D A F T A R I S I
I. PENDAHULUAN
II. BENTUK ATURAN
III. LEMBAGA/ORGAN BERWENANG
IV. PROSEDUR PEMBENTUKAN
V. SUBSTANSI/MATERI MUATAN
I. Pendahuluan
Sebuah sistem ketatanegaraan, salah satunya berisikan hubungan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan judicial. Pola hubungan tersebut di berbagai negara di atur dalam konstitusinya1. Oleh sebab itu, bagi mereka yang melakukan studi hukum tata Negara, akan sangat berhati-hati untuk melakukan penilaian atas penyelenggaraan tiga kekuasaan tersebut, karena tidak bisa menilai baik buruk tanpa tahu sistem ketatanegaraan secara menyeluruh. Untuk mengetahui dengan benar sistem ketatanegaraan sebuah Negara, maka harus dilakukan penelitian secara mendalam atas konstitusi dan sistem perundangundangan yang berlaku. Dalam konteks ilmu hukum, studi dimaksud ada dalam kerangka studi “hukum positip”2. Yaitu studi tentang aturan hukum dengan meneliti konsep dan sistemnya.
Setiap perancang perundang-undangan, baik yang ada pada lembaga legisltif (DPR/DPRD) maupun yang ada pada eksekutif (pemerintah pusat/daerah) berkewajiban memahami hukum perundang-undangan yang berlaku. Penguasaan yang benar atas hukum perundang-undangan akan memberikan kontribusi yang sangat relevan bagi pembentukan hukum. Ketidak cermatan dalam menguasai Hukum Perundang-undangan yang berlaku dapat menjadi sebab cacatnya aturan hukum yang dibentuk baik secara formil maupun materiil.
Makalah singkat ini akan menjelaskan aspek normatif dari sistem hukum positip Indonesia yang harus diikuti dan dipatuhi oleh setiap perancang dalam menyusun sebuah draf perundang-undangan. Pembahasan akan meliputi lima hal pokok, yaitu Bentuk aturan, Lembaga yang Berwenang, Prosedur Pembentukan, Materi Muatan, Ketentuan Umum Perundang-undangan.
II. Bentuk Aturan
Memahami bentuk aturan hukum yang berlaku dalam sistem hukum positip Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari sejarah aturan hukum pada masa penjajahan. Masih banyak aturan hukum yang sekarang berlaku, merupakan alih rupa saja dari hukum positip yang berlaku di Belanda pada masa penjajahan. Pada masa penjajahan, jika di Belanda dibentuk Wet (UU), maka dinegara jajahan diberlakukan Ordonnantie (oleh penguasa jajahan/Gubernur Jenderal). Hingga sekarang masih ada Ordonnantie yang berlaku yaitu Hinder Ordonnantie (Ordonansi Gangguan) berdasar Staatblad No, 226 Tahun 1926. (disingkat HO) Meskipun terdapat kesalahan dalam pemahaman, karena Hinder Ordonnantie banyak diterjemahkan menjadi UU Gangguan, namun ketentuan tersebut belum pernah diganti. Bahkan oleh hampir semua Kabupaten/Kota ketentuan HO ini menjadi dasar hukum pelaksanaan ijin HO. Jika dipermasalahkan, maka akan dikemukakan hal “legalitas”, karena HO mengandung sanksi dan memiliki karakter memaksa (dwingen-recht). Sebagai aturan, HO memperoleh dukungan berlaku baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri dan berbagai Peraturan Daerah pun telah dibentuk untuk melaksanakan ketentuan dalam HO.
Berbagai Wet (UU) pun masih mempunyai kekuatan hukum berlaku di Indonesia, seperti Wetboek van Strafrecht (WvS) yang dikenal dengan sebutan KUHP (Kitab undang-undang Hukum Pidana) dan Burgerlijk Wetboek (BW) atau dikenal KUH Perdata.
Pada masa penjajahan Belanda, Pemerintah penjajah juga memberlakukan ketentuan ketatanegaraan di Negara jajahan dengan nama Indische Staatsregeling (IS). Sebagai contoh adalah Pasal 163 IS dan Pasal 131 IS yang membagi penduduk di wilayah jajahan menjadi tiga kelompok dan terhadap mereka juga berlaku hukum yang berbeda. Dibidang peraturan, diberlakukan Ketentuan Umum Perundang-undangan di Negara jajahan yaitu Algemene Bepalingen van Wet Geving vor Indonesie Indie (AB). Sebagai contoh Pasal 2 AB tentang undangundang dilarang berlaku surut3. Oleh sebab itu, untuk melakukan revisi, perubahan atau pun penggantian, harus dilakukan sesuai dengan tingkatan kewenangan berdasar bentuk hukum dan materi muatannya.
Di awal Indonesia merdeka, ditemukan berbagai bentuk aturan hukum yang dinilai tidak lazim seperti : Maklumat, UU Darurat, Penetapan Presiden, UU Federal. Untuk memahami keberadaan ketentuan hukum tersebut harus dilakukan pengkajian yang mendalam dengan pendekatan sejarah hukum. Misalnya, UU darurat, diperkenalkan pada masa Konstitusi RIS dan UUD Sementara Tahun 1950. Penetapan Presiden dibentuk setelah adanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Oleh sebab itu, jika akan dilakukan pembaharuan atau penggantian terhadap ketentuan-ketentuan tersebut, harus terlebih dahulu dilakukan pengkajian secara komprehensif. Pada tahun 1966, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara menetapkan TAP MPRS No. XX/MPRS/19664 tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Berdasar ketentuan ini, bentuk aturan hukum ditentukan sebagai berikut :
· UUD 1945
· Ketetapan MPR (S)
· UU-Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
· Peraturan Pemerintah
· Keputusan Presiden
· Peraturan Menteri
· Peraturan pelaksanaan lainnya.
Terlepas dari berbagai kritik yang ditujukan terhadap substansi TAP MPRS tersebut, TAP ini sebenarnya telah mengeliminir kerancuan bentuk-bentuk aturan yang ada sebelumnya. Pada gilirannya TAP ini pun menjadi alat ukur bentuk produk hukum dari semua lembaga Negara hingga tahun 2000. Namun demikian, masih juga ada permasalahan atas bentuk Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) yang substansinya seringkali setingkat dengan undang-undang. Masalah ini hingga sekarang pun belum terselesaikan.
Di era reformasi, MPR menetapkan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Perundang-undangan. Bentuk aturan hukumnya adalah :
· UUD 1945
· TAP MPR
· UU
· PERPU
· PP
· Keputusan Presiden
· Peraturan Daerah
Dalam kaitannya dengan bentuk aturan hukum, maka ada 2 (dua) hal penting, pertama, posisi Perpu dibawah undang-undang yang pada gilirannya menimbulkan pertanyaan hukum apa perbedaan materi muatan antara PERPU dengan UU ? atau apakah ada perbedaan lembaga pembentuk antara PERPU dengan undang-undang ?. Kedua, adalah penyebutan Peraturan Daerah di bawah Keputusan Presiden dan dihapuskannya Keputusan Menteri dalam Tata
Urutan. Dalam praktek perundang-undangan, banyak Kabupaten/Kota baik secara formal maupun materiil tidak mau mengacu lagi terhadap Keputusan Menteri atau Peraturan Menteri5.
Belum tuntas perdebatan mempersoalkan TAP MPR No. III/MPR/2000, pada tanggal 25 Mei Tahun 2004, Pemerintah dan DPR telah sepakat menandatangani nota persetujuan materi muatan RUU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan6. Dalam ketentuan yang baru ini, tentang jenis dan herarkhi Peraturan Perundang-undangan diatur pada Pasal 7 ayat (1),
sebagai berikut :
· Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
· Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
· Peraturan Pemerintah
· Peraturan Presiden
· Peraturan Daerah (termasuk Peraturan Desa)
Ketidakjelasan mengenai bentuk dan herarkhi peraturan perundangundangan semakin tidak mempunyai kepastian hukum dengan adanya rumusan Pasal 7 ayat (4) : Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Paparan diatas menggambarkan betapa rumitnya kita memahami berbagai bentuk aturan hukum yang pernah dan sedang berlaku. Oleh sebab itu, seorang perancang peraturan berkewajiban mengetahui secara benar bentuk-bentuk aturan tersebut dan bagaimana konsekwensi logis pada herarkhinya. Pengetahuan yang memadai tentang hal tersebut dapat menghindarkan kesalahan pemilihan bentuk peraturan yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
III. Lembaga yang Berwenang
Dalam konteks hukum, wewenang yang diberikan oleh Negara baik diatur dalam konstitusi maupun peraturan dibawahnya selalu harus dapat dipertanggungjawabkan oleh lembaga/organ pelaksana. Oleh sebab itu, ada organ yang secara langsung memperoleh wewenang dari onstitusi atau perundangan lainnya, namun juga ada wewenang yang dilimpahkan oleh organ Negara yang satu kepada organ Negara lainnya.
Berdasar ketentuan Pasal 3 UUD 1945, MPR ditetapkan menjadi lembaga yang berwenang menetapkan UUD. Kewenangan ini untuk pertama kali dilakukan oleh PPKI sebagai pendiri Negara. Tanpa mengurangi makna konstitusional, Pasal 3 UUD 1945 mengalami perubahan perumusan menjadi “Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”. Dalam praktek ketatanegaraan kita, mekanisme perubahan UUD 1945 dilakukan dengan cara membentuk Komisi Konstitusi sebagai panitia Ad-Hoc. Hasil perumusan dari Komisi Konstitusi inilah yang selanjutnya diproses berdasarkan ketentuan Pasal 3 UUD Tahun 1945. Sementara itu, kewenangan MPR untuk menetapkan produk hukum Ketetapan (TAP) MPR, masih melekat pada lembaga MPR. Namun TAP tidak lagi menjadi aturan yang berlaku umum sebagai peraturan perundangundangan, TAP hanya berlaku pada institusi MPR.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga Negara yang berwenang membentuk UU. Beralihnya kewenangan membentuk UU dari Presiden ke DPR merupakan salah satu keberhasilan reformasi dalam sistem pembagian kekuasaan Negara yang diatur dalam UUD 1945 lama. Oleh UUD 1945 hasil Amandemen, beberapa jenis UU, pembahasannya ditetapkan harus melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Peraturan Pemerintah Pengganti UU (PERPU) ditetapkan oleh Presiden dengan persyaratan tertentu yang diwajibkan oleh UUD 1945. Keberadaan PERPU hanya berumur satu periode masa sidang untuk selanjutnya disetujui atau ditolak oleh DPR. Jika disetujui, maka akan menjadi undang-undang, jika ditolak, maka PERPU dinyatakan tidak berlaku (lihat Pasal 22 UUD 1945).
Produk hukum Peraturan Pemerintah di bentuk oleh Presiden dalam rangka melaksanakan undang-undang. Dalam konsep hukum, peraturan pemerintah ditetapkan sebagai subsidiary rules (peraturan pelaksanaan), yang hanya ada jika diperintahkan oleh undang-undang. (Pasal 5 ayat 2 UUD 1945). Presiden juga mempunyai kewenangan membentuk Peratudan Presiden dan Keputusan Presiden. Peraturan Presiden sebagai ketentuan pengaturan (regeling) dan Keputusan Presiden bersifat penetapan (beschikking).
Dalam kaitannya dengan produk hukum Perauturan Presiden dan Keputusan Presiden, sulit dipisahkan antara Presiden sebagai Kepala Negara atau Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Meskipun demikian, tetap dapat dibedakan dari substansi muatannya. Para menteri sebagai anggota Kabinet, berwenang membuat Peraturan Menteri sebagai ketentuan yang diwajibkan oleh perundang-undangan di atasnya (UU, PP,Keputusan Presiden). Para menteri pada dasarnya adalah pembantu Presiden dalam pelaksanaan urusan pemerintahan (eksekutif) dengan bidang tugas masingmasing. Sifat kewenangan pengaturan yang ada pada menteri, sekarang tidak lagi dinyatakan secara tegas.
Dalam UU tentang Pembentukan Perundang-undangan, kewenangan pengaturan oleh menteri tidak disebut lagi. Gebernur dan DPRD Propinsi berwenang membentuk Peraturan Daerah Propinsi. Demikian juga Bupati.Walikota dan DPRD Kab/Kota juga diberi kewenangan untuk membentuk Peraturan Daerah Kab/Kota. Pada Tingkat Desa. Badan Perwakilan Desa (BPD) bersama-sama dengan Kepala Desa atau nama lainnya juga berwenang membentuk Peraturan Desa.
IV. Prosedur Pembentukan
Secara teoritik, setiap pelaksanaan wewenang selalu dipersyaratkan adanya prosedur tertentu yang tetap (PROTAP). Hal ini dipergunakan untuk mengukur validitas pelaksanaan wewenang tersebut yang muara akhirnya adalah adanya kepastian hukum.
Prosedur pembentukan, perubahan, dan penetapan UUD, mengalami berbagai pasang surut dengan bentuk permasalahan hukum yang berbeda pula. Pembentukan UUD tidak diatur oleh UUD 1945, hal ini mengandung makna, bahwa selamanya kita akan tetap menghadirkan UUD 1945 sebagai bentuk pertama dan terakhir UUD kita. Ketentuan hukum hanya mengatur persoalan perubahan dan penetapan atas perubahan tersebut. Tidak jelasnya pengaturan preosedur dalam UUD 1945 ini telah menghasilkan adanya Komisi Konstitusi yang bertugas sebagai pengkaji, penyelaras empat amandemen yang lalu. Namun demikian, hasilnya pun tetap harus ditetapkan oleh MPR hasil pemilu 2004. Ketetapan (TAP) dan keputusan-keputusan MPR pun akhirnya juga harus tunduk pada prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Tata tertib organ tersebut.
Sebelum berlakunya UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif sangat terikat dengan Tata Tertib DPR dalam melakukan pembahasan sebuah UU. Sementara itu, dilingkungan pemerintah (Presiden dan para menteri) terikat pada Inpres No. 15 Tahun 1970, Keppres No. 188 Tahun 1998, Keppres No. 44 Tahun 1999. Lebih jauh jika diteliti, maka Presiden sangat dominan dalam persiapan pembentukan sebuah undang-undang.
Oleh sebab itu, dengan UU yang baru dan dengan semangat reformasi, DPR diberi kesempatan untuk memegang peran dalam pembentukan undangundang baik dalam tahap perancangan, pembahasan dan pengundangan. Untuk produk hukum Paraturan Pemerintah, tidak diatur secara eksplisit prosedur pembentukannya. Presiden sebagai kepala pemerintahan diberi kebebasan untuk menyusun sebuah peraturan pemerintah yang secara tegas diperintahkan oleh undang-undang. Prosedur pengundangannya saja yang secara tegas diatur dalam UU tentang Lembaran Negara (UU No. 2/1950) yang telah dinyatakan tidak berlaku dalam UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden sebagai produk Presiden, tidak diatur prosedur pembentukannya.
Dalam konsep hukum, Presiden diberi wewenang bebas tanpa batasan prosedur. Namun demikian, perlu di catat, bahwa untuk Peraturan Presiden yang materi muatannya pengaturan, tetap harus undangkan dalam Lembaran Negara.
Prosedur Pembentukan Peraturan Daerah selama ini diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri10. Hal ini membuktikan bahwa kedudukan peraturan daerah selalu berada dibawah peraturan menteri dan fungsinya juga melaksanakan kebijakan menteri khususnya Menteri Dalam Negeri. Perubahan pola hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasar UU No. 22 Tahun 1999, membawa implikasi berubahnya kedudukan dan fungsi Peraturan Daerah. Demikian juga mekanisme pembentukan dan pengawasannya pun menjadi berubah. Bagian ini akan dibahas secara rinci pada makalah kedua “Pembentukan Peraturan Daerah”.
V. Materi Muatan/Substansi
Tentang materi muatan, pada dasarnya diarahkan untuk menghindari duplikasi pengaturan pada aturan hukum yang tingkatannya berbeda. Disisi lain, materi muatan juga menghindarkan terjadinya konflik antar regualasi yang akhirnya menyulitkan dalam penerapan.
Aturan hukum yang menetapkan materi sebuah peraturan, secara ekplisit dimulai pada tingkatan UU ke bawah. Pada tingkat UUD/Konstitusi lebih banyak dipergunakan pandangan-pandangan/kreteria-kreteria teoritik. Oleh sebab itu, pada tingkat konstitusi tidak dibahas, dan akan dimulai pada tingkat undang-undang. Sebelum terbentuknya UU tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, tentang substansi UU selalu dikaitkan dengan UU organik dan UU non organik. UU organik adalah UU yang substansinya merupakan penjabaran langsung dari delegasi pengaturan yang disebut secara eksplisit dalam UUD 1945. UU non organik adalah UU yang melaksanakan hal-hal yang sepatutnya diatur dalam UU atau UU yang melaksanakan delegasi pengaturan dari UU lainnya.
Dalam UU tentang Perbentukan Peraturan Perundang-undangan, materi UU diatur dalam ketentuan Pasal 8, yang rumusan lengkapnya sebagai berikut :
“Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang :
a. mengatur lebih lanjut ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945 yang meliputi :
1. hak-hak asasi manusia
2. hak dan kewajiban warga Negara
3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan Negara serta pembagian kekuasaan Negara
4. wilayah Negara dan pembagian daerah
5. kewarganegaraan dan kependudukan
6. keuangan Negara.
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
Pasal 9 “Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama dengan materi muatan Undang-undang”.
Pasal 10 “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya”
Pasal 11 “Materi muatan Peraturan Presiden11 berisi materi yang diperintahkan
oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah”.
Pasal 12 “Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan menampung kondisi daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Pasal 13 “Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
VI. Ketentuan Umum Perundang-undangan
Bagian akhir dari uraian ini lebih menjelaskan persoalan asas umum disamping juga sebagai ketentuan umum. Setiap perundang-undangan, akan mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila telah diundangkan. Aspek hukum pengundangan, pada dasarnya adalah mengesahkan kekuatan berlaku sebuah perundang-undangan. Pengundangan UU, Peraturan Pemerintah dan Keputusan Presiden ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI).
Sedangkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan ditempatkan di Lembaran Daerah (LD). Sering timbul pertanyaan, apakah perundang-undangan selalu langsung mempunyai kekuatan hukum mengikat sesaat diundangkan dalam Lembaran Negara atau lembaran daerah ? Jawabannya, harus dilihat pada Ketentuan Peralihan atau Ketentuan Penutupnya. Jika tidak ada pengaturan lain, maka UUatau Perda dinyatakan berkekuatan hukum tetap sejak ditempatkan dalam Lembaran Negara/Daerah.
Pada era demokratis sekarang ini, berlakunya asas “setiap orang dianggap tahu adanya undang-undang” yang didasarkan atas penempatan perundang-undangan dalam LN/LD tidak dapat dipertahankan. Pemerintah juga harus menyiapkan dana untuk mengumumkan (menyebarluaskan) produk perundang-undangan tersebut dalam berbagai format. Penggunaan media cetak baik dalam bentuk pencetakan naskah perundang-undangan, atau penerbitan melalui media massa, penyuluhan dll.
VIII. Penutup
Hukum perundangang-undangan sebagai disiplin ilmu pengetahuan hukum belum banyak dipelajari orang sebagai sebuah ilmu. Bidang perundang-undangan tidak banyak diminati karena tidak berkorelasi langsung dengan praktek hukum. Oleh sebab itu, sangat perlu dilakukan kegiatan semacam ini, bukan saja untuk meningkatkan kemampuan individual tetapi juga menyebarluaskan pengetahuan tentang perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar