Pengikatan Jaminan Pesawat Terbang sebagai jaminan fasilitas kredit Bank
LATAR BELAKANG
Suatu BANK telah menyalurkan fasilitas kredit kepada debiturnya dengan menerima barang jaminan kredit yang satu diantaranya adalah pesawat terbang. Pengikatan yang dilakukan oleh BANK terhadap 2 (dua) unit pesawat terbang dimaksud adalah secara Fidusia Notariil.
Hal tersebut selanjutnya menjadi temuan Tim Audit Internal BANK ybs dan berdasarkan hasil audit tersebut, Tim Audit memberikan rekomendasi agar pengikatan terhadap pesawat terbang dimaksud dilakukan secara Fidusia dan mendaftarkannya ke Kantor Pendaftaran Fidusia.
DASAR HUKUM
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW);
2. UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan;
3. UU No.42 Tahun 1999 tentang Fidusia;
PEMBAHASAN
Berdasarkan asas dan prinsip hukum perdata di Indonesia khususnya dan yang dianut oleh mayoritas negara-negara di dunia, pesawat terbang digolongkan sebagai benda tidak bergerak. Prinsip hukum ini berpengaruh pada penetapan aturan hukum keperdataan yang berlaku bagi pesawat terbang sebagai objek jaminan, yaitu antara lain dapat mempunyai hubungan dengan lembaga jaminan berupa Hipotik (Hypotheek). Dibeberapa negara maju, lembaga jaminan pesawat terbang telah dilaksanakan melalui ketentuan Mortgage.
Ketentuan mengenai lembaga jaminan pesawat terbang diatur dalam Pasal 9, 10, dan 12 UU No.15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengenai pendaftaran dan kebangsaan pesawat terbang serta lembaga jaminan pesawat terbang.
Dalam Pasal 9 UU Penerbangan diatur bahwa pesawat terbang yang akan dioperasikan di Indonesia wajib mempunyai tanda pendaftaran Indonesia . Dalam hal ini, tidak semua pesawat terbang dapat mempunyai tanda pendaftaran Indonesia , kecuali pesawat terbang Sipil yang tidak didaftarkan di negara lain dan memenuhi salah satu ketentuan dan syarat dibawah ini :
· Dimiliki oleh Warga Negara Indonesia atau dimiliki oleh Badan Hukum Indonesia ;
· Dimiliki oleh Warga Negara Asing atau Badan Hukum Asing dan dioperasikan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia untuk jangka waktu pemakaian minimal 2 (dua) tahun secara terus menerus berdasarkan suatu perjanjian sewa beli, sewa guna usaha, atau bentuk perjanjian lainnya;
· Dimiliki oleh instansi pemerintah;
· Dimiliki oleh lembaga tertentu yang diizinkan pemerintah.
Secara khusus ketentuan mengenai pendaftaran pesawat terbang Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan pendaftaran pesawat terbang sipil diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Selain tanda pendaftaran Indonesia , sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 10 UU Penerbangan, pesawat terbang dan helikopter yang akan dioperasikan di Indonesia wajib pula mempunyai tanda kebangsaan Indonesia. Tanda kebangsaan Indonesia dimaksud hanya akan diberikan kepada pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran Indonesia . Persyaratan dan tata cara memperoleh dan mencabut tanda kebangsaan Indonesia bagi pesawat terbang dan helikopter dan jenis-jenis tertentu dari pesawat terbang dan helikopter yang dapat dibebaskan dari kewajiban memiliki tanda kebangsaan Indonesia , akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Dengan diterapkannya pendaftaran terhadap Pesawat Terbang, maka memberikan sifat hak kebendaan yang kuat kepada pemilik dan hak itu mengikuti bendanya ditangan siapapun benda itu berada. Dalam praktek, hal ini memberikan perlindungan yang kuat kepada pemilik, karena pemilik dapat mempertahankan haknya terhadap khalayak umum (publik).
Dengan demikian secara yuridis pesawat terbang atau helikopter merupakan benda yang dapat dijadikan sebagai jaminan pelunasan suatu utang (agunan) sepanjang pesawat terbang atau helikopter tersebut telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia . Hal tersebut diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut :
(1) Pesawat terbang dan helikopter yang telah mempunyai tanda pendaftaran dan kebangsaan Indonesia dapat dibebani Hipotek.
(2) Pembebanan Hipotek pada pesawat terbang dan helikopter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didaftarkan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran hipotek pesawat udara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengikatan pesawat terbang dan helikopter dilaksanakan melalui pembebanan hipotik. Lalu timbul pertanyaan bagaimanakah tata cara pendaftaran hipotik pesawat terbang dan helikopter ? lembaga manakah yang berwenang mencatat pendaftaran dan menerbitkan Sertipikat Hipotik atas pesawat terbang dan helikopter ?
Berdasarkan penelitian kami, peraturan pemerintah yang mengatur mengenai pembebanan hipotek atas pesawat terbang sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan sampai saat ini belum direalisasikan, sehingga pelaksanaan pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang masih belum jelas dan belum bersifat nasional, yang artinya tidak semua Dinas Perhubungan (yang nantinya diharapkan sebagai badan yang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas Pesawat Terbang) dapat menerima atau bersedia melakukan pencatatan terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, atau dengan kata lain belum ada badan yang ditunjuk secara resmi sebagai badan yang berwenang melakukan registrasi terhadap pembebanan Hipotek atas pesawat terbang, sebagaimana Kantor Pendaftaran Fidusia dalam hal pembebanan Fidusia, Kantor Pertanahan (BPN) dalam hal pembebanan Hak Tanggungan atau Kantor Syahbandar dalam hal pembebanan Hipotek atas kapal.
Mengingat peraturan pemerintah belum ada, lalu apakah pengikatan pesawat terbang dapat diterobos dengan melakukan pengikatan Fidusia dan mendaftarkan ke Kantor Pendaftaran Fidusia ? mengingat pengikatan fidusia dapat dilaksanakan terhadap benda-benda jaminan yang tidak dapat diikat Hak Tanggungan maupun hipotik ?
Walapun dalam ketentuan umum dalam Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang Fidusia, pada Pasal 1 ayat 4 menyebutkan, bahwa yang dapat dibebani Fidusia salah satunya adalah benda yang terhadapnya tidak dapat dibebani Hak Tanggungan atau Hipotek, namun pasal/klausul tersebut tidak serta merta berlaku bagi pesawat terbang, mengingat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia telah secara tegas menyebutkan bahwa UU Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotek atas pesawat terbang.
KESIMPULAN, SARAN DAN CATATAN PENULIS
Kesimpulan
Pengikatan Jaminan atas pesawat terbang melalui pembebanan Hipotik sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 15 tahun 1992 tentang Penerbangan belum dapat dilaksanakan dan pembebanan melalui Fidusia bertentangan dengan ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU No. 42 tahun 1999 tentang Fidusia yang secara tegas menyebutkan bahwa Fidusia tidak berlaku terhadap Hipotik atas pesawat terbang.
Saran
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas sebagai langkah pengamanan bagi BANK, kami memberikan masukan agar terhadap jaminan berupa pesawat terbang diperlakukan sebagai jaminan tambahan dan bukan sebagai jaminan pokok atas suatu hutang (fasilitas kredit). Namun demikian apabila jaminan pesawat terbang tersebut harus diterima oleh BANK, maka kami menyarankan agar BANK memperkirakan dan meyakinkan bahwa tidak ada kreditur lain yang mempunyai hubungan utang piutang dengan pihak debitur yang menyerahkan pesawat terbang sebagai jaminan kredit.
Catatan
Pemerintah seyogyanya memperhatikan permasalahan ini, karena kebutuhan akan penggunaan pesawat terbang dalam perkembangannya dewasa ini sudah bukan merupakan hal yang exclusive, namun sudah merupakan kebutuhan primer bagi mobilitas umat manusia, sehingga pembiayaan kredit bagi perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang usaha air traffic carrier sangat terbuka luas dan memberikan tantangan peluang usaha kedepan. Sehingga pemerintah dituntut untuk segera mengeluarkan peraturan pelaksanaan tentang tata cara pengikatan pesawat terbang dan helikopter.
Demikian pula untuk pelaku usaha perbankan di tanah air, agar segera mendapatkan kepastian dalam mengakomodir tantangan dan peluang kedepan dalam melakukan pembiayaan terhadap usaha air traffic carrier sehingga kedepan tidak ada hambatan regulasi untuk membiayai kredit jasa air traffic carrier tersebut.
… and justice for all …
Penulis : Achmad Susetyo dan Pudyo Bayu Hartawan
Catatan :
Sebagai tambahan
UU Penerbangan baru UU Penerbangan yang baru (UU No. 1 Tahun 2009) tidak menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang.
Dalam UU Penerbangan 2009 ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82 tetapi memang tidak menyebutkan hipotik. Sepengetahuan saya, dikarenakan belum ada PP berdasarkan UU lama maka pembebanan jaminan atas pesawat terbang dapat dilakukan dengan Fidusia. Supaya tidak tunduk pada hukum hipotik maka yang menjadi obyek fidusia adalah bukan pesawat secara utuh tetapi bagian2 dari pesawat, misalnya mesin, turbin, badan pesawat/kabin, dlsb (walaupun dapat saja meliputi hampir seluruh bagian pesawat). Kayaknya ini akal-akalan tetapi tidak melanggar hukum. Ini merupakan satu-satunya alternatif cara pembebanan untuk “pesawat” apabila memang tidak ada agunan lain. Soal bagaimana eksekusinya, itu persoalan lain.
UU Penerbangan baru UU Penerbangan yang baru (UU No. 1 Tahun 2009) tidak menyentuh pengaturan mengenai pembebanan hipotik pesawat terbang.
Dalam UU Penerbangan 2009 ketentuan mengenai penjaminan pesawat terbang diatur dalam pasal 71 s/d 82 tetapi memang tidak menyebutkan hipotik. Sepengetahuan saya, dikarenakan belum ada PP berdasarkan UU lama maka pembebanan jaminan atas pesawat terbang dapat dilakukan dengan Fidusia. Supaya tidak tunduk pada hukum hipotik maka yang menjadi obyek fidusia adalah bukan pesawat secara utuh tetapi bagian2 dari pesawat, misalnya mesin, turbin, badan pesawat/kabin, dlsb (walaupun dapat saja meliputi hampir seluruh bagian pesawat). Kayaknya ini akal-akalan tetapi tidak melanggar hukum. Ini merupakan satu-satunya alternatif cara pembebanan untuk “pesawat” apabila memang tidak ada agunan lain. Soal bagaimana eksekusinya, itu persoalan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar