapat mengajukan tangkisan yang hanya menyangkut dirinya sendiri secara pribadi.
Angka 4: Debitor berada dalam keadaan pailit.
Angka 5: penjaminan (penanggungan) tersebut telah diberikan berdasarkan perintah pengadilan.
Masalah lain yang berkaitan dengan pengajuan permohonan perayataan pailit terhadap penjamin atau penanggung adalah mengenai apakah permohonan pernyataan pailit terhadap penjamin atau penanggung harus diajukan bersamaan dengan pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Debitor? Menurut hemat penulis hal itu tidak merupakan keharusan.
Apabila tidak terpenuhi ketentuan Pasal 1832 KUH Perdata, sehingga dengan demikian berlaku ketentuan Pasal 1831 KUH Perdata, maka permohonan pernyataan pailit tidak boleh diajukan tanpa mengajukan pula permohonan pailit terhadap Debitor. Bahkan terhadap penanggung tidak dapat diajukan permohonan pernyataan pailit sebelum terbukti bahwa dari hasil penjualan harta kekayaan Debitor yang di-nyatakan pailit itu masih terdapat sisa utang yang belum dapat dilunasi dalam beberapa hal dapat saja diminta oleh penanggung
Perlu dicermati mengenai tanggung jawab penjamin atau penanggung sehubungan dengan ketentuan Pasal 155 Fv. Menurut Pasal 155 Fv, walaupun sudah ada perdamaian, para Kreditor tetap mempunyai hak terhadap para penanggung. Lebih lanjut Pasal 155 Fv menentukan, hak yang dapat dilakukan terhadap barang-barang pihak ketiga tetap ada pada para Kreditor seolah-olah tidak terjadi perdamaian.
Dengan kata lain, terjadinya perdamaian antara Debitor dengan (para) Kreditornya tidaklah menghapuskan tanggung jawab penanggung. Menurut hemat penulis, pasal ini tidak boleh diartikan bahwa sekalipun telah terjadi perdamaian, maka para Kreditor dapat mengajukan permintaan kepada penjamin atau penanggung agar melunasi utang Debitor yang dijaminnya itu, yang notabene telah disepakati oleh para Kreditor untuk dijadwal ulang atau direstrukturisasi berdasarkan suatu perjanjian perdamaian. Dengan kata lain, tidak dapat dibenarkan bahwa di satu pihak telah terjadi perdamaian antara Debitor dan para Kreditornya, sedangkan bersamaan dengan itu para Kreditor mengajukan haknya kepada penjamin atau penanggung untuk membayar utang Debitor yang telah dijadwal ulang atau direstrukturisasi.
Pasal tersebut harus diartikan bahwa penjaminan atau penanggungan tidaklah batal dengan adanya perjanjian perdamaian sehingga karena itu penjamin atau penanggung tersebut tetap menjamin atau menanggung utang-utang yang telah dijadwal ulang atau direstrukturisasi. Penjamin atau penanggung baru timbul kewajibannya apabila Debitor kembali cidera janji karena tidak dapat memenuhi syarat-syarat perjanjian perdamaian tersebut. Pembatalan penjaminan atau penanggungan itu hanya dapat terjadi apabila di dalam perjanjian perdamaian diperjanjikan dengan tegas untuk membebaskan penjamin atau penanggung dari kewajibannya.
Sumber : http://hernathesis.multiply.com/reviews/item/14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar