Sabtu, 19 Februari 2011

PENEGAKAN HUKUM DAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK

MAHKAMAH KONSTITUSI
REPUBLIK INDONESIA


PENEGAKAN HUKUM DAN
TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK[1]
Oleh: Moh. Mahfud MD[2]

Hukum dan Pemerintahan dalam Kehidupan Bernegara
Di era modern, negara sebagai suatu organisasi kekuasaan keberadaannya dipahami sebagai hasil bentukan masyarakat melalui proses perjanjian sosial antara warga masyarakat. Keberadaan negara menjadi kebutuhan bersama untuk melindungi dan memenuhi hak-hak individu warga negara serta menjaga tertib kehidupan sosial bersama. Kebutuhan tersebut dalam proses perjanjian sosial termanifestasi menjadi cita-cita atau tujuan nasional yang hendak dicapai sekaligus menjadi perekat antara berbagai komponen bangsa. Untuk mencapai cita-cita atau tujuan tersebut, disepakati pula dasar-dasar organisasi dan penyelenggaraan negara. Kesepakatan tersebutlah yang menjadi pilar dari konstitusi sebagaimana dinyatakan oleh William G. Andrew bahwa terdapat tiga elemen kesepakatan dalam kontitusi, yaitu (1) tentang tujuan dan nilai bersama dalam kehidupan berbangsa (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of government); (2) tentang aturan dasar sebagai landasan penyelenggaraan negara dan pemerintahan (the basis of government); dan (3) tentang institusi dan prosedur penyelenggaraan negara (the form of institutions and procedure).[3]
Agar negara yang dibentuk dan diselenggarakan dapat berjalan untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasional, dibentuklah organisasi negara yang terdiri dari berbagai lembaga negara, yang biasanya dibedakan menjadi cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Namun demikian, saat ini organisasi negara telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Sesuai dengan tuntutan perkembangan penyelenggaraan urusan kenegaraan dan pelayanan kepada masyarakat, kelembagaan dalam organisasi negara berkembang sedemikian rupa baik dari sisi jumlah, maupun dari sisi jenis wewenang yang dimiliki. Untuk menangani urusan Pemilihan Umum misalnya, sesuai dengan proses demokratisasi tidak lagi dapat diserahkan kepada pemerintah, tetapi harus diselenggarakan oleh suatu komisi yang bersifat tetap, nasional, dan mandiri. KPU sebagai penyelenggara Pemilu tentu tidak dapat disebut sebagai lembaga eksekutif, legislatif, ataupun yudikatif.
Setiap lembaga negara memiliki kekuasaan tertentu yang dimaksudkan agar negara dapat memenuhi tugas yang menjadi alasan pembentukannya, serta untuk mewujudkan tujuan nasional. Dalam sistem komputerisasi, organisasi negara dapat diibaratkan sebagai perangkat keras (hardware) yang bekerja menjalankan roda organisasi negara.
Untuk menjamin kekuasaan yang dimiliki oleh setiap penyelenggara negara akan dilaksanakan sesuai dengan alasan pemberian kekuasaan itu sendiri serta mencegah tidak terjadinya penyalahgunaan kekuasaan, maka pemberian dan penyelenggaraan kekuasaan itu harus berdasarkan hukum. Inilah makna prinsip negara hukum baik dalam konteks rechtsstaats maupun rule of law. Hukum menjadi piranti lunak (soft ware) yang mengarahkan, membatasi, serta mengontrol penyelenggaraan negara.

Tujuan Hukum dan Pemerintahan
Secara teoretis, terdapat tiga tujuan hukum, yaitu keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan utama yang bersifat universal.
Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan bermasyarakat yang beradab. Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota masyarakat dan penyelenggara negara melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas, tetapi juga ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum positif.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi.
Namun demikian antara keadilan dan kepastian hukum dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang dikatakan oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi. Tidak demikian halnya dengan keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga penerapan hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana peristiwa itu terjadi.
Di sisi lain, hukum juga dapat digunakan untuk memperoleh atau mencapai manfaat tertentu dalam kehidupan berbangda dan bernegara. Di samping untuk menegakkan keadilan, hukum dapat digunakan sebagai instrumen yang mengarahkan perilaku warga negara dan pelaksanaan penyelenggaraan negara untuk mencapai kondisi tertentu sebagai tujuan bersama. Hukum difungsikan as a tool of social engineering. Dalam konteks hukum nasional, hukum tentu harus bermanfaat bagi pencapaian tujuan nasional, yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Tujuan nasional di atas tentu saja juga harus menjadi tujuan penyelenggaraan pemerintahan karena pada hakikatnya organisasi negara penyelenggara pemerintahan dibentuk untuk mencapai tujuan dimaksud. Tujuan nasional tersebut diterjemahkan ke dalam fungsi, wewenang, dan program dari setiap organisasi penyelenggara pemerintahan. Dengan demikian antara tujuan hukum dan tujuan pemerintahan berjalan beriringan. Hukum menjadi piranti lunak yang mengarahkan pencapaian tujuan nasional, sedangkan pemerintahan yang menggerakkan agar tujuan tersebut dapat dicapai.

Hubungan Penegakan Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik
Walaupun organisasi negara pada hakikatnya dibentuk untuk melindungi hak warga negara dan mencapai tujuan nasional yang disepakati bersama, namun dalam sejarah perkembangan negara banyak terjadi penyimpangan. Organisasi negara yang menyelenggarakan pemerintahan, terutama eksekutif, seringkali menjadi organisasi yang memiliki kepentingan sendiri dan melalaikan bahkan menindas kepentingan warga negara. Hal itu telah dialami oleh bangsa Indonesia, terutama pada masa Orde Baru hingga lahirnya reformasi. Hukum yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengarahkan, membatasi dan mengontrol pemerintahan, justru menjadi legitimasi atau pembenar bagi tindakan negara yang melanggar hak warga negara serta mengkhianati pencapaian tujuan nasional.
Bersamaan dengan datangnya era reformasi, tuntutan perubahan penyelenggaraan pemerintahan pun menguat. Organisasi pemerintahan yang korup, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, harus diubah dan dikembalikan kepada jati diri pembentukannya, yaitu untuk melindungi dan memenuhi hak dan kepentingan rakyat serta untuk mencapai tujuan nasional. Prinsip-prinsip negara hukum dan pemerintahan yang demokratis menjadi arus utama reformasi penyelenggaraan pemerintahan yang melahirkan paradigma baru yang dikenal dengan istilah good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik.
Tugas dan fungsi pemerintahan didefinisikan kembali untuk menghindari pemusatan kekuasaan pada negara melalui pemilahan tugas-tugas yang lebih tepat ditangani pemerintah dengan tugas-tugas yang sewajarnya diserahkan kepada pasar dan masyarakat sipil. Tujuan dari upaya tersebut adalah: (a) mendudukan peran pemerintah lebih sebagai katalisator, regulator, fasilitator, pengarah, pembina, dan pengawas penyelenggaraan urusan pemerintahan, (b) perlindungan HAM dan pelaksanaan demokrasi, (c) pemerataan pendapatan dan penanggulangan kemiskinan, dan (d) penyelenggaraan pemerintahan yang menjamin kepastian hukum, keterbukaan, profesionalitas dan akuntabilitas.[4]
Untuk mencapai tujuan tersebut, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara menyebutkan 10 prinsip yang harus dilaksanakan, yaitu:
  1. Partisipasi, menjamin kerjasama dan partisipasi pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder) mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
  2. Penegakan Hukum, dilaksanakan secara konsekuen, konsisten, memperhatikan HAM, termasuk pemberian insentif.
  3. Transparansi, informasi yang terbuka bagi setiap pihak untuk setiap tahap pemerintahan.
  4. Daya tanggap, respon yang tepat dan cepat terhadap permasalahan atau perubahan yang terjadi.
  5. Kesetaraan, persamaan kedudukan bagi warga negara tanpa diskriminasi.
  6. Visi strategis, tersedianya kebijakan dan rencana yang terpadu serta jangka panjang.
  7. Efisiensi dalam penggunaan sumber daya.
  8. Profesionalisme, ketrampilan dan komitmen untuk memberikan pelayanan terbaik.
  9. Akuntabilitas, bertanggungjawab kepada publik atas keputusan dan tindakan penyelenggara.
  10. Pengawasan, tersedianya pengawasan yang efektif dengan keterlibatan masyarakat.

Terdapat empat syarat untuk menciptakan “good governance”, yaitu: Pertama, menciptakan efisiensi dalam manajemen sektor publik dengan memperkenalkan model-model pengelolaan perusahaan di lingkungan administrasi pemerintahan, melakukan kontrak-kontrak dengan pihak swasta atau NGOs untuk menggantikan fungsi yang ditangani pemerintahan sebelumnya, dan melakukan desentralisasi administrasi pemerintahan; Kedua, menciptakan akuntabilitas publik, dalam arti apa yang dilakukan oleh pemerintah harus dapat dipertanggungjawabkan kepada publik; Ketiga, tersedianya infrastruktur hukum yang memadai dan sejalan dengan aspirasi masyarakat dalam rangka menjamin kepastian sistem pengelolaan pemerintahan; Keempat, adanya sistem informasi yang menjamin akses masyarakat terhadap instrumen hukum dan berbagai kebijakan pemerintah; Kelima, adanya transparansi dari berbagai kebijakan mulai dari proses perencanaan hingga evaluasi sebagai pelaksanaan hak dari masyarakat (rights to information).[5]
Sesuai dengan konstruksi hubungan antara hukum dan penyelenggaraan pemerintahan, maka terwujudnya penegakan hukum dengan pelaksanaan tata kelola pemerintahan yang baik pun berkaitan erat. Penegakan hukum hanya dapat dilakukan apabila lembaga penegak hukum dan peradilan menerapkan prinsip good governance. Oleh karena itu perlu ditegaskan bahwa good governance tidak hanya perlu diterapkan pada cabang kekuasaan eksekutif, tetapi termasuk juga pada cabang kekuasaan yudikatif dan lembaga penegak hukum. Suramnya dunia hukum kita saat ini salah satu faktornya adalah belum diterapkannya good governance. Prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, profesionalisme, dan pengawasan sebagai inti dari good governance belum berjalan dengan baik di institusi penegak hukum dan lembaga peradilan. Dalam kondisi yang demikian, hukum masih sangat berpotensi untuk disalahgunakan untuk kepentingan kekuasaan dan kekayaan orang perorang sembari mengesampingkan aspek keadilan sebagai tujuan hukum serta menelantarkan upaya pencapaian tujuan nasional.
Di sisi lain, sesuai dengan prinsip negara hukum, maka prinsip-prinsip good governance hanya mungkin terwujud dan terlaksana apabila diterjemahkan dalam aturan hukum yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan dan ditegakkan dalam pelaksanaannya. Dengan kata lain, good governance hanya mungkin terwujud jika penegakan hukum dilakukan, khususnya hukum yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA

Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism. 3rd edition. New Jersey: Van Nostrand Company, 1968.
Dicey, A.V. Introduction to the Study of the Law of the Constitution. Tenth Edition. London: Macmillan Education LTD, 1959.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik. Jakarta 2005,
Laode Ida. Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, Dan Clean Governement. Jakarta: PSPK, 2002.
Moh. Mahfud MD. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media, 1999.
_______________ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: LP3ES, 2007.
Prakash, Aseem and Jeffrey A. Hart (eds.). Globalization And Governance. London and New York: Routledge, 2000.


[1] Bahan pada Acara Seminar Nasional “Saatnya Hati Nurani Bicara” yang diselenggarakan oleh DPP Partai HANURA. Jakarta, 8 Januari 2009.
[2] Ketua Mahkamah Konstitusi.
[3] William G. Andrews, Constitutions and Constitutionalism, 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 12 – 13.
[4] Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Clean Government dan Good Government Untuk meningkatkan Kinerja Birokrasi Dan Pelayanan Publik, Jakarta 2005, hal. 2
[5] Laode Ida, Otonomi Daerah, Demokrasi Lokal, Dan Clean Governement, (Jakarta; PSPK, 2002), hal. 41-42.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar