CATATAN KULIAH Bagian 4
III. Persatuan/percampuran harta atau perjanjian kawin dalam perkawinan untuk kedua kali atau selanjutnya.
(pasal 180 dst BW).
Percampuran harta menurut hukum samasekali berlaku pula antara suami dan isteri dalam perkawinan kedua kali atau selanjutnya, kecuali apabila suami-isteri itu telah menentukan lain dalam perjanjian -kawin (180).
Menurut ketentuan undang-undang (BW) mengenai hak isteri/ suami baru dan anak-anak (keturunan) atas barang (harta kekayaan) campuran suami dan isteri bilamana dari perkawinan yang dulu terdapat anak (-anak) dan keturunan, maka suami atau isteri baru tidak akan menikmati manfaat/keuntungan (voordeel) dari harta-campur (activa dan passiva) mereka, lebih besar daripada jumlah terkeeil yang diperoleh salah seorang anak-anak dari perkawinan dulu itu atau keturunan yang menggantikan anak-anak itu, jumlah manfaat/ keuntungan mana dibatasi pula dengan maksimum 1/4 (seperempat) bagian dari harta-kekayaan (boedel) suami atau isteri yang kawin untuk kedua kali atau selanjutnya itu, baik karena percampuran (vermenging), maupun karena hibahan yang berhubungan dengan perkawinan atau karena pewarisan dengan wasiat (181 jo 168 dan 902).
Sehubungan dengan ketentuan tersebut di atas, perjanjian-kawin yang dibuat oleh calon suami dan isteri yang keduaduanya atau di antaranya ada yang telah kawin lebih dahulu dan dari perkawinan dahulu itu mempunyai anak (keturunan), maka secara atau dengan syarat apapun mereka tidak boleh menjanjikan keuntungan yang lebih besar daripada satu bagian anak atau paling banyak seperempat bagian dari barang/hartabenda suami atau isteri yang kawin lagi itu (182).
Walaupun pemberian keuntungan itu tidak secara langsung, melainkan dengan perantara. misalnya (zijdelingse wegen), maka mereka (suami-isteri) itu yang satu kepada lainnya -atau sebaliknya tetap tidak boleh menghibahkan lebih daripada apa yang diizinkan menurut ketentuan undang-undang sebagaimana diterangkan di atas, dengan sanksi bahwa semua pemberian/ hibahan dengan sebutan rekaan (verdichte titel) itu batal menurut hukum (183).
Sebagai contoh menurut undang-undang dapat kita baca dalam pasal 184 BW, yaitu:
hibahan (pemberian) oleh suami atau isteri kepada:
semua atau salah seorang dari anak-anak isteri atau suami yang berasal dari perkawinan dulu dan/atau
seseorang keluarga sedarah (bloedverwanten) dari isteri atau suami, yang pada saat hibahan (pemberian) itu dilakukan mungkin atau diduga akan menjadi ahliwaris dari isteri atau suami yang dihibahi/diberi itu.
Contoh lain, misalnya:
- "verdichte titel" (para-para) jual-beli dan
- para-para dengan pengakuan utang,
yang kedua-duanya "dibuat" sebelum perkawinan mereka, sekedar untuk menguntungkan isteri atau suami baru;
— penolakan warisan atau hibah wasiat (legaat), padahal isteri atau suami baru itu akan merupakan yang berhak setelah orang yang menolak itu (naastgerechtigde).
Tuntutan yang diberikan oleh/menurut undang-undang apabila isteri atau suami baru itu diuntungkan lebih daripada apa yang diizinkan oleh/menurut undang-undang, yaitu sebagai berikut:
anak-anak atau keturunan mereka berhak untuk melakukan pemotongan atau pengurangan (inkorting of vermindering) dari bagian isteri atau suami baru itu, sehingga apa yang melebihi bagian yang diizinkan menurut undang-undang itu masuk/jatuh lagi ke dalam harta-peninggalan. Penuntutan tersebut dilakukan pada waktu atau setelah terbukanya harta-peninggalan suami atau isteri yang kawin lagi itu (181 ayat 2).
Bagaimana halnya dengan anak-anak atau keturunan mereka dahulu dari suami-isteri yang kedua-duanya (satu dan lainnya) kawin untuk kedua kalinya (kawin-ulang)?
Ketentuan tersebut dalam pasal 181 s/d 184 BW tidak berlaku bagi anak-anak yang demikian (voorkinderen) itu (184a).
IV. Pemisahan harta (scheiding van goederen) (pasal 186 dst BW)
Kapan (dalam hal apakah) isteri dapat mengajukan tuntutan di depan Pengadilan untuk mengadakan pemisahan harta-benda milik suami-isteri?
Menurut hukum (undang-undang), apabila tidak dijanjikan lain dalam perjanjian kawin, suamilah yang mengurus harta-benda (kekayaan) suami-isteri itu.
Isteri berhak untuk mengajukan tuntutan di depan Pengadilan (Hakim) untuk mengadakan pemisahan harta-benda mereka itu, apabila:
suami ternyata dengan kelakuan jeleknya telah memboroskan (verspilt) barang-barang persatuan (campuran), sehingga dikhawatirkan runtuhnya rumah-tangga mereka;
— suami tidak dengan sepatut/selayaknya mengurus hartanya sendiri, sehingga isteri dapat kehilangan jaminan akan utuhnya harta pribadi; atau
— suami lalai sekali dalam mengurus harta-kawin (huwelijksgoed) isteri, sehingga harta ini dalam keadaan bahaya (186).
Suami-isteri tidak boleh (dilarang) mengadakan permufakatan sendiri, tanpa melalui proses Pengadilan, untuk mengadakan pemisahan harta-benda mereka (186 ayat 2).
Pembuat undang-undang mengatur demikian untuk menghindarkan agar pihak ketiga (derden) tidak dirugikan.
Lain halnya dengan pemulihan kembali harta-campuran itu. Menurut pasal 196 BW, percampuran harta setelah dibubarkan karena pemisahan sebagaimana tersebut di atas, boleh dipulihkan kembali dengan kesepakatan (persetujuan) suami-isteri, asalkan dengan akta otentik (notaris).
Hal-hal yang harus dilakukan oleh isteri yang menyangkut prosedur pemisahan harta itu ialah sebagai berikut:
— mengajukan permohonan akan hal itu kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum ybs, dengan alasan-alasannya;
— tuntutan itu harus diumumkan secara terang-terangan, yaitu dalam Berita Negara (187).
Para kreditur suami berhak untuk:
— menentang tuntutan isteri untuk mengadakan pemisahan harta-benda itu dengan jalan menyampurkan diri (tussen beide komen) dalam perkara ybs (188) atau
— menentang (verzetten) putusan pemisahan itu, jika hak mereka dengan sengaja dikurangi (192).
Setelah keluarnya putusan itu, maka isteri:
— memperoleh kebebasannya untuk mengurus harta-milikpribadinya (194);
dapat memperoleh izin secara umum dari Hakim untuk melakukan tindakan pemilikan (beschikken) atas barang-barang gerak miliknya pribadi (194);
berhak untuk melaksanakan secara nyata putusan Hakim dalam mengadakan pembagian barang-barang ybs, dalam waktu satu bulan sejak putusan itu memperoleh kekuatan pasti (kracht van gewijsde) (191);
-berkewajiban untuk memberikan sumbangan guna membiayai rumah-tangga dan pendidikan anak-anak menurut keseimbangan besar kecilnya harta-benda suami-isteri itu, bahkan isteri harus memikulnya sendiri apabila suami tidak mampu (193).
Dengan adanya pemisahan harta-benda suami-isteri itu, perkawinan mereka berjalan terus (suami-isteri tidak bercerai).
Cara pelaksanaan pemisahan harta-benda itu, seperti halnya dengan pemisahan dan pembagian (boedelscheiding) biasa, hanya disyaratkan dengan akta otentik, yaitu akta notaris, di mana diperinci harta yang menjadi hak/bagian masingmasing dan/atau bersama berdasarkan inventaris yang telah ada atau suatu pernyataan (opgave) yang dibuat oleh suami-isteri bersama-sama. (a.l. 191).
Percampuran/persatuan harta (gemeenschap) itu mungkin dipulihkan kembali (hersteld), asalkan dengan akta notaris (otentik), dalam akta mana dicantumkan pula kewajiban/ perjanjian yang telah dibuat oleh isteri tetapi belum dipenuhi, dalam tenggang waktu antara pemisahan dan pemulihan kembali itu (196 ayat 2 dan 197 ayat 1).
Setelah terjadinya pemulihan kembali dengan persetujuan (permufakatan) antara suami dan isteri itu, maka segala urusan dipulangkan kembali dalam keadaan seperti sediakala, seolah-olah tidak pernah terjadi pemisahan, dengan ketentuan bahwa segala perjanjian antara suami dan isteri, yang keadaan dan dasarnya lain daripada dasar dan keadaan semula (sediakala), batal (nietig) (196 dan 197).
Catatan:
Penjelasan lebih terinci dapat dibaca dalam buku saya NOTARIS III tentang Hukum Perkawinan dan Waris menurut KUH Perdata (BW).
Bagian sepuluh
Putus/bubarnya perkawinan serta akibatnya
(pasal 199 dst BW).
Menurut BW perkawinan putus atau bubar karena:
(1) kematian, (2) perkawinan baru isteri atau suami atas izin Hakim setelah suami atau isterinya tak-hadir selama 10 tahun, (3) putusan Hakim setelah terjadinya pisah meja dan ranjang, dan (4) perceraian (ps. 199 BW) (Bandingkan dengan pasal 38 UUP).
Putus/bubarnya perkawinan mengakibatkan terjadinya perubahan mengenai peralihan hak atas harta perkawinan sbb:
a. Jika salah seorang di antara suami-isteri itu meninggal, maka harta itu:
— akan jatuh kepada yang masih hidup (janda/duda) sendiri, jika yang meninggal itu tidak mempunyai anak atau keturunan dari anak yang meninggal lebih dahulu dari pewaris itu;
— akan jatuh kepada janda/duda dan semua anak serta keturunan anak yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris itu, jika mereka masih hidup dan tidak dikecualikan atau tak patut untuk mewaris atau menolak warisan;
akan jatuh kepada para ahliwaris dari suami-isteri itu masing-masing apabila kedua-duanya meninggal; dengan mengindahkan ketetapan dalam wasiat pewaris ybs dan dengan bagian masing-masing; dan
akan jatuh kepada (dikuasai oleh) Negara jika suami-isteri itu meninggal tanpa meninggalkan ahliwaris.
b. Jika suami-isteri itu sebelum mereka melakukan perceraian telah mengatur dalam suatu akta tentang rencana pembagian harta mereka, maka setelah terjadinya perceraian harta mereka itu akan dipisah dan dibagikan sesuai dengan rencana pembagian itu, bila tidak maka akan dipisah dan dibagikan dalam suatu akta sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka sendiri.
c. Mengenai harta dari suami atau isteri yang diduga mati sebagai akibat dari ketakhadiran orang itu, diperlakukan sebagaimana diatur dalam pasal 472 dst. BW.
(Bandingkan dengan pasal 39 dst UUP).
Bagian sebelas
Perceraian
(pasal 207 dst BW)
Suami-isteri hanya dapat melakukan perceraian di antara mereka menurut alasan-alasan yang ditentukan dalam/oleh undangundang (ps 209), yaitu karena:
(1) Zinah (ps. 210), (2) meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat (ps. 211), (3) penghukuman penjara selama 5 tahun atau lebih setelah terjadinya perkawinan dan (4) melukai atau melakukan penganiayaan yang satu terhadap lainnya dan membahayakan jiwa atau mengakibatkan luka berat.
Mereka tidak boleh bercerai dengan suatu persetujuan antara mereka sendiri/belaka (ps. 208).
Tentang cara tuntutan, proses serta hak dan kewajiban pihak-pihak ybs dan akibat-akibat mengenai perceraian bagi mereka yang tunduk pada hukum perdata barat, termasuk golongan Tionghoa, diatur dalam pasal 210 dst. BW, yaitu s.b.b.:
Dengan izin Hakim isteri boleh meninggalkan rumah suami dan berkediaman di rumah yang ditunjuk Pengadilan Negeri (ps. 212).
- Selama perkara berjalan, isteri berhak menuntut tunjangan nafkah dari suami atas penentuan Hakim, kecuali jika isteri bertindak selaku penggugat kemungkinan tuntutannya itu dinyatakan tidak dapat diterima, kalau ia tanpa izin Hakim meninggalkan rumah yang ditunjuk baginya (ps. 213).
Pengadilan Negeri berwenang menetapkan salah seorang atau kedua-duanya (suami-isteri itu) diperhentikan sebagai pemangku kekuasaan orang-tua dan menunjuk suami atau isteri atau orang lain atau Dewan Perwalian, yang bertugas mengurus anak serta harta-benda kekayaannya (ps. 214).
- Hak suami untuk mengurus harta-benda/kekayaan isteri selama proses itu terus berjalan. Dalam pada itu isteri pun berhak untuk melakukan upaya pengamanan menurut aturan yang terdapat dalam pasal 840 Reglemen Hukum Acara Perdata/ Burgerlij ke Rechtsvordering (ps. 215). Akibat-akibat daripada putusan perceraian ialah:
a. Keharusan didaftarkannya perceraian itu dalam register Catatan Sipil di tempat di mana perkawinan itu telah dibukukan, dalam waktu 6 bulan, terhitung mulai putusan perceraian itu mempunyai kekuatan mutlak, dengan sanksi batalnya perceraian itu (ps. 221).
b. Bagi suami-isteri:
— Kemungkinan mereka kawin untuk kedua kalinya (kawin-ulang ini dibatasi hanya dua kali), setelah lewat waktu satu tahun semenjak putusnya perkawinan mereka terakhir yang tercatat dalam register Catatan Sipil tesebut (ps. 33).
— Janda dilarang kawin lagi sebelum lewatnya waktu 300 hari semenjak putusnya perkawinan terakhir (ps. 34).
— Pengadilan Negeri berwenang menentukan sejumlah tunjangan yang akan disumbangkan dari harta/ kekayaan salah satu pihak kepada pihak lain di antara bekas suami-isteri itu yang ternyata tak berpenghasilan cukup guna keperluan nafkahnya (ps. 225, 227 dan 228).
c. Bagi anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan bekas suami-isteri tsb yang telah bercerai:
— Perwalian terhadap mereka ditetapkan oleh Pengadilan Negeri (ps. 229, baca pula ps. 230).
— Mereka tetap berhak mendapat pemeliharaan dan pendidikan dari orangtua atau wali mereka (ps. 104 dan 230).
— Mereka berhak atas harta peninggalan suami-isteri yang telah melakukan perceraian itu (ps. 231).
d. Yang menyangkut harta bersama/campur:
Pihak suami atau isteri yang menang dalam perkara perceraian mereka boleh menikmati semua keuntungan (voordelen) berhubung dengan perjanjian kawin tsb dalam pasal 169 (jo ps. 222 dan 223).
— Harta campur/persatuan suami-isteri yang telah bercerai itu dipisah dan dibagikan dengan suatu akta pemisahan dan pembagian, sebagaimana diatur dalam Bab ke-6 Buku I BW/ps. 119 dst. (ps. 232).
(Bandingkan dengan pasal 14 dst. PP No. 9/1975).
Bagian duabelas
Pemisahan meja dan ranjang
(Pasal 233 dst. BW)
Jika terdapat alasan-alasan yang sama seperti alasan untuk menuntut perceraian perkawinan, adanya perbuatan yang melampaui batas (buitensporigheden), penganiayaan dan penghinaan kasar oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya, maka isteri dan suami berhak menuntut perpisahan meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed) dengan melalui Pengadilan Negeri tempat tinggal mereka, dengan cara yang sama seperti tuntutan perceraian perkawinan (ps. 233, 238 dan 234).
Apabila suami dan isteri telah kawin selama 2 tahun, maka pemisahan meja dan ranjang itu boleh diminta oleh suami-isteri bersama-sama tanpa sesuatu alasan (ps. 236).
Dengan terjadinya perpisahan meja dan ranjang, maka terjadi pula perpisahan percampuran/persatuan harta-benda suami-isteri ybs, sedangkan perkawinan tetap bertahan (ps. 243). Perkawinan itu baru bubar, bila perpisahan meja dan ranjang itu telah berjalan selama 5 tahun tanpa adanya perdamaian, atas tuntutan suami atau isteri ybs (ps. 200).
Suami-isteri yang menghendaki perpisahan meja dan ranjang itu dalam pemeriksaan di muka Hakim Pengadilan Negeri, harus mengemukakan rancangan pengaturan syarat-syarat perpisahan itu yang diwajibkan dibuat dengan akta notaris. Dalam akta itu harus tercantum hal-hal yang menyangkut: suami-isteri itu sendiri, kekuasaan-orangtua dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anak mereka (ps. 237).
Akibat dari adanya putusan (vonnis) Hakim tentang perpisahan meja dan ranjang itu ialah:
— ditangguhkannya (opgeschort) pengurusan suami atas harta-benda isteri, sehingga isteri bebas lagi untuk mengurus harta pribadinya, bahkan boleh mendapat kuasa umum dari Hakim untuk menggunakan barang-baranggeraknya (ps. 244), jadi sama seperti dalam perpisahan harta ex pasal 194;
ditetapkannya oleh Pengadilan Negeri siapa yang harus melakukan kekuasaan-orangtua. (ps. 246);
perpisahan meja dan ranjang selamanya mengakibatkan pisahnya harta-kekayaan dan oleh karena itu merupakan alasan untuk mengadakan perpisahan persatuan (gemeenschap) seolah-olah perkawinan telah bubar (ps. 243).
Agar berlaku bagi pihak ketiga (derden), putusan tentang perpisahan meja dan ranjang itu harus diumumkan seterang-terangnya (ps. 245, baca pula ps. 152, 205, 221 dan 249).
Juga jika terjadi perdamaian (verzoening) mengenai perpisahan meja dan ranjang itu, baru berlaku bagi pihak ketiga jika telah diumumkan dengan cara yang sama seperti diterangkan di atas (ps. 249).
Apabila terjadi perdamaian antara suami-isteri, maka dengan sendirinya/demi hukum batallah perpisahan meja dan ranjang antara mereka, dan suami-isteri itu pulih kembali pada keadaan semula dalam perkawinan mereka, seolah-olah perpisahan itu tak pernah terjadi (ps. 248, baca pula ps. 197).
Bagian tigabelas
Kebapakan dan keturunan anak-anak
(Pasal 250 dst. BW)
Menurut BW dikenal beberapa macam anak, yaitu:
(1) anak-anak sah/halal (wettige kinderen) (ps. 5a, 250 dst.),
(2) anak-anak luar kawin ("natuurlijke speel"/"bastaard"/ "buiten huwelijk geboren kinderen"):
— ada yang disahkan (gewettigd) ps. 272 dst.),
— ada yang diakui (erkend) (ps. 39 dst, 272 dst, 280 dst, 862, 916) dan
— ada yang tidak diakui (niet erkend) ps. 40 dst, 363),
(3) anak-anak yang dibenihkan dalam zinah (overspel) (ps. 272, 283),
(4) anak-anak yang dibenihkan dalam sumbang (bloedschande/ bloedschendig) ps. 272, 283, 867 dst. ).
Anak-anak sah itu ialah:
(1) anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan/diperbuahkan (verwekt) selama perkawinan (ps. 250),
{2) anak yang dilahirkan dari seorang isteri yang sebelum perkawinan ybs dilangsungkan diketahui oleh suaminya bahwa wanita yang kemudian dikawininya itu sedang mengandung (ps. 251 ke-1),
(3) anak yang dilahirkan dari seorang wanita, jika suami telah ikut hadir ketika kelahiran anak itu dibuat dan ditanda tangani atau adanya pernyataan bahwa suami itu tak dapat menandatanganinya (ps. 251 ke-2),
(4) anak yang lahir setelah hari yang ke-180 dalam perkawinan suami-isteri (ps. 251).
(5) anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah bubar/ pecahnya perkawinan (ps. 255).
Anak sumbang yaitu anak yang dilahirkan dari bapak dan ibu yang bertalian kekeluargaan sedarah (bloedverwantschap) dekat yang perkawinannya dilarang oleh undang-undang (ps. 30 dst.).
Anak luar kawin dapat disahkan (gewettigd), sedangkan anak sumbang (bloedschennig kind) tidak boleh, kecuali bila diperoleh dispensasi dari Presiden (ps. 272 dst.).
Suami yang merupakan penyebab dilahirkan atau ditumbuhkannya seorang anak merupakan ayah/bapak anak itu (ps. 250).
Undang-undang melarang menyelidiki masalah/soal siapakah bapak seorang anak (ps. 287), akan tetapi menyelidiki soal siapakah ibu seorang anak luar kawin diperbolehkan (ps. 288). Penyelidikan siapakah bapak atau ibunya dilarang bagi anak-anak, dalam hal-hal jika pengakuan terhadap mereka tak boleh dilakukan (ps. 289 jo. 283).
(Bandingkan dengan pasal 42 dst UUP).
Bagian empatbelas
Pengesahan (wettiging) anak-anak
(Pasal 272 dst BW)
Pengesahan anak-anak yang lahir di luar kawin hanya diperbolehkan terhadap:
(1) anak luar kawin yang lahir dari seorang wanita yang boleh dikawini oleh bapak anak itu,
(2) anak luar kawin yang diakui sah dalam akta perkawinan oleh bapak dan ibunya dengan dispensasi/kelonggaran dari Presiden (dahulu Gubernur Jenderal) (ps. 273),
(3) anak luar kawin yang diakui sah dan meninggal dunia dengan meninggalkan keturunan, demi kebaikan sekalian keturunan itu (ps. 279),
(4) anak luar kawin yang diakui sah, jika anak itu dilahirkan dari bapak dan ibu yang karena meninggalnya seorang di antara mereka tidak dapat melangsungkan perkawinan yang telah mereka rencanakan (ps. 275).
Undang-undang mengatur caranya pengesahan itu sbb:
(1) dengan akta pengakuan:
— sebelum terjadinya perkawinan bapak dan ibu anak itu, atau
— dalam akta perkawinan itu sendiri (ps. 272).
(2) dengan surat pengesahan dari Presiden (dahulu Gubernur Jenderal):
— jika bapak dan ibu (orangtua) anak itu sebelum atau tatkala melangsungkan perkawinan lalai mengakui anak luar kawin mereka (ps. 274), atau
— jika perkawinan yang direncanakan calon suami-isteri tidak dapat dilaksanakan karena salah seorang di-antara mereka meninggal, padahal anak itu telah diakui sah (ps. 275).
Pengesahan itu mengakibatkan hal-hal sbb:
(1) anak yang disahkan itu akan memperoleh hak-hak seolah-olah ia dilahirkan dari perkawinan (ps. 277), terhitung mulai hati perkawinan ibu-bapak anak itu, dan tidak sejak ia lahir,
(2) hak-hak itu diperoleh sejak/menurut surat pengesahan dari Presiden (ps. 274),
(3) keturunan dari anak yang telah meninggal dunia dan telah disahkan boleh menikmati hak-hak yang sama seperti bapak dan ibu mereka yang telah meninggal itu (ps. 279).
Bagian limabelas
Pengakuan terhadap anak-anak luar kawin
(pasal 280 dst. BW)
Siapa yang boleh diakui, siapa yang boleh dan tidak boleh mengakui, bagaimana caranya dan bagaimana akibatnya pengakuan itu secara singkat dapat diterangkan sbb:
Keterangan tersebut dalam bagian yang lalu mengandung makna, bahwa semua anak yang boleh disahkan (gewettigd), juga dapat diakui.
Pengakuan itu dapat terjadi/dilakukan oleh:
— wanita yang walaupun belum mencapai usia 19 tahun (belum dewasa) (ps. 282); pria harus sudah mencapai umur 19 tahun,
bapak atau ibu anak itu semasa perkawinan mereka, pada-hal anak itu diperbuahkan (verwekt) dengan seorang lain daripada isteri atau suaminya (ps. 285). Hal demikian terjadi demi kebahagiaan anak luar kawin yang diakui itu.
Pengakuan itu tidak boleh terjadi:
— oleh pria yang belum mencapai umur 19 tahun (ps. 282),
— jika ibu anak itu tidak menyetujuinya (ps. 284).
Cara pengakuan anak luar kawin dapat dilakukan dengan:
— akta kelahiran,
— tiap-tiap akta otentik (notaris),
— akta tersendiri/khusus yang dibuat oleh pegawai Catatan Sipil,
— akta perkawinan (ps. 281).
Akibat-akibat pengakuan ialah:
timbulnya hubungan perdata (burgerlijke betrekkingen) antara anak luar kawin dengan bapak atau ibu yang mengakuinya itu (ps. 280 dan 284 ayat 2),
pengakuan yang dilakukan oleh suami atau isteri sepanjang perkawinan terhadap anak yang sebelum kawin oleh suami atau isteri itu diperbuahkan dengan seorang lain daripada mereka tidak boleh menimbulkan kerugian bagi isteri, suami dan anak-anak yang lahir dari perkawinan suami-isteri itu (ps. 285). Yang dimaksud dengan kerugian antara lain dalam pewarisan.
— timbulnya kewajiban bapak dan/atau ibu yang telah mengakui untuk memelihara dan mendidik anak itu (memangku kekuasaan orangtua),akan tetapi mereka tak berhak atas nikmat hasil (vruchtgenot) atas harta anak itu (ps. 306 jo. 298 dan 319),
— bila anak yang diakui itu akan melangsungkan perkawinan ia tunduk pada ketentuan pasal-pasal 42 s/d 46 BW tentang perizinan dari bapak dan atau ibu yang telah mengakuinya (ps. 47),
— adanya kewajiban alimentasi, yaitu memberikan nafkah bila perlu kepada orangtua yang mengakuinya, hal mana bertimbal-balik (wederkerig) ps. 328),
— anak luar kawin yang diakui dengan sah itu berhak atas harta peninggalan dari orangtua yang telah mengakuinya itu menurut cara-cara tertentu/khusus sebagaimana diatur dalam pasal 862 dst.
Mereka yang mempunyai kepentingan dalam pengakuan anak luar kawin oleh bapak atau ibu itu, demikian juga setiap tuntutan akan kedudukan anak ybs, boleh menentang (betwisten) hal tsb. (ps. 286).
(Bandingkan dengan pasal 43 dan 45 dst UUP).
Kekeluargaan sedarah dan semenda
(pasal 290 dst. BW)
Jika seseorang merupakan keturunan yang sama atau kesemuanya mempunyai nenek moyang yang sama (afstammen of ene gemene stamvader), maka pertalian keluarga antara mereka itu adalah kekeluargaan sedarah (bloedverwantschap), yang dihitung dengan jumlah kelahiran, dengan sebutan derajat untuk setiap kelahiran itu (ps. 290).
Contoh Bagan urutan penderajatan:
Urutan penderajatan disebut garis lurus (rechte linie), yaitu jika antara mereka yang satu dengan yang lainnya merupakan keturunan, sedangkan apabila urutan penderajatan itu dikarenakan bernenek moyang yang sama dan yang satu tidak/bukan merupakan keturunan, maka disebut garis menyimpang (zijdlinie) (ps. 291).
Kita bedakan garis lurus itu antara:
garis lurus ke bawah (rechte nederdalende linie), yang merupakan hubungan antara nenek moyang dan sekalian keturunannya, dan
— garis lurus ke atas (rechte opgaande linie), yaitu hubungan antara seseorang dengan mereka yang menurunkan dia (ps. 292).
Bagian tujuhbelas
Kekuasaan-orang-tua (umum)
(pasal 298 dst. BW)
Orangtua melakukan kekuasaan-orang-tua terhadap anak-anak mereka, karena:
— perkawinan,
— pengesahan (wettiging) anak-anak itu, dan
— pengakuan terhadap anak-anak itu, sebagaimana diterangkan di atas.
Apabila tidak terdapat sesuatu halangan sebagaimana tercantum dalam pasal 300 BW, kekuasaan-orang-tua (ouderlijke macht) yang disebut pula kekuasaan-bapak/ayah (vaderlijke macht) sepanjang perkawinan dilakukan oleh bapak sendiri, akan tetapi jika bapak ini karena sesuatu hal tak dapat/tak boleh melakukannya, maka ibulah yang bertindak selaku demikian, dan Pengadilan Negeri akan mengangkat orang lain sebagai wali, jika ibu tak mampu atau tak berwenang untuk melakukannya.
Yang merupakan "halangan" bagi seorang bapak untuk melakukan kekuasaan-orang-tua ialah:
— adanya pembebasan atau pemecatan untuk itu, dan
— dalam hal berlakunya ketentuan-ketentuan mengenai perpisahan meja dan ranjang.
(Baca pula ps. 451, 452 dan 453).
Kekuasaan-orang-tua itu putus/berakhir karena:
wafatnya salah seorang dari kedua orangtua dan timbulnya kekuasaan wali (ps. 345),
anak itu menjadi dewasa/cukup umur,
anak itu dinyatakan dewasa (venia aetatis/handlichting) (ps. 424),
— adanya putusan Hakim.
Dari bunyi undang-undang (BW) kita maklum, berbagai akibat daripada adanya kekuasaan-orang-tua, antara lain sebagaimana diterangkan dalam bagian delapan bab ini tentang hak dan kewajiban suami-isteri dan akibatnya terhadap /mengenai anak-anak mereka (Baca lagi ps. 35, 104, 298 jo. 1326, 301, 302, 304, 318 dan 1367).
Bagian delapanbelas
Kekuasaan orang tua atas harta-benda anak
(pasal 307 dst. BW)
Harta-benda/kekayaan anak belum dewasa diurus oleh orang yang memangku kekuasaan orangtua (ouderlijke macht/patria potestas), kecuali atas harta anak yang oleh penghibah atau pewaris ditentukan orang lain (bijzondere bewindvoerder/s) selain daripada pemangku kekuasaan orangtua anak itu sendiri. Mengenai hal yang disebut paling akhir, tanpa mengurangi hak pemangku kekuasaan orangtua untuk meminta perhitungan dan tanggung jawab dari pengurus tsb. (ps. 307).
Pemangku kekuasaan orangtua yang mengurus harta anaknya harus memperhitungkan dan bertanggung jawab atas harta itu, termasuk hasilnya, bahkan terhadap barang atas mana ia tidak berhak menikmatinya (ps. 308).
Pemangku kekuasaan orangtua, seperti halnya dengan wali, tanpa izin dari Pengadilan Negeri tidak boleh mengalihkan/melepaskan hak atas harta anaknya yang belum dewasa (ps. 309 dan 393 jo. 330 dst.). (Bandingkan dengan ps. 48 UUP).
Hibahan dari seorang ketiga kepada anak yang belum dewasa dapat diterima oleh bapak/ayah anak itu, jika ibu anak itu masih hidup, tanpa izin/kuasa dari Pengadilan Negeri, akan tetapi bagi wali atau pengampu lain, mereka ini untuk itu memerlukan kuasa dari Pengadilan tsb. (ps. 1685 jo. 402).
Jika pemangku kekuasaan orangtua mempunyai kepentingan yang kiranya bertentangan dengan kepentingan anaknya yang belum dewasa, misalnya ayah dan anaknya itu bersama-sama merupakan ahliwaris dari seorang pewaris, atau ayah itu hendak menghibahkan sesuatu kepada anak itu, maka anak itu harus diwakili oleh pengampu-istimewa (bijzondere curator) yang diangkat oleh Pengadilan Negeri (ps. 310, baca juga ps. 1685).
Baik bapak maupun ibu yang memangku kekuasaan orangtua atau sebagai wali berhak menikmati semua hasil (vruchtgenot) dari harta anaknya yang belum dewasa, jadi sampai anak itu berusia 20 tahun atau sudah kawin, dengan tanggung-jawab terbatas pada pemilikan (eigendom) barang itu saja. Mereka pun tidak berkewajiban untuk mengadakan jaminan, kecuali apabila penghibah atau pembuat wasiat menghendakinya (ps. 311, 308 ayat 2 dan 785 ayat 2).
Sebagai imbalan hak nikmat tsb. di atas, pemangku kekuasaan orangtua berkewajiban untuk:
— memelihara dan mendidik anak itu,
membayar segala angsuran dan bunga atas uang pokok (hoofdsommen),
— membiayai penguburan anak itu
(ps. 312).
Hak nikmat hasil tersebut berakhir:
— dengan meninggalnya anak itu; diteruskan oleh ahliwarisnya,
— karena anak itu telah mencapai usia 20 tahun atau telah kawin,
(ps. 314 dan baca lagi ps. 311).
Segala nikmat hasil atas harta anak yang belum dewasa akan hilang, jika bapak atau ibu yang masih hidup (terlama/langstlevende echtgenoot) lalai dalam menyelenggarakan pendaftaran barang-barang (boedelbeschrijving) yang dimaksud dalam pasal 127 BW (ps. 315).
Pengadilan Negeri boleh menentukan dalam hal berakhir atau hilangnya nikmat hasil itu, bahwa sesuatu jumlah dari hasil/pendapatan harta anak yang belum dewasa itu dipergunakan sebagai tunjangan tahunan oleh bapak atau ibu yang masih hidup untuk memperbaiki pemeliharaan dan pendidikan anak itu selama ia belum dewasa (ps. 318).
Hak nikmat hasil tidak ada terhadap:
barang-barang yang diperoleh anak karena kerja dan usahanya (hasil keringat) sendiri,
barang-barang yang diperoleh anak yang menurut kehendak penghibah, penghibah wasiat atau pewaris hasilnya tidak boleh dinikmati oleh kedua orangtua anak itu, dalam hal pewarisan secara atas diri sendiri (uit eigen hoofde), yaitu orangtua anak itu tak patut (onwaardig) menjadi ahliwaris (ps. 313 dan 840).
Nikmat hasil atas harta anak luar kawin tidak boleh dipunyai oleh bapak atau ibu yang telah mengakuinya (ps. 319).
Atas permintaan Dewan Perwalian (voogdijraad) atau atas tuntutan Kejaksanaan (openbaar ministerie), seorang bapak atau ibu boleh dibebaskan dari pemangkuan kekuasaan orangtua terhadap seorang atau lebih atau semua anak-anaknya yang belum dewasa, jika orangtua itu tak cakap atau tak mampu melakukan kewajibannya dalam memelihara dan mendidik anak-anaknya itu (ps. 319a ayat 1).
Mengenai siapa saja/lagi yang boleh mengajukan permintaan agar bapak atau ibu itu dibebaskan sebagai pemangku kekuasaan orangtua, bagaimana cara/prosedurnya dan proses selanjutnya dapat kita baca dalam pasal 319a ayat 2, 319b dst.
(Bandingkan dengan pasal 45 dst UUP).
Bagian sembilanbelas
Alimentasi
(pasal 320 dst BW)
Antara anak dan orangtuanya terdapat kewajiban untuk secara timbal-balik memberi nafkah, apabila orangtua atau anak itu dalam keadaan miskin. Demikian pula kepada keluarga sedarah dalam garis ke atas (ps. 321, 323). (Bandingkan dengan ps. 46 UUP).
Kewajiban untuk memberi nafkah itu ada pula pada menantu (schoonkinderen) kepada mertuanya, akan tetapi kewajiban itu berakhir, jika:
— mertua itu kemudian kawin untuk kedua kalinya,
— suami atau isteri yang mengakibatkan adanya pertalian keluarga semenda (zwagerschap) dan anak yang berasal dari perkawinannya dengan isteri atau suaminya, telah meninggal dunia (ps. 322).
Adakalanya orang yang berkewajiban untuk memberi nafkah tidak mampu untuk menyediakan uang bagi orang yang perlu dibantu itu. Dalam hal ini Pengadilan Negeri berkuasa untuk memerintahkan agar orang yang membutuhkan bantuan nafkah itu ditempatkan dalam rumah yang berwajib memberi nafkah tersebut dan menafkahi orang itu seperlunya (ps. 326).
Akan terbebaslah seorang bapak atau ibu dari kewajiban untuk menunaikan kewajibannya secara lain untuk memberi nafkah, jika ia menawarkan kepada anaknya yang perlu diberi nafkah, akan memberi makan dan memelihara dalam rumah bapak atau ibu itu (ps. 327).
Kewajiban untuk memberi nafkah itu berlaku pula bagi anak luar kawin kepada orangtua yang mengakuinya (ps. 328).
Semua perjanjian yang mengandung isi bahwa hak untuk menikmati nafkah ditiadakan /ditinggalkan (afgezien) adalah batal dan tak berharga (ps. 329).
Hak atas pemberian nafkah seorang anak dari orangtuanya, tidak berarti atau disertai dengan suatu tuntutan kedudukan yang tetap dengan cara menyediakan perlengkapan kawin (huwelijksuitzet), atau dengan cara lain (ps. 320).
Dalam nafkah yang harus diberikan itu termasuk juga apa yang Harus diberikan guns memelihara dan mendidik anak belum dewasa, yang besarnya seimbang antara kebutuhan dari yang berhak dan pendapatan serta kekayaan dari yang berwajib, tanpa mengurangi wewenang Hakim untuk mengubah atau mencabutnya penetapan tunjangan itu atas tuntutan pihak-pihak ybs (ps. 329a, 329b).
(Bandingkan dengan Bab X/ps 45 s/d 49 UU No. 1/1974, berjudul "Hak dan Kewajiban antara orang tua dan anak).
Bagian duapuluh
Perwalian
(pasal 330 dst BW)
A. Wali
Mereka yang belum dewasa atau belum cukup umur itu kemungkinan berada:
di bawah kekuasaan-orangtua (ouderlijke macht), sebagaimana diterangkan dalam bagian tujuhbelas Bab VI tulisan ini, atau
di bawah perwalian (voogdij).
Apabila bapak atau ibu, juga jika kedua orangtua itu meninggal, maka anak yang belum dewasa itu berada di bawah perwalian (ps. 330 ayat 3).
Ayat 1 pasal 330 BW menyebutkan, bahwa seseorang dikatakan "belum dewasa" (minderjarig), jika ia belum mencapai usia genap 21 tahun dan tidak kawin lebih dahulu, dengan ketentuan bahwa jika perkawinan itu bubar/berakhir sebelum mencapai umur 21 tahun itu, maka orang itu tidak kembali menjadi belum dewasa lagi.
Bagi bangsa Indonesia dari golongan "Bumiputera" hal ini ditegaskan lagi dalam Ordonansi 31-1-1931, Stb. 1931 no. 54, dengan pengertian yang sama seperti ketentuan pasal 330 ayat 1 dan 2 BW, dengan tambahan bahwa dalam pengertian perkawinan tidak termasuk perkawinan-anak-anak (kinderhuwelijk).
Kecuali jika terdapat kawan-wali (medevoogd) sebagaimana a.l. tsb. dalam pasal 351, dalam tiap-tiap perwalian hanya ada satu orang wali dan satu wali-pengawas (toeziende voogdes), yaitu Balai Harta Peninggalan (ps. 331 dan 366).
Kita mengenai beberapa macam perwalian, yaitu:
1. Dengan sendirinya/demi hukum (van rechtswege) menjadi wali:
1.1. salah seorang orangtua yang masih hidup (yang hidup terlama) (ps. 345),
1.2. suami baru yang merupakan kawan-wali mendampingi isterinya yang memangku perwalian terhadap anak-anaknya (ps. 351).
1.3. para pengurus badan/lembaga aural, seperti yayasan (ps. 365).
1.4. perwalian -men urut-un dang-un dang (legitieme/wettige voogdij), yaitu jika seorang terampu mempunyai anak belum dewasa, dan isteri atau suaminya berhalangan untuk memangku perwalian itu (ps. 453).
2. Wali karena pengangkatan (testamentaire voogdij), yaitu
wali/perwalian yang diangkat oleh salah seorang dari orangtua yang masih hidup:
2.1. dengan wasiat, atau
2.2. dengan akta notaris khusus (otentik) ps. 355 dan 356).
3. Wali/perwalian yang pengangkatannya dilakukan atas perintah Pengadilan Negeri (datieve voogdij), dapat terjadi:
3.1. atas permintaan dan mupakat para keluarga d1l. seb. (ps. 360), atau
3.2. tidak atas mupakat keluarga d1l. seb. tsb. di atas, melainkan atas permintaan Balai Harta Peninggalan selaku walipengawas (ps. 374).
Beberapa perbedaan dari bermacam-macam perwalian tsb. di atas ialah:
— setiap tahun wali harus memberikan perhitungan tanggung jawab secara singkat (sumir) dsb. kepada Balai Harta Peninggalan selaku walipengawas; keharusan ini tidak ada pada wali-ayah atau wali-ibu (ps. 372);
— pada perwalian bapak atau ibu oleh Pengadilan Negeri tidak ditentukan suatu jumlah biaya untuk pendidikan dan pemeliharaan anak (ps. 388), kecuali jika nikmat hasil orangtua itu berhenti;
lain halnya dengan wali-wali lain, wali-bapak dan wali-ibu, jika mereka mempunyai hak nikmat-hasil atas harta anak yang belum dewasa, tidak usah menjual meja-kursi atau barang-barang gerak lainnya (ps. 390);
— bagi wali-bapak atau wali-ibu ada kemungkinan tetap terjadinya persatuan /percampuran harta (gemeenschap) antara wali dengan anak di bawah umur itu, atas izin dari Pengadilan Negeri (ps. 408);
— bagi wali atau bekas wali berasal dari keluarga sedarah dalam garis ke atas dari anak belum dewasa, tidak ada larangan untuk menerima sesuatu keuntungan karena wasiat atau hibahan dari pupil-nya (anak di bawah perwalian) (ps. 904 ayat 3 dan 1681).
(Bandingkan dengan pasal 50 dst UUP).
Sebelum perwaliannya itu mulai berlaku, wali harus mengangkat sumpah lebih dahulu, bahwa ia akan menunaikan perwaliannya itu dengan baik dan tulus hati, di tangan Balai Harta Peninggalan atau di depan Pengadilan Negeri atau di hadapan Kepala Pemerintah Daerah tempat tinggal wali itu (ps. 362).
Baik wali-bapak ataupun wali-ibu yang kawin lagi, atas permintaan Balai Harta Peninggalan, sebelum atau setelah perkawinan baru itu berlangsung, menyampaikan daftar harta-kekayaan lengkap pupilnya itu kepada wali-pengawas itu, dengan sanksi kehilangan perwaliannya itu dan diangkat orang lain sebagai wali baru (ps. 352).
Pengikut-sertaan sebagai wali (medevoogdij) suami berakhir jika ia dipecat dari kedudukannya itu atau ibu dari anak belum dewasa sendiri berhenti menjadi wali (ps. 351 ayat 2).
Perwalian berakhir karena:
— kematian, baik wali maupun pupil, atau pupil menjadi dewasa atau dinyatakan dewasa atau jika anak itu kawin, atau
— pemecatan (ps. 380).
Anak di bawah umur yang memperoleh perlunakan (handlichting), bila perlunakan itu dicabut, kembali berada di bawah perwalian (ps. 431).
Seseorang yang hendak berhenti dari perwalian harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri tempat tinggalnya (ps. 378).
Wewenang dan kewajiban wali antara lain ialah:
memelihara dan mendidik anak belum dewasa atas siapa ia bertindak/diangkat sebagai wali (pupil), sesuai dengan harta-kekayaannya, dan mewakilinya dalam segala tindak perdata (ps. 383);
— memulai kedudukannya itu setelah diambil sumpah (lihat di atas);
— bagi wali yang diangkat dengan wasiat dan wali-menurut-undang-undang harus memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan tentang terjadinya perwalian itu (ps. 368); setiap wali, kecuali perkumpulan, yayasan dan lembaga aural, diwajibkan mengikat/memberikan hipotik d1l. sebagai jaminan (ps. 335 dsb);
harus menuntut pembukaan penyegelan — bila memang terjadi — dalam waktu 10 hari setelah perwaliannya itu dimulai;
harus membuat atau menyuruh membuat perincian barang (boedel-beschrijving) pupilnya;
-keberesan pendaftaran itu harus dikuatkan dengan sumpah oleh wali sendiri di muka wali-pengawas (Balai Harta Peninggalan) (ps. 386);
mengajukan permintaan kepada Pengadilan Negeri agar pupilnya ditempatkan untuk waktu tertentu dalam suatu lembaga, karena kelakuan buruk/jahat anak itu yang tidak memuaskan wali itu (ps. 384);
-memberi izin atau menolak perkawinan pupilnya (ps. 38); turut campur dalam pemberian perlunakan (venia aetatis) oleh Presiden (ps. 422 dan 427);
— boleh/dapat mengajukan permintaan agar venia aetatis yang telah diberikan itu dicabut (ps. 431).
Dalam pengurusannya itu wali harus pula memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
— ia wajib mengusahakan penjualan barang-barang-gerak yang tidak memberikan hasil (ps. 389);
— dalam penerimaan harta peninggalan (warisan) untuk pupilnya itu hanya dengan hak istimewa akan pendaftaran (onder het voorecht van boedelbeschrijving/benificiaire aanvaarding) (ps. 401);
— jika harta pupilnya itu bersaldo untung melebihi 1/4 daripada pendapatan, wali berkewajiban memperbungakan (beleggen) sisa itu (ps. 391).
Selanjutnya untuk hal-hal tersebut di bawah ini wali demi kepentingan pupilnya harus mendapat izin dari:
a. Pengadilan Negeri, untuk:
— meminjam uang,
— mengalihkan atau melepaskan hak (memindah-tangankan) atau menjaminkan,
— menjual atau memindahtangankan surat berharga (effecters), piutang atau andil (actien).
(ps. 393, 394 s/d 398),
menjual barang-tak-gerak (ps. 399),
— menyewa atau mengambil dalam hak usaha untuk diri sendiri (ps. 400 ayat 1),
— menerima penyerahan hak atau piutang terhadap pupilnya (ps. 400 ayat 2),
— menolak harta peninggalan/warisan (ps. 401 ayat 2),
— menerima pemberian/hibah (ps. 402),
— mengadakan perdamaian/dading (ps. 407),
— menyerahkan penyelesaian suatu perkara kepada wasit (arbitrage) (ps. 407),
b. Balai Harta Peninggalan (Weeskamer), untuk:
— memajukan gugatan atau membela perkara di muka Hakim (ps. 403),
— dalam suatu perkara yang dimajukan terhadap pupilnya menyatakan menerima putusan (ps. 404),
— meminta pemisahan atau pembagian (ps. 405).
Wali bertanggung jawab untuk/atas:
— biaya perkara di muka Hakim tanpa izin Balai Harta Peninggalan /Pengadilan Negeri (ps. 403).
akibat-akibat yang merugikan dalam penerimaan warisan tanpa hak istimewa akan pendaftaran harta-peninggalan (ps. 401),
biaya, rugi dan bunga yang timbul karena tata-pemeliharaannya yang buruk (slecht beheer) (ps. 385 ayat 1).
Kecuali wali-bapak dan wali-ibu, tiap tahun wali harus memberikan perhitungan tanggung-jawab secara ringkas kepada Balai Harta Peninggalan (ps. 372).
Selanjutnya setiap wali wajib/harus:
mengadakan perhitungan tanggung-jawab penutup pada akhir perwaliannya (ps. 409 dan 410), bila perlu dengan membayar bunga yang masih terutang (ps. 413),
Hak-hak wali ialah:
meminta pembayaran penggantian pengeluaran dan biaya yang pantas dan cukup beralasan (ps. 410 ayat 2 dan 3),
— meminta upah yang wajar (ps. 411),
meminta bunga yang masih diutang oleh pupil kepada wali (ps. 413 ayat 2),
— penghapusan (doorhaling/roya) hipotik, gadai atau jaminan/tanggungan pribadi (borgtocht) (ps. 342).
Menurut pasal 414, semua tuntutan yang belum dewasa terhadap walinya berkenaan dengan tindakan perwaliannya itu gugur karena daluwarsa setelah lewat tenggang 10 tahun, terhitung mulai hari anak itu menjadi dewasa.
B. Wali-pengawas
Balai Harta Peninggalan (Weeskamer) berkewajiban untuk melakukan tugas sebagai wali-pengawas (toeziende voogdij) dalam tiap-tiap perwalian di Indonesia (ps. 366).
Balai itu bertugas:
agar wali memberikan jaminan yang cukup dalam pengurusan demi kepentingan pupilnya (ps. 335, baca pula ps. 371),
— agar diselenggarakannya pendaftaran harta anak yang ber-ada di bawah perwalian ybs (ps. 386 jo. 371).
Balai berwenang menuntut:
— kepada wali untuk menyerahkan perhitungan tanggungjawab ringkas setiap tahun (ps. 372),
daftar barang-barang milik anak belum dewasa dari wali-bapak atau wali-ibu yang melangsungkan perkawinan baru, pemecatan wali, dalam hal wali itu tidak/kurang melakukan tugas yang ditentukan oleh undang-undang (ps. 373), diangkatnya wali baru atau wali sementara dalam hal-hal tsb. dalam pasal 374.
Kepada Balai tersebut perlu diminta:
— izin kawin oleh wali bagi anak belum dewasa yang hendak kawin (ps. 38),
— bantuan dalam pembuatan perjanjian -kawin (huwelijksvoorwaarden), bila menyangkut pasal 151.
Balai tersebut selalu melakukan tindakan /Ian gkah yang perlu demi kepentingan yang belum-dewasa itu, apabila kepentingan anak itu bertentangan dengan kepentingan wali (ps. 370). Sebagai contoh dapat dilihat antara lain dari pasal 1071 dan 1072, yaitu jika wali dan pupilnya itu merupakan ahli waris dari suatu warisan.
Dalam hal bila Balai itu selaku Majelis harus menunaikan togas di luar gedung rapat, boleh diganti/diwakilkan oleh seorang anggota atau pegawainya, atau oleh salah seorang agennya (ps. 417). Itulah sebabnya maka kita maklum adanya Wakil-wakil Balai Harta Peninggalan di berbagai daerah/kota.
(Bandingkan dengan UUP 1/1974 ps 50 s/d 54).
Bagian duapuluh satu
Pengampuan
(pasal 433 dst BW)
Yang harus ditaruh/ditahan di bawah pengampuan (onder curatele gesteld), yaitu orang-orang dewasa/cukup umur:
a. yang selalu berada dalam keadaan dungu (onnozel),
b. yang sakit otak (krankzinnig) atau mata gelap (razernij), walaupun mereka itu kadang-kadang cakap mempergunakan pikiran mereka,
c. sedangkan mereka yang boros (verkwister) boleh juga ditaruh di bawah pengampuan (ps. 433).
Yang berwenang (bevoegd) untuk meminta pengampuan seorang ialah:
untuk ad a dan b oleh setiap keluarga-sedarah,
untuk ad c oleh keluarga-sedarah dalam garis lurus dan oleh keluarga-semenda dalam garis menyimpang sampai dengan derajat ke-4,
sedangkan suami atau isteri boleh memintanya baik untuk ad a, b maupun c tersebut di atas, dan
seorang untuk diri sendiri pun boleh meminta ditaruh di bawah pengampuan.
(ps. 434).
(Jawatan) Kejaksaan wajib menuntutnya, jika mereka yang berwenang tersebut tidak memintanya bagi orang yang mata gelap, dan boleh menuntutnya bagi orang yang dungu atau sakit otak (ps. 435).
Permintaan pengampuan itu harus diajukan kepada Pengadilan Negeri dalam daerah hukum di mana orang yang dimintakan pengampuannya, berdiam (gevestigd) (ps. 436). Prosedur/proses yang menyangkut pengampuan diatur dalam pasal 437 dst BW.
Pengampuan mulai berjalan terhitung sejak putusan (vonnis) atau penetapan (arrest) diucapkan (ps. 446).
Sejak mulainya pengampuan itu, maka:
— semua tindakan perdata terampu/kurandus (curandus) itu demi hukum batal (ps. 446 ayat 2),
tindak perdata yang telah terjadi sebelum pengampuan pun boleh pula dibatalkan, apabila dasar pengampuan tersebut sudah ada pada saat tindakan itu dilakukan oleh bakal kurandus (ps. 447).
Pengampuan berakhir, jika hal-hal penyebabnya telah hilang dan setelah adanya putusan (beschikking) dari Pengadilan Negeri (ps. 460).
Baik penaruhan pengampuan (onder curatele stelling) maupun pembebasan dari itu harus diumumkan dalam Berita Negara
(ps. 444 dan 461).
Anak belum dewasa (masih di bawah umur) yang berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap, tetap di bawah pengawasan orang-tuanya. Dalam pada itu dengan izin Pengadilan Negeri boleh diajukan permintaan agar anak yang demikian itu ditempatkan dalam suatu yayasan/lembaga atau balai penyimpanan anak atau rumah sakit dsb (geschikte gestichten) (Ps. 134 Rechterlijke Organisatie, Stb. 1847 no. 23 jis Stb. 1848 no. 57, L.N. 1950 no. 30 dan L.N. 1951 no. 9).
Hal-hal lain yang kiranya perlu dimaklumi /difahami tentang pengampuan adalah sebagai berikut:
Suami harus diangkat menjadi pengampu bagi isterinya dan isteri — tanpa suatu bantuan/kuasa — bagi suaminya, kecuali jika terdapat alasan penting agar diangkat seorang lain (ps. 451).
Balai Harta Peninggalan ditugaskan untuk bertindak selaku pengam p u-penga was (toeziende curatelee) (ps. 449 ayat 3). Jika terdapat alasan, Pengadilan Negeri boleh mengangkat seorang pengurus-sementara (provisionele bewindvoerder), guns mengurus pribadi dan harta/kekayaan bakal kurandus (ps. 441). Tugas pengurus-semen cara itu berakhir setelah diangkatnya pengampu ybs dan mengadakan perhitungan tanggung-jawab atas pengurusannya itu kepada pengampu/ pengampu-pengawas (ps. 449 ayat 4).
— Setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, mempunyai kedudukan yang sama dengan orang belum dewasa (ps. 452); mengikuti tempat tinggal pengampunya (ps. 21); anaknya tak diperbolehkan kawin tanpa izin dari walipengampu (curatorvoogd)-nya (ps. 38 dan 151).
— Seseorang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, boleh/berhak membuat surat wasiat (ps. 446 ayat 3); hanya jika hendak melakukan perkawinan sama halnya dengan orang di bawah umur (ps. 452 ayat 2 jis 38 dan 151).
- Orang gila tidak boleh menjadi saksi.
- Kewajiban pengampu antara lain ialah:
memberikan jaminan yang cukup dan mengurus pribadi serta harta kurandusnya mengenai hal tersebut dalam pasal 453 BW.
Bagian duapuluh dua
Keadaan tak hadir dan dugaan meninggal
(pasal 463 dst dan 472 dst BW)
Jika terjadi seseorang telah meninggalkan tempat tinggalnya (afwezig) tanpa meninggalkan kuasa (volmacht), dan/padahal terdapat alasan yang mendesak guna mengurus harta-benda/kekayaannya — seluruh atau sebagiannya — atau untuk ditunjuknya seorang wakil baginya, maka Balai Harta Peninggalan atas perintah Pengadilan Negeri tempat tinggal yang takhadir itu, harus mengurus harta dan kepentingan serta membela hak-hak dan menjadi wakil dari yang takhadir itu (ps. 463).
Kewajiban Balai tersebut dalam hal ini yaitu:
— membuat daftar lengkap dari semua harta yang takhadir itu, dengan mengindahkan peraturan tentang pengurusan harta anak-anak, sekedar peraturan itu dapat dianggap berlaku dalam hal ini (ps. 464);
mewakili yang takhadir itu, baik di luar maupun di dalam/ di muka Pengadilan.
Jika seseorang yang takhadir tanpa mengatur/membereskan harta-benda/kekayaannya selama 5 tahun, atau memberi kuasa sehingga tidak diketahui tentang ketidak-hadirannya itu, maka oleh Pengadilan Negeri tempat tinggal yang telah ditinggalkannya itu boleh/berwenang memanggilnya secara umum orang itu selama tenggang waktu 3 bulan atau lebih (ps. 467).
Setelah panggilan yang ketiga kalinya (3 x 3 bulan) orang itu tidak muncul, maka Pengadilan tersebut boleh menyatakan, bahwa orang itu diduga telah meninggal dunia, sejak hari ia dianggap meninggalkan tempat tinggalnya, atau sejak hari diterima berita/ kabar terakhir bahwa ia masih hidup (ps. 468).
Jika orang takhadir itu ketika ia meninggalkan tempat tinggal-nya telah mengangkat seorang kuasa sebagai wakil dalam mengurus harta-bendanya atau telah mengatur pengurusannya, akan tetapi setelah 10 tahun sejak keberangkatannya itu atau setelah berita terakhir tentang masih hidupnya, tidak dapat diketahui apakah ia masih hidup atau sudah mati, maka ia pun oleh Pengadilan Negeri dapat dinyatakan diduga telah meninggal (ps. 470).
Putusan Hakim tersebut mengakibatkan, bahwa mereka yang karena kematian biasa merupakan ahliwaris, akan menjadi "diduga ahliwaris" (vermoedelijk erfgenamen) orang yang diduga. meninggal tersebut (ps. 472).
Hak-hak/wewenang mereka yang diduga ahliwaris antara lain ialah:
membuka surat wasiat dari yang diduga meninggal (ps. 472 ayat 2);
menuntut kepada Balai Harta Peninggalan selaku pengurus harta peninggalan untuk melakukan perhitungan tanggungjawab dan penyerahan barang-barang ybs untuk kemudian dikuasainya, sebagaimana dilakukan oleh ahliwaris biasa (ps. 472 ayat 1);
hak istimewa atas harta peninggalan (benificiaire boedel aanvaarding) (ps. 477);
berhak menikmati hasil dari barang-barang tsb, dengan jaminan demi kepentingan yang takhadir (kalau-kalau datang kembali) atau ahliwaris lainnya (ps. 472 dan 474); boleh membagikan harta-peninggalan yang takhadir dengan dibuat dan ditanda-tanganinya akta ybs dan dengan memperhatikan peraturan tentang pemisahan harta peninggalan (ps. 478).
Di samping hak-hak tersebut di atas, ada juga kewajiban-kewajiban mereka, antara lain yaitu:
mengurus barang-barang takgerak yang merupakan bagiannya (ps. 480);
— memberi tanggungan kebendaan yang disahkan oleh Pengadilan Negeri (gerechtelijk goedgekeurd zekerheid) (ps. 472), bila tidak, dengan sanksi harta peninggalan itu ditaruh di bawah penguasaan pihak ketiga (ps. 473);
— membuat akta pendaftaran (beschrijving) dari barang-barang yang mereka kuasai (ps. 478);
untuk tidak menjual barang takgerak, hanya pendapatan/ hasilnya dapat dibagikan kepada mereka yang diduga ahliwaris atas persetujuan mereka sendiri (ps. 478 ayat 2); untuk tidak mengalihkan atau melepaskan hak (vervreemden) atau mempertanggungkan (bezwaren) sebelum tenggang waktu tsb dalam pasal 484 lewat, yaitu 30 tahun setelah hari pernyataan diduga-meninggal dalam putusan Hakim, atau — apabila sebelum itu — waktu 100 tahun telah lewat semenjak hari lahir yang takhadir itu.
Para ahliwaris yang baru menurut dugaan tersebut akan menjadi dan bertindak sebagai ahliwaris yang sebenarnya /sungguh - sungguh:
— jika diterima berita bahwa orang yang takhadir itu memang benar sudah meninggal (ps. 485);
— 30 tahun setelah hari pernyataan diduga meninggal (ps. 484);
100 tahun setelah hari lahir orang yang takhadir itu (ps. 484);
dengan akibat:
— jaminan-jaminan menjadi hapus atau tak berlaku lagi, — hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan tsb dalam ps. 477 berakhir,
mereka yang diduga ahliwaris tunduk pada ketentuanketentuan/aturan mengenai warisan seperti biasa, yaitu menerima atau menolak (ps. 1045 atau 1058).
Bagaimana jika yang takhadir itu pulang kembali atau adanya tanda-tanda bahwa ia masih hidup, sedangkan hartanya telah dipisah/dibagikan kepada (para) ahliwaris?
Hal ini diatur dalam pasal 482, yaitu bahwa setiap mereka yang telah menikmati hasil dan pendapatan dari barang-barang yang ada padanya wajib mengembalikannya, dan dalam pasal 486, yaitu jika pulang kembalinya dsb itu setelah 30 tahun tsb, maka orang yang kembali itu hanya boleh menuntut kembali harta /ke kayaannya itu tanpa hasil dan pendapatannya.
Jika yang takhadir itu telah kawin dalam persatuan/percampuran harta, baik secara lengkap, ataupun persatuan hasil dan pendapatan, ataupun persatuan untung dan rugi, sedangkan isteri atau suaminya itu memilih agar persatuan itu diteruskan, maka pilihannya itu diperbolehkan oleh undang-undang, dengan ketentuan dan cara sebagaimana tercantum dalam pasal 483, tanpa mengurangi hak isteri untuk kemudian melepaskan diri dari persatuan itu.
Suami atau isteri yang ditinggalkan oleh yang takhadir itu atas izin dari Pengadilan Negeri tempat tinggal suami-isteri bersama, boleh kawin lagi dengan orang lain, setelah lewatnya tenggang waktu 10 tahun sejak isteri atau suaminya itu meninggalkan tempat tinggalnya dsb. (ps. 493 dan 494).
Bagaimana akibatnya, apabila yang takhadir itu pulang kembali?
Dalam hal ini ada 2 kemungkinan, yaitu:
— jika izin kawin itu telah dibenarkan oleh Pengadilan, namun perkawinan belum dilangsungkan, maka izin yang telah diberikan itu demi hukum tak berlaku lagi (batal); sedang
jika dengan izin tsb yang ditinggalkan telah kawin dengan orang lain, perkawinan itu sah (berlaku terus), dalam pada itu yang takhadir berhak juga kawin dengan orang lain (ps. 495).
Bagian duapuluh tiga
Pengangkatan anak
(ex Stb. 1917 — 129 dst.)
Tentang pengangkatan anak ini telah disinggung dalam "NOTARIS I". Pada bagian/bab ini penulis selain menyinggung hal pengangkatan anak yang disebut "adoptie" (adopsi), sebagaimana tercantum dalam Stb. 1917 — 129 jis 1919 — 81, 1924 — 557, 1925 — 92, yaitu peraturan-peraturan yang menyangkut ketentuan-ketentuan untuk seluruh Indonesia tentang hukum perdata dan hukum dagang bagi orang-orang termasuk golongan Tionghoa, khusus Bab/Hoofdstuk kedua, berjudul "Van adoptie", yaitu ps. 5 s/d 15, juga sebuah contoh akta Pemungutan Anak yang sering terjadi dalam praktek notariat.
Menurut ps. 5 Peraturan tsb.:
(1) Apabila seorang laki-laki/pria (een man), beristeri atau telah pernah beristeri, tak mempunyai keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-laki, baik keturunan karena kelahiran (vleeschelijke), maupun keturunan karena angkatan (adoptieve), maka bolehlah ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya.
(2) Pengangkatan yang demikian harus dilakukan oleh orang laki tersebut bersama-sama dengan isterinya, atau jika dilakukannya setelah perkawinannya dibubarkan, oleh dia sendiri.
(3) Apabila kepada seorang perempuan janda, yang tidak telah kawin lagi, oleh suaminya yang telah meninggal dunia, tidak ditinggalkan seorang keturunan sebagai termaksud dalam ayat kesatu pasal ini, maka boleh pun ia mengangkat seorang laki sebagai anaknya. Jika sementara itu suami yang telah meninggal dunia itu, dengan surat wasiat telah menyatakan tak menghendaki pengangkatan anak oleh isterinya, maka pengangkatan itu pun tak boleh dilakukannya.
Dalam pasal-pasal selanjutnya antara lain dan terutama diatur:
(1) bahwa yang boleh diadoptir itu hanya pria dari golongan Tionghoa yang tak beristeri, tak beranak dan tidak pernah diangkat oleh orang lain;
(2) bahwa perbedaan usia antara yang diadoptir dan yang mengadoptir ialah:
— yang mengadoptir paling sedikit 18 tahun lebih tua daripada yang diadoptir; dan
— juga yang diadoptir paling sedikit 15 tahun lebih muds
daripada isteri atau janda yang mengadoptirnya;
dengan memperhatikan moyang bersama (stamvader), jika adopsi itu mengenai seorang keluarga sedarah (bloedverwant).
(3) bahwa untuk setiap adopsi diperlukan adanya katasepakat (toestemming) dari dia/mereka yang melakukannya, dengan kemungkinan adanya izin dari Pengadilan Negeri, karena hal yang tercantum dalam pasal 9 Peraturan tsb.;
(4) bahwa adopsi itu harus dilakukan dengan akta notaris;
(5) bahwa adopsi itu berakibat:
— bagi yang diaoptir, jika ia mempunyai nama keturunan lain daripada nama keturunan suami yang mengadoptirnya sebagai anaknya, karena hukum (van rechtswege) memperoleh nama keturunan terakhir sebagai pengganti nama keturunan yang dulu;
— jika suami-isteri mengadoptir seorang sebagai anak mereka, maka anak itu dianggap sebagai dilahirkan dari perkawinan mereka;
— jika suami sendiri yang mengadoptir seorang anak setelah putusnya perkawinan karena meninggalnya isteri itu, maka anak tsb. dianggap sebagai dilahirkan dari perkawinan yang putus karena demikian itu;
jika seorang janda (weduwe) mengadoptir seorang anak, maka anak itu dianggap dilahirkan dari perkawinan dengan suaminya yang telah meninggal itu;
(6) bahwa Balai Harta Peninggalan mengurus dan menyelamatkan harta peninggalan almarhum suami dari janda yang berhak melakukan adopsi, yang akan menjadi hak/milik anak yang diadoptir, bila terjadi hal yang tercantum dalam ps. 13 Peraturan tersebut;
(7) bahwa dengan terjadinya adopsi itu, maka hubungan perdata karena keturunan-kelahiran (natuurlijke afstamming) antara yang diadoptir dengan kedua orang tuanya (asli), juga dengan semua keluarga sedarah dan semenda menjadi putus, kecuali apabila:
1. mengenai derajat kekeluargaan sedarah yang terlarang untuk perkawinan;
2. mengenai ketentuan pidana yang menyangkut/atas dasar keturunan karena kelahiran (natuurlijke afstamming);
3. mengenai perhitungan biaya perkara dan penyendaraan (gijzeling);
4. mengenai pembuktian dengan saksi; dan
5. mengenai bertindak selaku saksi dalam pembuatan akta otentik;
(8) bahwa adopsi itu tidak boleh dibatalkan/dicabut/ditarik kembali (teniet gedaan) karena kesepakatan antara pihak-pihak ybs. (door onderlinge toestemming);
(9) bahwa adopsi terhadap anak-anak perempuan (wanita), demikian pula adopsi yang dilakukan secara di bawah tangan dsb. atau tanpa akta notaris (otentik), batal/nietig karena hukum; dan
(10) bahwa Hakim berwenang membatalkan (nietig verklaart) adopsi yang dilakukan bertentangan dengan salah satu ketentuan dalam ps. 5, 6, 7, 8, 9, atau ayat kedua dan ketiga ps. 10 Peraturan tentang Adopsi tersebut.
Bagian duapuluh empat
Beberapa putusan Mahkamah Agung
(Yurisprudensi)
Sekedar sebagai tambahan dalam bagian ini penulis sajikan beberapa putusan Mahkamah Agung/MA yang berhubungan dengan hukum perorangan dan keluarga di Indonesia, baik menurut Hukum Adat, BW, dsb (umum) sebagai berikut:
1. Hakim tidak berwenang mengubah droit de visite (bezoekrecht) karena tidak ada pengaturannya dalam Undangundang, kecuali atas persetujuan fihak-fihak.
(M.A. tgl. 25 Agustus 1971, No. 498 K/Sip/1971).
2. Undang-undang tidak mengatur secara tegas tentang hal droit de visite (bezoekrecht) dari salah seorang dari orang tua yang setelah perceraian tidak diserahi perwalian. Meskipun demikian jika hal droit de visite telah ditetapkan secara persetujuan dan karenanya mempunyai arti yuridis, maka penolakan oleh orang tua yang diserahi perwalian atas hal droit de visite tersebut dapat melenyapkan dasar dari penetapan perwalian semula sehingga memungkinkan perubahan penetapan perwalian semula.
(M.A. tgl. 25 Agustus 1971 No. 498 K/Sip/1971).
3. a. Dalam menterapkan pasal 230 BW keluarga-keluarga sedarah atau semenda harus dipanggil untuk didengar keterangannya; jika tidak, maka akan merupakan kekurangan dalam pemeriksaan, sehingga untuk itu harus diadakan pemeriksaan tambahan dalam suatu persidangan.
(M.A. tgl. 25 Agustus 1971 No. 498 K/Sip/1971).
b. Tambahan tunjangan perawatan anak-anak harus diajukan menurut cara-cara yang khusus yang diatur dalam Reglement op de Rechtsvordering dan karena cara-cara demikian tidak diatur dalam H.I.R., maka dapatlah diambil jiwa dari ketentuan-ketentuan dari Rv. tersebut.
(M.A. tgl. 25 Agustus 1971 No. 498 K/Sip/1971).
4. Jika wali ibu telah terbukti mengabaikan kewajibannya untuk membiarkan anaknya mengunjungi ayahnya berdasarkan putusan Pengadilan Negeri, maka Pengadilan berwenang mengangkat ayah anak ybs. sebagai wali penggantinya.
(M.A. tgl. 25r Agustus 1971 No. 498 K/sip/1971).
5. Keadaan-keadaan yang terjadi setelah putusan perceraian memperoleh kekuatan pasti, menurut pasal 230 BW dapat menjadi dasar permintaan perubahan penetapan perwalian.
(M.A. tgl. 25 Agustus 197i, No. 498 K/Sip/1971).
6. Seorang kakak yang bertindak sebagai wali dari adiknya yang belum dewasa harus mewakili, memelihara dan mengurus (beheren) harta warisan orang tua untuk adiknya itu secara jujur dan menyerahkan harta tersebut kepada adiknya apabila anak tersebut telah dewasa. Harta yang dikuasainya selama adiknya belum dewasa hanya boleh dijual apabila ia dapat membuktikan, bahwa ia terpaksa berbuat demikian.
(M.A. tgl. 13 Maret 1971, No. 767 K/Sip/1970) (Hukum Adat).
7. Apabila di antara para Penggugat dan para Tergugat terdapat anak-anak yang belum dewasa, maka Pengadilan secara jabatan (ambtshalve) dengan Putusan Sela dapat mengangkat salah seorang Tergugat sebagai wali dari Tergugat lain yang belum dewasa itu..
(M.A. tgl. 10 Juli 1971, No. 395 K/Sip/1971).
8. Seorang yang terbukti menderita penyakit jiwa tidak dapat melakukan tindakan hukum secara sah.
(M.A. tgl. 23 Februari 1972, No. 898 K/Sip/1971).
9. Apabila silsilah Penggugat tidak disangkal oleh Tergugat, maka silsilah tersebut dapat ditetapkan oleh Hakim. (M.A. tgl. 23 Februari 1972, No. 127 K/Sip/1971).
10. Anak kukut mempunyai kedudukan yang sama dengan anak kandung dan sesuai dengan hukum adat yang turuntemurun, anak kukut berhak penuh atas harta Ibu dan Bapak kukutnya, apabila mereka tidak mempunyai anak kandung.
(M.A. tgl. 8 Mei 1971, No. 621 K/Sip/1970) (Hukum Adat).
11. Seseorang dapat dinyatakan sebagai anak angkat dari ke-dua orang tua angkatnya bilamana ia telah:
a. dibesarkan,
b. dikhitan,
c. dikawinkan,
d. bertempat tinggal bersama,
e. telah mendapat hibah dari kedua orang tuanya (orang tua. angkatnya).
.(M.A. tgl. 24 Maret 1971, No. 60 K/Sip/1970) (Hukum Adat).
12. Anak tiri yang dirorok oleh pewaris sejak kecil dan sudah dianggap sebagai anak sendiri, mempunyai kedudukan sebagai anak angkat.
(M.A. tgl. 30 Oktober 1971, No. 637 K/Sip/1971) (Hukum Adat).
13. Apabila seorang Pewaris meninggalkan seorang anak angkat/anak pungut tanpa anak-anak kandung maka anak angkat tersebut menjadi satu-satunya ahliwaris, karena kedudukan hukum seorang anak angkat sama dengan kedudukan hukum seorang anak kandung.
(M.A. tgl. 22 Maret 1972, No. 663 K/Sip/1970) (Hukum Adat).
14. Walaupun rumah dibangun oleh seorang bekas suami setelah terjadi perceraian, akan tetapi apabila biaya untuk membangun rumah tersebut diperoleh dari hasil dagang bersama antara suami-isteri sebelum perceraian; lagi pula sesudah rujuk kembali rumah tersebut didiami bersama oleh suami isteri semula, maka rumah tersebut tetap merupakan bagian dari harta raja-kaya antara suami-isteri tersebut.
(M.A. tgl. 5 Mei 1971, No. 803 K/Sip/1970).
15. Harta kekayaan yang dibeli oleh seorang suami selama perkawinannya di daerah kabupaten Majalengka merupakan harta raja-kaya yang diwarisi oleh janda dan anakanaknya.
(M.A. tgl. 5 Mei 1971, No. 803 K/Sip/1970).
16. Harta yang diperoleh semasa perkawinan adalah harta guna kaya dan harus dibagi dua sama rata antara ahli-waris suami dan ahliwaris isteri.
(M.A. tgl. 26 Januari 1972, No. 319 K/Sip/1971).
17. Barang yang diperoleh selama perkawinan dengan jalan lain daripada tukar-menukar dan sebagainya dari barang asal atau warisan, termasuk harta milik bersama (sesuai dengan pepatah "Lelaki setanggungan, awewe sepanggulungan"), yang disebut guna-kaya, tumpang kaya, campurkaya, seguna-sekaya, barang sekaya, kaya reujeung, rajakaya, atau harta pencarian (Lihat Soepomo terjemahan Ny. Nani Suewondo hal. 56, 58 dan 79).
(M.A. tgl. 11 Maret 1971, No. 454 K/Sip/1970).
18. Barang-barang yang termasuk barang campur-kaya antara suami isteri ialah:
a) penghasilan segala harta benda yang diperoleh selama perkawinan (baik barang asal maupun barang campurkaya).
b) segala barang penghasilan yang diperoleh kedua suami isteri selama perkawinan, bilamana suami atau isteri masing-masing sendiri berdagang atau bekerja, atau bilamana hal itu dilakukan bersama-sama, bahkan bilamana fihak isteri semata-mata mengurus rumah tangga saja.
(M.A. tgl. 11 Maret 1971, No. 454 K/sip/1970).
19. Setelah salah seorang suami atau isteri meninggal dunia, harta perkawinan dilebur menjadi harta kekayaan suami atau isteri yang masih hidup, bersama-sama dengan anak atau anak saudara lain yang dekat.
(M.A. tgl. 11 Maret 1971, No. 454 K/Sip/1970).
20. Apabila seseorang pria mempunyai lebih dari seorang isteri, dan masing-masing isteri mendiami rumahnya sendiri bersama-sama dengan anak-anaknya masing-masing, maka masing-masing isteri membentuk keluarganya sendiri dengan harta kekayaannya masing-masing sehingga merupakan keluarga dan harta kekayaan yang terpisah-pisah (lihat Ter Haar Bzn: "Beginselen en Stelsel hal. 176, 195 dan 214), sehingga hanya anak-anak dari masing-masing isteri yang akan mewarisi harta bersama itu dan ayahnya masing-masing.
(M.A. tgl. 11 Maret 1971 No. 454 K/Sip/1970).
21. Apabila perkawinan poligami terputus karena kematiansalah suatu fihak, maka fihak yang masih hidup tetap memiliki harta bersama di dalam perkawinan seperti sebelum ia ditinggalkan oleh suami atau isterinya, sebab orang yang ditinggalkan itu berhak atas barang-barang peninggalan tsb untuk nafkah hidupnya.
Akan tetapi apabila fihak yang ditinggalkan ini sudah ditinggalkan biaya hidup yang cukup, maka harta peninggalan ybs dapat dibagi waris, sehingga anak-anak dari perkawinan ybs mewarisi harta tersebut sebagai barang asal (lihat Ter Haar Bzn.: Beginselen en Stelsel hal. 176, 195 dan 214).
(M.A. tgl. 11 Maret 1971, No. 454 K/Sip/1970).
22. a. Pembagian (guar) waris yang tidak dihadiri oleh salah seorang ahliwaris yang terpenting, yaitu anak angkat orang yang meninggalkan waris, merupakan guar waris yang tidak sah.
b. Menurut Hukum Adat Jawa Barat anak angkat adalah pewaris orang tua angkatnya mengenai harta warisan yang berasal dari harta goni-ini atau harta pencaharian mereka.
c. Seorang anak angkat, menurut Hukum Jawa Barat, berhak menerima seluruh warisan, kecuali harta peninggalan berupa barang-barang asal, yang karena ketentuan "asal mulih ke asalna" akan diwarisi oleh ahliwaris sedarah orang yang mewariskan.
(M.A. tgl. 31 Mei 1972, No. 249 K/Sip/1972).
23. Harta kekayaan yang didapat dalam/selama perkawinan adalah harta bersama (gono-gini) dari suami/isteri yang apabila perlu dapat dibagi dua sama banyak antara suami isteri.
(M.A. tgl. 18 Oktober 1972, No. 626 K/Sip/1971).
24. Apabila suatu wasiat memuat kayid (clausule), bahwa barang warisan baru akan menjadi hak milik orang yang ditunjuk dalam surat wasiat yang bersangkutan setelah isteri pemberi wasiat meninggal dunia dan selama itu barang warisan tersebut harus dikuasai dan hasilnya dipungut oleh janda termaksud, maka dengan meninggalnya janda itu barang yang bersangkutan langsung menjadi milik penerima wasiat.
(M.A. tgl. 28 Mei 1973, No. 767 K/Sip/1972).
25. Apabila guar waris yang terjadi merupakan guar waris yang tidak sah, maka warisan yang bersangkutan masih merupakan warisan yang belum dibagi.
(M.A. tgl. 31 Mei 1972, No. 249 K/Sip/1972).
Kepustakaan
Dianjurkan untuk dibaca pula, antara lain:
-- Asser, Mr. C. / Asser, De Ruiter -- Moltmaker, "Personen — en Familierecht", W.E.J. Tjeenk Willink — Zwolle — 1976.
Komar Andasasmita, Notaris "Notaris III Hukum Harta Perkawinan dan Waris (Teori & Praktek)", Ikatan Notaris Indonesia daerah Jawa Barat, 1987.
Pitlo, Prof. Mr. A./Pitlo — Kasdorp — De Boer "Het Personen en Familierecht", Gouda Quint BV, Arnhem, 1979.
— Sajuti Thalib, S.H. "Hukum Kekeluargaan Indonesia", Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, 1974.
Soetojo Prawirohamidjojo R, S.H. "Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di Ineondsia" (Disertasi), Airlangga University Press, 1986.
— Soetojo Prawirohamidjojo R, S.H. "Hukum Orang dan Keluarga", Alumni/1982/Bandung.
— Ter Haar Bzn, Prof.Mr. B. "Beginselen en Stelsel van het Adatrecht", J.B. Wolters — Groningen, Djakarta — 1950.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar