Menurut pasal 1 UUK, permohonan pailit dapat diajukan oleh pemohon-pemohon sebagai berikut:
1. Dalam hal Debitor adalah perusahaan bukan bank dan bukan perusahaan efek, yang dapat mengajukan mengajukan permohonan pailit adalah:
a. Debitor,
b. Seorang atau lebih Kreditor,
c. Kejaksaan.
2. Dalam hal perusahaan adalah perusahaan bank, yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah Bank Indonesia .
3. Dalam hal perusahaan adalah perusahaan efek, yang dapat mengajukan permohonan pailit adalah Bapepam.
· Dalam hal debitor adalah Perusahaan Terbatas, maka yang harus mengajukan permohonan pailit adalah direksi perusahaan tersebut, namun harus berdasarkan keputusan RUPS.
· Permohonan itu harus diajukan oleh seorang penasihat hukum yang memiliki izin praktik (Pasal 5 UUK).
· UUK memang tidak mewajibkan bagi hakim untuk memanggil atau meminta persetujuan atau sekurang-kurangnya mendengar pendapat para Kreditor yang lain (dalam hal permohonan kepailitan diajukan oleh seorang atau beberapa Kreditor). Namun demikian sebaliknya pula, UUK tidak melarang apabila hakim memanggil para Kreditor yang lain untuk dimintai pendapat atau persetujuan mereka itu sehubungan dengan permohonan kepailitan. Demi memperoleh keputusan kepailitan yang fair, seyogianya hakim sebelum memutuskan permohonan pernyataan pailit seorang Debitor, baik yang diajukan oleh Debitor sendiri, oleh seorang atau lebih Kreditor, atau oleh Kejaksaan demi kepentingan umum, terlebih dahulu memanggil dan meminta pendapat para Kreditor, terutama para Kreditor yang menguasai sebagian besar jumlah utang Debitor yang bersangkutan. Sikap hakim yang demikian ini sejalan dengan ketentuan Pasal 244 UUK mengenai hak Debitor untuk memohon kepada Pengadilan Niaga agar PKPU dicabut dan memberikan keputusannya, hakim yang bersangkutan harus mendengar para Kreditor dan memanggil mereka secara layak.
MEKANISME PENGAJUAN PAILIT
Berkenaan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUK tersebut, yang perlu diketahui adalah kepada Pengadilan Niaga mana permohonan itu harus dialamatkan. Berikut ini akan dikemukakan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kewenangan Pengadilan Niaga dalam memutus permohonan pernyataan pailit:
1. Dalam hal debitor telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (2) UUK menentukan bahwa Pengadilan Niaga yang berwenang menetapkan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum terakhir Debitor.
2. Sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (3) UUK, dalam hal Debitor adalah persero suatu firma, Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum firma tersebut juga berwenang memutuskan. Penjelasan Pasal 2 ayat (2) tersebut mengemukakan bahwa dalam hal menyangkut putusan atas permohonan pernyataan pailit oleh lebih dari satu Pengadilan Niaga yang berwenang mengenai Debitor yang sama pada tanggal yang berbeda, maka putusan yang diucapkan pada tanggal yang lebih awal adalah yang berlaku. Selanjutnya penjelasan Pasal 2 ayat (3) tersebut menentukan pula bahwa dalam hal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan oleh Pengadilan Niaga yang berbeda pada tanggal yang sama mengenai Debitor yang sama, maka yang erlaku adalah putusan Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum Debitor.
3. Bagaimana halnya apabila Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia ? Menurut Pasal 2 ayat (4) UUK, dalam hal Debitor tidak bertempat kedudukan dalam wilayah Republik Indonesia tetapi menjalankan profesi atau usahanya dalam wilayah Republik Indonesia, Pengadilan Niaga yang berwenang memutuskan adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan hukum kantor Debitor yang menjalankan profesi atau usahanya itu.
4. Bagaimana menentukan Pengadilan Niaga mana yang berwenang Debitor adalah suatu badan hukum, seperti perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan? Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dalam hal Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adalah sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya PN yang sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut.
5. Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 4 ayat (1) UUK, diajukan kepada pengadilan melalui Panitera. Pasal 4 ayat (2) UUK menentukan, Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan. Selanjutnya Pasal 4 koperasi, dan yayasan? Menurut Pasal 2 ayat (5) UUK, dala™ u Debitor merupakan badan hukum, maka kedudukan hukumnya adal sebagaimana dimaksud dalam Anggaran Dasarnya. Dengan kata lain Pengadilan Niaga yang berwenang memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit adalah Pengadilan Niaga yang daerah hukumnva meliputi tempat kedudukan hukum dari badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan Anggaran Dasar badan hukum tersebut.
Menurut Pasat 3 ayat (1) UUK, dalam hal permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor perorangan yang menikah, permohonan hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau istrinya. Mengenai ketentuan ini, penjelasan pasal tersebut mengemukakan, ketentuan ini hanya berlaku apabila permohonan pernyataan pailit diajukan oleh Debitor. Persetujuan dari suami atau istri Debitor diperlukan, karena menyangkut harta bersama (terdapat percampuran harta). Sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Pasal 3 ayat (1) UUK, Pasal 3 ayat (2) UUK menentukan, bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku apabila tidak ada percampuran harta.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit, menurut Pasal 6 ayat (4), harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit didaftarkan.Pertanyaan yang timbul ialah, apa konsekuensi dan sanksinya apabila ketentuan mengenai batas waktu itu dilanggar?
Ternyata UUK tidak menentukan sanksi apa pun. Mengingat kualitas Pengadilan Indonesia yang masih sangat menyedihkan pada saat ini, penulis meragukan jangka waktu tersebut akan atau dapat dipatuhi dengan baik. Menurut hemat penulis pula, jangka waktu 30 (tiga puluh) hari untuk memeriksa dan memberikan putusan atas permohonan pernyataan pailit sangat pendek. Dikhawatirkan kualitas putusan yang diambil akan jauh dari adil dan memuaskan karena terpaksa dilakukan secara terburu-buru. Jangka waktu tersebut seyogianya lebih panjang. Paling sedikit 90 (sembilan puluh) hari.
Sehubungan dengan kemungkinan pengambilan putusan Pengadilan Niaga diambil melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, Mahkamah Agung RI dalam putusan mengenai permohonan Peninjauan Kembali No. 011PK/N/1999 dalam perkara PT Bank Yakin Makmur (PT Bank Yama) sebagai Pemohon PK/Pemohon Kasasi/Termohon Pailit melawan PT Nassau Sport Indonesia sebagai Termohon PK/Termohon Kasasi/Pemohon Pailit dalam pertimbangan hukumnya mengemukakan bahwa alasan permohonan Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, sebab meskipun putusan dijatuhkan melampaui tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari, hal tersebut tidak membatalkan putusan.
Putusan atas permohonan pernyataan pailit harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Demikian ditentukan dalam Pasal 6 ayat (5) UUK. Selanjutnya Pasal 6 ayat (5) UUK menentukan bahwa putusan tersebut dapat dijalankan terlebih dahulu, meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum (putusan serta-merta atau uitvoerbaar bij voorraad).
Dalam jangka waktu paling lambat 2 x 24 jam terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan pernyataan pailit ditetapkan, Pengadilan Niaga wajib menyampaikan dengan surat dinas tercatat atau melalui kurir kepada Debitor, kepada pihak yang mengajukan permohonan pernyataan pailit, dan kepada Kurator serta Hakim Pengawas, salinan putusan Pengadilan Niaga yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan tersebut (Pasal 6 ayat (6) UUK).
PERMOHONAN SITA JAMINAN
UU Kepailitan menerapkan automatic stay atau automatic standstill bukan sejak pernyataan pailit didaftarkan di Pengadilan Niaga, tetapi sejak putusan pernyataan pailit dijatuhkan oleh Pengadilan Niaga. Dengan demikian selama berlangsungnya proses pemeriksaan oleh Pengadilan Niaga terhadap permohonan pernyataan pailit, praktis tidak ada perlindungan yang berlaku demi hukum bagi para Kreditor terhadap kemungkinan Debitor memindahtangankan harta kekayaannya. Untuk keperluan perlindungan itu, Pasal 7 ayat (1) UUK memberikan ketentuan yang memungkinkan Kreditor atau Kejaksaan pemohon pernyataan pailit untuk mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk:
a. meletakkan sita jaminan terhadap sebagian atau seluruh kekayaan Debitor;
b. atau b menunjuk Kurator Sementara untuk:
- mengawasi pengelolaan usaha Debitor; dan
- mengawasi pembayaran kepada Kreditor, pengalihan atau pengagunan kekayaan Debitor yang dalam rangka kepailitan memerlukan persetujuan Kurator.
Menurut penjelasan Pasal 7 UUK, upaya pengamanan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini bersifat preventif dan sementara, dan dimaksudkan untuk mencegah kemungkinan bagi Debitor melakukan tindakan terhadap kekayaannya sehingga dapat merugikan kepentingan Kreditor dalam rangka pelunasan utangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar