Kamis, 20 Januari 2011

HUBUNGAN PERATURAN JABATAN NOTARIS DAN KODE ETIK DALAM PELAKSANAAN TUGAS NOTARIS


BAB I

PENDAHULUAN

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berintikan kebenaran dan keadilan yang mana menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum. Untuk itu dibutuhkan alat bukti tertulis otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui jabatan tertentu, yaitu oleh notaris sebagai pejabat umum.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris atau disebut Undang-undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagai pengganti dari Reglement op Het Ambt in Nederlands Indie (Stbl. 1860:3) atau Peraturan Jabatan Notaris (PJN). Sejak berlakunya Undang-undang Jabatan Notaris yang baru ini, melahirkan perkembangan hukum yang berkaitan langsung dengan dunia kenotariatan saat ini, yakni:

1.      Adanya “perluasan kewenangan Notaris”, yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f, yakni: “kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”.
2.      Kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Akta risalah lelang ini sebelum lahirnya Undang-undang tentang Jabatan Notaris menjadi kewenangan juru lelang dalam Badan Urusan Utang Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp tahun 1960.
3.      Memberikan kewenangan lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Kewenangan lainnya yang diatur dalam Peraturan Perundang-undangan ini merupakan kewenangan yang perlu dicermati, dicari dan diketemukan oleh Notaris, karena kewenangan ini bisa jadi sudah ada dalam dalam Peraturan Perundang-undangan, dan juga kewenangan yang baru akan lahir setelah lahirnya Peraturan Perundang-undangan yang baru.

Segera setelah Peraturan mengenai jabatan notaris ini diberlakukan, maka seluruh kegiatan kenotariatan di Indonesia berpedoman pada peraturan ini. Namun, di dalam pelaksanaan tugas notaris sehari-hari tidak hanya berpedoman pada peraturan ini. Para notaris sekarang ini telah membentuk suatu perhimpunan yang disebut Ikatan Notaris Indonesia (INI). Dan diantara para anggota INI telah sepakat untuk membentuk suatu peraturan lain berupa suatu kode etik tersendiri bagi para notaris yang nantinya akan menjadi pedoman pendukung selain peraturan jabatan notaris yang telah ada.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka yang akan dibahas dalam makalah ini adalah :

1.      Bagaimana Pelaksanaan Tugas Notaris Berkaitan Dengan Peraturan Jabatan Notaris (UUJN)?
2.      Bagaimana Pelaksanaan Tugas Notaris Berkaitan Dengan Kode Etik Notaris ?

BAB II

PEMBAHASAN

A.  Pelaksanaan Tugas Notaris Berkaitan Dengan Peraturan Jabatan Notaris (UUJN)

Kebutuhan akan jasa notaris dalam masyarakat modern tidak mungkin dapat dihindarkan. Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh pemerintah dan pemerintah sebagai organ negara mengangkat notaris bukan semata untuk kepentingan notaris itu sendiri, melainkan juga untuk kepentingan masyarakat luas. Jasa yang diberikan oleh notaris terkait erat dengan persoalan trust (kepercayaan diantara para pihak), artinya negara memberikan kepercayaan yang besar terhadap notaris dan dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemberian kepercayaan kepada notaris berarti bahwa notaris itu mau tidak mau telah memikul tanggung jawab atasnya. Tanggung jawab ini dapat berupa tanggung jawab secara hukum maupun moral.

Untuk kewajiban notaris telah diatur secara khusus dan terperinci di dalam Pasal 16 (1) huruf a-m. Sedangkan ketentuan sanksi dalam UUJN diatur dalam BAB XI pasal 84 dan 85. Pasal 84 menyatakan bahwa tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh notaris terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf i, Pasal 16 ayat (1) huruf k, Pasal 41, Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, atau Pasal 52 yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi dan bunga kepada notaris.

Ketentuan Pasal 84 ini adalah ketentuan yang menunjukkan bahwa secara formil notaris bertanggung jawab atas keabsahan akta otentik yang dibuatnya dan jika ternyata terdapat cacat hukum sehingga akta tersebut kehilangan otentitasnya serta merugikan pihak yang berkepentingan, maka notaris dapat dituntut untuk mengganti biaya, ganti rugi dan bunga. Mengenai pelanggaran yang dilakukan notaris terkait dengan hilangnya sifat otentitasnya suatu akta sebagaimana Pasal 84 UUJN dapat dikemukakan karena notaris melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal berikut ini :

1.        Pasal 16 ayat (1) huruf i : Dalam menjalankan kewajibannya notaris berkewajiban mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h (membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan) atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya.

2.        Pasal 16 ayat (10 huruf k : Dalam menjalankan kewajibannya notaris mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara  Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan.

3.        Pasal 41 : Apabila ketentuan dalam Pasal 39 (berkaitan dengan penghadap) dan Pasal 40 (berkenaan dengan saksi atas akta yang dibacakan oleh notaris) tidak dipenuhi, akta tersebut hanya mempunyai kekuatan sebagai akta di bawah tangan.

4.        Pasal 44 : Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi dan notaris.

5.        Pasal 48 : Isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan tindih, penyisipan, pencoretan, atau penghapusan dan menggantinya dengan yang lain. Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris.

6.        Pasal 49 : Setiap perubahan atas akta dibuat di sisi kiri akta, jika tidak demikian perubahan tersebut dibuat pada akhir akta, sebelum penutup akta, dengan menunjuk bagian yang diubah atau dengan menyisipkan lembar tambahan.

7.        Pasal 50 : Apabila dalam akta perlu dilakukan pencoretan kata, huruf, atau angka, hal demikian dilakukan demikian rupa sehingga tetap dapat dibaca sesuai dengan yang tercantum semula, dan jumlah kata, huruf, atau angka yang dicoret dinyatakan dalam sisi akta. Pencoretan ini dinyatakan sah setelah diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi dan notaris. Pada penutup setiap akta dinyatakan jumlah perubahan, pencoretan dan penambahan.

8.        Pasal 51 : Notaris berwenang untuk membetulkan kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada Minuta Akta yang telah ditandatangani. Pembetulan ini dilakukan dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada Minuta Akta asli dengan menyebutkan tanggal dan nomor akta berita acara pembetulan.

9.        Pasal 52 : Notaris tidak diperkenankan membuat akta untuk diri sendiri, istris/suami, atau orang lain yang mempunyai hubungan kekeluargaan dengan notaris baik karena perkawinan maupun hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan/atau ke atas tanpa pembatasan derajat, serta dalam garis ke samping sampai dengan derajat ketiga, serta menjadi pihak untuk diri sendiri, maupun dalam suatu kedudukan ataupun dengan perantaraan kuasa. Ketentuan ini tidak berlaku, apabila orang tersebut kecuali notaris sendiri, menjadi penghadap dalam penjualan di muka umum, sepanjang penjualan itu dapat dilakukan di hadapan notaris, persewaan umum, atau pemborongan umum, atau menjadi anggota rapat yang risalahnya dibuat oleh notaris.

Tersimpul dalam pasal-pasal mengenai hal-hal yang mengakibatkan suatu akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan atau suatu akta menjadi batal demi hukum merupakan hal-hal yang bersifat teknis dan formal serta merupakan standar yang harus dimengerti sepenuhnya oleh notaris. Ketidakpahaman ataupun kelalaian terhadap hal-hal tersebut menyebabkan notaris harus mempertanggungjawabkan atas kesalahannya sehingga pihak yang menderita kerugian memiliki alasan yuridis untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada notaris.

Mengenai sanksi yang dijatuhkan kepada notaris sebagai pribadi menurut Pasal 85 UUJN dapat berupa :

1.  Teguran lisan;

2.  Teguran tertentu;

3.  Pemberhentian sementara;

4.  Pemberhentian dengan hormat;

5.  Pemberhentian dengan tidak hormat

Penjatuhan sanksi ini dapat diberikan bila notaris  melanggar ketentuan yang diatur oleh UUJN yakni melanggar Pasal 7, Pasal 16 ayat (1) huruf a-k, Pasal 17, Pasal 20, Pasal 27, Pasal 32, Pasal 37, Pasal 54, Pasal 58, Pasal 59, dan/atau Pasal 63.

Ketentuan normatif ini mengatur notaris agar notaris dalam menjalankan profesinya selalu terkontrol dengan formalitas yang telah digariskan. Artinya tuntutan profesi notaris lebih merujuk pada bentuk dari akta yang dihasilkan bukan substansi (materi) dari akta. Materi akta dan tanggung jawab atas isinya berada di pundak para pihak yang mengadakan perjanjian. Namun terkadang dalam suatu akta memuat konstruksi-konstruksi hukum tertentu yang sebenarnya dilarang untuk dilakukan di bidang hukum perjanjian. Mengenai hal ini, notaris berkewajiban untuk mengingatkan atau memberi tahu kepada para pihak bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Mengenai tanggung jawab materiil terhadap akta yang dibuat dihadapan notaris perlu ditegaskan bahwa dengan kewenangan notaris dalam pembuatan akta notaris bukan berarti notaris dapat secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta. Akta notaris dengan demikian sesungguhnya adalah aktanya pihak-pihak yang berkepentingan, bukan aktanya notaris yang bersangkutan. Karena itulah dalam terjadinya sengketa dari perjanjian yang termuat dalam akta notaris yang dibuat bagi mereka dan dihadapan notaris maka yang terikat adalah mereka yang mengadakan perjanjian itu sendiri, Sedangkan notaris tidak terikat untuk memenuhi janji ataupun kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta notaris yang dibuat di hadapannya dan notaris sama sekali berada di luar mereka yang menjadi pihak-pihak.

Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan akan adanya akta notaris yang tendensius. Maksudnya adalah dalam pembuatan akta keterlibatan notaris tidak sekedar legalisasi suatu akta namun menyangkut substansi akta (Abdul Ghofur Anshori, 2009 : 47). Hal ini bisa terjadi ketika notaris sebagai pihak yang semestinya netral melakukan hal-hal tertentu yang menyebabkan salah satu pihak diuntungkan dan di satu sisi merugikan pihak lainnya dengan akta notariil tersebut. Ketidaknetralan notaris dalam membuat suatu akta ini dapat menjadikan notaris dikenai tanggung jawab atas materi akta yang dibuatnya. Perbuatan notaris yang demikian melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. Selain Pasal 16 ayat (1) huruf a tersebut merupakan pelanggaran yang bersifat prosedural.

B.  Pelaksanaan Tugas Notaris Berkaitan Dengan Kode Etik Notaris

Profesi notaris merupakan profesi yang berkaitan dengan individu, organisasi profesi, masyarakat pada umumnya dan negara (Abdul Ghofur Anshori, 2009 : 48). Tindakan notaris akan berkaitan dengan elemen-elemen tersebut. Oleh karenanya, suatu tindakan yang keliru dari notaris dalam menjalankan pekerjaannya tidak hanya akan merugikan notaris itu sendiri namun juga dapat merugikan organisasi profesi, masyarakat dan negara.

Hubungan profesi notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur dalam UUJN berikut peraturan perundang-undangan lainnya. Sementara hubungan profesi notaris dengan organisasi profesi notaris diatur melalui kode etik notaris yang ditetapkan dan ditegakkan oleh organisasi notaris. Keberadaan kode etik notaris merupakan konsekuensi logis dari dan untuk suatu pekerjaan yang disebut sebagai profesi. Bahkan ada pendapat yang menyatakan bahwa notaris sebagai pejabat umum yang diberikan kepercayaan harus berpegang teguh tidak hanya pada peraturan perundang-undangan semata, namun juga pada kode etik profesinya, karena tanpa kode etik, harkat dan martabat dari profesinya akan hilang.

Terdapat hubungan antara kode etik dengan UUJN. Hubungan pertama terdapat dalam Pasal 4 UUJN mengenai sumpah jabatan. Notaris melalui sumpahnya berjanji untuk menjaga sikap, tingkah lakunya dan akan menjalankan kewajibannya sesuai dengan kode etik profesi, kehormatan, martabat dan tanggung jawabnya sebagai notaris.

Adanya hubungan antara kode etik dan UUJNmemberikan arti terhadap profesi notaris itu sendiri. UUJN dan kode etik notaris menghendaki agar notaris dalam menjalankan tugas jabatannya sebagai pejabat umum, selain harus tunduk pada UUJN juga harus taat pada kode etik profesi serta harus bertanggung jawab kepada masyarakat yang dilayaninya, organisasi profesi (Ikatan Notaris Indonesia atau INI) maupun terhadap negara. Dengan adanya hubungan ini, maka terhadap notaris yang mengabaikan keluruhan dari martabat jabatannya selain dapat dikenai sanksi moril, ditegur atau dipecat dari keanggotaan profesinya juga dapat dipecat dari jabatannya sebagai notaris. Menurut Muhammad sebagaimana dikutip Nico (Abdul Ghofur Anshori, 2009 : 48), bahwa notaris dalam menjalankan tugas jabatannya :

1.      Notaris dituntut melakukan pembuatan akta dengan baik dan benar. Artinya akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-pihak yang berkepentingan karena jabatannya.

2.      Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya, akta yang dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang berkepentingan dalam arti yang sebenarnya, bukan mengada-ada. Notaris harus menjelaskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan produk akta yang dibuatnya itu.

3.      Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris  itu mempunyai kekuatan bukti sempurna.

Pelanggaran terkait dengan kode etik notaris adalah perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh anggota perkumpulan  Organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris yang melanggar ketentuan kode etik dan/atau disiplin organisasi. Ruang lingkup dari kode etik berlaku bagi seluruh anggota perkumpulan organisasi Ikatan Notaris Indonesia maupun orang lain yang memangku dan menjalankan jabatan notaris baik dalam pelaksanaaan jabatan maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Terkait dengan sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan didiplin notaris. Sanksi dalam kode etik notaris dituangkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran, peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah saya dikemukakan di atas, maka kesimpulan yang dapat Saya berikan adalah :

1.      Kewenangan notaris dalam pembuatan akta notaris bukan berarti notaris dapat secara bebas sesuai kehendaknya untuk membuat akta otentik tanpa adanya para pihak yang meminta untuk dibuatkan akta. Selain itu, notaris tidak terikat untuk memenuhi janji ataupun kewajiban apapun seperti yang tertuang dalam akta notaris yang dibuat di hadapannya dan notaris sama sekali berada di luar mereka yang menjadi pihak-pihak.
  
2.      Ketidaknetralan notaris dalam membuat suatu akta dapat menjadikan notaris dikenai tanggung jawab atas materi akta yang dibuatnya. Perbuatan notaris yang demikian melanggar Pasal 16 ayat (1) huruf a yang menyatakan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.
  
3.      Sanksi sebagai bentuk upaya penegakan kode etik notaris atas pelanggaran kode etik didefinisikan sebagai suatu hukuman yang dimaksudkan sebagai sarana, upaya dan alat pemaksa ketaatan dan didiplin notaris. Sanksi dalam kode etik notaris dituangkan dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa sanksi yang dikenakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran kode etik dapat berupa teguran, peringatan, skorsing (pemecatan sementara) dari keanggotaan perkumpulan, onzetting (pemecatan) dari keanggotaan perkumpulan dan pemberhentian dengan tidak hormat dari keanggotaan perkumpulan.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofur Anshori. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan Etika. UII Press. Yogyakarta. 2009.

Habib Adjie. Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama. Bandung. 2008.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar